Bertengkar dengan Teman

1103 Kata
Duka telah merebut kehangatan dari keluarga itu, hari - hari yang biasanya dipenuhi dengan canda tawa seorang anak dengan ibunya tidak pernah terdengar lagi dari dalam rumah itu. Meskipun Michael telah berjanji pada sepasang mata mungil yang dipenuhi kesedihan itu. "Fay, semuanya akan baik - baik saja. Ayah janji walaupun ibumu sudah tidak ada bersama kita, semuanya akan kembali seperti biasanya. Jadi Fay, ayah minta maaf kalo ayah harus meminta Fay untuk jadi anak yang kuat. Ayah minta maaf ya Fay..." Michael memeluk tubuh mungil itu sambil membelai dan membisikkan kata - kata untuk menghiburnya. Mereka kembali menjalani rutinitas seperti biasanya, Michael berusaha menutupi ketidakhadiran Linda dengan mengurangi pekerjaannya, dia membawa pekerjaan yang belum selesai ke rumah untuk dikerjakan ketika Fay sudah tidur, tapi rasa kehilangan itu tetap ada. Rasa kehilangan itu seperti awan mendung yang semakin lama semakin menghitam mengancam akan menurunkan hujan yang banyak. Sampai pada satu waktu nenek dan kakek sudah tidak tahan lagi menahan kesedihan, mereka jatuh sakit. Bukan sakit secara fisik, mereka sakit karena menahan kerinduan akan anaknya. Pelan - pelan penyakit pikiran itu menggerogoti usia mereka, ingatan demi ingatan menghilang. Mereka lebih banyak melamun dan kebingungan apa yang sedang mereka kerjakan, mereka mencari - cari Linda anak semata wayang mereka, bertanya - tanya kenapa Linda sudah lama tidak pulang ke rumahnya. Keadaan ini menjadi semakin lama semakin buruk, sampai ketika Fay menelpon Michael ke kantornya karena kakek dan nenek sedang membongkar gudang mereka dan menemukan pakaian - pakaian lama Linda, dan mereka menangis tanpa henti. Fay yang juga merindukan ibunya ikut menangis sambil berusaha menenangkan kakek dan neneknya. Mendung itu akhirnya turun menjadi hujan yang lebat menyelimuti rumah itu. Michael pun buru - buru pulang ke rumah, dia melihat rumah itu gelap dan berantakan. Kakek, nenek dan Fay sedang duduk di lantai termenung sambil memegang barang - barang Linda. Michael pun dengan berat hati memutuskan untuk mencarikan mereka panti jompo yang bagus, dia bukan bermaksud tidak berbakti tetapi ini pun sesuai dengan nasihat dokter. Kesedihan karena anak semata wayang mereka "pergi" lebih dahulu pada usia senja seperti mereka merupakan pukulan yang amat berat. Mereka membutuhkan bantuan dari profesional dan dengan berada di sekitar teman sebayanya diharapkan dapat membantu mereka untuk melalui sisa hidup mereka dengan bahagia. Pelan - pelan, setahap demi setahap Michael mulai menata kembali keluarga mereka. Dia tahu bahwa dirinya harus bangkit karena masih ada Fay kecil yang bergantung padanya, Fay berubah menjadi lebih posesif, lebih sering menangis, dan murung. Dia menjadi ketakutan semua orang akan meninggalkan dirinya satu demi satu, pertama ibunya lalu kakek dan nenek, dunia Fay seperti menghilang sedikit demi sedikit. Suatu malam, setelah Michael mendapatkan laporan dari sekolah mengenai kesulitan Fay dalam berkonsentrasi mendengarkan pelajaran dan menjadi sering bertengkar dengan teman - temannya, Ia memutuskan sudah waktunya dia berbicara dari hati ke hati dengan putri kecilnya. Ia sadar selama ini dia sibuk menata kembali hidupnya, mengurus pemakaman wanita yang dicintainya bukan hanya secara fisik tapi di hatinya juga, ia harus menerima bahwa wanita yang sudah berjanji sehidup semati dengannya terpaksa pergi lebih dahulu dari dirinya. "Fay...Ayah dengar kamu kemaren bertengkar dengan temanmu, ada apa nak?" Fay datang mendekat dan memeluk ayahnya erat - erat, hal ini menjadi lebih sering, Fay membutuhkannya untuk meyakinkan dirinya bahwa ayahnya masih di sini bersamanya "Kemaren..." kedua mata Fay menjadi berkaca - kaca, bendungan itu nyaris runtuh "Ayah...kemaren...kemaren..." "Kenapa Fay?" ayahnya menggendongnya dan berjalan ke arah sofa, dia memangku putri kecilnya itu sambil memeluk dan mengelus punggungnya "Ayo cerita sama Ayah, kan kamu best friendnya Ayah." "Mereka...kemaren...hu..hu..hu.." Fay terisak - isak. Michael memeluk anaknya, ketika menunggu tangis Fay reda, tanpa sadar bendungan yang selama ini dia bangun akhirnya runtuh juga, tiba - tiba dia terisak - isak juga. Mungkin karena sekarang tinggal mereka berdua, mereka akhirnya memiliki waktu pribadi untuk menumpahkan kesedihannya tanpa takut membuat kakek dan nenek menjadi sedih juga. Fay yang melihat ayahnya menangis terisak - isak memeluknya lebih erat "Ayah...Aku kangen ibu...Ibu lihat kita dari atas sana kan?" "Ayah juga kangen ibumu, Fay... Iya, ibu pasti lihat dari atas sana, kita jangan nangis lagi yuk...Nanti ibu juga ikut sedih dan khawatir, kita harus buat ibu bangga." "Yah...maaf ya, kemaren aku pukul Ronald soalnya dia marah - marahin ibunya dengan kata - kata kasar karena isi bekalnya dia gak suka, malah di lempar ke ibunya. Kasihan yah ibunya, aku jadi ingat ibu, jadi kudorong dia dan kupukul." "Fay... Ayah bangga sama kamu, tapi lain kali lebih baik kamu panggil gurumu ya, beliau pasti lebih bisa menasehati Ronald." Malam itu setelah menidurkan Fay, Michael duduk melihat sekeliling rumahnya, di setiap sudut rumah ini banyak sentuhan dan kenangan mereka sekeluarga Apa yang harus aku lakukan Linda? Bisakah aku membesarkan Fay seorang diri? Pagi - pagi setelah mengantarkan Fay ke sekolah, Michael pergi ke kantor seperti biasanya. Dia meminta ijin kepada atasannya untuk berkerja setengah hari dan selebihnya dia kerjakan di rumahnya selama dia belum bisa menemukan seseorang yang bisa mendampingi Fay sepulang dari sekolahnya. Baru saja duduk di bangkunya, telpon genggamnya berbunyi, di layar menunjukkan penelpon adalah gurunya Fay "Selamat pagi ibu Nisa, ada yang bisa saya bantu?" "Selamat pagi Ayah Fay, pak mohon maaf sekali, apakah anda bisa membawa Fay pulang sekarang juga?" "Loh, ada apa ya bu? Apakah dia sakit?" (deg...keringat dingin membasahi tengkuknya) "Mohon maaf pak, kami sebagai pihak sekolah tidak dapat mencegah hal ini terjadi. Tadi Bapak Joni, orang tua dari Ronald datang ke sekolah, dia tidak terima akan kejadian kemarin. Mohon maaf sekali pak, kami terutama saya sebagai gurunya merasa malu sekali tidak dapat melindungi Fay. Bapak Joni meminta Fay untuk keluar dari sekolah atau akan memproses hal ini ke jalur hukum. Bapak Joni ini seorang pengacara yang lumayan berpengaruh. Tadinya kami ingin memberitahukan kepada bapak ketika menjemput Fay dari sekolah, tapi setelah kami pikir kembali lebih cepat lebih baik jangan sampai nanti ketika pulang sekolah bertemu lagi dengan beliau." "Fay dimana sekarang? Bagaimana keadaannya, apakah bapak itu memarahinya?" "Fay ada bersama saya sekarang pak, dia agak ketakutan. Saya juga sudah mempersiapkan surat - surat untuk Fay agar bisa pindah sekolah dengan mudah." Michael menghela napas panjang, Dunia macam apa ini? Pertama istrinya lalu sekarang anak semata wayangnya. "Demi Tuhan dia hanya seorang anak kecil, dan dia juga tidak melakukan hal yang salah, seorang Ibu memang harus dihormati terutama oleh anaknya." "Mohon maaf sekali pak, kami paham sekali mengapa Fay melakukan hal tersebut dan kami juga turut menyesal tidak bisa membantu apalagi dalam suasana berduka seperti ini. Tapi pak mungkin ini bisa jadi jalan terbaik pak, untuk Fay dan Bapak, kehidupan di tempat yang baru mungkin bisa membantu meringankan kesedihan yang dialami." "Baik bu, saya akan segera ke sana sekarang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN