“Baru bangun?”
Abigail tersenyum simpul kepada mertuanya. “Maaf, Tante. Semalam diajak lembur sama Daniel,” katanya tanpa dosa.
Bukan hanya Daniel, tapi juga papanya yang sedang sarapan sontak tersedak mendengar ucapan wanita itu. Daniel seketika mendelik kepada Abigail. Namun wanita itu mengabaikannya. Dia lantas duduk di kursi dan membalik piringnya.
Pagi ini ada banyak menu makanan di depannya. Meja makan penuh dengan makanan, tidak seperti di apartemennya. Abigail jadi tidak nyaman. Namun dia tidak memprotes. Wanita itu lantas mengambil nasi goreng untuk sarapan.
“Mulai besok bangun yang pagi. Kamu tuh udah jadi Istri loh! Suami kamu berangkat kerjanya kan pagi-pagi sekali. Jadi kamu juga harus bangun pagi dan siapin dia sarapan.”
Abby menahan tawanya. Jadi seperti ini rasanya menjadi menantu Wiryawan? Wanita itu lantas berpikir apa mungkin Diana akan mengalami hal seperti ini pula jika dia menikah dengan Daniel? Abby lantas menyunggingkan senyuman lebar. “Iya, Tante.”
Daniel menyeringai padanya. Abigail tau tapi dia mengabaikannya. Dia menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Baru saja dia ingin mengunyahnya, perutnya terasa bergejolak. Abigail mual lagi. Wanita itu menutup mulutnya dengan tangan dengan wajah pias.
Siera yang melihat itu lantas mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
Abby menggeleng. Dia kemudian bangkit berdiri dan berlari ke dapur untuk memuntahkan makanannya. Siera melihatnya dengan khawatir. Wanita itu menjawil lengan putranya yang sedang sibuk mengunyah, seolah tidak terganggu sama sekali dengan kejadian barusan. “Dan, liat itu Istri kamu!” suruhnya.
“Biarin aja. Biasanya juga gitu kok,” balas Daniel santai. Pria itu lalu mengecek ponselnya yang berbunyi. Itu adalah pesan dari asistennya di kantor.
“Ma, Daniel berangkat dulu ya!”
“Kamu serius mau ke kantor?” sahut papanya.
“Iyalah, Pa. Hari ini kan Daniel ada meeting sama Diana di kantor.”
Siera menghela napas beratnya. “Dan, apa nggak sebaiknya kamu serahkan proyek sama perusahaannya Diana sama Papa? Nggak enak loh, kalau dilihat orang. Kalian kan udah putus,” katanya.
“Belum, Ma.” Daniel lantas menyudahi sarapannya dan berdiri. Pria itu memakai jasnya dengan terburu-buru. “Kami tetep pacaran, kok!” lanjutnya.
“Apa?”
“Diana mau nunggu Daniel sampai cerai sama wanita sialan itu.”
“Dan …”
Daniel mengabaikan peringatan papanya. “Mama sama Papa nggak perlu ikut campur. Cukup urusan ini jadi tanggung jawab Daniel aja.”
Siera mendesah lirih ketika melihat sang putra yang langsung pergi dari ruang makan dengan terburu-buru. Meskipun dia menyukai Diana seperti Daniel, tapi dia merasa sikap Daniel adalah salah. Anak Daniel atau bukan, seharusnya Daniel bersabar dan menunggu sampai bayi itu lahir agar bisa menceraikan Abigail. Baru setelahnya dia bisa menjalin kembali hubungan dengan Diana.
Namun Siera tau jika putranya itu keras kepala dan tidak bisa dinasehati. Sebagai ibu tiri, rasanya dia tidak bisa terlalu keras kepada Daniel, sementara papanya sendiri tidak ikut campur. Namun melihat Abigail yang sedang muntah-muntah seperti itu di kamar mandi membuatnya cukup iba juga.
“Bi!” panggil Siera kepada Bi Tuti.
“Iya, Bu?”
“Buatin teh hangat buat Mbak Abby ya!”
“Baik, Bu.”
“Saya pergi keluar dulu!”
Bi Tuti mengangguk patuh. Siera pun lantas keluar dari dapur dan bergegas mengambil tasnya di kamar sebelum pergi dari rumah.
Beberapa detik setelah wanita itu pergi, Abby keluar dari kamar mandi. Wanita itu heran melihat semua orang yang ada di ruang makan menghilang. Hanya ada Bi Tuti yang sedang membuat teh di dapur. “Kok sepi, Bi?”
“Udah pada berangkat ke kantor, Mbak.”
Bi Tuti lantas menyajikan teh hangat di atas meja makan. “Diminum dulu, Mbak. Biar mualnya reda.”
Abigail menghela napas panjangnya lalu menurut. Dia meminum teh hangat itu sedikit. “Masih mual ya, Mbak?”
Abigail tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan cepat. Sikapnya itu sontak membuat Bi Tuti geleng-geleng kepala melihatnya. “Ya ampun … bener-bener nggak ada sopan santunnya,” gumam wanita itu jengkel.
***
Siera menyetir mobil dengan sedikit buru-buru. Wanita itu membelokkan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan. Dengan cepat wanita itu masuk ke sebuah apotek untuk membeli s**u ibu hamil. Karena tidak tau selera s**u Abby, wanita itu ingin menghubungi Daniel dan bertanya. Namun saat memikirkannya lagi, Siera lantas memutuskan untuk tidak menelepon putranya. Karena dia yakin jika Daniel pun tidak akan tau.
Jadi dia membeli beberapa untuk dibawa pulang. Berikut dengan obat anti mual yang direkomendasikan oleh temannya yang seorang dokter. Siera kembali ke dalam mobilnya sambil membawa sekantong penuh belanjaan. Tak hanya s**u dan obat, dia juga membeli cemilan serta buah untuk Abigail.
Sebagai seorang wanita yang pernah merasakan hamil muda, Siera tau apa yang dialami oleh Abigail. Morning sick itu sangat menyiksa. Dan sebagai ibu mertua yang baik, Siera ingin memberikan yang terbaik pula untuk bayi Abby, terlepas dari dia percaya atau tidak bayi itu anak Daniel.
Ketika wanita itu pulang, dia langsung menyuruh Bibi membuatkan s**u untuk Abigail dan membawakan makanan kecil ke kamar wanita itu. Siera menatap sosok Abigail yang tidur meringkuk di atas ranjang dengan memakai selimutnya sampai ke leher. Wanita itu melangkahkan kakinya, dia ingin membangunkan Abby. Namun saat tangannya berada di atas tubuh wanita itu, Siera menghentikan niatnya.
Wanita itu diam, duduk di samping Abby sambil menatapnya lama. Dia mendesah lirih karena mendadak membayangkan jika saat ini yang sedang tidur di sana adalah putrinya. Ya, putrinya yang telah tiada itu, seandainya dia masih hidup, pasti dia seusia Abigail, sudah menikah dan mungkin sedang mengandung juga.
Siera mendesis tipis. Suaranya lantas membangunkan Abigail. Mengetahui hal itu Siera langsung berdiri dan menatapnya datar. “Tante sudah suruh Bibi buatkan s**u untuk kamu. Itu di meja juga ada makanan ringan buat kamu. Dimakan, jangan sampai nggak! Tante nggak mau ya, kalau sampai disalahkan sama Daniel karena nggak jagain istrinya,” ujarnya kepada Abby.
Abby tersenyum seadanya dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu lantas bangun dan menuju ke sofa untuk mengambil makanan ringan yang disiapkan oleh sang ibu mertua. Kali ini untungnya dia tidak mual. Jadi Abby bisa makan dengan nyaman. Abby mengira Siera akan pergi dari kamarnya, tapi wanita itu justru duduk di samping Abby.
“By ….” panggilnya kepada wanita itu.
“Iya, Tante?” jawab Abby. Dia mengerutkan dahinya, menatap sang ibu mertua yang tampak serius. “Kenapa?”
“Bayi kamu itu, benar Anak Daniel atau bukan?”