Chapter 5

1159 Kata
Kali ini Bastian benar-benar tersedak hampir mati. Pertanyaan itu adalah rahasia yang ingin ia sembunyikan dari gadis ini. Risya melihat Bastian yang hampir mati tercekik. Ia memutar kursi roda ke dispenser air dan mengambil segelas air. Bastian minum dengan cepat. Tersedak anggur rasanya seperti tersedak kari pedas. "Minum pelan-pelan." Ujar Risya sembari menepuk lembut punggung kekar Bastian. Sentuhan lembut dipunggungnya itu seperti sengatan lebah. Bastian reflek mundur dan ingin melarikan diri. "Bastil, mengapa wajahmu memerah? Apakah kamu merasa tidak nyaman?" Tanya Risya kebingungan. Bastian mengutuk dalam hati. Ya benar sekali. Ia merasa tidak nyamam disuatu tempat yang tidak bisa di jelaskan. "Aku baik-baik saja." Ketika ia hendak keluar, Risya menahannya. "Para wartawan itu terlalu cerewet. Tetaplah disini sampai pesta selesai." Ujar Risya. Bastian tidak membantah, ia duduk di sudut terjauh sambil berulangkali mengutuk dirinya sendiri. Mengapa ia harus bertindak sejauh ini dengan mendekati gadis itu? Pada akhirnya, Risya lupa membahas topik itu. *** Setelah hari itu, Risya kembali ke villa utara, tempat dimana properti mewah yang dimiliki ibunya Lilian. Namun sejak hari itu, sikap Laura mulai berubah. Ia menyita semua kartu kredit atas nama ibu mereka dari tangan Risya berikut mobil bmw edisi terbatas peninggalan ibunya. "Pindah ke kamar tamu di lantai bawah. Lantai tiga ini khusus untuk pemilik sah." Perintahnya dengan nada sinis. "Laura, apa maksudmu?" Risya kaget. "Maksudku sudah jelas. Kamu hanya anak angkat. Lantai tiga ini memiliki banyak properti berharga peninggalan keluarga steel." Jawabnya muram. "Itu terdengar seperti aku ingin mencurinya?" Balas Risya bingung. "Bagus. Kamu akhirnya faham." Jawabnya ketus. “Mengapa kamu bersikap begini?” Tanya Risya muram, “Apa masalahnya? Keluarga Steel memintaku menjaga jarak dari orang asing yang datang dengan maksud tertentu sepertimu.” Jawab Laura tanpa ekspresi. “Tapi ibu memperlakukanku dengan baik seperti putri kandungnya sendiri.” “Ibu sudah meninggal, jangan bahas dia lagi.” “Laura! Kamu keterlaluan.” Bentak Risya kaget. “Kamulah yang keterlaluan dan punya motif. Jika aku jadi kamu, setelah mengetahui bahwa aku tidak punya hubungan darah dengan keluar Steel, aku akan memutuskan untuk pergi jauh dan mulai kehidupan baru. Tapi kamu tetap disini, apa yang kamu inginkan?” Kata-katanya terlalu menyakitkan. Laura berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Apa yang terjadi pada gadis ini? Risya tidak lagi berdebat sementara para pelayan memindahkan barang-barangnya ke lantai bawah. Laura sejak kecil memang selalu bertingkah manja dan Ayahnya, Hans sangat menyayangi gadis itu. Sangat berbeda dengan sikap dingin Hans terhadapnya. Laura juga selalu merebut dan menguasai semua barang yang diberikan ibu padanya. Namun Risya terbiasa mengalah karena ia sangat menyayangi adiknya ini. Hari ini ia masih harus melakukan pemeriksaan kaki kiri di dokter ortopedi. Jadi ia keluar setelah memesan taksi online. "Kakimu sebenarnya sudah bisa di latih untuk kembali berjalan. Tapi jangan terlalu memaksakan." Ujar Dokter grey. "Sudah hampir empat bulan, dokter. Kurasa ini sudah banyak kemajuan." Jawab Risya senang. "Senin besok, apakah aku sudah bisa kembali ke kantor?" Tanya Risya penuh semangat. Ia sudah lama tidak bertemu teman-temannya di bagian keuangan Emerald Steel group. Dokter Grey mengangguk. "Ingat. Jangan terlalu memaksakan diri. Tetap lanjutkan konsumsi apel hijau dan bengkoang." Tegasnya. Risya mengangguk faham. Pelan ia bangkit dan meraih tongkat yang diberikan Dokter Grey dan mencoba berjalan. Masih ada tiga hari sebelum senin, dia masih punya waktu untuk latihan. Karena sakit dikakinya telah banyak berkurang, ia memutuskan jalan kaki di sepanjang Jalan orchard park yang ramai. Sekaligus menikmati udara segar ibukota. Jalan Orchard terletak di sepanjang Sungai Mapi. Disepanjang tepi sungai terdapat banyak toko dan butik kelas atas jadi sudah pasti area itu lebih ramai dari tempat lain. Lagi pula banyak truk penjual makanan yang berjualan di sepanjang pagar tepi sungai Mapi. Sehingga banyak sekali orang yang menghabiskan sore bahkan malam hari disana sambil menikmati pemandangan dan makanan yang lezat. Ketika Risya melewati Jalan Mapi, matanya jatuh pada sebuah toko berlabel 'Moment'. Seketika rasa penasaran menyeruak, ia tertatih-tatih masuk ke toko itu. "Nona, apa anda ingin membeli perhiasan?" Seorang resepsionis muncul dengan wajah cerah. Risya terdiam sejenak sambil berfikir. "Begini, kami memesan sebuah cincin batu ruby dua minggu lalu. Saya ingin bertanya tentang cincin itu." Pelayan itu terdiam. "Pesanan atas nama siapa, Nona?" Tanyanya kemudian. "Oscar." Jawab Risya cepat. Ia mengeluarkan tanda pengenal. "Anda siapanya?" Pelayan itu bertanya dengan bingung. "Ehem, saya asistennya." Setelah menanyakan beberapa pertanyaan seperti nomor kode pesanan, tanggal pesanan dan lain-lain, ia memeriksa data online konsumen lalu menggeleng. "Maaf, Nona. Tidak ada pesanan atas nama Oscar pada tanggal itu." Jawab si pelayan. Risya mendesah kecewa. Bagaimana bisa? Bukankah oscar bilang dia memesannya di Toko perhiasan ini? "Hanya ada dua pesanan hari itu, Nona. Dan tidak ada pesanan atas nama oscar." Lanjutnya lagi. "Bisakah aku tahu dua pesanan itu atas nama siapa?" Tanya Risya lagi. Kali ini si pelayan menjadi curiga. "Nona, ini data pribadi konsumen vvip kami. Saya tidak bisa memberitahumu." Jawabnya dengan nada sedikit tidak senang. "Maksudku, bos bilang bahwa cincin itu tertukar jadi aku sedikit bingung." Risya berdalih. Saat itu ia memasukkan kedua jari ke dalam tas dan diam-diam membuka cincin pemberian Bastian. Risya berpura-pura mengambil cincin itu dari dalam tas dan menyodorkan ke pelayan toko. Pelayan itu mengamati sejenak dan diluar dugaan ia bergumam pelan. "Ini adalah salah satu cincin yang di pesan pada hari itu, Nona. Nomor pesanan wed120323. Sementara pesanan lainnya atas nama Salisa." Jawab pelayan itu sambil mengecek di komputer. "Salisa?" Tanya Risya ragu. Pelayan itu mengangguk. "Pesanan itu datang pagi namun menjelang pukul empat sore seseorang datang mengubah ukuran." Yes, itu dia! "Apakah anda melihat siapa yang datang mengubah ukuran?" Tanya Risya semakin penasaran. "Itu seorang pria menggunakan kacamata hitam." Pria berkacamata hitam? Ada seratus ribu orang diibukota yang menggunakan kacamata hitam. Siapa dia? "Namun anehnya sekitar dua jam kemudian seorang pria lainnya muncul meminta ukuran cincin ini." Ketika pelayan mengatakan itu, mata Risya segera melebar. "Pria itu seperti apa rupanya?" Tanya Risya penasaran. Kening pelayan itu berkerut sedikit. Ia tampak berusaha mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggeleng. "Mohon maaf ada banyak pelanggan, jadi ingatan saya terbatas." Risya kemudian mengangguk. Jadi setelah oscar membatalkan pesanan itu, seseorang datang meminta ukuran jarinya. "Bisakah anda mengecek pesanan itu atas nama siapa?" Pelayan itu mengangguk lalu mengecek lagi, ia kemudian menjawab. "Risti. Pesanan tersebut atas nama Risti." Jawabnya cepat. Kening Risya semakin berkerut. Risti? Bukankah itu nama perempuan? Mengapa Risti ini meminta ukuran jarinya? Apakah dia orang suruhan seseorang? Ada ratusan macam pertanyaan muncul di benaknya. Semuanya semakin tidak masuk akal dan berbelit-belit. Tiba-tiba sang palayan berseru kaget. "Nona, seingatku orang itu memesan cincin ini dan meminta kami menulis inisial namanya di bagian dalam cincin." Mendengar itu Risya kegirangan. Ia meraih cincin itu dari tangan pelayan dan segera memeriksa bagian dalam. Saat menatap inisial nama itu, Risya segera menghirup napas dingin. Itu adalah B. Bastian? Apakah Bastil sengaja datang ke toko ini untuk meminta ukuran tangannya? Mengapa? Apakah dia tau sejak awal bahwa Oscar akan membatalkan pertunanganan? Pelayan itu memperlihatkan desain kedua pesanan cincin hari itu. Pesanan atas nama Salisa persis sama seperti cincin Laura dan ada inisial O! Oscar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN