Ekspektasi Manusia

2540 Kata
Sorry, Noon. Aku ada kerjaan sampai pagi. Maaf ya terpaksa batalin janji makan malam di rumahmu. Inshira hanya bisa menghela nafas. Padahal ia sudah membela-bela diri dengan membuat keributan di pasar bersama Anindya. Keduanya memang sibuk di pasar dan membeli banyak bahan-bahan masakan untuk menyiapkan makan malam di rumah. Tapi kini Inshira hanya bisa melongo melihat masa kan yang sudah setengah jadi. Semangatnya langsung luntur. Padahal ia sengaja loh membuat ini agar Rieki bisa berbicara banyak dengan Papanya. Inshira juga lelah dengan Papanya yang terus mengomel persoalan hubungannya dengan Rieki. Seakan tak selesai. Keributan yang sangat ingin ia akhiri. Jalan tengah yang dipilih hanyalah komunikasi. Karena ia merasa kalau Papanya belum benar-benar mengenal Rieki meski mereka sudah lama pacaran. Atau karena Papanya begitu bawel? "Kenapa?" Inshira menghembuskan nafas. Agak-agak was-was. "Gak jadi. Dia ada kerjaan katanya." "Aaaah," seru Anindya sambil mengangguk-angguk kepala. Kalau sudah begitu, mereka bisa apa? Kadang-kadang memang sering terjadi hal yang di luar dugaan. "Terus ini gimana? Lanjut atau kagak?" Inshira bergerak memberesi beberapa bahan yang belum disentuh. "Itu sih biarin aja. Udah terlanjur juga. Mau gimana lagi?" Anindya mengangguk-angguk. Ya memang tak ada pilihan sih. Usai membereskan pekerjaan di dapur, Inshira bergerak menuju kamar. Untungnya ia belum memberitahu Papanya kalau hendak mengajak Rieki ikut makan malam di rumah. Kalau ia sudah memberitahu lalu batal, Papanya pasti akan mengomel lagi. Haaah. Memikirkan hal-hal semacam ini saja sudah membuatnya kesal. Malamnya, ia bengong saja di kamar. Malas berbuat apapun. Menghubungi Rieki pun akan percuma. Ia tahu kalau cowok itu sedang fokus dengan pekerjaannya, maka cowok itu tidak akan memegang ponselnya. Rieki kan sangat profesional. Sementara ia sangat bosan disaat seperti ini. "Lah di sini ternyata ateuu-nya naak!" Tahu-tahu kakak keduanya masuk sambil membaya bayi lima bulan yang sangat gembul itu. Inshira terkekeh. Ia belum sempat lagi bertemu bayi gembul ini karena sibuk di Jakarta. "Kapan datangnya, Kak?" "Barusan banget. Tapi cuma bentar. Mau balik ke hotel." "Lah? Gak nginap sini?" "Bawa keluarganya si A'ak." Aaaah. Inshira mengangguk-angguk. Ia mengambil bayi gembul itu lalu ikut turun ke lantai bawah. Berhubung banyak tamu yang datang, ia tak enak hati kalau tak menyapa. Begitu turun... "Nah itu Inshira!" seru salah satu Tante dari keluarga kakak iparnya. Inshira hanya nyengir saja. Dari dulu ia tak pernah suka sama si Tante itu. Kenapa? Karena mulutnya. Ia bukan tipe orang yang mudah tersinggung sebetulnya. Tapi kalau sudah keterlaluan, capek juga menahan hati. Iya kan? Yang ada akan sakit dan membuat umur semakin pendek. Meski urusan mati itu ditangan Tuhan bukan ditangan manusianya. "Kamu itu serius sama pacarnya? Iska aja udah mau lamaran itu." Inshira tersenyum masam. Ia sudah menduga kalau ia didatangi untuk dihina. Mamanya menoleh. Tentu sebal mendengar pertanyaan semacam itu. Kenapa kita harus membanding-bandingkan hidup dengan orang lain? Padahal jelas, masing-masing orang akan mendapat dan menjalani takdir yang berbeda. Ada yang mungkin cepat menikah. Ada yang mungkin lambat. Semua tergantung takdir Tuhan. Meski jodoh sudah diupayakan untuk dikejar tapi hasil akhirnya tetap ditangan Tuhan. Karena memang tidak semua proposal pencarian bisa diterima. Ada kalanya ditunda atau bahkan ditolak. Manusia mana yang bisa memastikan hidupnya? Satu-satunya kepastian adalah amal baik dan buruk yang dicatat lalu semua amalan pasti ada balasan. "Jodoh kan Allah yang atur, Bu," sahut Mama Inshira. Ya pelan dan terdengar lembut tapi sebetulnya sangat menyelekit. Suasana menang sempat hening tapi hanya sesaat. Karena cair kembali saat anak keduanya berteriak dari dapur kalau ada cemilan yang bisa dimakan. Inshira hanya menghela nafas usai menahan hati ditanyai pertanyaan semacam itu. Ia juga lelah mendengarnya. Seolah-olah hidup cuma persoalan tentang menikah dan membangun rumah tangga. Memang urusan di luar itu bukan sesuatu yang penting juga? Aaah Inshira tak paham dan pola pikir mereka. "Ma! Biarin aja sih!" bisik anak keduanya setelah lama terlupa oleh kejadian tadi. Mamanya hanya menghela nafas. Orang juga punya batas di mana ia masih bisa menahan diri dari segala omongan orang lain. Lama-lama kan juga kesal. Kalau keadaannya dibalik, ia yakin kalau perempuan itu juga tak akan sanggup menahan hati. Memangnya enak apa diperlakukan seperti itu? "Calonnya Iska itu punya bengkel sendiri sama perkebunan teh di Bandung sana," pamernya biar Inshira mendengar. Inshira hanya mendengus dalam hati. Ia tahu kalau perempuan tua itu sepertinya iri hati dengan nasibnya yang sukses menjadi selebgram. Pengikutnya sampai puluhan juta. Bahkan penghasilan dari Youtube-nya juga sangat besar. Meski hanya membuat konten sederhana. Dibandingkan dengan anaknya si Iska itu. Yang katanya artis tapi belum pernah menjadi pemeran utama. Mentok-mentok pun masih pemeran pendukung. Tapi pamernya sudah kayak punya anak yang terkenal di seluruh dunia. Haaaah. Sabar Shira, sabar, dumelnya dalam hati. Menghadapi makhluk berhati setan itu memang tidak gampang ya? Karena kesabaran diuji sangat keras. Begitu pula dengan tingkatan emosi. Mertua kakaknya tampak berdeham. Mungkin jengah dengan kelakuan adik iparnya. Masalahnya, ia juga bukan hanya malu pada keluarga Inshira tapi juga keluarga besan yang lain. Bahkan banyak yang tidak suka hingga keluarga sendiri. Omongannya terlalu dibesar-besarkan padahal tak sesuai kenyataan. "Benar itu?" tanya Mama Shira pada anak keduanya. Anak perempuannya itu balik berbisik. "Ya memang punya tapi punya orangtua. Kebetulan calonnya emang anak tunggal. Ya Mama gak tahu aja sih. Cowoknya aja kayak orang yang gimana gitu. Gak kuliah juga padahal ayahnya dokter. Nasibnya aja yang lagi beruntung. Dari dulu juga si Tante begitu. Nyari calon mantu pasti yang kaya. Kalau bukan anaknya yang kaya ya besannya kan lumayan. Apalagi anak tunggal begitu. Kalau harta itu diwariskan, yang enak bukan hanya hidupnya Iska tapi juga mereka." Mamanya menggeleng-gelengkan kepala. Kalau ceritanya begitu sih bukan anaknya yang punya bengkel dan perkebunan itu. Karena menurut Mama, yang dinyatakan kepemilikan itu adalah ketika sudah membeli atau mempunyai sesuatu dengan jerih payah sendiri. Bukan karena diberikan atau diwariskan. @@@ "Heran Mama. Tiap datang ngomongin yang kayak gitu. Yang ini belum menikah, ditanya kapan menikah. Yang ini udah menikah, ditanya pula kapan hamil. Yang ini udah punya anak, ditanya pula kapan nambah anak. Memangnya hidup cuma mengurusi itu? Dengan seenaknya ngomong kayak gitu," dunel Mamanya usai keluarga besar besannya pulang. Kalau besannya sih tidak usil. Bahkan mertua kakaknya itu sangat kalem. Berbeda dengan satu-satunya Tante tadi yang Inshira pun kesal mendengarnya. Karena pertanyaannya tak pernah habis. Tak jauh-jauh pula dengan hanya bertanya urusan hidup orang lain. Padahal urusan hidupnya sendiri pun belum tentu beres. Iya kan? "Sudah lah. Biarin aja. Biasanya juga gitu." Itu kata-kata hiburan dari Papa Inshira yang memang enggak bermasalah dengan keluarga orang lain. Meski capek juga mengalah. Tapi ya mau bagaimana lagi? Hidup berdampingan begini pastinya akan ada masalah. Ada hal yang mungkin timbul hingga menyebabkan keirian dan kedengkian tiada akhir. "Ya Mama tahu juga, Pa, biasanya juga gitu. Tapi kok ya gak sadar-sadar itu mulutnya bisa menyakiti orang lain? Padahal kalau gak bisa ngomong baik ya diem aja. Dari pada bikin orang sakit hati nanti takutnya jadi dendam kan. Padahal orang yang tersinggung sama kata-katanya itu bukan orang hang kayak gitu. Tapi karena mulutnya jadi kayak gitu. Siapa yang gak kesal? Anak kita lagi selalu digituin sama dia. Kayak anaknya udah bagus aja. Orang-orang juga gak kenal siapa Iska itu." Papanya hanya menghela nafas. Sementara Inshira tertawa tanpa suara. Padahal rumah ini tadinya aman dan damai loh. Tapi karena orang-orang semacam itu akhirnya ikut membuat keributan yang tak terkendali lagi. Inshira menggelengkan kepalanya. Menjaga mulut itu memang sangat penting. Bahkan banyak di dunia kriminal di mana pelaku membunuh atau berbuat jahat lainnya karena tersinggung atau sakit hati dengan omongannya. Bukan kah itu mengerikan? Jadi selama orang masih mehana diri dari segala kata-kata yang menyakitkan itu maka berhenti lah. Karena ketika hilang kesabaran dan setan lewat, siapa yang mau bertanggung jawab? Meski mungkin orang yang berbuat jahat itu salah. Namun jika diputar ulang, kalau tak ada yang menghina apakah orang itu akan tersinggung? Inshira menghela nafas. Ia menatap langit malam di langit Jakarta malam ini. Tidak ada yang spesial atau indah sebetulnya. Semua malam tampak sama. Yang membedakan hanya suasana hati masing-masing. Apakah sedang bahagia atau sebaliknya? Esok paginya Inshira berangkat ke kantor agensinya. Ia memang memiliki agensi meski proyeknya tidak yang besar-besar. Ia kan menghindari syuting film atau sinetron. Papanya juga tak mengizinkan dengan alasan banyak hal. "Shir, udah dengar berita?" Inshira menoleh ke arah kursi depan di mana Anindya duduk. "Berita apaan?" "Zico tertangkap narkoba." Aaaah. Inshira mengangguk-angguk. Itu artis Indonesia yang pernah naksir Inshira ketika dalam proyek pemotretan. "Banyak yang kecewa nih," tutur Anindya. Ia sibuk melihat postingan akun-akun gosip dan juga membaca berbagai komentarnya. "Mereka kira Zico itu alim karena suka sama cewek berkerudung." Inshira terkekeh. "Itu lah yang dinamakan ekspektasi manusia yang tak tau kenyataannya bagaimana. Dan itu kerap membuat idola mereka akhirnya mungkin yaa merasa jengkel. Karena mereka terlalu berharap banyak pada seorang manusia." Anindya mengangguk-angguk. Memang benar. "Gue dulu waktu awal-awal mulai terkenal, lo ingat kan? Sampe stres karena gak bisa memenuhi ekspektasi mereka. Tapi akhirnya capek sendiri. Karena Tuhan aja gak perlu hamba-Nya terlalu menggerus tenaga untuk hal-hal semacam itu kok. Karena manusia juga punya keterbatasannya bukan berarti membatasi kemampuan diri. Itu lah bagian dari ketidaksempurnaan manusia makanya disebut manusia. Kalau seorang manusia bisa melampaui ekspektasi manusia lain terlalu tinggi rasanya namanya bukan lagi manusia tapi Tuhan." Anindya terkekeh. "Tapi lo kecewa gak nih si Zico malah terjerat n*****a?" Inshira menggeleng. "Kelihatan kali, Dya. Matanya aja cekung begitu. Tapi mungkin bukan pencandu yang gimana gitu. Mungkin untuk kebutuhan pekerjaannya. Karena lo kan tahu sendiri kalau banyak artis mengonsumsi itu untuk membuat stamina mereka tetap terjaga meski 24 jam bekerja. Padahal tubuh juga butuh istirahat. Alih-alih sehat juga malah bikin candu." Anindya mengangguk-angguk. Memang benar. Lagi pula, Inshira juga tahu kalau Rieki juga pernah mengonsumsi. Waktu mereka sekolah dulu. Cowok itu kan memang sudah sibuk syuting sejak sekolah. Mungkin butuh stamina untuk menyesuaikan jam kerja dan sekolah. Karena kadang Rieki ke sekolah tanpa tidur sama sekali di malam harinya. Lama-lama jadi kecanduan. Meski beberapa tahun terakhir sudah mulai lepas. Walau yah, Inshira juga tak tahu kan? Karena lepas dari narkotika itu sangat sulit. Sekali mencoba pasti ingin lebih. Meski sudah tahu kalau itu barang haram. Kecuali jika menjadi pengobatan. Itu pun tentu tak bisa sembarangan. Mereka tiba di kantor agensi beberapa puluh menit kemudian. Inshira bergerak turun. Begitu membuak pintu, ternyata pintu mobil di sebelahnya juga terbuka. "Kak Dinaaaa!" serunya. Ia tahu kalau perempuan ini sudah kembali ke sini setelah cuti cukup lama usai melahirkan. Bahkan hanya menerima pekerjaan di rumahnya bukan dibawa ke luar. Syuting jauh juga belum bisa. Tapi hari ini datang dengan membawa mobil sendiri. Perempuan itu terkekeh. Ia memeluk Inshira sebentar lalu keduanya berjalan bersama masuk ke gedung manajemen itu. "Iih! Padahal aku belum jenguk looh. Nanti mau main ah ke rumah Kak Dinaaa!" Ia juga tahu dari grup agensi mereka. Belum sempat melihat bayi-bayi perempuan yang katanya kembar. Ia hanya sempat mengirim hadiah kala itu. Dina tentu senang kalau ia datang untuk menjenguk. Mereka kan cukup dekat. Apalagi saat Dina belum menikah dulu. Mereka kerap makan bersama karena satu manajemen. "Nanti main lah ke rumah kalau sempat," tutur perempuan itu sebelum berpisah lantai. Inshira mengangguk-angguk kuat-kuat. Dengan senang hati ia akan datang nanti. Semoga ada waktu yang tepat untuk bertemu. Terkadang bukannya karena tak mau menyempatkan diri. Tapi momen yang membuatnya belum tentu menjadi waktu yang tepat untuk bertemu. Maklum lah, Inshira kan sibuk. Begitu pula dengan Dina. Ia bahkan masuk nominasi presenter terbaik dalam kurang dari lima tahun karirnya di dunia hiburan. @@@ "Bahannya bagus ya," tuturnya. Ia hendak mencoba baju untuk dikenakan dalam fashion show besok. Hari ini juga akan ada sesi di mana ia akan di-make up untuk persiapan fashion show. Penata riasnya perlu tahu jenis make up yang tepat dan riasan seperti apa yang cocok untuk dikenakan besok. Menyesuaikan wajah dan juga baju yang akan ia kenakan besok. Butuh waktu dua jam hingga proses itu selesai. Awalnya, Inshira juga canggung ketika harus melakukan ini dan itu karena ia belum terbiasa. Tapi setelah sekian tahun terjun di dunia hiburan, ia akhirnya terbiasa. "Jadi dua bulan lagi ke Korea?" Inshira mengangguk-angguk. Ia ingin liburan. Rencananya hanya sendirian. Hanya ingin menghabiskan waktu. Mumpung punya uang meski sudah punya waktu kosong. Tapi kalau sudah direncanakan sejak lama pasti tidak akan menjadi masalah. "Oke," tutur Anindya yang sedih sebetulnya karena tak diajak. Melihat muka sedihnya Inshira terbahak lalu menghapus air mata yang sebetulnya tidak ada. Tak lama, Anindya juga ikut tertawa. Ia sebetulnya sudah terbiasa bersama Inshira selama beberapa tahun terakhir. Berhubung Inshira sendiri yang menawarkannya untuk menjadi manajernya jadi ya sudah. Kapan lagi bekerja seperti ini? Meski tak terlalu santai-santai amat tapi kan uangnya banyak juga. Hahaha. "Eh-eh-eh, Shir!" cegatnya kemudian. Ia sedari tadi memang sibuk dengan ponselnya. Keduanya masih berada di sebuah ruangan kecil untuk beristirahat di agensi mereka. Inshira yang sedang membuka botol minuman hanya berdeham. Tak terlalu menyimak kelakuannya. "Masa ada gosip soal Rieki sih?" Kening Inshira mengerut. "Gosip apaan?" "Katanya Rieki selingkuh. Semalam ketangkap salah stau fans sedang makan bareng sama cewek." Inshira malah terkekeh. Ia sudah kebal dengan berbagai gosip. Bahkan terkadang bukan hanya gosip buruk tentang Rieki tapi juga tentangnya. Katanya dekat dengan artis ini atau itu lah. "Lelucon!" "Tapi ada fotonya kali ini!" "Masa?" Mata Anindya menyipit. Berupaya menganalisis apakah foto itu benar atau tidak. Kenyataannya memang hanya merekam bagian samping Rieki dan juga tubuh bagian belakangnya. Cowok jangkung itu tampak berjalan dengan seorang perempuan. "Lagian Rieki ada kerjaan kok semalam sampe pagi. Kalaupun bener, biasanya gimmick kan. Lo tahu kan kalo sekarang banyak film dipromosiin artinya dengan cara kayak gitu biar cepet viral." Anindya berdeham. Ya memang sih. Meski matanya masih fokus dengan apa yang ia lihat. Kalau Inshira sendiri sudah kebal. Rieki kan terkenal. Cowok itu kerap dipasangkan dengan banyak cewek. Bahkan kelakuan mereka pun sering membuat pada fans menjadi baper alias bawa perasaan. Padahal itu perlakuan yang wajar dan hanya profesional pekerjaan. Meski tak bisa ditampik juga kalau banyak artis yang cinlok alias cinta lokasi usai bermain bersama dalam salah satu sinteron atau film. Hal-hal semacam itu memang tak bisa dihindarkan. Sudah lumrah di kalangan selebriti. Inshira juga tak pernah berpikir macam-macam. Karena begini, ia selalu memberikan kepercayaan penuh pada seseorang. Namun ia bisa menarik secara penuh kepercayaannya jika dikhianati. "Emang Iki ada proyek apaan lagi sih? Perasaan kemarin masih promosi deh. Masih jalan juga di bioskop kan." Inshira mengendikan bahu. Jika dulu, ia memang menmantah semua pekerjaan Rieki. Tapi kan itu kesannya agak over begitu ya sebagai seseorang yang bahkan hanya berstatus pacar. Jadi Inshira tak mau lagi bersikap seperti itu. Ia hanya menanam kepercayaan yang dalam pada Rieki yang pasti akan menjaga kepercayaan padanya juga. Karena pekerjaan mereka ini memang akan menimbulkan resiko yang sama. Sama-sama bisa saja tergoda dengan orang lain. Bahkan ada peribahasanya, rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Iya kan? "Cuek amat dah. Dulu aja bucin banget. Iki ke mana pun ditempelin." Inshira tertawa. Ia sebetulnya agak-agak mau kalau bahas-bahas dulu. "Sekarang itu trennya udah beda. Tergantung usia. Gue kan gak bisa bersikap kayak gitu terus. Kudu dewasa dan menyikapi segala hal itu dengan tenang. Dan lagi, kalau jodoh juga gak akan ke mana-mana. Ujungnya pasti sama gue juga." "Kalau bukan?" Inshira melemparnya dengan botol kosong. Anindya tertawa sambil berupaya menghindar botol kosong itu. Walau yah, lemparan Inshira tepat juga. Karena botol itu mendarat di tempat s****h. "Ngomong yang baik-baik sih!" dumelnya sambil mengerucutkan bibir. Ia bahkan takut berpikir semacam itu. Saking sudah cintanya pada Rieki. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN