Pilihan Sena 2

1085 Kata
Dokter tersebut tampak menggelengkan kepalanya setelah mengetahui keluhan pasien yang berada dihadapannya ini. Ia juga seorang perempuan sulit juga rasanya melakukan hal tersebut. "Apa dokter bisa memenuhi permintaan saya? Saya akan membayar berapapun yang doker minta asal semua ini bisa lenyap," tanya sena dengan raut wajah yang penuh keraguan, ini adalah klinik kelima puluh yang ia datangi untuk mengaborsi bayi yang berada di dalam perutnya itu. Sena sangat berharap bahwa uang bisa membutakan dokter tersebut. "Maaf, Bu Sena. Saya juga seorang wanita, mari pikirkan secara baik-baik apa yang menjadi keputusan ibu saat ini, saya yakin ibu juga tidak tega menggugurkan bayi tak bersalah itu kan? Mari tanyakan pada hati nurani ibu, jangan memikirkan emosional ibu saja," ucap dokter Diana yang bertugas saat itu. "Maaf, saya ke sini untuk menggugurkan bayi ini, Dok. Bukan untuk konsultasi, dokter bukan psikolog yang pantas menasehati saya!" ucap Sena dengan nada tinggi sambil menggebrak meja yang berada tepat dihadapnnya. Dokter Diana sempat terkejut dengan sikap Sena yang seperti itu. "Saya harap ibu bisa menghormati keputusan saya," kata dokter Diana yang tampak lelah dengan sikap Sena. Bukan hanya Sena yang datang ke kliniknya dengan masalah seperti itu, bahkan ada puluhan orang setiap minggu yang datang hanya ingin melakukan aborsi. Entah berapa banyak dosa jika ia menerima semua permintaan pasiennya, dulu ia pernah menerima sekali permintaan tersebut karena merasa kasihan dengan sang ibu, namun setelah ia lama di dunia kedokteran, hal tersebut membuatnya kapok dan merasa sangat bersalah saat itu dan berjanji bahwa itu adalah pertama dan terakhir kalinya ia melakukan dan membantu orang aborsi. Mereka yang membuat sudah seharusnya mereka yang bertanggungjawab. Menerima permintaan aborsi sama juga dengan membutakan hati para calon orang tua dan membuat para orang calon orang tua tidak memiliki rasa tanggungjawab. Setelah mendengar hal tersebut, Sena langsung pergi dari ruangan tersebut dengan membanting pintu putih polos itu membuat beberapa orang yang sedang menunggu giliran dipanggil terkejut. "Aku tidak boleh memelihara janin ini, aku harus menggugurkan janin sialan ini," ucap Sena dengan gelisah, ia tidak ingin jadi omongan tentunya. Dan lagi, ia tidak ngin repot mengurus bayi dari orang yang tidak ia cintai, lagi pula ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Ia masih ingin bersenang-senang sebelum ia benar-benar menjadi ibu suatu hari nanti dengan orang yang ia cintai. Wajahnya tampak gelisah, ia melangkah mondar-mandir di depan parkiran klinik tersebut sampai suatu ide muncul dikepalanya. Sena pun cepat-cepat memesan taksi untuk ke suatu tempat. Dirinya merasa lega ketika otaknya bisa memikirkan ide cemerlang seperti ini. "Baiklah, kau memang pintar Maria Sena. Aku akan segera balas kamu tua bangka!" ucap Sena dengan nada sinis sambil melihat layar ponselnya yang menampilkan foto Richard. Sementara itu di kantor Richard, Dayana dan Delya sang ibu hanya bisa bungkam ketika Richard memasuki ruangan kerjanya lagi, mereka tidak ingin membahas hal tersebut. Ini bukanlah pertama kalinya Richard melakukan hal itu, walaupun pria paruh baya itu sangatlah family man namun sifat peselingkuhnya yang sudah mendarah daging bukanlah suatu hal yang bisa dihilangkan begitu saja walaupun ia sudah menikah. "Ceraikanlah aku," ucap Delya yang masih menatap keluar jendela. Dayana sempat kaget mendengar ucapan ibunya itu, ia memegangi lengan ibunya seperti memohon untuk tidak mengucapkan hal semacam itu terhadap Richard. "Haha, ya sudah bagus kalau begitu. Aku akan menggugat cerai kamu. Biar nanti pengacara aku yang akan mengurus semuanya, kamu tidak perlu khawatir," kata Richard yang kembali bekerja dengan wajah babak belurnya. "Pa, Ma. Kalian jangan seperti ini dong, semua masalah pasti ada jalan keluarnya kok gak perlu pisah kayak gini," kata Dayana memelas mencoba membujuk kedua orang tuanya yang sama-sama egois itu. "Nah, kamu. Balik sana ke Australia, urus saja perusahaan di sana itu sudah menjadi jatah kamu dan mungkin ibumu jika dia mau." Richard mengatakan itu sambil melirik istrinya tersebut. Mendengar itu, Delya membanting amplop yang berada ditangannya itu. Ucapan suaminya itu memang membuatnya naik pitam. "Memang, seharusnya aku tidak pernah berumah tangga dan berharap bahwa aku bisa mengubah pria b******n' seperti kamu menjadi pria baik." Setelah mengatakan itu, Delya pergi meninggalkan suami dan anaknya di ruangan tersebut. Dayana yang merasa kecewa dengan papanya itu pun langsung keluar mengikuti mamanya. *** Keringat dingin bercucuran, rasanya sangat diluar dugaan Sena. Perutnya sangat sakit sekali membuat dirinya menangis sesegukan menahan rasa sakit tersebut. Wanita tua itu mengurut perut Sena yang mulai membuncit dengan perlahan-lahan. Makin lama makin sakit saja rasanya perut perempuan tersebut. Saat dukun mengepalkan kedua tangannya menekan dari arah berlawanan ke atas dan kebawah dengan tujuan memecah bakal janin. Pada waktu darah mulai keluar pertanda bakal janin sudah pecah disaat itu pula puncak kesakitan Sena semakin menjadi-jadi seperti ingin pingsan saja rasanya. Rasa sakit tersebut adalah rasa sakit paling parah yang pernah Sena rasakan, ia berjanji setelah ini ia tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini lagi. Beberapa saat semua proses tersebut telah selesai, Sena tidak langsung pulang melainkan istirahat sebentar di tempat itu karena sudah tidak ada tenaga untuk membawa dirinya sendiri ke aparemen dimana dirinya tinggal. "Ini diminum dulu ya teh manis hangatnya biar ada tenaga lagi," kata wanita tua itu sambil menyodorkan secangkir teh hangat yang baru saja ia bikin. "Terima kasih, Nek." Sena langsung menyerap teh hangat itu dengan rasa haus yang sangat menjalar dikerongkongannya. Wanita tua yang biasa disebut mbah Momo menatap Sena dengan rasa iba, entah apa yang membawa perempuan muda itu ke sini, tapi yang pasti Mbah Momo yakin bahwa Sena bukanlah orang yang sengaja berbuat hal terlarang seperti itu tanpa alasan. "Nek, saya takut sekali dengan keputusan saya ini," ucap Sena sambil menangis. Mbah Momo pun memeluk tubuh Sena yang sangat rapuh itu. "Setiap keputusan pasti ada resikonya masing-masing, Neng. Saya yakin, eneng bukanlah wanita yang seperti itu. Pasti ada suatu alasan kuat mengapa mengambil jalur ini, apapun itu saya harap Eneng bisa kembali ke jalan yang benar suatu saat nanti begitu pun saya. Suatu saat saya juga pasti harus bertobat dari praktek ilegal dan menanggung dosa yang sangat banyak ini." Perkataan Mbah Momo membuat Sena seperti tertampar keras. "Makasih, Nek. Hari ini mungkin saya sudah bertemu dengan orang yang tepat, saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi," ucap Sena dengan senyum sumringah, ia seperti mempunyai energi lagi untuk bangkit dari keterpurukan. "Ingatlah apapun yang kamu perbuat jangan pernah malu sama manusia, tapi malulah pada sang penguasa alam semesta yaitu Tuhan yang menciptakan bumi dan seisinya. Kalau kamu malu sama manusia memang tidak akan ada habisnya, manusia terlalu baik untuk mengomentari perilaku orang lain. Banyak perempuan yang datang ke sini untuk menggugurkan janinnya karena mereka malu pada manusia bukan pada Tuhan," ucap Mbah Momo dengan wajah sendu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN