Laura, adiknya muncul dalam balutan gaun hitam dengan belahan d**a rendah. Ia tampil sangat cantik hingga semua tamu hampir menyangka bahwa dialah bintang pesta kali ini. Sangat serasi dengan tuxedo yang dipakai Oscar saat ini.
Semua orang menoleh kaget, tak terkecuali Rudy.
"Laura, bagaimana bisa..." Tanya lelaki paruh baya itu. Laura berjalan mendekat ke arah Risya yang belum pulih dari rasa kaget. Sementara di sisi lain, sebuah senyum penuh godaan melengkung tanpa orang-orang sadari.
"Laura adalah putri kandung keluarga Steel. Itu sangat cocok." Potong Oscar dengan bibir tersenyum. Matanya menyapu Laura dengan tatapan gelap.
Risya mengamati itu dari samping. Keningnya berkerut.
Sejak kapan Oscar mulai mengarahkan pandangan pada adiknya itu?
Ia segera menjadi tidak nyaman.
"Laura, maafkan aku. Jika kamu keberatan, tidak perlu memaksakan diri." Risya merasa terbebani dengan tawaran adiknya. Sementara Laura menggeleng cepat.
"Kakak, aku tidak keberatan." Ia tersenyum lembut seolah dia adalah sekelompok malaikat yang menyelematkan bumi.
"Itu ide bagus. Mengapa kamu melarangnya?" Tatapan tajam dari Sofia menyapu wajah Risya. Semua orang menghembus napas dingin ketika wanita itu bicara. Risya menggeleng dengan lemah.
"Tidak, aku hanya tidak ingin..."
"Kamu hanya tidak ingin orang lain mendapatkan kebahagiaan." Potongnya cepat. Suasana menjadi lebih canggung. Namun Rudy segera menengahi.
"Sudah cukup. Laura, bagaimana pendapatmu?"
Laura mengangguk tenang. Wajahnya yang cantik terlihat tidak menunjukkan emosi apapun.
"Kita bisa mulai acaranya sekarang." Dia memilih menjawab dengan cara lain. Rudy akhirnya menghela napas lega.
Sofia segera mendorongnya ke sudut lain aula ini. Berusaha menghalau jika ada kemungkinan dia membuat masalah pada acara sakral ini. Risya tersenyum kecut, dia tidak sebodoh itu.
"Cukup bagus jika kamu tau diri." Ujar Sofia dengan wajah dingin.
"Bukan keinginanku diadopsi oleh keluarga ini." Jawab Risya pelan.
"Bersikaplah baik. Anggap saja ini sebagai balas budi untuk keluarga Steel." Timpalnya ketus.
"Tunggu disini! Jangan membuat keributan!" Lanjutnya lagi. Risya memilih mengabaikan sikap dingin itu. Dia sudah mulai terbiasa.
Mikha sepupunya yang lain datang menghampiri.
“Bagaimana rasanya?” Ia bertanya sambil tersenyum.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.” Jawab Risya memaksakan diri tersenyum.
“Kamu bahkan tidak sadar telah di khianati oleh adikmu sendiri.” Cibir Mikha sambil meminum anggur di tangannya. Tatapannya menyapu ke tengah aula.
Risya sedikit tersentak.
“Apa maksudmu? Apa kamu iri dengan keberuntungan Laura?” Mata Risya menyipit dengan kesal. Mikha adalah pihak lain yang juga sering menindasnya.
Medengar itu, Mikha bahkan tertawa semakin keras.
“Dasar bodoh! Pantas saja kamu hanya bisa jadi anak angkat. Pernahkah kamu berfikir siapa orangtua kandungmu? Bagaimana dia bisa melahirkan anak yang begitu bodoh sepertimu?” cibiran Mikha semakin kasar.
Wajah Risya segera berubah merah padam. Dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
"Kamu punya dendam apa padaku?Sampai harus bicara sekasar itu?" Tanya Risya dengan marah.
"Putri angkat yang asal-usulnya tidak jelas, sama sekali tidak memenuhi syarat memarahiku." Jawab Mikha dengan mata melotot.
Risya terlalu malas meladeni para wanita seperti ini, Dia berbalik menghadap Sofia dan bertanya,
"Bibi, apa kamu tau darimana ibu mengadopsiku?" Tanya Risya dengan rasa penasaran. Sofia dulunya sangat dekat dengan ibunya.
Dua minggu ini, sikap para anggota keluarga Steel memang sangat dingin. Terlebih setelah tahu bahwa Risya adalah anak angkat.
"Bagaimana aku tau? Memangnya aku ini pelayan ibumu?" Jawabnya sinis.
Risya memilih diam dan tak lagi bertanya. Matanya menyapu ke tempat dimana Laura dan oscar akan bertukar cincin. Tak ada satu orangpun yang peduli dengan perasaannya sekarang.
Ia baru sadar satu hal setelah melihat Oscar mengeluarkan cincin. Tangan Laura lebih kurus dari tangannya. Jauh lebih kurus sehingga cincin itu pasti akan longgar di jari Laura yang ramping.
Tapi siapa sangka ketika Oscar memakaikan cincin itu ke jari manis Laura, itu sama sekali tidak longgar melainkan pas sesuai ukuran.
Bagaimana bisa cincin itu sangat pas di jari Laura? Apa Oscar memang sudah merencanakan ini sejak awal?
Cincin itu bagaimana bisa muat di jari Laura?
Risya masih larut dalam tanda tanya besar sementara acara berlangsung meriah. Sampanye yang selalu dimimpikan untuk dia buka bersama Oscar hampir setiap malam ternyata di nikmati oleh adiknya, Laura.
Sudut matanya sudah basah, ia menangis diam-diam disudut. Jauh dari perhatian semua orang.
Tanpa ia sadari, sepasang mata menatapnya sejak awal dari sudut lain aula. Mata itu selalu memperhatikan semua gerak geriknya dari awal hingga akhir, namun sosok itu hanya diam sambil menikmati anggur di tangannya.
Sesaat setelah oscar dan laura bertukar cincin, sosok itu mendekati Risya yang terasing dari kerumunan.
"Apa kakimu masih sakit?" Suara bas seorang pria terdengar familiar memecah lamunan Risya.
Bastian melihat sudut mata Risya yang berair. Gadis ini menangis.
Risya tertangkap basah, ia menyeka airmatanya dengan sembarangan sambil tersenyum.
"Kakak Bastil, kapan kamu datang?"
Hanya Risya yang memanggilnya seperti ini.
Sudut mulut Bastian melengkung sedikit. Jarinya tanpa sadar menyapu sebagian airmata yang tersisa dipipi gadis itu.
"Aku datang kemarin, tepat setelah dapat kabar dari ayah bahwa kamu akan bertunangan."
Risya melihat ke tengah Aula dengan sedih sambil tersenyum kecut.
"Laura yang bertunangan dengan Oscar, bukan aku." Jawabnya lirih. Bastian menepuk bahu Risya dengan lembut.
"Tuhan mungkin punya rencana lain." Bisiknya sedikit menghibur. Sesaat kemudian, dia sendiri merasa janggal. Sejak kapan dia terbiasa menghibur orang lain?