PART 14 - MILIK DADDY

1805 Kata
PART 14 – MILIK DADDY Lonceng bel istirahat berbunyi. Seperti biasa Cantika akan keluar bersama Mauren. Biasanya mereka bertiga bersama Jordi, sepupu Mauren.  Kali ini entah Jordi kemana. Sekolah Ananda Harapan, merupakan salah satu sekolah elite di daerah jakarta pusat. Sekolah itu terbagi dua gedung, dua lapangan dan dua taman beserta halaman. Untuk anak taman kanak-kanak dan Sekolah dasar,  disediakan lahan untuk para siswa menghabiskan waktunya saat jam istirahat. Sedang untuk tingkat Sekolah Lanjutan Pertama dan Lanjutan Atas, para siswa lebih suka menghabiskan jam istirahat di kantin. Siang ini,  Cantika dan Mauren sedang mencari kursi taman yang kosong. “Ika, kita ke sebelah sana yuk,” unjuk Mauren menunjuk kursi depan kolam ikan yang masih kosong. “Ayo.” Mereka berdua berjalan sambil membawa bekal. Dan tibalah saat bekal di buka. Mauren mengernyit heran, melihat kotak bekal milik Cantika. “Ika, kenapa kotak bekal kita sama?” tanyanya sambil menunjukkan kotak bekal miliknya. Cantika menoleh dan memperhatikan kotak bekal Mauren yang kini bersejajar dengan kotak bekal miliknya. Karena penasaran, Mauren meraih kotak bekal yang ada di depan Cantika. Ia melihat ada tulisan Daddy di atas kotaknya. “Ini milik Daddy aku. Kenapa bisa ada sama kamu, Ika?” Raut wajah Mauren penuh rasa penasaran. Seingatnya tadi Mommy memberikan pada Daddynya. “Milik Daddymu?” tanya Cantika tak percaya. “Iya. Lihatlah. Milikku ada namanya, ini milik Daddy. Mommy memberikan kami kotak bekal yang sama, hanya berbeda tulisan.”  Cantika melihat kotak milik Mauren memang tertulis nama Mauren. Sedang kotak yang ia pegang bertuliskan Daddy. “Jadi yang memberikan kotak bekal tadi Daddymu ya?” tanya Cantika. “Daddy memberikan kotak bekalnya padamu?” Mauren semakin tak mengerti. Cantika menunduk tak enak hati. “Tadi kotak bekalku jatuh, isinya berantakan. Lalu datang Daddymu. Dan dia menggantikan kotak bekalku dengan miliknya.” “Apakah aku boleh memakannya?” tanya Cantika takut-takut. Mauren tersenyum.  Daddy memang orang yang baik. “Tentu saja. Kau boleh memakan bekal Daddyku. Daddyku orang yang baik hati.”  Wajah Cantika ikutan tersenyum. “Terima kasih Mauren.” Lalu mereka makan bersama. “Aku tidak akan marah hanya karena kamu memakan bekal Daddy-ku. Asal kau tidak merebut Daddy-ku ya,” pesan Mauren. Cantika menghembuskan napas. “Merebut Daddy-mu? Yang benar saja, aku sudah memiliki Papa Gavin dan Papa Heru.” “Tapi terima kasih ya, atas bekalnya. Aku bawa pulang kotaknya, supaya bisa dicuci  dulu.” Lalu Cantika langsung melahap roti yang ada di kotak bekal, sementara Mauren masih keheranan. Dua papa? Banyak sekali. “Kalian sudah makan? Bahkan tak menunggu aku?”  Seorang anak lelaki berdiri dihadapan Mauren dan Cantika. Jordi, sepupu Mauren berdiri dengan wajah merengut kesal. Cantika bangkit, begitupun Mauren. “Maaf Jordi, kami sudah selesai makan.” Lalu kedua gadis kecil itu pergi meninggalkan Jordi sendiri. "Kalian juga meninggalakan aku? Jahat sekali." Gerutuan makin terdengar dari mulut Jordi. ** Nadya baru saja menerima telepon, ketika seseorang berdiri di depannya. “Selamat siang Mbak. Saya mau bertemu Pak Adit bisa?” Nadya menatap lelaki di depannya. Sepertinya orang ini yang sedang ditunggu atasannya.  “Dengan bapak siapa ya?” tanya Nadya memastikan sambil tersenyum ramah. “Saya Prayoga, sudah janji hari ini.” “Oh Pak Prayoga. Anda sudah ditunggu di dalam. Silahkan masuk.” Namun lelaki itu justru masih saja berdiri di depan meja Nadya. Membuat Nadya keheranan. “Hmm Pak ... Pak Yoga ?”  Nadya melambaikan tangannya di depan wajah Prayoga saat di rasa orang tersebut diam mematung. “Ah ... maaf ya mba, bagaimana tadi?” Prayoga baru menyadari kekonyolannya menatap wajah cantik di hadapannya. “Pak Prayoga sudah ditunggu Pak Adit di dalam, silahkan.” Nadya tetap tersenyum manis walau dia agak risih sebenarnya. “Oh ya, terima kasih.” Lalu Prayoga segera masuk ke dalam ruangan Adit Nadya hanya menggelengkan kepala saat melihat tingkah tamu atasannya itu. ** Nadya membawa nampan berisi  dua cangkir teh manis hangat ke dalam ruangan atasannya. “Silahkan diminum airnya, Pak.” Nadya memindahkan dua gelas dari nampan yang ada di hadapannya ke meja tamu dalam ruangan Adit atasanya. Prayoga masih memandangi kepergian Nadya “Hmmm.”  Adit berdehem, mencoba mencairkan suasana, mengingat bagaimana sahabatnya yang jomblo ini sepertinya terpikat dengan Nadya. Prayoga tersenyum ke arahnya. Agak malu juga ia. “Sekretaris barukah?” tanyanya setelah melihat Nadya keluar ruangan. “Yup.” “Well boleh juga.” “Batalkan niatmu untuk mendekatinya.” Adit seolah mencoba membaca pikiran Yoga. “Kenapa? Sudah menikah ?” Adit terdiam. “It’s oke, aku akan cari tahu sendiri,” ucap Yoga sambil terkekeh. Adit hanya menggeleng. “Bagaimana sudah siap mengisi gedung belakang?” tanya Adit pada rekannya sekaligus sahabatnya. “Satu minggu lagi aku mulai bertugas di sana. Masih ada kendala sih.” Alis Adit terangkat satu. “Kendala apa?” Terdengar helaan napas dari prayoga. “Aku masih belum menemukan sekretaris yang cocok.” Kini Adit yang terkekeh. “Jangan bilang kalau kau mengincar sekretarisku, untuk kau taruh di gedungmu.” Prayoga berdecak. “Ck, ayolah Dit, kamu masih bisa mencari yang baru. Atau minta HRD mu mencari pengganti secepatnya. Aku butuh yang sudah berpengalaman.” Adit menggeleng, tak biasanya Prayoga menjadi cerewet begini. “Nanti aku pikirkan. Barangkali bagian HRD masih memiliki orang yang cocok untuk gedung belakang.” “Kalau aku berikan Nadya, kuyakin ia bukan hanya menjadi sekretaris untukmu. Bilang kalau pendapat aku salah.” Prayoga mengangkat bahu. “Apakah begitu terlihat?” “Sangat terlihat.” Lalu mereka berdua terkekeh. Adit mengenal Prayoga sejak lelaki ini bergabung di perusahaan milik Abil Maulana. Karena pekerjaannya yang memuaskan, Abil Maulana mengangkatnya menjabat manager PT Multi Diesel, untuk menangani usahanya yang bergerak di bidang importir pengadaan alat berat untuk pabrik. Abil Maulana  memiliki beberapa anak perusahaan yang membuatnya menduduki peringkat sepuluh besar pengusaha tersukses di negeri ini. Bahkan harta kekayaannya tak akan habis tujuh turunan. Prayoga dan Adit salah satu orang kepercayaan Abil Maulana dalam menjalankan bisnisnya. Gedung tempat Prayoga dan Adit bersebelahan, sehingga mereka berdua kerap bertemu. Prayoga seorang pria lajang, yang bahkan lupa untuk berumah tangga, karena lebih mementingkan karirnya. Tapi pertemuan pertamanya dengan Nadya membuat lelaki ini memiliki ketertarikan pada pemilik wajah cantik itu. Seusai pembicaraan dengan Adit, Prayoga keluar ruangan. Dan kembali bertemu Nadya di depan ruangan. “Selamat siang Mbak Nadya, saya permisi. Sampai ketemu lagi,” sapanya. “Iya pak, selamat siang.” Nadya kembali membalas sapaan ramah lelaki yang baru saja bertamu ke ruangan atasannya. Lalu Nadya kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia bersyukur bisa bekerja di bawah pimpinan Pak Adit. Selain orangnya baik, Pak Adit juga humoris. Kerap suka bercerita tentang cintanya terhadap sang istri.  “Kamu tahu Nadya, istri saya itu merupakan cinta pertama saya. Kami jatuh cinta bersamaan ketika kami bertemu di SMA. Lalu kami pacaran dan menikah. Itu pun harus bolak-balik putus nyambung. Maklum, istri saya orangnya teramat manja.” “Untungnya saya memiliki anak laki-laki. Gak kebayang anak saya perempuan, pasti manja seperti mamanya.” Nadya melihat foto yang ada di atas meja Adit. Tampak mereka berdiri sambil berangkulan. Nadya tersenyum sekaligus meringis dalam hati. Mungkin Arkhan juga seperti ini, memajang foto keluarganya di ruang kantornya. Nadya menghela bayangan tentang mantan suaminya itu. ** Ketika pulang ke rumah, ternyata Gavin sudah menjemput Cantika. “Bunda, kok malam pulangnya?” Cantika yang sedang asyik bermain bersama Gavin berlari menghampiri Nadya. “Iya sayang, bunda banyak pekerjaan.” “Ika sudah makan, sayang?” Nadya menaruh tasnya di atas meja. “Sudah sama Mama Siva. Mama Siva bawa makanan untuk bunda.”  Nadya menatap Gavin yang sedang berselonjor menonton televisi. “Papa sudah makan?” Gavin menoleh. “Sudah tadi di rumah Mba Siva. Kamu malam sekali pulangnya, tau gitu aku jemput.” Nadya melangkah menuju meja makan, dan melihat aneka ikan dan sayur. Perutnya mendadak keroncongan. Tanpa menunggu lama, Nadya menghabiskan makan malamnya. Ia menoleh ketika mendengar suara kursi di tarik. Ternyata Gavin. “Besok aku keluar kota. Gak apa kan kutinggal?” Pekerjaan Gavin yang menjadi manajer di sebuah perusahaan konstruksi menuntut harus sering pergi ke luar kota. “Papa Gavin mau pergi?” Kali ini Cantika yang bertanya.  Bahkan gadis kecil itu sudah berdiri di antara Nadya dan Gavin. Gavin melirik Nadya, sementara Nadya mengangkat bahu, seakan berkata silahkan bicara sendiri pada putrimu. Gavin meraih Cantika dan memangkunya. “Papa Gavin pergi hanya sebentar, nanti juga cepat pulang.” Layaknya seorang Ayah, ia membelai kepala Cantika dengan sayang. Cantika serasa tak puas, justru memajukan bibirnya. “Bunda sudah ada disini, kenapa Papa pergi lagi?” Nadya tersenyum melihat Gavin tak mampu berkata. “Sayang, Papa Gavin pergi ada pekerjaan. Jadi  Ika sama Bunda dulu ya.” “Tapi Papa Gavin cepat pulang kan?” tanya Cantika. “Oh iya dong, Papa Gavin pasti akan merindukan putri papa yang cantik ini. Kalau urusannya cepat selesai, Papa Gavin pasti pulang.” “Besok kan hari sabtu, Bunda dan Papa antar aku ke sekolah ya,” pinta Cantika. “Siap! Sekarang putrinya papa yang cantik ini harus sudah tidur. Hari sudah malam. Let’s go.” Gavin meraih Cantika dalam pelukan dan mengangkatnya. “Cium Bunda dulu, supaya kamu lelap tidurnya. Dan Bunda segera mandi ya, Bunda bau asem,” seloroh Gavin. Nadya hanya memutar bola matanya. Nadya tersenyum melihat Gavin begitu menyayangi Cantika. Ia beruntung dipertemukan dengan Gavin. Gavin sudah bisa menggantikan sosok Ayah untuk putrinya. ** Setelah mandi, Nadya membuatkan secangkir kopi untuk Gavin.  “Dia sudah lelap. Mungkin lelah karena terus bermain sejak tadi.” Gavin ikutan duduk di samping Nadya. Menyeruput kopi di cangkirnya. “Thanx ya,” ucapnya sambil mengangkat cangkir di tangan. “Kamu mau menginap?” tawar Nadya. “Kamu ingin kita di gerebek Pak RT?”  Nadya terkekeh. “Aku harus berkemas. Besok siang aku ke Singapura.” Bola mata Nadya nyaris keluar. “Kau bilang ke luar kota.” Ia memukul lengan Gavin. Gavin tersenyum. “Aku tak bisa menolak tugas bukan?” “Cantika pasti akan kehilanganmu,” lirih Nadya. Gavin meraih telapak tangan Nadya. “Menikahlah denganku Nad, ikutlah kemanapun aku pergi. Aku berjanji akan selalu membuat kalian bahagia.” Nadya menghela napas. “Kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari aku, Vin.” Gavin menatap kedua bola mata yang cantik itu. “Mengapa sulit sekali mengenyahkan lelaki itu dari hatimu, Nadya.” Nadya menghempaskan telapak tangan Gavin. “Aku serius Nadya.” “Dan aku dua rius.” Mereka berdua sama terkekeh. Hening sejenak. “Vin, sudah waktunya kamu memikirkan kebahagiaanmu.” Nadya menatap sahabat sekaligus dewa penolongnya. “Kalian berdua kebahagiaanku.” Andai Nadya bisa menerima cinta lelaki ini. Ia pasti bahagia memiliki pendamping seperti Gavin. Tapi sayangnya hati Nadya tak akan lagi mau menerima cinta siapapun selain cinta Cantika putrinya. Ia sudah meredam rasa ingin memiliki pasangan. Hatinya sudah mati, cintanya sudah karam bersama waktu. Semoga suka ya. Love Herni. Jakarta 17 Juni 2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN