Pengadilan agama merupakan salah satu tempat untuk mengakhiri sebuah ikatan resmi pasangan suami istri. Ada yang melihat pengadilan agama tempat menakutkan tetapi ada pula yang melihatnya sebagai awal bahagia untuk memulai hidup yang baru.
Selvia duduk di luar ruang tunggu sidang pengadilan didampingi Benny pengacaranya, ia menunggu panggilan untuk masuk ke dalam ruang sidang. Ada perasaan takut dan kecewa di dalam hatinya. Pernikahan yang terjalin selama 5 tahun harus pupus di pengadilan agama.
Tak semua orang menginginkan perceraian dengan orang yang pernah di sayanginya. Perasaan yang dulu saling mencinta bisa berganti jadi benci, saling menjelek-jelekkan, saling menyalahkan.
"Bu Selvia seperti Pak Yulius tidak datang ke pengadilan, dia hanya di wakilkan oleh pihak kuasa hukumnya saja," ujar Benny.
"Ga apa-apa lah Pak Ben mungkin ini yang terbaik, saya juga malas bertemu Ius."
Tak lama nama Selvia Kirana dan Yulius Santoso di panggil untuk memasuki ruang sidang. Sidang pertama perceraian Selvia dan Yulius berjalan tanpa hambatan. Ada surat sepakat bercerai secara baik-baik dan Selvia mengalah untuk hak asuh anaknya.
Setelah selesai sidang pertama, Selvia bertemu dengan kuasa hukum Yulius.
"Bu Selvia jika tidak ada masalah lagi mungkin di sidang kedua dengan membawa saksi bisa langsung putus cerai."
"Iya saya mengerti."
"Jika tidak ada hal lain yang ingin di sampaikan pada Pak Yulius, saya pamit dulu Bu."
"Tunggu."
"Ada apa Bu?"
"Bagaimana keadaan Kenzo?"
"Kenzo baik-baik saja Bu."
"Bisa saya bertemu Kenzo? Tolong ijinkan saya bertemu Kenzo walau hanya sebentar."
"Nanti akan saya sampaikan pada Pak Yulius."
Selvia tak bisa berkata apapun lagi, ia sekarang dalam posisi yang tidak menguntungkan, kesalahannya yang terbukti berselingkuh membuatnya tidak bisa mempertahankan hak asuh putra semata wayangnya.
Tanpa terasa waktu terus berlalu, sudah 3 bulan perceraiannya dengan Yulius berlangsung di pengadilan agama dan hari ini adalah putusan sidangnya. Selvia tidak menghadiri putusan sidang hanya di dampingi kuasa hukumnya saja, percuma ia datang kalau ia sendiri sudah tahu hasil putusan sidang tersebut.
"Lebih baik aku ke rumah Diandra deh," ujar Selvia sambil melajukan mobilnya.
Selvia tersenyum kecut, Diandra memang seorang tuan putri. Sudah dari keluarga kaya, mendapatkan suami sepertinya kaya, dan memiliki 2 orang putra-putri. Lengkaplah kebahagiaan Diandra.
Diandra melihat kedatangan Selvia, ia langsung keluar rumah dan menyambutnya.
"Sel, ayo masuk," ujar Diandra.
"Ok."
Diandra mendengarkan penjelasan Selvia tentang asuransi yang ia tawarkan. Selvia yakin pasti Diandra sudah memiliki asuransi, tapi apa salahnya ia mencoba.
"Nanti yaa aku bicarakan dengan Mas Andre," ujar Diandra.
"Iya Di. Tolong aku yaa."
"Kamu ada masalah apa si Di? Kalau ga keberatan cerita dong."
Selvia menghela napas panjang, ia memutuskan untuk menceritakan keadaan rumah tangganya yang berakhir di pengadilan agama. Diandra melihat Selvia dengan perasaan kasihan, ia mengerti perasaan Selvia. Jika ia berada di posisi Selvia mungkin akan berbuat sama.
"Sel, menginaplah di rumah ku," ujar Diandra.
"Ga usah Di. Aku ga enak sama suamimu," tolak Selvia.
"Sel, suamiku pasti ga masalah."
"Janganlah Di, aku belum kenal sama suamimu."
"Nah gimana mau kenal suamiku kalau kamu belum pernah bertemu? Ayoo lah semalam aja nginap di rumahku." Diandra masih berusaha membujul Selvia.
Selvia terdiam, ia memikirkan untuk tidur di rumah Diandra atau pulang ke apartemennya. Di apartemen ia juga bingung harus bagaimana, sepi sendirian di sana tanpa ada yang menemani.
"Ok lah kalau begitu jangan nyesel yaa."
"Mana mungkin aku menyesal, kamu kan teman aku, Sel."
"Terima kasih Di."
"Sama-sama Sel. Ooh iya Sel aku mau jemput anak-anak dulu yaa."
"Memang ga ada supir Di?"
"Ada, tapi lagi pulang kampung. Jadinya aku deh menjemput."
"Aku anterin yaa."
"Ga usah Di. Kamu istirahat aja di rumah nanti biar Mbak Mia yang menyiapkan semuanya."
Selvia menganggukan kepalanya, memang lebih baik ia menurut saja untuk saat ini. Ia harus bisa membuat Diandra dan suaminya untuk ikut asuransi yang ia tawarkan.
"Sel, kamu masuk ada kamarku. Mandi aja di kamarku."
"Jangan Di, aku mandi di kamar tamu aja."
"Kamar tamu lagi diberesin Mbak Mia, ga apa-apa kalau kamu mau bersih-bersih."
"Jangan Di."
"Udah akh cerewet, ayo ikut aku ke kamar," ajak Diandra sambil menarik tangan Selvia.
Selvia melihat dengan kagum kamar pribadi Diandra yang tampak mewah sangat berbeda dengan kamarnya. Kamar Diandra yang lebih banyak warna coklat muda dengan putih. Ranjangnya bergaya classic, di atas ranjang ada sebuah lampu kristal melengkapi ke mewahan kamar tersebut.
"Nih baju untuk kamu pake, masuk kamar mandi dan mandi sana," ujar Diandra sambil mendorong Selvia masuk kamar mandi.
Selvia melihat kamar mandi ini sangat mewah pesis senada dengan warna kamar pribadi Diandra. Ada bathtub di depannya juga ada shower sendiri, ia berpikir pasti sangat nyaman bisa mandi di sini. Kapan lagi ia bisa mandi di kamar mandi tuan putri.
Selvia sangat menikmati aliran air yang menerpa wajahnya melalui shower yang mengucur. Memakai sabun mandi Diandra yang beraroma mawar sungguh sangat menenangkan jiwanya, ia membasuh sabun dengan secara perlahan di tubuhnya. Seandainya ada lelaki yang menyentuhnya saat mandi tentu akan lebih menggairahkan.
Setelah selesai mandi, ia memakai handuk kimono milik Diandra lalu menggunakan handuk lain untuk di gulungkan di kepalanya, membungkus rambutnya yang basah. Tapi, tiba-tiba ia sangat kaget ketika ada sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang dan menenggelamkan kepala di curuh lehernya.
"Habis mandi sayang, kamu wangi sekali," ujar Andre memeluk tubuh Selvia.
Selvia sangat kaget di peluk oleh seorang pria, apakah ini suami Diandra?