Fitnah Lebih Kejam Dari Pembunuhan

1007 Kata
"Kau sedang apa Adrian?" tanya Ragil sinis kepadaku. "Aku sedang menunggu kehadiran putriku Debora," jawabku singkat. "Hebat sekali kau Adrian, padahal tampang kau jelek sekali. Kok mau gadis bule menjadi selingkuhanmu dan bodohnya lagi istrimu Tiara mau menerima anak hasil perselingkuhanmu dengan gadis bule itu," ejek Ragil kepadaku dengan berbisik. Darahku langsung mendidih, mendebgarkan penghinaan ini. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecut. Aku hanya menyindir balik hingga ia terbungkam. "Terserah kamu mau bicara apa tentangku dan keluargaku, ketahuilah Debora adalah putriku dengan Tiara. Aku tidak peduli masa lalu Debora di Neterland dengan keluarga lamanya yang aku ketahui sekarang Debora putriku, iya dia putri pertamaku dengan Tiara. Aku akan menjaga dan melindunginya," ungkapku dengan menyidirnya balik. Ternyata Tiara, mendengarkan pembicaraan kami. Tiara masuk dengan anggunnya. Putriku mengenakan gaun khas gaya gadis Eropa. "Om Ragil tolong dong, kalau punya mulut di jaga. Jangan sampai Om membuat orang lain terluka dengan omongan Om ingatlah Om mulutmu harimaumu," ejek Debora dengan tersenyum kecut. "Sudah Debora, nggak apa-apa nak. Biarkan saja anjing menggong-gong kafilah belalu," ucapku sambil membawa Tiara pergi dari kantorku. "Waar gaan we heen papa? Dit is niet de weg terug naar huis," tanya Tiara dengan Bahasa Neterlandnya. (Mau ke mana kita Papa? Ini bukan jalan pulang ke rumah,) "We willen naar het winkelcentrum, lieverd, we willen winkelen voor maandelijkse behoeften, zoals het kopen van nietjes en kleding. Ik zal papa helpen, oké?" tanyaku kepada Debora meminta bantuan. (Kita mau ke mall sayang, kita mau belanja untuk kebutuhan bulanan seperti belanja bahan pokok dan sandang. Nanti bantu Papa iya?") "Ja papa, zeker zal Deborah papa helpen. Zolang Deborah het aankan," jawab Debora dengan senyuman. (Iya Papa, pasti Debora akan membantu Papa. Selama Debora mampu mengatasinya,) "dank je zoon," ucapku dengan tersenyum. (Terima kasih nak,) "Dag papa," ucap Debora dengan tersenyum. (Sama-sama Papa,) Aku dan Debora, yang sudah di mall. Kami segera melangkahkan kaki ke mall. Aku membelikan Debora gaun kesukaannya. Tidak hanya untuknya tetapi untuk istriku tercinta Tiara. "Nona mau gaun yang seperti apa?" tanya mbak-mbak Spg kepada putriku Debora. "Saya ingin gaun lengkap dengan topi, berwarna pink pastel dan warna hijau. Saya ingin mengenakan bersama Mama," ungkap Debora dengan senyuman. "Baik Nona," ucap mbak Spg dengan sangat ramahnya. "Mbak belikan sepuluh untuk putri saya, sepuluh lagi untuk istri saya. Tolong untuk anak bayi sepuluh pasang dengan warna berbeda. Pilihkan untuk saya juga sepuluh juga," ungkapku dengan tersenyum. "Baik Pak," ucap mbak spg tersebut dengan sangat ramahnya. "Bedankt papa, voor het kopen van een mooie jurk. Ik ben erg blij en blij," ucap Debora dengan senyuman. (Terima kasih Papa, karena sudah membelikan aku gaun yang indah. Aku sangat senang sekali dan bahagia,) "Nu het klaar is, gaan we winkelen voor basisbehoeften zoals boodschappen. Kom op zoon!" ajakku kepada Debora. (Sekarang sudah selesai, ayo kita belanja kebutuhan pokok seperti bahan makanan. Ayo nak!) Aku dan Debora, membeli banyak bahan pokok. Kami sangat menikmati makanan kami yang kami makan di mall. Rasanya sungguh enak dan lezat, tetapi putriku lebih banyak makan roti dan kentang. Karena di rumah saja dia makan nasi. Debora memakan ice cream banyak sekali. "Je eet veel, zoon, eet niet te veel ijs. Je maag zal later pijn doen, wat heb je nog meer vijf soorten ijs opgemaakt," ucapku dengan menasehati Debora. (Kamu makan yang banyak nak, jangan kebanyakan makan ice cream. Nanti perutmu sakit apa lagi kamu sudah menghabiskan lima jenis ice cream,) "Ja papa, ik heb maar een beetje gegeten. Ik hou echt van Papa's ijs," ucap Debora dengan tersenyum. (Iya Papa, saya makan sedikit saja. Saya sangat menyukai ice cream Papa,) "Zoon, laten we naar huis gaan, maar papa wil eerst eten voor mama bestellen. Wacht hier, je gaat nergens heen, praat niet met vreemden!" ucapku sebelum pergi meninggalkan putriku. Aku membeli makanan untuk Tiara, Debora aku tinggal sebentar. Aku membelikan Tiara Pizza dan Dunkin Donuts. Setelah selesai aku kembali ke Debora putriku. "Sorry zoon, papa heeft je te lang laten wachten. Het spijt me mijn dochter," ucapku dengan tersenyum. (Maaf iya nak, Papa sudah membuat kamu menunggu terlalu lama. Maafkan Papa putriku,) "Ja papa, het is oké papa. Papa ontspan je maar zo lang als voor mama ik vind het niet erg om lang te wachten papa," ucap Debora putriku. (Iya Papa, tidak apa-apa Papa. Papa santai saja asalkan demi Mama aku tak masalah menunggu lama Papa,) "Dank je mijn lieve dochter, voor je begrip zoon. Kom, laten we naar huis gaan!" ajakku kepada Debora. (Terima kasih putriku sayang, atas pengertianmu nak. Ayo kita pulang nak!) Aku dan Debora, memesan Taksi. Setibanya di rumah aku dan Debora langsung membawa belanjaan kami. Ternyata di rumah sudah ada Ayah dan Ibu mertuaku. Debora langsung menghampiri ke dua mertuaku. Debora salim kepada mereka. Sebelum akhirnya putriku masuk ke kamar. "Nak sebaiknya kamu langsung bilang jika Debora anak yang kamu temukan di Aceh. Kamu dan Tiara mengangkat Ayah, karena kawan kamu Ragil sudah memfitnahmu Adrian. Bahkan dia bilang ke kesatuan Ayah. Dia bilang jika kamu menghamili gadis bule dan anakmu adalah Debora," ungkap Ayah mertuaku. "Maaf iya, aku dan Tiara sudah sepakat untuk tidak bahas masalah ini. Debora bukan anak haram dia jelas-jelas terlahir dari pasangan Van Girl. Namanya Debora Van Girl, kedua orang tua gadis itu sudah meninggal dunia. Ragil udah keterlaluan lihat saja besok," ungkapku sembari mengempalkan tanganku. "Iya Adrian menurut Ayah kamu laporkan masalah ini, ke komandan di kesatuan kamu. Kamu berikan pelajaran supaya dia jera tidak jahat lagi ingat jangan berlaku dengan kekerasan kecuali jika udah keterlaluan banget," ucap Ayah mertuaku menasehati. "Iya Ayah, besok saya akan melaporkan kekakuan Ragil supaya dia di sidak. Karena sudah keterlaluan memfitnah saya," ucapku dengan tersenyum. Ayah dan Ibu mertuaku pulang, aku dan Tiara berbicara perlahan mengenai masalah ini. "Sabar iya sayang, jangan terlalu emosi. Kamu jangan memukul langsung saja laporkan supaya menjadi pelajaran," ucap Tiara dengan memelukku. "Iya sayang, aku janji nggak akan marah hingga memukul. Cukup aku laporkan saja ke kesatuan kami," ucapku dengan senyuman. Ketika aku mau mengecup bibir Tiara, tiba-tiba Bayu putraku yang tampan ini menangis. Putraku menangis dengan sangat kencangnya, kencang sekali tangisannya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN