Seven

1002 Kata
Di ujung sana, berdiri seorang pria dengan pandangan tajam ke arah Alona yang seakan mampu menghunus sampai kedalam jantung wanita itu, dan yang membuatnya hampir pingsan adalah dua orang pria yang sedang jatuh tersungkur di lantai dengan lebam dan bibir sedikit robek yang wajahnya terasa tidak asing baginya, sangat tidak asing malah. "Sepertinya dia mengenalmu?" Suara Danu tepat di samping Alona. Wanita itu menoleh dan mendapati wajah penuh tanya milik Danu. "A ... ak ... aku tidak tahu." Alona melirik ke sudut ruangan dan masih menemukan netra gelap itu tertuju padanya. "Bisa kita pulang sekarang?" Lirih wanita itu takut-takut. Danu menatapya penuh selidik. “Makanannya bahkan belum habis,” jawabnya pelan. Alona menggeleng lemah. "Perutku rasanya tidak nyaman," keluhnya berpura-pura. Akhirnya Danu mengalah, bagaimanapun juga dia tidak mau terjadi hal buruk pada keponakannya yang meringkuk nyaman dalam perut Alona itu. "Tunggu di mobil, aku urus pembayarannya," titah pria itu. Alona mengangguk, menyambar tas miliknya dan bergegas melangkah pergi. Kakiya mengayun tergesa karena ingin segera sampai di mobil, tempat yang menurutnya cukup aman untuk bersembunyi. Tapi, harapan tinggal harapan saat lengannya di tarik seseorang, lalu membawa dirinya ke sudut yang paling sepi. "S ... siapa kau?" cicit wanita itu panik. Pria itu diam, meneliti penampilan Alona dengan intens. "Aku harus membuang gaun sial ini," geramnya serak. Seperti disiram dengan air es, tubuh Alona menggigil. Dampak dari suara berat pria itu cukup buruk untuknya. Hampir empat bulan yang lalu, suara ini begitu menyesatkan dunianya, tapi kali ini terdengar seperti nyanyian pemanggil di pintu neraka, sangat-sangat mengerikan. "Kau membuatnya kesulitan bernapas," desis pria itu lagi. Tangan Alona terulur, meletakkan tepat di atas perut untuk menghalangi pandangan pria itu yang semakin menajam. "Ap ... apa maksudmu?" tanya wanita itu gugup sekaligus takut. "Berapa usianya? Empat bulan, hm?" Suara serak pria itu membuat darah Alona berdesir aneh. Wanita itu menggeleng keras sehingga pria itu semakin menyipit tajam. "Jangan menguji kesabaranku lagi, My Apple. Mulai sekarang, turuti semua perintahku, sudah cukup waktu bermainmu," desisnya tepat di telinga Alona. Alona merinding bukan main, hal yang paling disesalinya adalah datang ke kota ini, atau datang ke klub malam itu, atau ... berurusan dengan iblis Las Vegas di hadapannya ini. Malam itu cahaya begitu temaram, pria ini bahkan sudah minum beberapa gelas, harusnya tidak akan dengan mudah untuk mengenalinya. Belum lagi, Alona sudah mengubah gaya rambutnya serta memberi cat agar tampilannya terlihat berbeda. Namun, gilanya Wickley, si predator berdarah dingin itu masih saja bisa mengenalinya. Ini seperti takdir dan karma yang datang secara bersamaan untuk Alona. "Perintah pertama," ucap pria itu perlahan, "buang semua baju kurang bahanmu itu!" Alona membeku, sedetik kemudian mataya membelalak tidak terima. "Dua," lanjutnya lagi, "dilarang berdekatan dengan pria mana pun, kecuali aku!" Alona siap protes, tapi peringatan pria itu membuatnya berhenti. "Jangan membantah!” desisnya,. "aku tidak tidak ingin anakku bergaul dengan orang sembarangan," ucap Wickley tegas. Alona merasa kesabarannya benar-benar diuji. Saat ini rasa takutnya perlahan berganti dengan amarah yang siap meluap kapan saja. "Siapa dirimu berani-beraninya mengatur hidupku?" sentaknya tak terima. Wickley bergerak, semakin menipiskan jarak di antara mereka. "Aku, Wickley Watson. Ayah biologis dari bayi yang kau kandung," bisiknya lembut tapi mengandung sebuah ancaman. "Aku tidak mengenalmu," ucap Alona dengan penuh emosi. Sudut bibir pria itu terangkat, menampilkan senyum yang sudah pasti berisi penuh rencana kelicikan. "Sudah kubilang, waktu bermainmu sudah habis, Sayang." Tangannya terulur mengusap lembut pipi Alona. "Apa perlu aku menjelaskan bagaimana brutalnya dirimu malam itu?" "Stop!!!" teriak Alona panik. Hal memalukan seperti itu tak perlu dibahas, meskipun dia tahu bahwa itu salah satu dari sekian banyak trik licik di otak pria itu agar ia mau mengaku. "Apa maumu?" tanya Alona garang. Wickley tersenyum santai. "Sama sepertimu, bayi ini," sahutnya, “dan dirimu tentunya!” "A ... apa?!" "Aku mau kalian, Sayang." --- Alona uring-uringan, bergerak ke sana ke mari sambil menyisir rambutnya yang bukan membuat rapi tapi malah semakin tambah acak-acakan. Masih terpatri jelas di benaknya ucapan Wickley semalam yang juga menginginkan bayi ini. Mana mungkin Alona mau menyerahkan anak mereka pada Wickley. Untuk sampai ke titik ini bukan hal yang mudah bagi Alona, dia mempertaruhkan hidupnya di sini, ia tak mau jika semuanya berakhir sia-sia. Lagi pula, Alona yakin di luaran sana masih banyak wanita yang rela menjadi ibu bagi anak-anak Wickley. Lalu kenapa harus mengganggu bayinya? Hembusan napas kasar Alona tak terelakkan, dahinya berkerut dalam karena mencari-cari cara supaya bisa terlepas dari perangkap seorang Wickley Watson. Tabungannya sudah sangat menipis, untuk biaya berpindah negara lagi dia tak akan mampu, tapi jika tetap berada di sini tentu tidak akan aman. Wanita itu benar-benar merasa frustrasi kali ini. Tiba-tiba handphone Alona berdering, tertera nama Melani yang sedang melakukan panggilan video. "Hello, Alona. Si tuan putri yang melupakan sahabatnya." Sapaan penuh sindiran Melani membuat Alona mencibir. "Napa muka elo?" tanya wanita itu lagi. "Memangnya kenapa?" sahut Alona heran. "Muka elo, kaya' habis dikejer-kejer setan." Melani tertawa mengejek di sana. "Emang," sahut Alona pelan. "Eh, seriusan? Di sana banyak hantu juga?" Melani ini kelihatannya saja cantik, tapi kadang-kadang terlalu polos mendekati bodoh. "Hantu Las Vegas itu gimana sih? Serupa hantu Indonesia, bukan?" imbuhnya lagi. "Serupa elo," jawab Alona ketus. Sahabatnya ini benar-benar membuatnya kesal. Bukannya marah, Melani malah tertawa nyaring di sana. "Lo ada masalah?" kali ini Melani bertanya serius. Alona risau, ingin bercerita tapi tidak tahu mulai dari mana. Dari gerak-geriknya wanita itu, Melani tahu bahwa masalah Alona kali ini cukup serius. Bertahun-tahun mereka berteman membuatnya hafal gelagat kegelisahan wanita itu. "Hm, ini ... soal ... soal ...." "Soal apa?" tukas Melani. "Soal Ayah bayi elo?" Alona tergagap, memang yang namanya sahabat seperti punya ikatan batin, bisa mengerti sebelum kita susah-susah menjelaskan. Berbeda sekali dengan teman, kita panjang lebar menjabarkan, dia cuma memberi kata-kata menenangkan, dalam hati menertawakan. "Elo diam, berarti iya." Melani menyipit curiga. "Kenapa? Lo ketemu dia di sana?" Alona menggangguk dan Melani melotot kaget. "Seriusan?" "Iya, makanya bingung." Alona merengut. "Yaudasih, tinggal kawin aja, repot amat." "Melaniii ...," erang Alona kesal. "Ups, kawinnya udah ding, nikahnya aja yang belum." Melani tertawa girang melihat Alona yang hampir mengeluarkan tanduknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN