Housemates With The Boss - 20

1131 Kata
“Pak … Pak Danu …! apa anda masih ada di sini?” teriak Eilish di tengah kegelapan. Hening. Tidak ada yang menyahut. Eilish meneguk ludah dan terus berjalan menelusuri lorong gelap itu. “Apa mungkin Pak Danu ada di dapur bawah?” bisiknya pelan. Eilish perlahan menuruni anak tangga kembali. Setiap kali melangkah dia selalu menengok ke belakang berulang-ulang dengan tatapan waspada. Dia mempercepat langkahnya menuju bagian dapur karena mengira Danu mungkin saja berada di sana, tapi … Sunyi. Tidak ada siapa-siapa pun lagi. Aliran darah terasa dengan cepat naik ke wajah. Eilish menatap panik dan bergegas kembali ke ruangannya dengan berlari. Dia sudah seperti orang gabut yang tak henti turun ke lantai dasar, lalu naik kembali ke lantai dua. Eilish mengambil handphone-nya di atas meja dan langsung mencoba menghubungi seseorang. Sosok pertama yang terlintas di otaknya tentu adalah sang kekasih Evan. Sambungan panggilan itu terhubung, tapi Evan tak kunjung menjawabnya. Perempuan itu melangkah mondar-mandir gelisah dan terus menunggu. Panggilan pertama diabaikan, Eilish tidak jemu mencoba. Sampai akhirnya Evan menjawab panggilan itu. “H-halo … Van! Untung kamu angkat telponnya. A-aku bener-bener butuh bant--” Tut… tut …. Deg. Kalimat Eilish terhenti saat Evan tiba-tiba saja memutus panggilan itu. Tak berselang lama sebuah pesan dari Evan masuk dan membuatnya semakin terpana. ‘Maaf aku sedang sibuk’ Helaan napas Eilish berubah sesak membaca satu kalimat itu. Dia bahkan belum sempat memberitahukan situasinya saat ini. Jemari Eilish dengan cepat mengetik sebuah pesan untuk membalas pesan dari Evan, tapi kemudian dia semakin terperangah saat pesan itu ceklis satu yang berarti w******p Evan tidak lagi aktif. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisik Eilish lirih. Dia terduduk lemas. Eilish menggulir daftar kontak yang ada di handphone-nya. Jemarinya terhenti pada nama Aqina. Dia lah satu-satunya harapan Eilish yang tersisa saat ini. Tapi Aqina mungkin sudah tertidur lelap. Dan Aqina adalah tipikal orang yang akan tetap nyenyak walau gempa melanda sekalipun. Dia bahkan biasanya tidak terbangun walau suara alamr handphone-nya sudah memekik keras. Dan dugaan Eilish pun benar. Aqina tidak menjawab panggilannya. Eilish membenturkan keningnya ke atas meja. Dia ketakutan sekarang. Takut jika tiba-tiba saja muncul mahluk dari dunia lain yang kemudian mengganggunya. Eilish juga cemas jika ada orang jahat yang tiba-tiba muncul, entah itu pencuri atau perampok (sama saja, sih). Namun ada satu hal yang membuatnya lebih takut lagi … Cacing-cacing di perutnya kini mulai meronta-ronta. “Kenapa …? kenapa aku sial sekali akhir-akhir ini? Apa ini azab karena aku sudah durhaka kepada Mama dan Papa?” bisiknya kemudian. . . . Matahari pagi sudah datang menjelang. Suara kokok ayam jantan tetangga terdengar nyaring. Langit di luar sana mulai sedikit terang. Sebagian orang sudah mulai bangun dan memulai aktivitas mereka masing-masing. Alarm dari handphone yang terletak di atas meja nakas berbunyi keras. Ringtone alarm yang yang merupakan suara Mimi Peri meneriakan kata sahur itu terdengar berulang-ulang. ‘Sahuuuuur ….’ ‘Sahuuuuur ….’ Pasti kalian semua bertanya-tanya kenapa Danu memakai suara itu untuk nada alamrnya. Jawabannya adalah, Danu sangat sensitif dengan suara sosok selebgram yang konon tinggal di dunia peri itu. Ya, siapa yang tidak kenal dengan Mimi Peri, sosok yang mengaku sebagai peri dengan payu-dara mungilnya yang fenomenal. Semua berawal saat bulan Ramadhan lalu, rekaman sosok Mimi Peri yang membangunkan manusia untuk sahur itu menjadi sesuatu yang viral. Dan Danu sangat geli dengan suara itu. Tapi … Suara itu ternyata ampuh untuk membangunkannya. Se-lelap apapun ia tertidur, bola mata Danu akan langsung membelalak saat mendengar suara fenomenal itu. Suara Mimi Peri masih terus berkumandang. Tapi kamar itu ternyata sudah kosong. Selimut dan bantal bahkan sudah tersusun dengan rapi. Jendela kamar itu juga sudah terbuka hingga sirkulasi udara pun menjadi lebih baik. Ternyata Danu sudah bangun bahkan sebelum alarm di handphone-nya berbunyi. Danu tengah berada di halaman depan rumah sambil meregangkan tubuhnya. Lelaki berbadan atletis itu baru saja selesai lari pagi. Ia mengenakan pakaian tanpa lengan yang ketat, dengan celana pendek di atas lutut berwarna hitam. Cucuran peluh masih mengalir pelan di leher dan wajahnya. Danu benar-benar merasa puas. Sudah lama sekali ia tidak bisa berolahraga dan akhirnya hari ini Danu bisa melakukannya. Danu tersenyum senang dan memicingkan mata sejenak. Dia menghirup udara pagi yang segar itu dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan. Malam tadi dia benar-benar bisa tidur dengan nyenyak berkat sang penghuni kamar sebelah yang tidak pulang ke rumah. “Aaah … andai kedamaian ini bisa aku rasakan setiap hari,” bisik Danu pelan. “Suit … suittt … habis olahraga pagi, ya … Mas Ganteng!” Deg. Sapaan itu langsung membuat Danu membuka mata dan berbalik. Terlihat sosok tante Stasya yang kini tersenyum centil padanya. Danu meringis pelan. Dia padahal selalu berusaha keras untuk menghindari sang pemilik rumah kontrakannya itu. Sialnya lagi, Tante Stasya tidak sendirian. Dia bersama genk-nya, tiga orang wanita berdaster yang kini juga menatap Danu seakan-akan mereka hendak melahapnya. Ke empat tante-tante berdaster itu bertingkah seperti gadis perawan yang menatap Danu dengan malu-malu. Sangat menggelikan dan membuat Danu ingin segera menghilang dari sana. “Seger pisan euy … pagi-pagi begini melihat berondong yang super cakep,” ucap seorang tante-tante dengan gulungan rol rambut yang memenuhi kepalanya. Danu hanya menyeringai. “Kalo begini aku mau setiap pagi main di sini,”ucap sosok emak-emak yang berbisik ke telinga tante Stasya, tapi Danu masih bisa mendengar dengan jelas ucapannya. “Hus …! kalian ini. Jangan ganggu penghuni kontrakanku! Awas saja kelen kalo ganggu Mas Kasep.” Tante Stasya menunjuk tiga anggota genk-nya itu satu persatu. Danu sudah tidak tahan lagi melihat drama emak-emak itu. Dia tidak ingin merusak paginya yang sudah sangat sempurna. “M-maaf … saya masuk dulu,” ucap Danu kemudian. “Eh … tunggu sebentar!” hardik tante Stasya. Danu yang sudah berbalik memejamkan matanya sambil meringis, lalu kembali berbalik dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Apa Tante?” tanya Danu dengan gigi yang terkatup rapat menahan emosi. “Kamu sudah ketemu dengan teman housemate kamu? Gimana? Kalian cocok, kan?” tanya tante Stasya. “Belum Tante … saya belum bertemu dengan dia.” Tante Stasya melotot. “Lho … bagaimana bisa?” “BISA LAAAH …!!!” bentak Danu keras. Deg. Tante Stasya dan ketiga temannya langsung kompak memegangi da-da mereka. Ke empat wanita itu nyaris terkena serangan jantung dan Danu pun kini baru tersadar. Glek. “Hahahaha sepertinya saya terlalu bersemangat,” ucap Danu kemudian. Ke empat wanita berdaster itu saling pandang, lalu juga tertawa canggung. “HAHAHAHAHA.” “HAHAHAHAHAHA.” “Kalau begitu saya masuk dulu.” Danu pamit dan bergegas masuk ke dalam rumah. Dia juga langsung mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya di belakang pintu itu sambil mengembuskan napas lega. Tatapan Danu pun beralih pada pintu kamar tetangganya. “Sebenarnya seperti apa orang yang menjadi teman serumahku?” . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN