Housemates With The Boss - 14

2060 Kata
Sosok Eilish sudah menghilang memasuki ruangan di ujung sana. Danu pun mendesis pelan seraya mengingat-ingat. Entah kenapa rasanya dia cukup familiar dengan wajah itu. Keningnya kembali berlipat dan terus berpikir di mana dan kapan dia melihat Eilish. Tapi tidak ada ingatan yang membantu. Danu akhirnya menyerah dan menggeleng pelan. “Sudahlah … mungkin aku memang pernah melihatnya di suatu tempat,” desisnya pelan. Danu beranjak masuk ke dalam lift, tapi kemudian ia keluar lagi karena sadar bahwa lift itu belum diperbaiki dan tentu tidak bisa digunakan. Sosoknya lalu menaiki anak tangga. Derap langkahnya terdengar menghentak kuat. Danu cukup kelelahan karena ruangannya berada di tingkat paling atas gedung, yaitu di tingkat tiga. “Apakah hidup memang sesulit ini?” bisik Danu sambil terengah-engah memegangi pinggangnya. Akhir-akhir ini kondisi fisiknya memang jauh menurun. Wajar saja, tidak ada lagi asupan makanan sehat dan organik. Tidak ada lagi olahraga rutin yang dilatih oleh trainer handal. Tidak ada lagi tidur berkualitas dengan aroma lavender asli dari bunganya yang di datangkan langsung dari Belanda. Danu akhirnya tiba di ruangannya. Dia memerhatikan ruangan itu sesaat, kemudian tersenyum. Setidaknya ruangan itu tampak nyaman dan rapi. Ruangan Danu bernuansa warna pastel dengan perpaduan warna cokelar pudar dan putih. Semua dekorasi di ruangan itu juga tertata apik seperti meja dan kursi yang membelakangi kaca jendela besar di ujung sana, sebuah sofa minimalis untuk menyambut tamu dan juga terdapat berbagai hiasan dinding yang membuat ruangan itu menjadi lebih hidup. Danu melangkah masuk dan mencoba duduk di kursi kerjanya. Ruangan ini tidak ada apa-apanya dengan ruangan Danu di kantor utama yang super megah. Wajah lelaki itu tiba-tiba berubah murung. Helaan napasnya juga berubah sesak. Danu kemudian mengeluarkan handphone-nya. Membuka folder galeri. Layar handphone itu kini menampilkan wajah seorang perempuan paruh baya yang terlihat sangat cantik. Sosoknya tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit. Itu adalah potret sang mama untuk yang terakhir kalinya sebelum penyakit kanker hati merenggut senyum cerita dari wajah itu. Danu memerhatikannya lekat-lekat. Raut wajahnya kini sukar untuk dibaca. Dia menyentuh layar itu perlahan, lalu kemudian berbisik lirih. “Aku akan berjuang, Ma … aku akan berusaha sekuat tenaga.” . . . Hari pertama bekerja dipenuhi oleh berbagai arahan dan juga pembelajaran dari para divisi senior. Bersama para karyawan baru lainnya, Eilish ditempatkan di sebuah ruangan luas yang lantainya dilapisi oleh kayu. Mereka hanya duduk bersila di tempat itu. Ruangan meeting itu memang dibuat santai dan tidak formal. Semua orang bisa mencari posisi paling nyaman. Eilish cukup kesulitan untuk duduk karena ia menggunakan rok. Sebagian besar karyawan wanita ternyata menggunakan celana. Jadi mereka bisa duduk dengan mudah bersila di lantai. “Eilish … sepertinya kamu kesulitan untuk duduk, ya?” tanya Agung yang tadinya sedang memberikan arahan. Eilish tersenyum malu. Agung menjentikkan jarinya pada salah seorang staf. Tak lama kemudian staf itu mengambil sebuah kursi untuk Eilish. “S-saya tidak apa-apa.” tolak Eilish dengan pipi yang terasa panas. “Tidak apa-apa. Itu untuk kenyamanan kamu,” ujar Agung. “Maafkan saya, Mas,” ucap Eilish. Agung hanya tersenyum. “Lain kali kamu boleh berpakaian kasual ke kantor ini. Bukan hanya untuk kamu … tapi untuk semua orang. Kalian semua boleh berpenampilan santai, tapi kalau untuk pekerjaan … itu berbeda ceritanya. Apa kalian semua mengerti!?” “MENGERTIIIII …!!!” semua menjawab kompak dan serempak. Eilish akhirnya duduk di atas kursi sendirian di barisan paling belakang. Sementara teman-temannya tetap duduk bersila di lantai. Kegiatan pengarahan dan pengenalan profil perusahaan itu pun dilanjutkan. Sejauh ini Eilish merasa bersemangat mengikuti serangkaian kegiatannya sebagai karyawan baru. Semua orang masih fokus mendengarkan berbagai penjelasan yang diutarakan, tapi saat sedang serius berbicara, tiba-tiba Agung menghentikan kalimatnya. Semua orang pun menoleh ke belakang karena pandangan mata Agung kini tertuju ke sana. Ternyata di belakang sana ada sosok Danu yang kini melangkah masuk dengan gagahnya. “Perkenalkan … ini adalah CEO perusahaan kita, Danu Wijaya Hadiningrat,” ucap Agung kemudian. Semua orang bertepuk tangan, tapi Danu cepat-cepat mengangkat telapak tangannya mengisyaratkan agar semua orang berhenti. Glek. Hawa ruangan itu mendadak dingin dan membuat sebagian orang merinding. Setelah ditelusuri, ternyata penyebabnya adalah tatapan dingin Danu yang kini menyapu semua wajah-wajah baru yang duduk berbaris di sana. “Jadi mereka semua adalah karyawan baru?” tanya Danu. Agung mengangguk. “Benar sekali!” Danu mengangguk pelan. Tatapan matanya masih saja menintidasi. Dia seperti sedang melakukan penilaian pada setiap orang melalui tatapan matanya. Nyaris semua orang yang ia tatap langsung menundukkan wajah saat mata mereka beradu, tapi hal itu nampaknya tidak berlaku untuk Eilish. Deg. Danu sedikit tersentak karena Eilish malah balas menatap sengit. Dan lagi, sosok perempuan yang duduk di atas kursi itu terlihat sedikit pongah di mata Danu. “Kenapa kamu duduk di kursi sendirian sementara rekan-rekan kamu duduk di lantai?” suara Danu menggelegar keras. Eilish tersenyum malu. “M-maaf … itu semua karena hari ini saya memakai rok yang terlalu pendek.” “Lalu apa masalahnya?” tanya Danu lagi. Tatapannya begitu sengit seolah sedang mengajak Eilish untuk masuk ke arena pertempuran. Eilish mengerutkan dahi. Apa ini? Apa sosok CEO sombong itu tengah memancing keributan dengannya? Sosok Agung yang berdiri di samping Danu langsung garuk-garuk kepala. Dia baru hendak bersuara, tapi Eilish tiba-tiba bangun dari duduknya. “Maafkan saya.” Eilish menundukkan kepala sebentar, lalu kembali berkata. “Saya akan duduk di bawah seperti teman-teman yang lain.” Eilish menggeser kursi itu, lalu kemudian duduk bersila dengan wajah tanpa dosa. Rok pendeknya jelas terangkat. Paha mulusnya langsung terekspos. Semua orang pun berdesis kaget melihat tingkahnya itu. Para karyawan perempuan meringis pelan. Sedangkan para karyawan laki-laki mulai menginti-intip ke bagian rok yang kini mengembang itu. “A-apa apaan perempuan itu?” bisik Danu pelan. Eilish menatap acuh tak acuh. Saat Danu menatap tajam padanya, Eilish malah membuang muka. Sementara itu Agung dengan cepat menghampiri Eilish dan membuka jasnya. Agung langsung menutupi bagian kaki Eilish dengan jasnya itu. “K-kamu bisa memakai ini untuk sementara waktu,” ucap Agung terbata. Eilish tersenyum, namun sedetik kemudian dia mengambil dan melempar jas itu ke lantai. Deg. Agung menatap nanar. Semua orang yang ada di ruangan itu kembali terkejut. “APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN, HA …!?” bentak Danu. “Saya hanya tidak ingin anda terganggu. Karena sepertinya anda terlihat sangat risih karena saya duduk di atas kursi, sementara rekan-rekan saya duduk di lantai,” jawab Eilish dengan suara tenang. “A-apa …?” pupil mata Danu bergetar. Agung sudah berubah pucat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Eilish bisa berubat bar-bar seperti itu. “Tapi sekarang ini kamu sudah membuat semua orang yang ada di ruangan ini risih!” ujar Danu lagi. Eilish tersenyum. “BINGGO …! anda benar sekali!” Semua orang kembali menghela napas kaget. Sementara Danu sudah sangat kesulitan mengkondisikan mimik wajahnya. “Sekarang pertanyaannya adalah … apakah anda hanya mementingkan kerisihan yang anda rasakan seorang diri atau anda merasa puas setelah membuat orang banyak menjadi risih?” Danu terhenyak, lalu kemudian tersenyum. “Sepertinya kamu mempunya jiwa yang kompetitif. Okey … saya mengerti dengan maksud kamu barusan. Intinya adalah kamu menganggap saya egois dan tidak melihat keadaannya bukan?” Eilish tersenyum. “Wah … saya bahkan tidak berpikir sejauh itu, tetapi ternyata anda sangat pintar sekali.” Danu menggeram pelan. Dia bersiap melontarkan kata-kata mutiara indah dari bibirnya, tapi suara dering handphone-nya membuat Danu tidak jadi berbicara. Danu menatap layar handphone itu sesaat, berjalan pergi, lalu kemudian kembali menatap Eilish. “Saya tunggu bagaimana kinerja kamu …!” kalimat itu terdengar seperti ancaman, tapi Eilish hanya tersenyum tidak peduli. . . . “Pokoknya dia itu sombong sekali. Dia menatap semua orang dengan tatapan merendahkan. Dari perawakannya saja sudah terlihat bahwa dia hanyalah kaum yang mengandalkan harta orang tua,” omel Eilish lagi. Evan tersenyum pelan. “Ini baru hari pertama kamu bekerja dan kamu malah mencari gara-gara dengan CEO-nya?” Eilish meletakkan sendok baksonya, lalu mengembuskan napas panjang. “Ya habis dia yang mulai duluan. Harusnya dia bisa melihat situasinya seperti apa dulu … bukan langsung komentar dengan wajah masamnya. Apalagi dia seorang CEO! Harusnya dia bisa berpikir bijak. Sebel tau nggak sih … padahal hari tadi itu terasa berjalan dengan sangat baik sebelum kemunculan dia.” “Sabar … udahlah! Jangan dipikirkan lagi. Mungkin memang wataknya seperti itu. Kamu harus bisa menahan diri. Jangan bar-bar lagi kedepannya, nanti kamu banyak musuhnya lho di sana.” Evan sedikit menakut-nakuti. Eilish langsung menggeleng. “Kamu salah besar! Justru karena kejadian tadi itu … temen-teman yang lain itu pada salut sama aku. Karena mereka semua juga ngerasa kalo CEO dakjal itu emang dipenuhi oleh aura negatif yang menyebalkan.” Kali ini Evan hanya bisa menghela napas. Saat ini mereka berdua tengah berada di sebuah kedai bakso yang cukup terkenal di kawasan Menteng, Jakarta Selatan. Hari ini Evan menyempatkan diri untuk menjemput Eilish ke tempat kerjanya. Eilish tentu saja merasa sangat senang. Akhirnya dia bisa menghabiskan waktu dengan sang kekasih tercinta. Eilish terus meracau menumpahkan kekesalannya, sementara Evan tetap menyimak dengan setia. “Setelah makan kamu jadi bawa aku keliling-keliling pake motor, kan?” tanya Eilish kemudian. Evan tidak menjawab. Tatapan canggung itu jelas menjawab semuanya. “Jangan bilang kalau hari ini kamu ada kesibukan lagi?” Eilish langsung berubah murung. Evan tersenyum pelan. “Maafin aku, ya … tapi kamu itu harus mengerti. Pekerjaan aku ini purnawaktu. Aku harus selalu siap kapan saja.” Eilish meletakkan sendoknya. Padahal ia sangat menyukai bakso sapi itu, tapi mendadak selera makannya patah. “Maafin aku, ya … aku sudah pesankan grab yang akan datang menjemput kamu,” ucap Evan lagi. Eilish menatap nanar. “J-jadi kamu bakalan ninggalin aku di sini begitu saja?” Hening. Evan tidak menjawab dan hanya bangun dari duduknya. Lelaki itu mengelus kepala Eilish pelan, lalu beranjak ke kasir untuk membayar. Setelah membayar, Evan melambaikan tangannya dengan wajah tanpa dosa. Sedangkan Eilish masih termangu dengan rasa kecewa bercampur amarah. “Sebenarnya apa yang kamu kerjakan hingga selalu sibuk seperti itu?” desisnya pelan. Sosok Evan pun sudah menghilang di ujung sana. Tak lama berselang handphone Eilish pun berdering dan ternyata itu adalah panggilan dari sopir grab yang sudah dipesankan oleh pacarnya. . . . Malam ini adalah hari terakhir Eilish menumpang di kost Aqina. Awalnya Eilish memang berencana tinggal berdua dengan Aqina saja. Tapi jarak antara kost-an Aqina dengan lokasi kantornya teramat jauh. Apalagi jalanan Jakarta yang macet selalu membuat jarak tempuh menjadi lebih lama. Karena itu akhirnya Eilish memutuskan untuk mencari tempat tinggal. Eilish mendapatkan sebuah hunian melalui sosial media. Dia langsung merasa cocok dengan tempat itu. “Huuuu nanti aku akan kesepian lagi dong,” rengek Aqina. Eilish yang sedang merapikan pakaiannya tersenyum pelan. “Nanti aku janji akan sering-sering main ke sini.” “Kamu janji, ya! Nanti aku juga akan sering-sering main ke kontrakan kamu,” balas Aqina. Eilish mengangguk. Aqina pun kemudian membantu sahabatnya itu untuk berkemas. Dua buah koper milik Eilish kini kembali terisi penuh. Dia begitu bersemangat memulai hari-hari barunya sebagai perantau di Ibukota. Apalagi besok Eilish juga sudah mulai bergabung dengan tim-nya. Eilish mendapatkan kesempatan untuk bergabung di tim kreatif. Awalnya dia ingin bergabung dengan divivi pemasaran, tapi tiba-tiba saja ia berubah pikiran. Eilish ingin mencoba sesuatu yang baru. Dan dia juga merasa bahwa divisi itu adalah yang paling menarik untuk dicoba. “So … jadi gimana ceritanya? Kenapa kamu malah tiba-tiba beribah pikiran lagi?” tanya Aqina. Eilish tersenyum. “Aku juga nggak tau sih awalnya gimana … tapi yang jelas … tempat itu kayak do a magic! Jadi ada sebuah keajaiban yang mengubah semuanya.” Aqina tergelak. “Ada-ada aja, sih … jadi everything oke?” Eilish mengangguk pelan. “Ya … semuanya sangat baik kecuali satu hal.” “Apa?” Eilish langsung tersenyum kecut mengingat wajah CEO super sombong itu. “Bosnya!” “Ada apa dengan Bosnya?” Aqina malah menjadi semakin penasaran. “Dia itu adalah mahluk paling menyebalkan yang pernah aku temui. Bahkan sejak pertama kali melihatnya saja, aku sudah langsung tahu bahwa dia adalah sosok mengerikan yang harus dijauhi.” “Husss … jangan ngomong gitu! Nanti kalo kamu jatuh cinta sama dia baru tau rasa,” sergah Aqina. Eilish malah tertawa terbahak-bahak, lalu menunjuk dirinya sendiri. “Aku …? jatuh cinta sama lelaki seperti dia?” “BIG NO!” Eilish menggeleng pelan sambil mencebik. “Tidak mungkin dan TIDAK AKAN PERNAH ….” sambungnya kemudian. . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN