empat

1751 Kata
Mbak Angel: Ge, hari ini ada agenda keluar rumah? Aku tersenyum membaca pesan Mbak Angel. Sembari menyiapkan kemeja Rafa beserta celananya, aku mengetik balasan. Me: Enggak ada. Kita masak lagi? Mbak Angel: Jangan tiap hari belajarnya. Nanti, ilmu yang kemarin lupa Mbak Angel: Aku mau beliin flanel Mas Bian. Banyak yang kekecilan bagian perut tau Me: Wkwkwk. Berarti| "Wil, tolongin handuk, dong! Aku lupa bawa." Aku mengembuskan napas. Menjatuhkan tangan di samping tubuh. Yang diingat Rafa saat akan mandi itu apa, ya sampai handuk saja lupa? Bahkan, handuk kusampirkan berjejer di gantungan khusus, tak jauh dari pintu kamar mandi. Hari ini, ia memang memiliki kelas pagi. Seperti biasa, dia senang sekali mengerjaiku dan membuatku panik dengan mengatakan kelasnya jam 06.00. Dengan bodohnya, aku percaya sampai tergopoh-gopoh ke dapur menyiapkan kopi. Padahal, dia saja baru mandi sekarang. Lagipula, memangnya ada kelas sepagi itu? Ck. "Ini!" Aku mengetuk pintu kamar mandi. "Rafa!" Beberapa detik berikutnya, aku tak lagi mendengar suara air, dan pintu terbuka sedikit. Kepala Rafa menyembul. "Makasih, Kriwil," ucapnya, lengkap dengan cengiran. "Nanti aku smoothing!" Dia belum tahu saja, kalau lelaki di luar sana sudah berpindah selera. Dari yang mencintai perempuan badai berambut bergelombang, bertubuh slim, menjadi perempuan keriting sepertiku. Oh! Lalu, bagaimana dengan pilihan Mas Bian yang jatuh pada Mbak Angel? Hm, itu, kan, mereka sudah lumayan lama menikah. Dulu, dosenku pernah mengatakan, kalau keinginan dan kebutuhan setiap manusia itu akan selalu berubah. Tak pernah bisa dipatenkan. Aku percaya, sebab, dulu aku tak membutuhkan Rafa, jangankan membutuhkan, menginginkan saja tidak, tetapi sekarang aku seperti bagian dari dirinya. Tak berharga jika berpisah. "Hari ini mau ke mana, Wil?" Rafa menggosok rambutnya dengan handuk kecil bewarna kuning. Ia mulai memakai deodoran dan menyemprotkan parfum di beberapa bagian tubuh. Aku suka wangi parfum lelaki. Eh, I mean, parfum Rafa. "Mau jalan sama Mbak Angel." Aku tersenyum lebar, mengasong kemeja ke hadapan Rafa. "Astagfirullah. Aku belum balas pesan Mbak Angel." Sembari mengetik balasan, aku mengajak Rafa berbicara. "Aku ajak Mbak Angel ke Couple Boutique aja, ya, Raf?" Melihat ekspresi mengejeknya, aku mengerutkan dahi. "Kenapa?" "Seneng banget sama Mbak Angel?" "He-he. Keliatan banget, ya?" Rafa selesai memakai celana. Ia berjalan ke arah cermin, mengoles gel pada rambut lalu menyisirnya. Lelaki tak memerlukan bedak, tetapi kenapa tetap terlihat ganteng dan bersinar, ya? Ia berjongkok di depanku yang sedang duduk di tepi kasur. "Hati-hati kalau berteman." "Emang Mbak Angel kenapa?" Aku berteriak saat ia menyentil dahiku. "Sakit! Ih, nggak suka!" "Bukan Mbak Angel aja. Siapa pun yang mau kamu ajak temenan, hati-hati." Rafa menelusupkan jari-jarinya ke dalam rambutku. Beberapa detik berikutnya, giliran ia yang berteriak. "Ya ampun nyangkut, Ge! Jariku nyangkut!" Tawanya menggema. Ia berusaha menarik jemarinya. "Aku yang kesakitan, Rafa!" Aku menggeplak tangannha yang sudah bebas. "Rambutku enggak segitu kribonya, ya sampai bisa ngurung jari-jarimu. Kamu aja yang tangannya nakal. Diuwel-uwelin ke rambut." "Ambekan." Tangannya mencubit bibirku. "B aja." "Pagi ini sarapan apa, Ge?" Aku nyengir. Melingkarkan tanganku di lengannya. Kami mulai berjalan,menuruni tangga. "Kamu sarapan di kantin kampus aja, ya, Raf?" Duh, bagaimana aku mengatakannya? "Ehm, bahannya abis aku masak semua kemarin. Terus, sisanya tepung doang. Sarapan buah aja, mau? Kata Mbak Angel kita harus banyak makan buah, Raf. Biar sehaaat!" Aku merentangkan kedua tangan. Maju beberapa langkah dan berhenti di depannya. "Dapat guru baru. Alibi baru juga," sindirnya. Memang. Aku langsung memeluk Rafa sebagai ucapan terima kasih. "Aku kangen Mbok Minah, deh, Raf." Mbok Minah, perempuan paruh baya yang bekerja di rumah Mama sejak aku belum ada. Dan, beliau juga yang membantu Mama merawatku. Semua informasi itu, aku dapatkan dari cerita Mama. "Ditahan, ya? Kamu kalau ketemu dia nggak ngizinin dia pulang, sih." Aku memberengut. Namanya saja rindu dan sayang. Mana bisa berpisah? "Astaga, Ge! Ranselku ketinggalan. Udah jam segini lagi. Dan, aku belum minum kopinya." Aku langsung bergerak gelisah di tempat. Sumpah, aku tidak suka merasa panikan begini. "Ehm, kamu minum kopi aku ambil tasmu, ya?" Rafa mengangguk. Ia duduk di meja makan, sementara aku berlari menaiki tangga. Wahai, Tuhan, kurasa umurku baru 26, dan napasku sudah seperti ini. Setelah berhasil mengambil ransel Rafa, aku berjalan tergesa menuruni tangga. Kulihat, Rafa sudah berdiri tegak di bawah sana. "C'mon, c'mon, c'mon, Honey!" teriaknya. Membuatku semakin berteriak panik. Setelat itukah dia? Namun, saat melihat ia terbahak, aku langsung berhenti melangkah. Berdiri di tiga anak tangga dari bawah. "Kriwil gue ya ampun lucu banget." "Rafaaaaaaaaaaa!" Aku melempar ransel ke arahnya. Dia mengerjaiku lagi! "Laptopku, Ge!" Ia berteriak dan langsung berlari untuk menangkap laptopnya. Keduanya harus bersimpuh di lantai. Kini, giliranku yang tertawa. Rasakan! "Jahat, Ge. Demi apapun kamu jahat." Aku terkikik mendengar intonasinya, pun dengan eskpresi dibuat-buatnya itu. "Ini dulu belinya kredit, lho, Wil. Kamu main banting aja." "B aja." "Coba ngomong lagi." Rafa berdiri, membiarkan ransel itu tetap di lantai. Langkahnya menghampiriku. "Sini aku cium dulu bibirnya. Dari pagi tadi belum dicium, ya?" Ia mengapit kepalaku dengan kedua tangan, lalu mengacak-acak rambutku. Benar-benar sampai menjadi kribo. Ia terbahak. Sementara aku sudah meradang. Memangnya kulit wajahku tidak menunjukkan itu sampai dia masih bisa tetap tertawa? "Aku berangkat, ya? Nanti kalau jalan sama Mbak Angel, inget pulang." Ia mengulurkan tangan. "Cium dong tangan suami. Biar harimu berkah." Mau tak mau, aku pun tertawa. Lalu, memeluknya erat. "Pulang malem lagi?" "Enggak kayaknya. Nanti aku kabarin. Assalamualaikum." "Waalaikumsallam." Aku melambaikan tangan saat Rafa masuk ke dalam Avanzanya. Ia menurunkan kaca mobil, memberiku senyuman tipis. "Hati-hati, Rafa!" Acungan jempol adalah jawabannya. ***   "Karena, dulu aku suka aja sama pasangan-pasangan konyol yang apa-apa selalu samaan." Aku mengakhiri penjelasanku pada Mbak Angel. Ia tadi sangat penasaran kenapa aku memilih nama itu dan memilih barang couple sebagai produk. "Ini lucu, Ge." Mbak Angel memegang kaus pasangan. Sama-sama warna putih. Hanya, untuk yang perempuan, diberi aksen pink sedikit. "Ini juga kupluknya lucu!" Aku tertawa. Aku juga punya sepasang kupluk yang Mbak Angel pegang. Kupluku m bentuk kepala beruang, sedang milik Rafa adalah panda. Lucu. Meskipun Rafa sempat menolak keras karena katanya itu menggelikan, tetapi karena aku merajuk, ia akhirnya mengalah. Senangnya menjadi perempuan. "Aduh, aku bingung, Ge mau beli yang mana." "Beli semuanya aja, Mbak." Aku terkikik geli. Sengaja menggodanya. Tak mungkinlah ia melakukan itu. Semua barang yang ia pegang tadi, memiliki harga yang lumayan. "Iya kali, ya?" Aku melongo. Mengerjapkan mata dengan cepat. Ini bukan mimpi. Waw, Mbak Angel serius mau memborongnya? "Enggak dimarahin Mas Bian, Mbak?" "Dia nggak pernah marah, Ge," jawabnya. Sembari terus menyusuri jejeran hoodie yang digantung. "Paling ngangguk doang kalau aku tunjukin belanjaan." Ya, ya. Tipe-tipe suami yang memperlakukan istri bak ratu. "Kalau gitu," Aku menghampiri Mbak Angel. "Lakukan sesuatu sampai dia marah!" Mbak Angel tertawa, menyentil keningku. Bisa-bisa otakku lumer kalau terus-terusan disentil. Setelah menghabiskan berjam-jam menemani Mbak Angel memilah barang yang akan dibeli, kemudian kami makan siang di restoran cepat saji, akhirnya kami sampai di garasi Mbak Angel. Fortuner putih milik Mas Bian berdiri kokoh, bersanding dengan Yaris merah milik Mbak Angel. Aku melirik arloji, sudah pukul 16.45. "Tuan Muda udah di rumah, Mbak Angel." Aku berbisik, sembari memandang ngeri ke arah bagasi mobil. Tempat hasil berburu Mbak Angel tadi disimpan. "Dia kira-kira bakal marah nggak hari ini? Mbak Angel tertawa. Menutup kembali bagasinya. "Mau nyaksiin?" "Makasih." Aku nyengir. "Gea pulang, ah! Selamat sore." Aku berhenti melangkah, saat menemukan mobil Mama di garasi rumah. Avanza Rafa juga sudah ada di sana. Ia pulang cepat? Benar saja. Aku menemukan Pak Guntur sedang duduk di sebuah kursi samping pintu. Sedang meminum kopi. "Bapak, kok, nggak masuk?" Beliau terlihat kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba. "Lagi pengin ngerokok, Mbak. Ibu ada di dalam, kok." "Yang buatin---" Aku menunjuk gelas kopi di depannya. "Oh ini Mas Rafa. Kebiasaan bikinin Bapak kopi kalau main." Jelas saja, Mama mana mau repot-repot. "Yaudah. Kalau udah selesai ngerokok, masuk ya, Pak. Aku duluan." Aku membuka pintu, hendak berteriak mengucapkan salam, tetapi urung saat mendengar suara Rafa dari ruang tengah. "Jadi, kalau Rafa nggak bisa pakai minimal HR-V kayak punya Gea, itu artinya Rafa ngajak Gea hidup susah, Ma?" Aku berjalan perlahan, menguping pembicaraan mereka. "Kamu paham apa yang Mama omongin. Sama sekali Mama nggak pernah anggap kamu begitu. Tapi, Raf, tanggung jawab aja tuh nggak bisa kalau nggak ada bukti nyatanya. Standar yang dipakai sama Papanya Gea itu lumayan." Wahai, Tuhan, apa yang sudah dikatakan Mama dan Rafaku? "Mau, ya, Mama beliin Outlander?" "Sebelumnya makasih banyak, Ma. Tapi Rafa masih berusaha. Sabar sebentar lagi, ya, Ma." Rafa terdengar sedang tertawa kecil. "Setelah rumah ini lunas, Rafa janji akan ganti mobil. Supaya Papa sama Mama nggak malu punya menantu yang masih memakai Avanza biasa sementara istrinya sekelas HR-V." Aku memegang d**a yang tiba-tiba terasa sesak. "Mama cuma pengin Gea nyaman dan terjamin, kok, Raf." "Iya. Rafa ngerti. Dan, Rafa juga pengin Gea merasa lebih dari itu." "Assalamualaikum! Aku pulang!" Aku harus berlagak tak mendengar percakapan mereka. Rafa akan semakin sedih saat aku memberinya ekspresi kasihan. "Bener, kan, ada Mama." Mama berdiri, memelukku erat. "Kamu itu dari mana? Suaminya udah pulang, kamu masih kelayapan." "Abis nemenin Mbak Angel belanja." Aku melesakkan b****g di sofa, samping Rafa. Memeluk leher Rafa kencang. "Jelasin ke Mama dong, Sayang kalau aku punya teman baru." Rafa tertawa kecil. Ia mencubit hidungku. "Rumahnya Pak Jamal udah ada yang beli, Ma. Pasangan masih muda. Kriwil seneng banget ini dapat temen baru." Mama tertawa. Menggelengkan kepala saat aku menaikkan alis. "Temen baru, tapi ya nggak lupa sama suami juga, Ge." "Aku pikir Rafa pulang malam kayak semalam." Aku meminga maaf pada Rafa lewat pesan nonverbal. "By the way, Mama ngapain ke sini?" "Emangnya nggak boleh?" Mata Mama mendelik. Aku dan Rafa tertawa. "Mamanya main kok ditanyain kenapa." Sekitar dua puluh menit kemudian, Mama pamit pulang. Alasannya, teman kuliahnya dulu akan mampir ke rumah habis kunjungan ke rumah anaknya. "Nurut sama suami, Ge." Mama berpesan, aku hanya mengangguk. "Jaga Gea ya, Raf. Mama percaya sama kamu." Kulirik, Rafa pun mengangguk, sembari tersenyum. "Hati-hati, Ma!" teriak kami bersamaan. Aku mengikuti Rafa berjalan. Apakah tidak masalah jika aku membahas hal yang kudengar tadi? Bagaimana kalau itu justru membuat Rafa sedih? "Tadi pergi ke mana aja sama Mbak Angel?" Rafa duduk kembali di tempat semula. Ia menyandarkan punggung, kemudian memintaku untuk duduk di sampingnya. "Ke butik. Terus makan. Udah." "Mbak Angel belanja dong?" "Banyak bangeeet. Aku seneng ngomporin dia. Haha." Rafa mencebik. Kemudian ia kembali bertanya. "Kamu beli apa?" "Enggak beli apa-apa. Lagi nggak ada yang mau dibeli." Dia menarikku dalam pelukannya. "Aku masih mampu beliin kamu barang, kok, Ge." Kurasakan elusan lembut di kepalaku. "Kamu kalau mau beli, beli aja. Ya?" Aku mengangguk dalam pelukannya. Membalas pelukan Rafa dengan erat. Aku mempercayakan nasib diriku dan anak-anakku nanti padanya. Suamiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN