BAB 11 PERGI DARI RUMAH TABAH

1283 Kata
“Saya diundang datang ke rumah ini, Om!” sahut Clara lemah. Ayah Tabah menatap dingin Clara, ia sama sekali tidak mempercayai apa yang dikatakan gadis itu. Ia meminta Clara untuk menyebutkan siapakah orang yang telah mengundangnya untuk datang ke pesta. Clara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan ketika itulah netranya bertemu dengan netra Tabah. Ia memberikan kode kepada pria itu untuk mendekat, tetapi dengan cueknya Tabah justru memalingkan wajahnya. Dengan suara lemah, Clara mengatakan, kalau yang mengundangnya adalah Tabah. Ia sudah pasrah, kalau perkataannya tidak akan dipercayai Ayah Tabah dan dirinya harus pergi dari rumah itu. “Benarkah Putraku mengundangmu? Sejak kapan ia menjadi dekat denganmu, sehingga ia merasa perlu untuk mengundang Putri dari pria yang kubenci! Padahal Tabah mengetahui dengan jelas, kalau aku tidak mau berhubungan denganmu dan Ayahmu!” ucap Ayah Tabah dengan gigi yang digemeretakkan. Clara terdiam sebentar ia tidak berani menatap mata Ayah Tabah, yang dipenuhi amarah. “Maaf, Om! Apa yang saya katakan memang benar, tetapi kalau Om tidak percaya, tidak mengapa.” Malu, karena menjadi tontonan Clara membalikkan badan. Ia menegakkan kepala, tidak ingin harga dirinya direndahkan, walaupun air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Clara sekarang menyadari, apa yang dirasakan oleh Ayahnya dan itu semua, kerena ulah Tabah. Sayangnya, ia sudah membuat keputusan yang mungkin sudah mulai disesalinya. Ia sudah berjanji tidak akan menggugat Tabah. Langkah kaki Clara terhenti, ketika didengarnya suara Tabah memangil namanya. Ditunggunya pria itu mendekat, tetapi ia tidak membalikkan badannya. “Apakah kau menyerah? Ke mana semangatmu yang meyakinkanku, kalau kau bisa meluluhkan hati Ayahku?” Ejek Tabah. Clara langsung membalikkan badan ke arah Tabah dan menampilkan senyum yang terlihat menakutkan “Kau benar! Tidak seharusnya aku menyerah!” Clara berjalan kembali ke hadapan Ayah Tabah, yang sedang mengobrol bersama dengan salah seorang tamunya. Ayah Tabah mengernyitkan kening melihat Clara yang kembali menghampirinya. Dan ketika ia hendak memanggil petugas keamanan. Sebelum Ayahnya bisa melakukan hal itu, Tabah berjalan mendekat ke arah mereka dan berkata, “Aku yang mengundangnya, Ayah!” Ayah Tabah mengerutkan kening ia tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Tabah. Bagaimana mungkin ia mengundang Clara. Bukannya, ia pernah menyatakan tidak menyukai gadis itu. “Ayah tidak perlu bingung, aku hanya merasa kasihan saja kepada mantan sahabat Ayah, karena gagal mendapatkan menantu kaya, jadinya aku menawarkan kepada Clara untuk datang ke pesta ini.” Dusta Tabah. Clara mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. Ia merasa marah, karena hinaan yang dilontarkan Tabah secara terang-terangan. Dalam hati Clara meyakinkan dirinya untuk berhenti mendamaikan Ayahnya dengan Ayah Tabah. Tidak mau dipermalukan lebih jauh lagi, Clara berjalan keluar dari ruang pesta tersebut. Dan tidak menghiraukan panggilan dari Tabah. Ia berjalan dengan langkah yang tenang, padahal ia sebenarnya ingin berlari kencang. Sesampainya di luar Clara memejamkan mata, sambil menghirup udara malam yang terasa segar dan melegakan baginya. Bergegas ia menuju motornya yang terparkir, di mana jalan menuju parkiran penerangannya sedikit remang-remang. Clara hampir saja terjatuh, ketika kakinya tanpa sengaja tersandung batu. Namun, secara tidak terduga ada yang menahan pinggangnya, sehingga ia tidak terjatuh. “Teri…” Clara langsung tidak melanjutkan ucapannya, begitu melihat siapakah yang menolongnya. Dengan cepat Clara menepis tangan Tabah dari pinggangnya, kemudian tanpa kata ia melanjutkan langkah menuju motornya. Ketika didengarnya suara langkah kaki Tabah mengikutinya. Clara membalikkan badan dengan nada suara tegas ia berkata, “Kenapa kau mengikutiku? Aku sudah mengerti maksudmu mengundangku, ternyata bukanlah untuk membantuku!” “Akhirnya kau sadar diri juga, tanpa aku mengingatkanmu! Untuk kali ini, harus kuakui kau menjadi orang yang cerdas!” Tabah membalikkan badan meninggalkan Clara yang tampak marah. Setelah terdiam, selama beberapa saat Clara melanjutkan kembali langkahnya, Sesampainya di dekat motornya ia langsung menaikinya dan menyalakan mesin motor tersebut. Kemudian, ia melajukannya meninggalkan rumah Tabah. Sementara itu, dari atas lantai dua Ayah Tabah mengamati Clara dari balik kaca jendela. ‘Apakah ada yang dirahasiakan Tabah dariku?’ batin Ayah Tabah. **** Sepanjang perjalanan pulang Clara membiarkan kaca helmnya terbuka, agar angin yang menerpa wajahnya bisa menghapus air matanya yang turun. Sekarang ia dapat merasakan penghinaan yang dialami Ayahnya. Tidak mau Ayahnya bertanya, kenapa ia pulang begitu cepat dari pesta. Clara melajukan motornya menuju kafe. Sesampainya di kafe dengan penerangan yang temaram dan ramai pengunjung, meskipun bukan malam minggu. Clara mencari-cari kursi yang kosong dan akhirnya ia mendapatkannya juga. Duduk di sebuah kursi yang dekat dengan kaca jendela kafe. Clara bisa melihat ke arah jalanan. Seorang pemuda berpakaian pelayan kafe tersebut, datang menghampiri meja Clara dengan daftar menu di tangannya. Ia kemudian menyodorkannya kepada Clara, sambil berkata, “Silakan dipesan, Mbak!” Clara menerima daftar menu yang disodorkan itu. Dan setelah melihat-lihat menu yang ada. Ia pun menyebutkan makanan yang dipilihnya. Selagi menunggu pesanannya datang, Clara melihat ke arah jalanan yang tampak berwarna-warni, karena dihiasi lampu jalanan. Tiba-tiba saja, seorang pria menghampiri meja Clara dan duduk di sampingnya. Pria itu melihat ke arah Clara, sambil menyunggingkan senyuman yang memperlihatkan giginya yang putih bersih. “Apakah saya boleh duduk di sini?” Tanya pria itu. Clara memasang tatapan heran ke arah pria itu. “Bukannya terlambat untuk bertanya, karena kamu sudah duduk di situ?” Pria itu langsung saja tertawa. Ia meminta maaf kepada Clara. Namun, kalau Clara memang tidak suka ia duduk di dekatnya ia akan pergi dari meja Clara. Clara tersenyum tipis dan berkata, “Tidak mengapa, silakan saja duduk! Ini adalah tempat umum dan saya tidak bisa melarang siapapun untuk duduk di situ.” Pria itu mengacungkan jempol ke arah Clara, seraya mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, namaku Tomi!” Tangan Clara terulur untuk menerima jabatan tangan itu, sambil menyebutkan namanya. Walaupun, tadinya ia ingin duduk sendirian saja. Namun, ia tidak keberatan dengan kehadiran Tomi, karena bisa sedikit membuatnya melupakan apa yang dirasakannya. Tangan Tomi terulur menyentuh mata Clara dan mengusap sisa air mata yang masih ada di sana. “Gadis secantik ini tidak seharusnya menangis! Jangan biarkan, air matamu jatuh hanya untuk seorang laki-laki, karena masih banyak lelaki lainnya yang bersedia menggantikan posisinya!” Clara tidak dapat menahan tawanya. Bisa-bisanya, pria ini langsung bersikap sok akrab dan mengira, kenapa air maranya menetes. “Bagaimana, kalau kukatakan aku tidak menangis, karena putus cinta dengan seorang lelaki?” sahut Clara. “Apa! Kau bersedih, karena diputuskan oleh seorang wanita lain?” Tanya pria itu dengan mata melotot dan melihat Clara dari atas ke bawah. Tangan Clara langsung saja memukul pria itu, yang sudah sembarangan saja berbicara dengan suara nyaring lagi, sehingga memancing perhatian dari pengunjung lainnya. Yang melihat ke arah meja mereka dengan tatapan penasaran. “Aku sedih, karena kesalahan yang tidak kusengaja. Ayahku dan saabatnya menjadi bermusuhan,” ucap Clara dengan raut wajah muram. Pria itu langsung saja meminta maaf, karena sudah membuat kesalahan. Ia meminta kepada Clara untuk menceritakan apa yang menyebabkan persahabatan itu menjadi putus. Clara hanya diam saja dan memilih untuk menyantap makanannya yang sudah datang. Diabaikannya rasa ingin tahu dari Tomi. “Aku mengerti, kalau kamu tidak mau bercerita, karena itu memang hal yang bersifat pribadi dan aku menghargainya,” ucap Tomi. Untuk mengurai kecanggungan, karena pertanyaannya tadi. Tomi mengajak Clara untuk berbincang hal yang netral. Tomi yang lucu membuat Clara terus tersenyum dan ia bisa melupakan kesedihannya. Mata dan wajah Clara menjadi berseri-seri karenanya. Tidak nampak lagi gurat kesedihan di wajahnya. Clara bangkit dari duduknya dan berpamitan kepada Tomi, kalau ia pulang duluan. Tomi tidak menutupi raut wajah kecewanya, karena Clara tidak menemaninya lebih lama lagi. Ia merasa senang berteman dengan Clara. Setelah saling bertukar nomor ponsel antara Clara dan Tomi. Clara meninggalkan kafe tersebut. Pada saat ia melangkah keluar kafe didengarnya suara bernada dingin dan mengejek. “Senang sekali kau ditemani pria asing tadi! Kukira kau dan pria tadi saling bertukar nomor telepon, untuk memudahkan kencan kalian! Di hotel mana kalian janjian? Berapa tarifmu satu malam?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN