lima

2111 Kata
"Aku kurang apa coba! Dasar laki-laki buaya! Nggak tau diri! Padahal tukang minta bayarin setiap jalan sama aku!" Aku terus berteriak di taman Kupu-kupu---taman kompleks---dengan air mata yang sudah tak terhitung jumlahnya. Bersyukur saja karena jumat sore ini, taman dalam keadaan benar-benar sepi. Kalaupun ramai, i don't even care. Aku sedang patah hati. "Dan-dan sekarang dia bilang kalau aku ngebosenin? Jahat! Dia bilang aku kekanakan? Jahaaaaat!" "Lo nangis gitu jelek banget, Wil. Sumpah." Mulutku berhenti mengoceh, saat menemukan sapu tangan marun di depan wajah. Kudongakkan kepala, lelaki ini lagi, sedang menunduk dengan eskpresi datar. Kenapa dia bisa di taman ini sore-sore begini? Aku menerima sapu tangannya dengan kasar. "Ini gue nggak minta, lho, ya." Aku membuang ingus dan mengelapnya dengan sapu tangan itu, lalu menyodorkannya kembali pada dia. "Lo yang maksa ngasih. Minggir, ah! Jangan liatin muka gue. Ntar lo nggak naksir lagi sama gue." "Bukannya lo seneng?" Aku segera membalik badan. Tetap dalam keadaan bersimpuh di tanah yang ditumbuhi oleh rumput hijau, bagaimana aku menyebutnya, ya? "Maksud lo?" Lelaki yang kusebut kumal ini ikut duduk bersila di hadapanku. Memasukkan sapu tangannya ke dalam saku jeans hitam yang sekarang ia padukan dengan kaus putih dan jaket biru dongker. Ia melepas jaket itu, lalu menutupkannya di pahaku. "Kalau mau bikin show, penampilan juga diperhatiin, Wil. Lo nggak malu nanti kalau cowok lo liat?" "Jangan ngomongin dia! Gue benci! Ih, nggak suka!" Aku kembali berteriak, kemudian menunduk, meletakkan kedua tangan di tanah, sebagai penopang. "Semua cowok sama aja! Bilangnya cinta nanti juga ujung-ujungnya aku dibuang! Apa karena rambutku keriting, ya, Raf?" "Mungkin." "Bilang enggak, sih?!" "Enggak." Aku diam. Memperhatikan wajah Rafa dalam jarak sedekat ini. Wahai, Tuhan, apa Rafa baru saja selesai melakukan perombakan pada wajahnya? Ke mana wajah dekilnya? Sekarang yang kulihat hanya ada sosok lelaki tampan, gentle, duduk di hadapanku dengan tatapan mata yang hangat. Namun, aku bisa melihat ada luka di sana. "Kalau diputusin sama cowok, putusin balik, Ge. Katanya udah nggak akan manja lagi. Udah jadi Gea, sarjana ilmu komunikasi." Dia kembali mengeluarkan sapu tangannya saat aku selesai mengelap cairan dari hidung dengan punggung tangan. "Cowok, sebenernya lebih milih diputusin, biar dia tau kalau ceweknya baik-baik aja setelah bubar." "Kalau baik-baik aja nggak akan putus!" Aku membentaknya. Dan, mata Rafa membeliak, ia sampai menarik sedikit wajahnya menjauh. Aku kembali diam saat ia mengelap hidungku dengan sapu tangan itu. Kok, Rafa nggak dekil lagi, sih? Ini mataku kenapa? "Raaaaaaf, semua cowok gitu, ya? Penginnya dikasih semua yang pertama, pas udah dapet kita dibuang. Terus---" "Lo diapain?!" Aku tak menjawab, masih terisak. Rasanya sakit sekali di dalam d**a. Patah hati, kalau aku tahu rasanya begini, aku tidak akan pernah mau menerima lelaki kupret satu itu. "Gea, lo diapain?" "Gue diputusin, Bawel! Gue udah kasih dia apapun. Uang, perhatian, kasih sayang, cinta, tapi dia malah bilang gue belum layak pacaran. Dia bilang gue masih bocaaaah." Aku langsung berhenti menangis, mengingat sesuatu yang lebih penting. "Lo kok bisa di sini?" "Mau jemput lo." "Gue kan ogah. Lo nggak pernah kapok, sih, Raf? Gue udah bilang lo itu nggak cocok sama inces (read:princess) kayak gue. Ngeyel, ya?" "Jelas nggak cocok. Lo kan belum layak pacaran." "Hwaaaa! Lo tuh sama aja sama Giring bola itu! Giring Wijayanto! Lekaki paling ganteng tapi kok ya bikin sakit." Aku memukuli d**a Rafa, lelaki ini hanya diam seperti orang d***u. "Patah hati sakit, ya, Raf?" "Iyalah. Yang enak itu makan hati ayam." Aku mengabaikan jokes-nya. Aku sedang tidak ingin melucu. "Lo berarti dari dulu ngerasain begini, Raf?" Sekitar satu menit, aku tidak mendapatkan jawaban. Aku mendongak. Masih tetap menempelkan wajahku di dadanya. "Lo sakit ya dari dulu?" Ia tersenyum, lalu mengangguk. "Lebih dari sakit," lirihnya. "Waktu SMA, gue harus rela setiap hari liatin lo makan bareng sama mantan ketua OSIS. Gue harus rela lo diboncengin sama adik kelas pakai kawasaki. Gue juga jarus rela liat lo jadian setelah ditembak di lapangan pakai bungan dan coklat sama kawasaki itu. "Beranjak ke kuliah. Gue harus nahan kangen, Wil. Tiap hari. Waktu masih awal-awal kuliah, gue sering main ke taman kompleks lo ini, karena gue tau lo sering di sini. Eh, gue malah nemuin lo pacaran mulu. Gue juga lo tolak lagi di taman ini. Dan, di taman ini juga, gue liat lo kehilangan ciuman pertama lo. Nggak nyesel, Wil?" Eh? Apa aku menyesal? Dulu, tidak. Sekarang, aku tidak tahu. Dia tahu kalau itu adalah ciuman pertamaku? Rafa mengelap air mataku dengan talapak tangan. Sapu tangannya sudah tak tahu menjadi bentuk apa. "Gue pikir yang paling sakit liat lo sama Giring kemaren, ternyata ini jauh lebih sakit, Ge. Liat lo begini karena cowok itu." "Terus aku harus gimana?" Senyumannya mengembang. Ia bangkit dari duduk. Menarik tanganku. "C'mon, c'mon, Wil! Bangun. Lo mau gue kasih tips biar nggak sakit lagi?" "Apa?" Aku langsung berdiri tegak, tak lupa dengan tas selempangku. "Nikah sama gue, Wil. Gue nggak bisa pastiin gue akan ngasih dunia buat lo. Karena ternyata dunia itu mahal." Dia tertawa kecil. "But, I promise, dunia gue buat lo." "Rafaaaaaa. Gue kan udah tolak lo." "Berapa kali ya, lo nolak gue?" Ia tersenyum. Ia sedang menghitung lewat kesepuluh jari tangannya. "SMA kelas dua, tiga, kuliah empat tahun. Awal kerja, tujuh kali ada lo nolak gue, Ge. Sekarang masih mau nolak lagi?" "Kalau iya, lo bakal nangis enggak, Raf?" "Mungkin." "Tapi kan gue baru aja putus, Raf. Masa udah jadian lagi aja?" "Siapa bilang gue ngajak jadian?" Aku mengerutkan kening mendengar itu. Lalu? "Kita nikah. Entar, kalo lo udah ngerasain Adek gue, lo pasti bilang kok, gue ganteng." "Ih, Rafaaaaaa! Ih, nggak suka omongannya!" "Gue kasih teaser-nya dulu. Mau?" tanyanya. Mulutku sudah terbuka, baru akan menjawab, tetapi yang Rafa lakukan selanjutnya membuatku terpekik tertahan. Dia menciumku! Ow ow ow, Rafa Sebastian berani menciumku! "Enak kan, Wil?" "Pokoknya tanggung jawab! Kawinin gue, nggak mau tau!" "Tapi lo nggak cinta sama gue." Aku diam. Kemudian mendekat ke arahnya. "Kamu bilang, kalau nanti udah ngerasain Adek kamu, aku jadi bilang kamu ganteng. Berarti aku jadi suka kamu dong." Dia memasang wajah sedih. "Tapi gue baru sanggup beli Avanza bekas, Ge. Hasil awal gue ngajar." "Aku suka Avanza." "Gue makannya di pecel ayam pinggir jalan." "Gue suka ayam." "Tapi gue," Rafa berhenti sejenak. Kenapa dia bawel sekali? "gue bakal ajak lo hidup bahagia. Bahagia versi gue nggak apa-apa, ya, Wil?" Aku mengangguk cepat. Memeluknya erat. Peduli apa statement menikahlah dengan orang yang kita cintai. Aku pernah menjalin kasih dengan orang yang kucinta, dan semua berakhir luka. In the end, aku ingin mencoba bagaimana rasanya dicintai. Aku tersentak saat suara klakson datang bertubi-tubi. Wahai, Tuhan, berapa lama aku melamun? Mobilku mulai masuk ke basement. Duh, ramai juga, ya, mal di jam segini? Setelah mendapatkan tempat kosong, aku segera mematikan mesin. Berjalan ke lift. Semoga aku bisa menemukan sepatu yang cocok untuk Rafa. Suamiku sayang. Semakin hari, rasa sayangku semakin bertambah. Apalagi, setiap malam aku sering terbangun dan memperhatikan wajah Rafa. Ada sesuatu yang menohok, mengingat bagaimana ia berjuang untuk membuatku bahagia. Mengajar di dua kampus swasta. Dia memang tidak sulit mendapatkan restu orang tuaku. Mama dan Papa menyukai Rafa. Kata mereka, Rafa sopan, baik dan bertanggung jawab. Hanya, Papa dan Mama sering salah dalam menyampaikan rasa sayangnya. Mereka selalu ingin membantu Rafa dengan memberikan uang atau barang, sedangkan itu mengusik harga diri Rafa sebagai seorang suami. Aku sampai di deretan toko sepatu. Berpikir sejenak, kalau aku membelikan Rafa di tempat yang biasa aku beli, dia pasti memasang wajah sedih. Aku tidak ingin melihatnya sedih. Namun, kalau aku membelikannya asal, bagaimana kalau nanti kakinya merasa tidak nyaman? Dan, pilihanku jatuh pada sepatu berharga separuh dari yang biasa kubeli. Ini adil, 'kan? Aduh, di saat seperti ini dan perutmu keroncongan, merasa kesal ya? Aku menuruni eskalator menuju lantai di mana tempat makanan berjejer. Namun, langkahku terhenti saat berpapasan dengan orang yang sangat kukenali. Ini aku tidak salah melihat? Aku mengucek mata berkali-kali. Dan, lekaki itu tak berubah; Mas Bian. "Mas Bian ..." Mulutku sudah terbuka, hendak menyuarakan kalimat penuh tanya, tetapi kembali menutup. "Hai, Ge!" Senyum Mas Bian merekah. "Sama Rafa?" "Enggak!" jawabku cepat. Pandanganku beralih pada tangan perempuan berambut ombre ungu dan hijau yang merangkul lengan Mas Bian posesif. "Mas Bian nggak sama Mbak Angel?" Bodoh, bodoh! Benar-benar bodoh. Bagaimana aku bisa menyebut nama perempuan lain saat ada wanita cantik di samping lelaki ini? "Angel ada di rumah." Seperti hadiah BMW di siang hari, aku melongo mendengar jawaban tanpa beban dari Mas Bian. Awalnya, aku pikir Mas Bian akan memberiku air muka kikuk atau semacam gerakan canggung, nyatanya lelaki itu tetap tampil cool. "Dia tadi bilang lagi mau bikin kreasi baru buat dinner. Kamu libur, Ge?" Hanya berupa sebuah anggukkan. Aku, istri Rafa Sebastian kehilangan kesadaran. Mataku menilai setiap lekuk tubuh wanita yang sedang tersenyum ramah padaku. Rambut itu terlihat jelas terawat salon profesional. Alis hasil sulaman orang-orang hebat. Wajah putih mulus dengan make up yang tak terlalu mencolok. Aku pun tak melewatkan merek pakaian dan sepatu yang digunakan wanita itu. Wahai, Tuhan, dia adalah wanita sempurna! "Mau kenalan sama dia, Ge?" Seakan tersadar dari lamunan panjang, aku segera mengerjapkan mata berkali-kali. Kini, sepenuhnya pandangan aku fokuskan pada lelaki yang amat dicintai oleh tetangga sekaligus teman yang kusayang itu. "Nggak usah, Mas. Ehm---" "Nanti penasaran?" Dewi batinku terbahak. Menertawakan sederet kata yang diucapkan Mas Bian barusan. Berbanding terbalik dengan aku yang bingung setengah mampus dengan sikap Mas Bian. Bagaimana bisa lelaki ini memperkenalkan selingkuhan di hadapanku sebagai tetangganya sendiri? Gila. Mas Bian memang sudah gila. Aku tidak perlu berkenalan dengan wanita itu. Sebab, aku paham apa yang seharusnya aku lakukan nanti. Mbak Angel harus tahu kelakuan suaminya di luar rumah. Ya, aku mencatatnya di dalam hati. Tak lupa memberi warna merah darah pada catatan itu. Jangan sampai lupa! "Namanya Andhita. Dia Model dari SweetMagz." Terkutuklah aku yang tak pandai menyembunyikan setiap ekspresi di wajah, begitu Rafa mengingatkanku. Mas Bian tertawa kecil. "Angel kenal dia, kok. Kamu nggak usah kaget gitu." "Halo," Akhirnya, wanita yang kusebut adalah wanita sempurna itu mengulurkan tangan. "aku Andhita. Namamu siapa?" "Gea." Dengan cepat, aku menjabat tangan putih mulus itu. "Ya, aku Gea. Kamu siapa tadi?" Setelah mengatakan itu, aku mengeleng refleks sembari tertawa kecil. "Ya Allah, lupa! Andhita, ya? Ohiya, Andhita." Otakku berputar cepat. Aku harus segera pergi dari sini. Secepatnya. Aku tak boleh terlihat semakin bodoh. "Aku pamit, ya? Rafa udah nunggu di rumah. Bye!" Tak mengindahkan respons dari pasangan ... wait, seriously mereka layak disebut pasangan? Aku meringis. Terus menyeret sepasang kakiku tergesa-gesa. Semua daftar yang sudah kususun musnah dari kepala. "Mbak Angel harus tau kalau suami gantengnya itu main berengsek di luar." Bibirku terus menggerutu sepanjang aku berjalan ke basement. "Kurang cantik apa coba Mbak Angel. Amit-amit ya, Allah!" ***   "Aku kenal dia, Ge. Nama lengkapnya Andhita Ramadhani." Kalau tadi aku seperti baru mendapatkan hadiah BMW karena ucapan Mas Bian, lain lagi dengan istrinya sekarang. Aku merasa seperti dihantam batu besar di kepalaku. Dia kenal selingkuhan suaminya? She's f*****g crazy. Setelah aku menceritakan semua kronologi dari pertemuanku dengan Mas Bian plus perempuan barunya, Mbak Angel hanya tetawa kecil. Ia menyodorkan jus mangga karena katanya aku kacau terkena dehidrasi.. "Mereka udah lama, kok, jalan. Sekitar empat bulan." Mana ekspresi marah dan sakit yang muncul dari seorang istri korban selingkuh?! "Dan, daripada Mas Bian jajan ke mana-mana, mending sama satu itu aja. Andhita orang yang baik, kok. Beberapa kali dia main ke sini dan kita masak bareng." Aku melongo. Menggerakkan mata ke sana-sini. Sebentar, apa aku salah masuk rumah orang saking paniknya? "Mbak Angel." "Ya?" Benar. Dia Mbak Angel. Tetanggaku yang baru menempati rumah Pak Jamal sebulan lalu. "Mas Bian itu singkuh, lho! Hellow, Mbak Angel lagi mabok?" It's weird. Mbak Angel malah tertawa. "Dia berusaha nyari kebutuhan sekaligus keinginannya, Ge. Dan, sebagai manusia, tentunya aku nggak punya semua itu. Makanya, aku izinin dia buat nyari di perempuan lain. Nggak masalah. Mas Bian manusia." Aku terbahak. Bangun dari duduk, aku sampai memegangi perut. Kemudian aku langsung diam, kembali duduk dan beringsut mendekati Mbak Angel. Kusentuh keningnya untuk memastikan. "Nggak panas." "Aku memang nggak sakit, Ge! Tuhaan." Dia kembali tertawa. Sungguh. Aku masih merasa semua ini tidak nyata. Ini gila. Seorang istri membiarkan suami bersama perempuan lain hanya karena alasan kebutuhan dan keinginan? Lalu, apa gunanya ia menikah kalau tidak untuk memenuhi keduanya? "Jadi, Mbak Angel," Aku menatapnya serius. "Mbak Angel tau selama ini Mas Bian selingkuh?" "Hm." "Mbak Angel nggak marah?" "No." "Why?!" teriakku heboh. "Dia suami Mbak Angel, astagfirullah! Suami yang aku pikir adalah idaman setiap istri. Romantis dan penuh cinta." "Dia cinta aku, Ge. Makanya dia milih nikahi aku. Kalau dia nggak cinta, bisa aja sekarang aku yang jadi Andhita dan Andhita sebagai istrinya Mas Bian." Aku menelan saliva dengan susah payah. Wahai, Tuhan, kejutan apa ini? Bukannya membahagiakan, justru membuatku bergetar.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN