"Inget pesen Daddy! Jaga jarak sama El! Awas kalo Daddy tau kamu berani deket-deket si kunyuk itu!"
Nana mengkerut takut saat mendengar ancaman Aliandra yang menyeramkan. Sejak sepuluh menit lalu mereka berada di ruang makan, Aliandra tak henti memperingati Nana. Keadaan ruang makan sunyi. Nana dan Noah makan dalam diam. Tidak ada acara saling ejek satu sama lain. Ella juga tidak berkomentar sedikitpun. Yang terdengar hanya denting piring beradu dengan sendok dan garpu.
"Mommy, Daddy marah-marah lagi ya?" Terdengar celetukan Leyla yang setengah berbisik pada Ella.
Sontak semua orang tertawa melihat tingkah menggemaskan Leyla. Sedangkan Aliandra menggigit bibirnya menahan tawa. Matanya yang tadi menatap garang pada Nana kini melembut saat melihat Leyla berbisik pada Ella.
Ella mengangguk pelan. Balik berbisik pada Leyla, "Tau tuh. Bilangin sama Daddy. Jangan marah-marah mulu. Ntar jadi cepet tua! Terus rambutnya jadi putih. Giginya juga ompong. Kayak kakek-kakek!"
Leyla terkikik. Menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Lalu menatap Aliandra yang sedang menyipitkan mata melihat mereka.
"Kenapa?" tanya Aliandra.
Leyla menggeleng. Bibirnya masih tertawa-tawa. "Nggak kok, Dad," jawabnya.
"Terus tadi ngapain pake bisik-bisik? Ngomongin Daddy ya!" tuduh Aliandra.
Leyla mengangguk pelan. "Daddy kalo sering marah nanti jadi kakek-kakek tua. Terus giginya ompong!" ucap bocah itu dengan polosnya sembari tertawa.
Semua orang di meja makan pun tertawa. Juga Nana yang sedari tadi berwajah masam karena menerima omelan dari sang Daddy tanpa henti. Aliandra mendelik menatap tiga orang anaknya. Juga istrinya.
"Kan sama kayak Leyla. Giginya ompong dua. Di depan lagi," balas Aliandra.
Leyla pun tersipu malu. Menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Ella yang melihat itu pun jadi gemas. Wanita itu mendaratkan beberapa kecupan kecil di pipi Leyla.
"Gapapa dong Leyla ompong. Itu tandanya Leyla udah besar. Udah makin pinter. Iya kan sayang?" ucapnya pada Leyla.
Aliandra mendekati Leyla. Menarik selembar tisu dari kotaknya. Mengusapkannya ke sudut bibir Leyla dengan lembut. Sembari tersenyum, Aliandra mengusap rambut Leyla yang dikepang. Menyisakan poni yang menutupi dahinya.
Ella tersenyum lembut. "Udahan ngobrolnya! Kalian cepet berangkat ya. Nanti telat loh!" ujarnya.
Wanita itu mengisyaratkan Nana untuk segera berdiri diikuti Noah. Ella sendiri juga ikut berdiri. Menarik Leyla untuk ikut dengannya. "Leyla juga berangkat sekarang. Nanti keburu telat."
Leyla mengangguk-ngangguk. Menurut saja saat Ella memakaikan tas ransel bergambar Frozennya. Nana mencium pipi Ella dan juga tangannya. Begitu juga dengan Noah.
Anak itu hari ini tidak banyak bicara. Karena takut dengan muka garang Daddynya yang ditunjukkan sejak keluar kamar pagi ini. Dia tau sudah membuat banyak masalah.
Jadi sebelum dia kembali dihukum seperti minggu lalu saat membuat Cassie basah kuyub terkena air sisa pel lantai. Lebih baik dia diam saja. Toh dia tidak rugi jika tidak membuat masalah hari ini. Mungkin lain kali saja, batinnya.
Nana mendekati Daddynya dengan wajah menunduk. Tidak berani menatap wajah serigala kelaparan itu. Nana mengambil tangan Aliandra dan menciumnya. Lalu dengan sedikit ragu mencium pipi pria itu.
Ella menghela nafas panjang melihat wajah merengut Nana saat keluar rumah. Nana mencium pipi Leyla sekilas lalu mencium pipi Ella sekenanya. Dan langsung masuk ke dalam mobil. Noah buru-buru mengikuti Kakaknya masuk ke dalam mobil. Setelah sebelumnya meminta Leyla mencium pipinya terlebih dahulu.
"Mommy, Kakak Nana ngambek ya?" tanya Leyla saat Nana menghidupkan mesin mobilnya.
Ella tersenyum. "Nggak, Sayang. Kakak Nana baik-baik aja kok!" jawabnya.
"Kok Kakak Nana cemberut sih?"
"Mana ada Kakak Nana cemberut. Kakak Nana kan cantik. Dan anak cantik nggak akan cemberut. Iya kan?"
Leyla mengangguk-ngangguk. Bocah itu melambai dengan antusias pada Noah yang membuka kaca mobilnya.
"Dadah Abang! I love you," ucap Leyla seraya memberikan cium jauh pada Noah. Ella menatap lama pada dua anaknya yang kini telah menghilang dari pandangan dengan mobil mereka.
"I love you too, Princess." Aliandra tiba-tiba menggendong Leyla. Menciumi pipi bocah mungil itu. Membuatnya kegelian hingga tertawa-tawa.
"Udah jangan bercandaan terus! Buruan berangkat! Nanti pada telat!" omel Ella.
"Yes, Mom..." sahut Aliandra dan Leyla bersamaan
***
Nana memekik kaget saat baru saja dia turun dan Clarissa sudah mengejutkan dia dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Gadis itu mendelik pada Clarissa sembari memegangi dadanya.
"Clarissa!" hardiknya.
Dan Clarissa hanya cengar-cengir tanpa rasa bersalah sama sekali. Gadis itu mengekori Nana yang berjalan terburu-buru memasuki perpustakaan.
Nana meletakkan tasnya di atas meja panjang tempat membaca. Lalu menyusuri lorong perpustakaan. Menjelajahi rak buku. Nana menarik sebuah buku dari sana. Dan membawanya duduk di tempat dia meninggalkan tasnya tadi.
Clarissa sudah duduk manis di depannya. "Baca terus, Na. Nggak bosen apa?" cibir gadis itu pada Nana.
"Nggaklah. Kan biar pinter. Emang elu bisanya baca n****+ doang," balas Nana.
Clarissa mengerucutkan bibirnya. "Kan baca n****+ seru tau."
Nana mendengus. Namun tidak membantah ucapan Clarissa. Memilih fokus pada bukunya. Membiarkan Clarissa terus mengoceh.
"Ada ya, Na. Ceritanya itu ceweknya masih muda. Terus jatuh cinta sama duda tua yang baru cerai sama istrinya. Ceritanya bagus banget deh, Na," ujar Clarissa.
"Orang tuanya si cewek nggak ngerestuin gitu, Na. Masa bapaknya lebay banget, deh. Nggak ngebolehin anaknya nikah sama itu duda. Padahal kan mereka saling cinta. Ngeselin banget, kan? Lagian itu cewek mau-maunya suka sama duda tua. Kek nggak ada cowok lain aja sih!" lanjutnya panjang lebar dengan muka kesalnya.
Nana menutup bukunya. Meletakkannya di meja. Gadis itu menatap Clarissa lekat. "Cewek itu nggak bisa disalahin, Clar. Dia nggak bisa milih mau jatuh cinta sama siapa. Seandainya dia bisa, pasti dia milih jatuh cinta sama cowok lain!" ucapnya.
Clarissa tersenyum miring menatap Nana. "Lo sok tau, banget. Kayak pernah ngalamin aja!" ledeknya.
Nana terdiam. Perkataan Clarissa menusuk tepat di hatinya. Dia sedang mengalaminya. Jatuh cinta pada pria dewasa seusia ibunya. Bedanya pria itu bukanlah duda seperti yang ada di tokoh n****+. Melainkan suami orang.
Jika di dalam cerita itu mereka saling mencintai, beda lagi dengan Nana. Karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia mencintai El tanpa mendapatkan balasan cinta dari pria itu.
Nana menghela nafas panjang. Menatap Clarissa yang sibuk memainkan ponselnya. "Clar, gue ke kelas duluan, ya. Lo masih mau disini?" ujarnya.
Clarissa mengangguk. "Ya udah lo ke kelas aja! Ntar gue nyusul. Gue mau ke kantin dulu. Laper gue!" balasnya.
Nana pun meraih tasnya dan membawa buku-buku yang akan dia pinjam pada petugas perpus. Setelahnya gadis itu pun keluar dari perpustakaan. Berjalan menuju ke kelasnya. Saat menuju ke kelasnya, ponsel Nana berbunyi. Cepat-cepat gadis itu membuka satu pesan yang masuk ke ponselnya. Nana memekik girang saat tau siapa orang yang mengiriminya pesan saat itu.
I' am okay. Jangan cemas.
Nana pun jadi lega meskipun sedikit dongkol karena El baru membalas pesannya. Padahal dia mengirim pesan sejak semalam karena begitu khawatir pada keadaan El setelah Aliandra memberi beberapa pukulan di tubuhnya.
Nana pun akhirnya melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Mengabaikan pesan El. Toh pria itu baik-baik saja. Tidak memerlukan balasan darinya.
***
Siangnya setelah pulang kuliah, Nana berniat untuk menjenguk El yang hari ini tidak masuk. Nana pun mengirimkan pesan pada El. Bertanya alamat apartemen tempat tinggalnya. Namun pria itu tak kunjung membalasnya.
Akhirnya Nana memutuskan untuk meneleponnya saja. Jika dia terus menunggu El membalas pesannya, mungkin tahun depan balasan itu baru masuk ke ponselnya.
Nana menunggu lama. El belum juga mengangkat teleponnya. Nana berdecak pelan. Kemana pria ini, batinnya. Katanya dia baik-baik saja. Masa ditelepon tidak diangkat juga. Perasaan kemarin Daddynya tidak
mematahkan tangannya. Jadi tidak mungkin El tidak bisa mengangkat teleponnya.
"Hallo." Terdengar suara serak menjawab telepon Nana.
"Uncle! Lama banget angkatnya!" omel Nana.
"Sorry, Princess. Uncle baru dari toilet."
"Oohh... kirain kemana. Aku minta alamat apartemen Uncle, dong. Aku mau jenguk Uncle kesana!"
"Nggak usah! Uncle baik-baik aja kok! Kamu langsung pulang aja! Nanti Daddy kamu marah lagi!" tolak El.
"Tapi aku mau jenguk Uncle. Daddy nggak bakal tau, kok. Kan Daddy keluar kota hari ini!"
"Nggak usah, Na. Uncle baik-baik aja!"
"Pokoknya aku mau jenguk, titik! Kalo Uncle ngga mau kasih tau alamatnya biar aku cari sendiri!" ucap Nana ngeyel.
"Emang kamu mau cari kemana?" tanya El.
"Kemana aja! Kalau perlu ke ujung dunia pun aku akan cari!"
Terdengar suara kekehan El di seberang sana. Membuat Nana mau tak mau ikut terkekeh.
"Ya udah, nanti Uncle sms alamatnya."
"Oke Uncle. Cepetan ya! Soalnya aku udah di jalan ini!"
"Iya bawel!"
Klik. Nana mematikan ponselnya dengan hati riang. Bahagia sekali rasanya dia bisa kembali dekat dengan El. Nana tersenyum miris. Hanya bisa dekat dengannya saja membuat Nana bahagia. Tanpa berharap El akan membalas perasaannya. Karena itu tidak mungkin. El sudah punya istri.
Dan Nana tidak mau merusak kebahagiaan mereka. Biarlah dia menyimpan rasa cinta itu sendiri. Hingga nanti waktu yang membatasi. Sampai dia tidak lagi pantas mempertahankan perasaan itu.
***
El menggaruk kepalanya saat membuka pintu apartemen dan muncul wajah ceria Nana. Gadis itu langsung menyingkirkan tubuh El yang menghalangi pintu masuk. Dan dengan tidak sopannya, gadis itu nyelonong masuk tanpa ijin si pemilik rumah.
"Aunty Sarah mana?" tanya Nana pada El.
Pria itu terlihat tegang mendengarnya. Tak lama El membuang muka. Dia berkata. "Aunty Sarah pergi."
"Ooh..." Nana menggut-manggut. Gadis itu mencari-cari dapur milik El. Meletakkan sebuah kantong plastik yang lumayan besar di atas meja bar. Nana berdecak kagum melihat rupa apartemen milik El yang mewah.
Sepertinya pria ini lumayan kaya juga. Apartemen seluas itu. Dengan desain yang begitu indah. Sepertinya El bukan hanya sekedar dosen. Karena tidak mungkin jika pekerjaan utamanya dosen tapi sanggup membeli apartemen semewah ini.
"Uncle udah makan belum?" tanya Nana sambil membuka kantong plastik yang tadi dia bawa.
El mengangguk. "Udah barusan," jawabnya.
Nana manggut-manggut. Kemudian memindahkan buah dari dalam kantong plastik ke dalam kulkas.
"Kamu nanya-nanya udah makan apa belum, emang mau ngapain?"
"Ya tanya aja," balas Nana.
"Kirain mau masakin!" ucap El ketus.
Nana tertawa. Menatap El geli. "Ya ampun, Uncle ini. Emang aku ada tampang bisa masak gitu? Ya kali aku kayak si Mommy yang pinter masak."
El tersenyum kecut. Benar juga. Muka sepolos dan seimut itu, masa pernah masuk ke dapur, batinnya.
"Alah, Mommy kamu itu kan dulu nggak bisa masak sama sekali. Uncle aja sampe nyerah ngajarin dia. Parah emang malesnya!" ujar El.
Nana tersenyum tipis. Membuang bekas kantong plastik ke tempat sampah. "Iya? Kayaknya Uncle kenal banget sama Mommy."
El mengangguk cepat. "Iyalah. Semua tentang Mommy kamu nggak ada yang Uncle nggak tau. Nih, Ya. Mommy kamu itu sebenernya penakut. Cuma dia galak. Terus dia paling males beres-beres rumah, masak, nyuci. Habis itu dia ngga pernah belajar. Tapi dia pinter. Apalagi kalo gambar. Jago banget Mommy kamu itu!" cerita El panjang lebar.
Nana terdiam. Tidak menyahut. Hanya sesekali tersenyum saat El melihatnya. Selebihnya gadis itu memandang El yang sedang antusias bercerita.
"Mommy kamu benci banget sama buah Nanas. Katanya dulu pas kecil dia pernah nelen hatinya Nanas. Jadi tenggorokan dia gatel- gatel. Dan sampe nggak bisa ngomong dua minggu," ujar El sembari tertawa mengingat Ella.
Pria itu terus saja bercerita tentang Ella. Tanpa tau tatapan sendu gadis yang sedang berdiri di depannya itu. Nana membuang nafas kasar. Kemudian beranjak menuju ke ruang tamu tempat dia meninggalkan tasnya.
"Aku pulang dulu, ya. Udah mau sore. Ntar Mommy nyariin!" pamitnya.
El mengangguk. Meski dalam hatinya berat membiarkan Nana pulang. "Hati-hati. Dan makasih udah jenguk. Kamu liat sendiri, kan, Uncle gapapa."
Nana tersenyum tipis, mengangguk pelan. Kemudian berlalu menuju pintu. Melempar senyumannya sekali lagi sebelum hilang di balik pintu.