"Lian!" seru Vega saat melihat Lian berlari keliling lapangan. Saat itu Lian tengah dihukum oleh kakak seniornya karena datang terlambat.
Lian berhenti sejenak. Mengatur nafasnya yang ngos-ngosan karena baru saja berlari lima kali putaran lapangan.
"Kamu telat?" tanya Vega.
Lian mengangguk. Karena masih tidak bisa menetralkan nafasnya. Vega mengeluarkan sapu tangan dari dalam sakunya dan memberikannya pada Lian.
"Nih pake buat ngelap keringat kamu tuh!" Vega menyodorkan sapu tangannya yang masih bersih pada Lian.
Lian menepisnya dan menggeleng. "Nggak usah, Ga. Sayang sapu tangan kamu ntar kotor," jawabnya.
Lian menyeka keringat di dahi dan pelipisnya dengan tangannya. Itu membuat Vega menghela nafas kesal. Lalu tanpa permisi Vega mengelap keringat di wajah Lian dengan sapu tangan yang digenggamnya.
"Dibilangin orang tuh didengerin! Tangan kamu kotor. Ngelapnya pake sapu tangan. Biar mukanya nggak kena kuman. Ntar bisa jerawatan. Kan masa remaja kayak kita gini rentan jerawatan. Jangan mentang-mentang muka kamu mulus kamu jadi seenaknya!" omel Vega panjang lebar.
Lian terkekeh kecil mendengar omelan gadis itu. "Ternyata kamu bawel juga yah?"
Vega memanyunkan bibirnya sambil terus mengelap keringat di wajah Lian.
"Eh. Kamu kok disini? Bukannya acaranya udah dimulai?" tanya Lian heran karena Vega bisa-bisanya menghampirinya.
Hari itu hari terakhir MOS dilaksanakan. Di hari terakhir itu ada kegiatan games yang mewajibkan seluruh siswa baru untuk mengikutinya.
Vega menggeleng pelan."Tadi emang aku udah masuk. Tapi pas liat kamu lari-lari aku keluar," jawabnya seraya tersenyum tipis.
Lian berdecak mendengar jawaban jujur itu. "Kamu masuk gih! Ntar klo ketahuan di luar kamu bisa dihukum loh!"
Vega menggeleng tak mau. "Nggak ah! Nggak ada kamu di dalem. Aku nggak mau ikutan. Mending disini aja!" tolaknya.
Lian kembali menggeleng. "Ga... ntar kamu bisa dihukum! Mending aku anter kamu masuk. Hukuman aku masih lari lima putaran lagi!"
Diraihnya tangan Vega yang masih menggenggam sapu tangan dan menariknya ke arah aula. Vega dengan cepat menepis tangannya lalu menggeleng kencang.
"Nggak mau! Aku nungguin kamu aja. Biar ntar kita masuk bareng!" ucapnya keras kepala.
Lian menggeleng tak setuju. Aih.. apaan sih dua orang ini. Dari tadi geleng-geleng mulu. Ckck...
"Udahlah, Ga. Ntar aku nyusul aja," ujar Lian.
Belum sempat Lian membantah, tiba-tiba sebuah suara mengagetkan mereka. Dibelakang mereka sudah berdiri salah seorang kakak senior yang bertugas menjadi panitia MOS.
Pemuda itu menatap tajam pada Lian dan Vega. Lian langsung menghela nafas pelan. Udah keburu ketahuan kan, batinnya.
"Kalian ngapain disini?" tanyanya galak.
"Elo bukannya yang tadi dateng telat? Udah selesai sepuluh putaran?" tanyanya pada Lian.
Lian menggeleng. Menatap takut pada kakak senior yang berwajah seram itu. "Belom kak. Masih lima putaran lagi," jawabnya.
"Terus kenapa berhenti? Mau ditambah lagi hukumannya?" balas senior itu dengan nada tinggi.
"Ah enggak Kak! Ini tadi aku mau..."
"Tadi dia mau anter aku ke aula," sela Vega.
Kini pandangan tajam kakak senior itu jatuh pada Vega. Meneliti Vega dari atas hingga bawah. Sepertinya dia mengenali wajah gadis itu.
"Kenapa liat-liat?" ujar Vega jutek membuat si senior langsung melotot melihatnya.
"Elo? Berani banget lo bentak senior? Mau dihukum?"
Namun Vega bukannya takut malah balas menatapnya tajam. Lian terkejut. Refleks dia menarik mundur Vega. Menutupinya dengan tubuhnya.
"Maaf Kak. Dia nggak bermaksud gitu, kok. Ini salahku. Tadi aku yang minta dia keluar. Sekarang tolong ijinin dia buat balik ke aula, ya?" mohon Lian.
Si senior mendengus kesal. Dia menatap Vega yang masih menatapnya tajam tanpa rasa bersalah.
"Gue nggak terima alasan apapun! Semua siswa baru yang melanggar peraturan wajib dihukum!" serunya.
"Elo! Lari keliling lapangan lima kali putaran. Nggak ada bantahan. Sekarang!" perintahnya.
"Ok. Gue lari sekarang!" jawab Vega berani.
Lian terbelalak. Kenapa Vega bisa seberani itu? Lian mengucek matanya. Memastikan dia benar-benar Vega yang dia kenal.
Bukankah Vega lebih penakut darinya? Bahkan tanpa Lian saja dia tidak mau masuk kelas atau ke kantin. Sekarang Vegq malah dengan tanpa takut menantang senior.
"Ok. Buruan lari! Heh elo!" Senior tadi menunjuk d**a Lian.
"I-iya Kak?" ucap Lian takut-takut.
"Lo lanjutin hukuman lo! Awas klo enggak!" ucapnya tajam lalu meninggalkan mereka dengan hati yang dongkol.
"Ayo Li, kita lari!" ajak Vega yang langsung menarik tangan Lian dan mengajaknya berlari.
"Ga!" panggil Lian di saat mereka berlari.
"Kenapa?"
"Kok kamu berani sih ngelawan kakak senior?"
Vega tertawa. "Kenapa harus takut?"
"Kan kamu jadi dihukum."
Vega tersenyum sambil berlari. "Aku nggak keberatan kok. Cuma lima putaran ini, kan. Asalkan kamu temenin," ucapnya.
Lian menggeleng tak mengerti. "Ya tapi kan lari itu capek!"
"Udah deh. Gak usah khawatirin aku! Asalkan sama kamu aku seneng-seneng aja!" ucap Vega lalu tertawa renyah.
Lian pun ikut tertawa dan berlari disamping Vega. Mereka berlari bersama sambil sesekali bercanda.
Hingga sampai pada putaran terakhir, Lian langsung berselonjor kelelahan di atas rumput lapangan futsal yang mereka putari tadi.
Vega pun mengikutinya. Terduduk lelah dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
Vega tertawa terkikik melihat Lian yang kelelahan dengan keringat mengaliri pelipisnya. Lian pun tanpa sadar berbaring di atas rumput karena saking lelahnya.
Vega kemudian mengikuti Lian. Berbaring di sampingnya. Dan mendongak menatap langit. Matahari tidak begitu menyengat karena hari masih pagi. Matahari juga tertutup awan. Sehingga rasanya begitu sejuk. Apalagi angin berhembus lembut menerpa wajah dan tubuh mereka.
"Capek ya, Ga?" tanya Lian.
Vega mengangguk. "Iya."
"Kamu sih pake keluar aula dan nyamperin aku segala. Jadi dihukum kan?"
Vega tersenyum. "Udah ah! Biarin aja, aku mending dihukum asal bisa bareng kamu. Dari pada di dalem sendirian. Aku kan nggak punya temen selain kamu."
Lian menatap ke langit sambil memperhatikan awan. "Ya kamu harus bisa bergaul sama yang lain dong. Biar punya temen selain aku," ucapnya.
"Ntar klo kita nggak sekelas gimana? Masa kamu duduk sendirian?" lanjutnya.
Vega menggeleng cepat lalu menatap Lian. "Nggak mau! Pokoknya kita harus sekelas, Lian!"
"Kan kita nggak bisa milih, Ga. Iya kalo sekelas. Kalo nggak?"
"Nggak mau tau. Pokoknya kita harus sekelas. Titik!"
***
Sore itu, hujan gerimis membasahi kota Jakarta, mengiringi jenazah almarhumah Ibu Hanna ke tempat peristirahatan terakhirnya. Isak tangis putra-putrinya tak henti mengalir. Membuat pilu hati siapapun yang mendengarnya.
Seorang pemuda, terduduk lemas di samping makam almarhumah. Air matanya sudah kering. Entah sejak kapan dia berhenti menangis. Matanya merah dan bengkak, pandangannya kosong. Duka menyelimuti batinnya karena kehilangan sosok ibu yang sangat dia cintai sepenuh hati.
Ibu yang rela merawatnya, memberi kasih sayang berlimpah di saat dia dibuang oleh keluarganya karena dituduh sebagai penyebab kematian Kakak sulungnya.
Lian mengusap nisan baru yang bertuliskan nama ibu angkatnya itu. Bibirnya pucat, wajahnya terlihat muram. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Lian berbisik lirih di dekat nisan itu, “selamat jalan, Ibu. Semoga mendapatkan tempat terbaik di sisi-NYA.”
***
Vega mematung, gadis itu membeku di tempat duduknya setelah mendengar pengumuman dari wali kelasnya bahwa Ibunya Lian meninggal dunia. Gadis itu kaget bukan kepalang. Dia sedih dengan berita itu.
Dan yang lebih membuanya syok adalah kabar tentang kepindahan Lian yang mendadak. Seperti yang dikatakan oleh wali kelasnya, Lian pindah ke luar kota. Entah bersama siapa dan kapan, Vega tidak tau.
Sepulang sekolah dia langsung meminta Pak Ujang mengantarnya ke panti asuhan tempat Lian tinggal, namun ternyata panti asuhan itu sudah kosong. Vega berusaha mencari tau keberadaan anak-anak disana dengan bertanya pada para tetangga.
Namun tidak ada seorangpun yang tau keberadaan Lian dan adik-adiknya. Panti itu resmi ditutup. Lian dan adik-adiknya seperti hilang ditelan bumi. Hilang tanpa jejak sama sekali.
Di halaman panti yang luas itu, Vega tertunduk lesu. Air matanya mengalir deras. Dia teringat akan kesalahannya pada Lian. Dia menyesal, dia ingin meminta maaf. Tapi tidak tau harus kemana.
Vega menangis karena tidak bisa menemukan pemuda itu dimana-mana. Dinda pun ternyata juga sama sepertinya. Gadis itu sama sekali tidak tau kemana Lian dan anak-anak panti lainnya pergi.