“Ngelamun lagi!” tegur Shawn yang secara tiba-tiba sudah berada di samping gadis itu.
Vega hanya tersenyum tipis saat Shawn merapatkan duduknya ke dekat Vega. “Kok ada disini? Katanya hari ini mau ada rapat sama anak OSIS,” tanyanya.
Akhir-akhir ini gadis itu semakin dekat dengan Shawn. Hanya Shawn lah temannya berbicara. Karena dia sudah tidak lagi berbicara dengan Dinda dan Lian.
Vega merasa Shawn teman yang sangat baik. Pemuda itu mau menemaninya duduk berjam-jam di taman sekolah tanpa melakukan apa-apa. Dia juga yang selalu membantu Vega belajar karena gadis itu juga sudah berhenti belajar bersama Lian.
Dan ternyata Shawn cukup pintar juga. Dia lebih baik dalam memahami pelajaran dibanding dengan Vega. Karena itu Shawn bisa mengajari Vega bagian-bagian yang Vega tidak mengerti.
“Aku udah nggak ikut rapat OSIS lagi kali, Ga. Kan udah mau lulus. Jadi udah bebas tugas.” Vega terkikik geli mendengar istilah yang diucapkan oleh Shawn.
“Eh, kamu mau ikut aku nggak?” “Ikut kemana, Shawn?” tanya Vega.
Shawn tidak menjawab. Pemuda itu menarik tangan Vega agar berdiri. “Aku mau ngelakuin apa yang aku bilang waktu itu.”
Vega mengerutkan dahinya, menatap Shawn bingung. “Apa?” tanyanya.
Namun Shawn tidak menjawab. Dia menarik Vega agar mengikuti langkahnya. Dan Vega tidak punya pilihan lain selain mengikuti Shawn.
***
“Shawn, ini kenapa?” tanya Vega saat Shawn membawanya ke aula sekolah, tempat dimana para anggota OSIS dari kelas satu sampai kelas tiga berkumpul.
Aneh rasanya melihat mereka berkumpul di sekitar Vega, mengelilingi gadis itu bersama Shawn. “Shawn,” ujar Vega syok ketika pemuda itu berlutut di depannya. “Shawn! Ini kenapa?”
Vega benar-benar bingung. Dia tidak mengerti dengan semua ini. Jadi gadis itu hanya diam tak bergerak saat Shawn mengulurkan sebuket bunga mawar kepadanya.
“Aku sayang kamu, Ga. Kamu mau ya jadi pacarku?”
Vega membelalak. Mata hazelnya yang cantik melebar sempurna. Dia benar-benar syok mendapat kejutan seperti ini dari Shawn. Vega menelan ludahnya kelu. “I-ini maksudnya apa, Shawn?” tanyanya gugup.
“Kamu mau kan jadi pacar aku?” Shawn meremas lembut tangan gadis itu. “Aku sayang banget sama kamu, Ga.”
“Tapi Shawn... aku...” Kalimat yang diucapkan oleh gadis itu terhenti seketika waktu matanya menangkap sosok Lian dan Dinda yang baru masuk ke dalam.
Hati Vega langsung memanas saat melihat Lian merangkul Dinda sembari bercanda dengan gadis itu. Mata Vega mulai berair. Gadis itu mengepalkan tangannya, sekuat tenaga dia menyembunyikan kesedihan dan luka hatinya.
“Vega... kamu mau kan jadi pacarku?”
Vega terdiam. Gadis itu dilanda bimbang. Dia tidak bisa berpikir sama sekali. Bahkan ketika dia mengangguk pada Shawn, itu di luar kendalinya. Tidak tau kenapa dia bisa mengangguk semudah itu.
***
Vega sedang duduk di bangku yang ada di depan kelasnya. Kepalanya tertunduk, asyik memandang ujung sepatunya. Sudah hampir setengah jam gadis itu berada disana, menunggu Shawn selesai dengan pelajaran tambahan. Mereka sudah berjanji akan pulang bersama mulai hari ini dan seterusnya.
“Vega!”
Gadis itu sontak berdiri saat mendapati Dinda ada di hadapannya. Seketika dia buang muka. Rasanya dia sudah muak dengan gadis itu. “Ngapain lo disini?”
“Lo beneran jadian sama Shawn?” tanya Dinda.
Vega mengernyit tak suka. “Seperti yang lo liat tadi,” balasnya ketus.
“Tapi Ga...” Dinda meringis kecil melihat ekspresi Vega yang seakan ingin mual saat melihatnya. “Bukannya elo nggak suka sama Shawn?” ujarnya lirih.
Mata Vega sontak melotot pada gadis itu. “Kata siapa? Jangan sok tau deh, lo!” sergahnya.
“Bukannya elo sukanya sama Lian ya?” ujar Dinda. “Lo sendiri kan yang bilang sama Lian kalau elo suka sama dia.”
Vega menatap Dinda kaget. Wajah gadis itu seketika pucat. "Elo... elo tau darimana?” ujarnya tercekat.
“Lian yang bilang,” balas Dinda. “Katanya elo-”
Vega mendengus pelan. Jadi seperti itukah sosok Lian sebenarnya? Diam-diam dia membicarakan tentang Vega pada Dinda kah? Untuk apa? Apa untuk mereka tertawakan bersama?
Gadis itu yakin, Lian pasti sangat bangga karena bisa membuat seorang Naravega Harun jatuh hati. Lalu menolaknya mentah-mentah.
Vega mengepalkan tangannya. Bersamaan dengan itu, Lian datang. Tadinya dia ingin mengajak Dinda pulang bersama. Karena hari ini dia dan Dinda akan mengunjungi salah seorang temannya yang sedang sakit.
Langkah Lian terhenti beberapa meter dari tempat Dinda dan Vega berada. Pemuda itu merasa bingung melihat sorot mata Vega yang seakan marah padanya.
“Puas kan lo?” sentak Vega tiba-tiba padanya.
Lian masih memasang wajah bingungnya saat mendadak Vega mendorongnya kencang. Pemuda itu mundur ke belakang beberapa langkah.
“Lo pikir gue beneran gitu suka sama elo?” seru Vega.
“Jangan mimpi!” Vega memukul d**a Lian dengan penuh amarah. “Jangan kege-eran lo! Gue nggak selevel sama lo tau! Anak panti dan miskin kayak lo itu nggak berarti apa-apa buat gue!”
“Vega!” tegur Dinda. “Lo apa-apaan sih!”
“Kenapa? Lo nggak terima? Mau belain cowok idaman lo yang kampungan ini?”
Dinda menggeleng pelan. “Vega...” ujarnya. Gadis itu sama sekali tidak mengenali sosok Vega yang sekarang ada di hadapannya. Dia tidak pernah menyangka jika Vega sahabatnya mampu berbicara kasar dan menyakitkan seperti itu.
“Lo nggak ada artinya apa-apa buat gue, lo inget itu baik- baik!” kata Vega tegas. "Sejak dulu gue cuma manfaatin elo aja. Nggak ada maksud lain." Vega langsung beranjak menjauh dari sana setelah menjatuhkan kata-katanya yang menyakitkan pada Lian, membuat hatinya bersedih.
“Vega! Vega!” Dinda memanggil gadis itu berulang-ulang. Namun Vega seakan menulikan telinganya. Dia berjalan lurus, menelusuri lorong sekolah, dengan diikuti tatapan nanar seorang Lian. Seseorang yang begitu menyayanginya, yang menjadikan Vega sebagai gadis impiannya. Namun dia sadar siapa dirinya.
Dia hanyalah anak panti asuhan, tidak punya orang tua, tidak punya keluarga, tidak punya apa-apa. Hidupnya serba kekurangan dan apa-apa harus berbagi dengan anak panti lainnya.
Dia yang memuja Vega dalam hatinya. Dia yang mencintainya tulus. Namun dia tidak pantas untuk Vega, sesuai dengan yang diucapkan gadis itu padanya.
***
Lian baru saja menyandarkan sepedanya di tembok panti saat adiknya yang paling kecil, Mutia, berlari ke arahnya sembari menangis tersedu. Lian langsung memeluk tubuh mungil itu dan menggendongnya. “Tia kenapa kok nangis?”
“Ibu, Bang.... Ibu...” isaknya pilu.
“Ibu kenapa, Tia?”
“Ibu sakit.”
Perasaan Lian mendadak tak enak. “Ibu sakit?” ujarnya sembari membawa Tia masuk. Pemuda itu semakin cemas saat Adit, ikut berlari ke arahnya.
“Bang! Tadi Ibu sakit. Ibu muntah darah,” adu bocah gembul itu pada Lian.
Mata Lian membulat. “Ap-apa?”
“Ibu?” Lian berjalan cepat ke kamar ibunya. Dadanya berdebar tak karuan. Dia bingung sekaligus takut. Terakhir kali Lian bertemu dengan beliau, kesehatan beliau memang sedang menurun.
Sudah tiga hari ini ibunya terbaring sakit dan hanya bisa tiduran di ranjang. Beliau sudah tidak lagi berjualan gado-gado maupun membuatkan jajanan untuk dijual Lian di sekolahnya.
“Ibu?” Aku masuk ke kamar ibunya, namun yang dia temui bukanlah ibunya. Melainkan orang lain.
“Lian?” Lian begitu kaget saat mendadak wanita itu memeluknya erat. Dia menangis sambil mendekap Lian. “Lian... Mama kangen kamu, Nak.”
***
Vega membuka pintu depan saat mendengar suara orang mengobrol. Sore ini dia sedang menunggu Shawn datang dan mengajaknya jalan ke mall. Lalu saat menunggu di ruang tamu, dia mendengar suara orang mengobrol di depan pintu
Gadis itupun penasaran dan membuka pintu rumahnya. Ternyata yang ada di sana adalah Pak Ujang bersama seorang pria yang tidak dia kenal. Vega menutup pintu rumahnya lalu menghampiri Pak Ujang.
“Pak Ujang ngapain?” tanyanya.
“Oh... Ini, Non. Ada yang nganter majalah buat Non Vega.” Pak Ujang menyerahkan sebuah tabloid remaja pada Vega.
Pria yang sedang mengobrol dengan Pak Ujang tadi mengangguk dan tersenyum pada Vega. “Sore, Mbak. Maaf nganter majalahnya telat.”
Vega mengangguk pelan. “Iya, gapapa Pak. Makasih ya,” balasnya.
“Sama-sama, Mbak.” Pria itu pun balas mengangguk.
“Mungkin Minggu depan saya lagi yang anter kesini.”
Dahi Vega berkerut mendengarnya. Bukankah biasanya Lian yang mengantarkan majalah ke rumahnya? Kenapa sekarang diganti oleh pria ini? Apa karena pemuda itu masih sakit hati karena ucapannya saat itu?
“Karena Lian udah berhenti dari agen, Mbak. Ibunya sakit parah. Jadi dia jagain di rumah sakit."
Vega sontak kaget mendengarnya. “Apa? Ibunya Lian dirawat di rumah sakit?”
“Bener, Mbak. Jadi sekarang Lian udah nggak nganter koran lagi. Dia udah berhenti.”
Vega terdiam selama beberapa saat. Hatinya terasa entahlah... Kenapa dia turut sedih mendengarnya. “Sakitnya apa ya, Pak?” tanyanya.
“Saya juga kurang jelas, Mbak. Yang pasti sih, pantinya sekarang udah nggak ada yang ngurus. Dengar-dengar Anak- anak disana udah pada dipindahkan sama orang dari dinas sosial.”
“Jadi mereka dipisahkan ya, Jon?” sahut Pak Ujang.
Pria bernama Joni itu mengangguk mantap. “Benar, Pak. Orang sekarang pantinya kosong, kok.”
Vega merasa kakinya lemas sehingga tidak mampu menahan beban tubuhnya. Untungnya saat ini gadis itu berpegangan pada sebuah pilar.
Vega menelan ludahnya kaku. Perasaan bingung dan takut menggelayuti benaknya. Dia cemas dan was-was. Vega takut tidak bisa bertemu lagi dengan Lian.
Lalu dimana pemuda itu sekarang? Sudah beberapa hari dia tidak melihat Lian di sekolah. Dinda pun tidak berbicara dengannya. Vega meremas ujung dress yang dipakainya kencang. Kemana pemuda itu?