7. Woman In Mission

1422 Kata
Kimberly menembakkan tali kawat ke arah puncak gedung 15 lantai. Kawat itu menariknya ke atas gedung, kurang dari 10 detik ia sudah tiba di atap gedung. Sekarang mudah sekali memanjat gedung pencakar langit karena ada alat bantu semacam itu. Waktu dia baru bergabung dengan agensi dia harus memanjat dinding dengan tangan kosong. Di atas gedung, Kimberly berlari dan merentangkan tangannya. Set! Sayap hitam seperti kelelawar terbentang dari alat di punggungnya. Dia melompat dari gedung itu lalu terbang melayang menuju atap gedung Kantor Polisi Kota CC yang terletak beberapa ratus meter dari situ. Angin malam membantunya bergerak bagai bajing terbang di udara. Dengan mulus ia mendarat di atas gedung kantor polisi itu. Ada kamera pengawas di atas gedung itu, tetapi sudah dimanipulasi sehingga tidak akan menampilkan bayangan dirinya. Trak! Bunyi sayapnya menutup. Dia melonggrakan baut jeruji lalu membuka penutup besi menuju ruang jalur lift. Dia merangkak ke dalam lorong segi empat hingga tiba di ujung lorong dan di situlah jalur liftnya. Dia melongok ke bawah. Tampak ada 2 lift. Pada jam itu, jarang ada yang menggunakan lift. Suatu keuntungan melakukan kegiatan seperti menyusup saat dini hari. Kimberly melompat, sedetik kemudian dia sudah berdiri di atas lift. Dia menempelkan wajahnya ke ventilasi di kakinya. Tak ada seorang pun dalam lift. Dia membuka ventilasi itu dan masuk ke lift. Kamera di dalamnya sudah dimanipulasi, begitu juga jalur liftnya. Dia memastikan tidak ada yang dapat menggunakan lift itu selama dia masih ada di dalamnya. Kimberly menekan tombol ke rubanah. Tempat penyimpanan barang bukti. Ding ...! Lift berbunyi dan pintunya terbuka. Petugas jaga di tempat itu agak kaget melihat hal itu, mengalihkan perhatiannya dari acara yang ditontonnya di televisi. Lift terbuka, tetapi tak ada seorang pun di dalamnya. Petugas itu seorang laki-laki berusia 45 tahunan. Ia sebenarnya sudah tidak cakap lagi bekerja di lapangan, sehingga mereka menugaskannya di bagian yang paling membosankan, menjaga ruang penyimpanan. Laki-laki itu menunggu beberapa saat, mungkin pintu lift itu akan menutup dengan sendirinya dan akhirnya memang menutup. Dia lalu kembali menonton televisi. Namun belum sedetik, pintu lift itu terbuka lagi. “Ugh ....” Dengan segan ia bangkit dari kursinya. Ia akan memeriksa lift itu, mungkin ada yang rusak atau mungkin ada yang sedang mengerjainya. Ia berdiri di dalam lift, melihat-lihat, tidak ada yang aneh, tetapi begitu ia hendak keluar, pintu liftnya tertutup. Sementara petugas jaga itu dalam lift, sesosok hitam keluar dari ventilasi di ruang jaga. Dengan sigap sosok itu membuka pintu ruang penyimpanan dan masuk ke dalam. Untungnya tidak perlu waktu lama bagi sosok hitam itu untuk menemukan apa yang dicarinya. Segera dia keluar dari ruangan itu, masuk ke ventilasi dan memasang penutupnya. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka dan petugas jaga yang tadi tertahan di dalamnya, keluar dengan wajah terheran-heran. Ia sempat panik karena pintu lift tertutup dan ia tidak bisa membukanya untuk beberapa saat. Tadinya ia berusaha menghubungi rekannya lewat radio, tetapi sinyalnya lemah karena hampir kehabisan baterai. Eh, biarlah sudah, pikir petugas itu. Ia akan melupakan kejadian malam ini. Lagi pula ia akan dianggap konyol jika rekan-rekannya tahu ia ketakutan gara-gara lift yang berlaku aneh. Jadi, ia kembali duduk di kursinya dan melanjutkan menonton televisi. Kimberly merangkak di lorong jalur lift. "Aku segera keluar," katanya. Dia akan kembali melewati jalan yang digunakannya untuk masuk tadi. "Sesuatu terjadi," kata Richard di telinganya. "Hm??" Kimberly terdiam. Dia sedang menempel di dinding. "Bos besar di sini,” pungkas Richard. “Ia memintamu menemuinya.” "Bos besar? X?" Kimberly mengernyitkan keningnya. X di sini? Kenapa tiba-tiba? "Di mana?" tanya Kimberly kemudian. Sisa 4 menit lagi ia harus keluar dari bangunan itu, kalau tidak sistem pengacau keamanannya akan berhenti bekerja dan dia bisa ketahuan. "Di parkiran rubanah. Blok E19," sahut Richard. Seorang pria berambut pirang berkulit pucat dengan mata biru cerah, berjalan di lorong Lantai 7. Di belakangnya mengiringi seorang pria bertubuh besar berambut plontos berkacamata hitam, di telinganya terpasang alat komunikasi. Mereka berdua mengenakan setelan berwarna gelap yang berkesan mengintimidasi dan penuh rahasia. Seorang pria paruh baya, berkemeja putih, mengiringi mereka sambil berbasa-basi, "Ehm, Tuan Marcus, tolong sampaikan salamku pada Tuan Xin. Sayang sekali kami tidak bisa bertemu, ah ..., CEO Xin pasti luar biasa sibuk, tetapi dengan Anda menyempatkan mengunjungi pria tua ini, aku sangat tersanjung.” Di belakang mereka beberapa opsir muda mengiringi. "Tentu saja, Komisaris Bally, akan kusampaikan!" sahut pria berambut pirang dengan senyum simpul. Komisaris Bally berusaha menjilat pria rambut pirang itu, Marcus Zurich, seorang direktur perusahaan tambang, Xin Steel Co.Ltd. "Kunjungan Anda sangat mendadak, saya tidak sempat menyiapkan apa-apa. Lain kali, jika nanti Anda berkunjung lagi, tolong beritahukan terlebih dahulu, kami akan menyiapkan kejutan dan layanan spesial bagi Anda dan rekan Anda, Tuan Marcus!" sesal Komisaris Bally. "Tidak apa-apa!" sahut Marcus Zurich sopan. Ia sebenarnya tidak berniat bertemu Komisaris Bally, terutama dini hari begini, jika bukan Xander Xin yang menyuruhnya. Perusahaannya telah menjalin kerjasama dengan pihak kepolisian dalam kurun waktu beberapa tahun ini dan ada saatnya mereka perlu bertemu untuk membahas beberapa hal. Komisaris Bally ingin mengantarkan hingga ke bawah, tetapi ditolaknya dengan sopan. "Jangan repot-repot, Komisaris!" ujarnya ketika ia dan pengawalnya berada di dalam lift. Ia tersenyum pada Komisaris Bally saat masih bertatapan. Setelah pintu lift tertutup dan memisahkan mereka, senyumnya langsung hilang. Wajahnya langsung redup dan sorot mata biru hangatnya menjadi dingin seperti es. Marcus Zurich sudah cukup berpengalaman dalam bisnis dan ia tahu orang seperti apa Komisaris Bally. Jika saja perusahaannya bukan perusahaan di bawah naungan Xin Corp, pria tua itu tidak akan bersikap ramah seperti tadi. Ia dan pengawalnya menuju parkiran di rubanah. Mereka masuk ke dalam sebuah limo hitam. Marcus duduk di kursi depan sementara pengawalnya duduk di balik setir. Di kursi penumpang, tampak seorang pria berambut hitam dengan mata abu-abu berkilau seperti bulan, duduk bersilang kaki. Aura gelap menyelubungi pria itu. Sebelum mereka mulai bicara, seseorang membuka pintu penumpang. Siluet tubuh serba hitam masuk dengan luwes dan duduk di samping pria itu. Sosok hitam itu membuka penutup wajahnya. "Bos...!" sapa Kimberly. "Sesuai harapan, isteriku!" kata Xander Xin sambil merangkul bahu wanita di sampingnya. Aura di sekitarnya yang tadi kelam, sekarang seperti malam bulan purnama yang bersinar terang. "Jalan!" Marcus memerintahkan pengawalnya. Mobil mereka mulai bergerak. "Uh, hai, Zee!" dengan kikuk Kimberly menyapa Marcus. Marcus memberi kode dengan tangannya. Wanita itu lalu memandang pada Xander yang menatap lekat wajahnya. "Mmm, Bos, aku tak menyangka kau ada di sini. Ada apa? Kenapa tiba-tiba datang?" Saat ada orang lain, Kimberly biasa menggunakan istilah pekerjaan pada Xander. Tidak banyak orang di sekitar mereka yang mengetahui pernikahan mereka, apalagi orang luar. "Tentu saja, aku datang untuk menjemput isteriku!" Bibir Xander Xin menyunggingkan senyum tipis. "Isteriku paling cantik ketika sedang bekerja," ujarnya lagi. Tangan meraih penutup kepala Kimberly dan membukanya sehingga rambut keemasan wanita itu terurai hingga ke pinggulnya. Bibir tipisnya melumat bibir Kimberly yang terbuka karena terkejut. Sebelah tangannya yang bebas menekan tombol untuk menaikkan pembatas kompartemen dalam limo. Mata Kimberly terbelalak merespon serangan mendadak bibir Xander. Mulutnya yang sedikit terbuka memudahkan lidah Xander menjelajah dalam mulutnya. Rasa dingin bibir mereka menjadi rasa hangat yang menjalar hingga ke rongga da.da. Kimberly tidak dapat menahan diri untuk menutup mata dan melingkarkan tangannya ke leher Xander. Suhu di sekitar mereka menjadi hangat seperti ada bongkahan api di antara mereka. Telapak tangan Xander menangkup lehernya, sedang tangan satunya lagi menyusuri pinggangnya. Tubuh Xander menekan tubuhnya ke sandaran. Suara baju mereka bergesekan. Tanpa melepaskan ciumannya, Xander melepas mantel, membuka kancing jas dan melonggarkan dasinya. Napasnya memburu, terasa panas dan berat. "Hmmh?" Kimberly mendesah pelan, berusaha bertahan untuk tidak meleleh dalam pelukan Xander. "I miss you ...," bisik Xander di antara ciuman mereka. Ia menarik napas lalu melanjutkan ciumannya. Ia melumat bibir Kimberly dengan penuh hasrat sambil merebahkan wanita itu di kursi kulit. Ia menyelipkan lututnya di antara kaki Kimberly. Salah satu kaki wanita itu menaiki pinggulnya. Mobil yang membawa mereka tengah melewati portal keluar kantor polisi. Petugas jaga mengetahui itu mobil Direktur Marcus Zurich. Mereka membiarkannya lewat begitu saja. Sambil berciuman, Kimberly merasakan tangan Xander menelusuri seluruh lekuk tubuhya, mencari-cari. Tiba-tiba Xander menyentak pakaiannya dan melepaskan ciuman mereka. Xander menatapnya dengan wajah kesal. "Hmm??" Kimberly menatap penuh tanda tanya pada pria yang sedang menindihnya. "Kenapa aku tidak bisa membuka bajumu?" tanyanya. Kimberly tersenyum dan menegakkan tubuhnya untuk duduk dan Xander mengikutinya. Saat itu dia mengenakan setelan seluruh tubuh, tentu saja Xander tidak akan menemukan celah untuk menyentuh kulitnya. Kimberly mengangkat rambutnya dengan satu tangan dan memutar tubuhnya untuk menghadapkan punggungnya pada Xander. "Membukanya lewat belakang, Bos!" katanya sambil tertawa geli. Sang genius pun bisa menjadi idi.ot jika sedang berahi. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN