Mia terus menguap sejak pagi, semalam dia dan Hannah tidur terlalu larut. Dan sekarang Mia merasakan akibatnya.
“Hannah, aku ke toilet dulu. Kau duluan ke kelas saja, sisakan satu kursi di dekatmu untukku.” Tanpa menunggu sahabatnya itu membalas, Mia langsung melesat ke toilet.
Setelah membasuh matanya berkali-kali, Mia menyusul Hannah yang telah menyisakan kursi di sebelahnya. Tempat yang cocok untuk bisa tidur, Hannah menyisakan kursi dibelakang untuknya. Mia jarang duduk di belakang, tapi gadis itu ingat, sekarang pelajaran matematika. Dan sepertinya semua gadis tidak mau duduk terlalu belakang agar bisa memperhatikan atau diperhatikan oleh Sam.
Sam masuk dengan membawa beberapa buku tebal, tanpa berbicara lantas dia menuliskan sesuatu di papan tulis.
Mia terus memperhatikan papan tulisnya sambil mengantuk. Gadis itu mencoba mencubit dirinya sendiri agar tidak tertidur, tapi tetap saja itu tidak ampuh. Akhirnya gadis itu membaringkan kepalanya di atas meja dan mulai terlelap.
“Hei,” kata seseorang yang mengetuk-ngetuk meja Mia.
Gadis itu bangun dengan mata yang masih setengah terbuka. Saat dia mengangkat kepalanya, Sam sedang memandanginya dengan senyum menawannya. Kemudian, Mia baru menyadari bahwa hanya ada dirinya dan Sam yang ada di ruang kelas.
Tentu saja dengan wajah panik dan mata yang langsung terbuka lebar-lebar, Mia tersentak ke belakang. Ingatannya tentang Sam yang hanya berdua dengannya membuatnya trauma, dan yakin bahwa itu adalah Déjà vu yang dibuat Sam.
Gadis itu tidak ingin ditusuk lagi, tidak ingin disakiti lagi. Dia kemudian mundur beberapa langkah dan berlari menuju pintu. Sayangnya saat Mia membuka pintunya, secara paksa pintu itu tertutup kembali. Dengan wajah yang panik gadis itu menatap Sam yang sudah berubah menjadi orang lain, menjadi pemuda berambut hitam keabu-abuan yang sama saat Sam ada di rumahnya waktu itu. Orang yang ingin melukai Mia terus menerus, dan dia menggenggam sesuatu yang tajam. Pemuda itu mulai mendekat, sontak Mia berteriak sekeras mungkin, walaupun tidak ada satu orang pun di sana.
Di saat seperti ini, justru Mia mengharapkan Sam ada bersamanya. Laki-laki itu berlari ke arah Mia dengan sangat cepat. Mia menutupi tubuhnya dengan meja sebagai perlindungan. Tapi, laki-laki itu berhasil menggapainya dan melukai telapak tangannya. Gadis itu merasakan perih di sana, darah mulai keluar sedikit demi sedikit dari lukanya itu.
Berteriak saja tidak akan menghasilkan apa-apa, bahkan untuk melukainya pun tidak. Setengah kesal dan ketakutan, Mia melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya ke arah orang itu. Pemuda itu terus saja menghindar, dan tidak ada satu pun barang yang Mia lempar mengenainya. Dengan putus asa Mia melemparkan kursi ke arahnya lagi. Gadis itu sudah terpojok di depan pintu yang tidak bisa terbuka. Sambil berusaha melawan, gadis itu mendorong pintunya agar terbuka.
Usahanya terus saja sia-sia, dia juga hampir kehabisan barang-barang untuk dilempar. Sekarang giliran laki-laki itu melemparkan barang-barang ke arah Mia, tentu dengan kekuatan supernaturalnya. Sebuah kursi melayang ke arah Mia. Gadis itu hanya bisa pasrah sambil menutup matanya, punggung sempitnya bersandar letih pada pintu.
Brakkk!!!
Mia terjatuh akibat pintu yang terbuka, ia merasakan matanya pedih seperti habis disengat hingga membuyarkan penglihatannya.
***
Suara bel sekolah berbunyi sangat keras di telinga Mia hingga membuat gadis itu terlonjak dari kursinya. Semua siswa sekarang sedang menatapnya dari segala arah. Begitu juga Sam di depan papan tulis yang sudah selesai menulis.
Hannah menatap sahabatnya cemas, ini kedua kalinya Mia tertidur di kelas. Bukan kebiasaan Mia sekali. Terlebih beberapa hari lalu, sahabatnya itu juga bolos kelas. Hal yang sangat jarang dilakukan Mia di awal semester.
Atensi semua orang kini tidak pada Mia lagi, mereka sudah kembali memperhatikan Sam yang sedang berbicara di depan. Begitu gurunya itu menutup pelajarannya, semua anak berhambur keluar kelas. Terlihat sebagian besar murid perempuan keluar sambil tersenyum-senyum pada Sam.
Saat Mia akan keluar bersamaan dengan Hannah, Sam memanggilnya.
“Miss Paris, aku ingin bicara padamu.”
Hannah melirik sahabatnya khawatir, tapi kemudian Mia mengangguk dan membiarkan Hannah pergi dari ruangan. Sebenarnya Mia sangat ingin menolak panggilan Sam, tapi ini di sekolah, karena itu dia tidak bisa menolak panggilan seorang guru.
Mia menunduk, seolah tahu apa yang akan dikatakan Sam padanya. Pasti masalah dia yang tertidur di kelas saat gurunya itu menjelaskan, ‘kan?
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sam cemas.
“Ya, aku hanya kurang tidur semalam,” jawab Mia biasa.
“Bukan itu yang aku maksud. Kau berteriak tadi saat aku menjelaskan.” Sekarang wajah Sam lebih cemas dari biasanya. Diliriknya tangan Mia yang terlihat tergores, lalu menarik tangan gadis itu. “Apa ini ulah orang yang menyakitimu dalam Déjà vu?”
Mia melirik telapak tangannya yang luka, dia yakin sebelumnya luka itu tidak ada. Luka itu ada saat Mia bermimpi di kelas tadi. Yang tentu membuat Mia semakin yakin bahwa itu bukan hanya sekadar mimpi. Tapi, gadis itu tidak ingin Sam tahu, sehingg dia memilih untuk berbohong.
“Bukan, aku mencoba memasak semalam dan saat mencoba membersihkan pisau, tanganku tergores.” Gadis itu menarik tangannya dari Sam. Rasa perihnya mulai timbul.
“Kenapa tidak diobati?”
“Aku lupa untuk mengobatinya, lagi pula tidak sakit,” jawabnya berbohong lagi.
“Aku tahu kau berbohong Mia,” ujar Sam.
Apakah mungkin Sam bisa membaca pikirannya? Tentu saja mungkin, tapi Mia menepis semua itu dan berusaha tidak memikirkan kejadian tadi. “Aku tidak berbohong,” sangkalnya sinis kemudian pergi keluar kelas.
Mata Sam mengikuti Mia saat gadis itu keluar dengan kesal. Gadis itu sedang terancam dan Sam tidak bisa diam saja.
***
“Kau benar-benar tertidur tadi,” kata Hannah sambil menyantap makan siangnya dengan malas.
“Ya, ini karena semalam aku menonton film sampai larut malam.” Mia menatap sahabatnya yang tidak biasanya terlihat malas untuk makan. “Memangnya, aku benar-benar berteriak?”
“Kau berteriak seolah ada orang yang ingin menyakitimu, dan teriakanmu benar-benar seperti orang tercekik. Kepalaku hampir pusing mendengarnya.” Hannah mulai mengingat kejadian di kelas tadi.
Mia menunduk lesu. “Buruk sekali berarti.”
Suasana mulai ramai dan banyak orang yang mencari tempat duduk. Mia dan Hannah biasanya hanya duduk berdua, tapi kali ini seseorang duduk di samping Mia dengan santai.
“Hai, Hannah!” sapa seseorang yang duduk di samping Mia.
Mia menoleh ke sampingnya, menatap anak laki-laki dengan rambut cepak. Sekarang gadis itu beralih ke Hannah sambil menunjukkan ekspresi bertanya.
“Makanan di sini tidak buruk juga,” kata anak laki-laki itu.
“Hannah? Siapa dia? Pacar barumu?” Mia menatap sahabatnya itu penasaran.
Anak laki-laki itu memposisikan tubuhnya menghadap Mia. “Kau pasti Mia, aku Louis, sepupunya Hannah.”
Mia membuka mulutnya lebar-lebar seakan ingin bicara, tapi tidak ada suara yang kelauar dari sana, ia hanya menatap Hannah dan Louis bergantian.
“Yah, setidaknya sekarang aku tidak perlu memperkenalkanmu dengan Louis,” kata Hannah malas-malasan. Dia menatap makanannya yang tumben masih tersisa banyak.
“Jadi sekarang kau tinggal di sini?” tanya Mia pada Louis.
“Ya, setidaknya untuk beberapa bulan ini. Ayahku sedang keliling Amerika karena pekerjaannya. Aku tidak ingin ikut dengannya dan berpindah-pindah sekolah. Jadi aku minta untuk tinggal di sini bersama Hannah. Iya, kan, sepupu?” Louis menatap Hannah dengan satu alis terangkat.
Mungkin karena ini Hannah menjadi malas makan. Tidak ada yang bisa mengurangi nafsu makan Hannah selain datang seseorang yang bisa membuatnya kesal.
“Ah, aku permisi sebentar, ladies,” pamit Louis sambil berdiri dari kursinya.
“Nafsu makanmu berkurang karena dia?” tanya Mia penasaran.
“Nafsu makanku akan berkurang selama dia tinggal di rumahku,” ujar Hannah yang dipelan-pelankan. “Mia, jangan sampai ada yang tahu kalau dia sepupuku,” Hannah berbisik pada Mia.
Mia menunjukkan ekspresi terkejutnya. “Kenapa?”
“Kau akan tahu sebentar lagi,” kata Hannah dengan mata yang terarah ke belakang Mia.
Mia menoleh dan melihat Louis yang kembali dengan membawa dua gadis, yang satu berambut merah, yang satu lagi berambut pirang.
“Sebaiknya kita pergi, jika tidak ingin ada masalah,” peringat Hannah yang sudah pergi terlebih dahulu, meninggalkan makan siangnya di meja bergitu saja.
Semenakutkan itukah si Louis? Sampai-sampai Hannah meninggalkan makan siangnya dan tidak menghabiskannya. Ini hal baru bagi Mia, melihat sahabatnya yang meninggalkan makanan tanpa dihabiskan.
Louis duduk di samping Mia dengan santai. Si gadis berambut pirang kemudian menggeser Mia menjauh dari Louis sambil memelototkan matanya. Mia hanya menatap gadis itu datar.
“Ke mana Hannah? Kenapa dia pergi?” tanya Louis yang sekarang sedang menatap Mia. Gadis rambut pirang di sampingnya terlihat terkejut saat mengetahui Louis mengenal Mia.
“Dia pergi, ada urusan penting katanya.” Mia mengambil biskuit di nampan Hannah yang tidak dimakan, kemudian berdiri untuk menyingkir dari Louis beserta gadis-gadisnya.
“Kau mau ke mana?” kembali Louis bertanya, yang kini tengah menyantap makan siang dengan disuapi oleh gadis-gadis itu.
“Pergi,” jawab Mia singkat. Sekarang dia jadi mengerti kenapa Hannah tidak ingin Louis ada disini, bahkan mengakuinya sebagai sepupu. Louis itu baik menurut Mia, tapi dia tipe cowok populer yang bisa mendapatkan banyak gadis hanya dalam sehari. Dan... Mia telah berjanji untuk tidak mendekat pada pria semacam Louis, ataupun Sam.
“Kau tidak ingin bersenang-senang bersama kami?” tanya Louis lagi. Louis itu sepupu Hannah dari ayahnya, karena itu dia tidak memiliki wajah Asia seperti Hannah. Jadi, orang tidak akan ada yang mengira bahwa Hannah dan Louis adalah sepupu.
“Aku rasa, hanya kau dan gadis-gadismu yang bersenang-senang di sini.” Mia sekarang sudah berjalan menjauh dari Louis dan mencari Hannah yang telah pergi lebih dulu.
“Mia!” panggil Hannah dari sudut koridor.
“Kau benar, aku tidak tahan duduk bersamanya.” Mia menarik napas panjang seolah lelah.
“Sudahku bilang, ‘kan? Berusahalah untuk tidak terlalu dekat dengannya, dia akan membuat kita susah jika terlalu dekat.”
Sekarang mereka berjalan di koridor bersamaan. Mereka membicarakan beberapa hal mengenai liburan akhir pekan.
“Aku berpikir untuk berlibur akhir pekan bersama ayahku, menurutmu tempat mana yang bagus untuk aku kunjungi?” tanya Mia. Hannah memang sangat suka berjalan-jalan, jadi sahabatnya itu pasti tahu tempat mana yang bagus untuk dikunjungi.
“Bagaimana dengan piknik di pantai? Atau pergi ke taman hiburan?”
“Sepertinya itu tidak cocok untuk liburan antara ayah dan anak. Itu seperti kencan, Hannah. Bisa-bisa ayahku dikira mengencani gadis muda yang tertarik pada ketampanannya.” Mia tertawa geli saat mengatakan itu.
Hannah terdiam sambil membayangkan kata-kata Mia, kemudian dia ikut tertawa.
“Kau pasti membayangkannya, ‘kan?” tanya Mia yang masih tertawa.
Hannah hanya tertawa tanpa menjawabnya, seolah sahabatnya sudah tahu jawaban apa yang akan dia katakan. Saat mereka berjalan di koridor, Sam muncul di depan mereka dengan senyum dan tatapan yang selalu dia tebarkan di seluruh sekolah.
“Kalian kelas tiga, ‘kan?” tanya Sam yang sudah berdiri di depan kedua gadis itu.
Hannah menyunggingkan senyum lebarnya sambil mengangguk. Mia hanya menunduk, tidak berani menatap pria itu.
“Aku mengajukan kelas tambahan bagi murid kelas tiga. Mereka mengizinkanku untuk mengajar kelas tambahan matematika, tapi tidak bersifat wajib dan di luar tanggung jawab sekolah. Jadi kalian tidak perlu membayar uang tambahan. Ini jika kalian mau saja,” jelasnya sambil membenarkan dasinya.
“Dengan senang hati Mr. Fox, kami akan datang,” ujar Hannah yang dibarengi dengan pekikan beberapa gadis di sekitar mereka.
Sam berjalan kembali tanpa menatap Mia, dia hanya tersenyum pada Hannah dan kemudian pergi. Mia tentu saja tidak melihat itu, dia terus-terusan menunduk sambil menyibukkan diri entah dengan jarinya atau yang lainnya.
“Kau bisa kan, sepulang sekolah nanti?” tanya Hannah masih menatap jejak Sam yang menghilang di ujung koridor.
“Tidak bisa, aku ada latihan bela diri hari ini.”
Mereka mulai berjalan lagi.
“Ayolah, Mia, kelas ini kan bukan hanya sekadar main-main saja. Apalagi gratis. Kapan lagi bisa mendapatkan kelas tambahan secara cuma-cuma? Apalagi dengan pengajar yang keren dan tampan,” bujuk Hannah.
“Aku sudah membayar lima puluh dolar untuk ikut kelas bela diri. Kau saja yang ikut, aku lain kali saja.”
Bahkan jika dia tidak ada kelas bela diri pun, Mia akan menolak pelajaran tambahan dari Sam. Dia tidak akan tahan jika terus berada di dekat Sam. Nilai matematikanya mungkin akan turun, karena selama ini dia terus tidak fokus selama Sam mengajar. Entah karena dia memikirkan tentang Sam atau takut dia akan masuk ke dalam Déjà vu lagi.
“Gara-gara dia aku jadi lapar sekarang,” keluh Hannah.
Mia ingat bahwa dia mengambil biskuit yang tidak disentuh Hannah tadi. Gadis itu merogoh saku jaketnya dan memberikan bungkusan kue itu pada Hannah.
“Ah, terima kasih, Mia. Kau memang sahabat terbaikku.” Hannah berteriak kegirangan sambil menyambar bungkusan itu.
Mia tersenyum lalu membalas, “Kau selalu mengatakan itu saat aku memberikan sesuatu.”
“Karena kau selalu memberikan sesuatu di saat yang tepat. Maksudku, semua barang yang kau berikan selalu berguna untukku. Sedangkan aku? Aku pernah memberikan apa padamu?”
“Hei, kau selalu memberikan tumpangan pulang untukku. Kau selalu menemaniku ke mana pun aku pergi,” bela Mia untuk Hannah.
Kedua sahabat itu tersenyum sambil merangkul satu sama lain. Mereka berjalan ke kelas bersamaan.