Suara Perempuan

2527 Kata
"Pulang sama gue atau sendiri?" tawarnya begitu Davira keluar dari ruangan. Perempuan itu kaget karena Eshal menungguinya di sini. Dulu ini memang rutinitas. Tapi semenjak Davira menikah, Eshal jarang menghampirinya. Lelaki itu tahu kalau Gavin dari dulu kurang menyukainya yang ada di sekitar Davira. Bahkan sempat salah paham. Meski masalah itu sudah usai, kecemburuan itu masih terus ada. Walau Davira tak pernah berbicara apapun pada Eshal. Namun Eshal bisa merasakan kalau memang ada sesuatu yang kurang beres terjadi. Ia juga harus peka pada keadaan. Ia juga sudah sangat lama mengenal Davira kan? Ia tahu Davira itu seperti apa. Sehingga bisa mengimbanginya meski tanpa bicara. "Lo gak sibuk emangnya?" "Sekalipun sibuk, rumah lo dan gue itu gak begitu jauh, Vir." Davira tersenyum kecil. Ia bukannya sungkan tapi karena status sudah menikah ini agak memberatkan. Apalagi Gavin memang pernah bilang padanya kalau cowok itu paling cemburu pada Eshal. Walau ia sudah berkali-kali mengatakan kalau ia dan Eshal itu tidak memiliki hubungan apapun. Hanya murni sebagai dua orang yang menjalin hubungan pertemanan dan tidak akan pernah lebih. "Awas kalo ada cewek yang ngamuk sama gue!" ancaman itu membuat Eshal terbahak. Astagaa! Cewek mana yang akan mengamuk? Rasa-rasanya ia tak pernah benar-benar dekat dengan salah satu di antara mereka. "Kalo ada, gue gak bakalan ngajak lo pulang bareng kali!" Davira mendengus dan Eshal tertawa semakin kencang. Namun ia menghentikan tawanya ketika berpapasan dengan beberapa mahasiswi yang masuk ke ruang departemen. Davira hanya menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Sok-sokan menjaga wibawa padahal di depan Davira tidak ada rasa malunya. "Dosen-dosen pada ngomongin soal lo yang deket sama Elsa!" tutur Davira. Ia baru mendengarnya saat kembali ke departemen tadi. Pasalnya, beberapa dosen bertanya. Davira mana tahu. Karena Eshal memang tidak pernah bercerita lagi. Mendengar itu, Eshal malah tertawa. Ia membuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Davira sih tak tahu mahasiswinya yang mana. Tapi katanya gadis itu sedang ikut kontes Miss Indonesia. Dalam pikiran Davira ya pasti cantik dan cerdas juga kalau seperti itu. "Dia cuma minta bimbingan doang. Katanya mau ikut apa ya Miss atau Puteri Indonesia gitu." Davira mendengus. Ia hampir membanting pintu mobil. "Masa lo gak paham apa yang disebut dengan modus?" Eshal tertawa. Ia lebih paham kalau soal itu. "Cewek kayak gitu banyak. Tapi dia pintar juga nyari yang kayak gue." Davira ingin muntah mendengar kenarsisannya. Eshal masih tertawa-tawa. Ia memang super narsis dan percaya diri. Iya kan? Tapi Davira juga tak bisa menampik sih. Eshal memang tampak sempurna dari segi apapun. Mau berbicara soal hukum? Eshal jagonya. Bahkan posisinya sudah di atas Davira meski hanya satu tingkat. Namun dalam beberapa tahun, Davira yakin kalau Eshal bisa menjadi profesor muda di kampus mereka. Kalau soal uang? Bah! Eshal juga pengacara handal. Yah kalau dibandingkan dengan Gavin jelas berbeda. Maksudnya, Gavin sudah terkenal saat menjadi jaksa. Ketika akhirnya memilih berpindah profesi, ia sudah punya nama. Sementara Eshal kan membangun semuanya dari awal. Untung saja karena nama kampus ternama, mengantarkannya cukup terkenal di kalangan banyak narapidana. Dan lagi, perbedaan yang cukup mencolok antara Gavin dan Eshal itu adalah satu hal, yaitu orientasi tentang uang. Banyak klien Gavin yang rela membayar mahal sehingga Gavin juga terbiasa mematok harga tinggi. Mungkin karena lelaki itu merasa kalau ia memang punya nama meski tidak sekece pengacara senior yang banyak menangani persoalan artis bukan? Kalau Eshal kan lebih mementingkan sisi humanisme. Cowok itu tidak mematok apakah klien harus membayar atau tidak. Karena uang bukan tujuannya melainkan pengalaman mempelajari banyak kasus. Eshal lebih mementingkan persoalan akademik dan keilmuwan. Sehingga ketika menangani suatu kasus, ia lebih banyak mempelajari hukum dari berbagai sisi sudut pandang. Tidak ada unsur pemenuhan kebutuhan finansial. Karena menjadi dosen pun ia sudah cukup. Dan disaat Davira bertingkah ingin muntah dan Eshal yang tertawa, tiba-tiba muncul anak kecil yang berlari mengejar kaleng uangnya yang jatuh dan menggelinding. Menyadari adanya anak kecil yang berlari ke arah mereka, Davira langsung berteriak dan Eshal dengan spontan menginjak pedal rem. Keringat bercucuran didahi keduanya. Davira yang tersadar langsung membuka pintu mobil. Tapi yang keluar lebih dulu adalah Eshal. Cowok itu bertanya bagaimana keadaan anak kecil gelandangan yang hampir ia tabrak. Untungnya tak apa-apa. Bocah kecil itu malah meminta maaf. "Gak usah, Om," tolaknya ketika Eshal hendak mengajaknya pulang bersama. Maksud hati Eshal memang baik. Tapi berhubung tidak mau dan mereka masih di jalan, Eshal mengeluarkan beberapa lembar uang dan juga kartu namanya. Takutnya akan ada yang terluka meski tak berdarah. Bocah kecil itu hanya mengangguk-angguk lalu pamit pergi. Davira mengelus dadanya saat Eshal kembali masuk ke dalam mobil. Namun kemudian perempuan itu tercenung melihat punggung kecil yang bergerak menjauh itu. "Hampir aja," keluh Eshal. "Gue gak kebayang kalo tiba-tiba jadi narapidana karena menabrak anak orang," tuturnya sembari fokus menyetir. Ia tidak akan tertawa lagi. Karena sadar kalau Davira tak menyahut perkataannya, ia menoleh dan mendapati perempuan itu masih melirik ke arah di mana anak itu menghilang. "Lo kenapa?" Davira tersadar lalu menggeleng lemah. Ia menghembus nafas pelan seolah ada beban yang sangat membebaninya. Ia menyandarkan punggungnya. Sementara Eshal berkali-kali melihat ke arahnya. Takut terjadi sesuatu. "Lo kenapa, Vir?" "Enggak." Ia berbohong. Karena ia tak bisa menampik kalau ada yang menganggunya. Ia ingin bertanya namun hanya memilih diam lalu mengalihkan tatapan ke arah jendela di kirinya. Mengingat anak kecil tadi, ia hampir melupakan persoalan hidupnya selama satu hari ini hanya karena kehadiran Eshal. Sementara Eshal masih berkali-kali menoleh ke arahnya. Ia tahu kalau sepertinya ada masalah pada Davira. Tapi jujur saja, ia tak akan bertanya karena ia takut jika itu adalah urusan rumah tangga. Ia hanya sahabat Davira yang tidak bisa lagi melindunginya seperti sebelum Davira memutuskan untuk menikah. @@@ Menyedihkan. Meski bukan balasan yang Bella harapkan. Ia setidaknya ingin suaminya bisa memperlakukannya lebih baik kalau memang tidak bisa memperlakukannya seperti dulu. Arabella melirik jam di dinding rumah. Arasha sudah tidur sejak satu jam yang lalu dan tadi terus bertanya tentang keberadaan Ayahnya. Arabella hanya bisa mengatakan kalau lelaki itu bekerja. Hal yang tentu saja membuat gadis kecil itu sangat sedih. Meski tadi pagi sempat diantar ke sekolah. Namun yaa namanya juga anak kecil. Pasti rindu kedua orangtuanya. Diusia seperti itu, anak-anak memang memerlukan perhatian banyak dari pada orangtua. Tapi sayangnya tidak semua orangtua bisa melakukan itu. Entah karena waktu atau kah memang tidak bisa mendidiknya dengan baik. Padahal dulu mereka lah yang menginginkan anak. Namun ketika ada seringkali terlupakan. Sudah jam sepuluh malam tapi Fajri belum pulang juga. Ia sudah mengirim pesan sejak jam sembilan tadi tapi belum juga dibalas. Berhubung sudah satu jam, ia mencoba untuk menelepon Fajri. Ia tak tahu apa kesibukan Fajri hingga jarang pulang seperti ini. Oke, salahnya karena selama ini bahkan tak pernah berpikir bahkan mengira kalau Fajri terus seperti ini. Selama ini bukannya ia tak perduli tapi ia hanya merasa kalau Fajri mungkin bekerja keras. Tapi kalau hampir setiap malam seperti ini bukan kah ia harus merasakan sesuatu yang ganjil? Arabella menghela nafas. Sekali lagi ia hanya melihat jam di dinding yang terus berputar. Dari pada terus bengong seperti ini, lebih baik ia keluar di teras, barangkali suaminya sudah hampir sampai. Namun hingga satu jam menunggu pun terasa percuma. Arabella tercenung menatap ke arah jalanan yang kosong. Sudah semakin sepi karena sudah jam sebelas malam. Ia menarik nafas dalam. "Kamu ke mana?" tanyanya pelan entah pada siapa. Berkali-kali pun ia mencoba menelepon Fajri, tak sekalipun diangkat. Hal yang justru membuat Arabella sedih sekali. Ia tiba di kamar untuk mencuci muka dan mengganti bajunya. Tadi ia sudah mengunci pintu rumah. Biasanya Fajri membawa kunci. Hatinya bertanya-tanya, suaminya ke mana? Kenapa sesibuk ini? Padahal hanya menjadi anggota DPR harusnya tidak pulang selarut ini hingga tengah malam. Saat ia baru keluar dari kamar mandi, ponselnya berdenting. Arabella menghampiri meja riasnya sembari menggosok rambutnya yang basah. Tadinya ia berniat hanya untuk mencuci muka tapi karena merasa gerah akhirnya malah mandi hingga hampir setengah jam. Tapi suaminya tak kunjung pulang. Sorry aku gak pulang. Arabella tercenung dengan pesan singkat itu. Sebetulnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Tentang kenapa ia tiba-tiba merasa kalau suaminya berubah? Jangan kan perhatian, pesan pun hanya seperti ini. Apalagi saat mengingat kelakuan Fajri tadi yang agak marah dengan kehadirannya di gedung DPR. Arabella tentu sangat sedih. Sangat-sangat sedih. Meksi kemudian lelaki itu menemaninya dan bahkan dicarikan taksi. Namun tak ada pembicaraan apapun saat itu. Hanya diam dan Bella juga menahan hati. Tak mau marah atau apapun. Hanya merasa bersalah mungkin kehadirannya membuat lelaki ini jadi terganggu. Ya tak seharusnya ia dagang tadi bukan? Lalu apakah lelaki itu marah sampai memutuskan untuk tak pulang? Arabella menghela nafas. Kejadian tadi tampak sangat sepele tapi urusannya jadi panjang. Biasanya kalau Fajri marah, lelaki itu memang hanya akan diam. Tapi tak sampai seperti ini. Tak sampai tak pulang. Karena lelaki itu biasanya akan mengajaknya bicara setelah mendiamkannya untuk beberapa saat. Dulu Bella bingung menghadapi Fajri yang seperti itu. Namun waktu yang begitu lama bersama membuatnya perlahan mengerti bagaimana sosok Fajri. Lelaki itu diam hanya untuk meredam emosinya. Karena ketika kita emosi, apa saja bisa keluar dari mulut kita. Iya kan? Arabella menarik nafas dalam. Dengan tangan gemetar ia mencoba menekan tombol untuk menelepon Fajri. Lalu menatap layar ponselnya yang masih berdengung. Berharap panggilan teleponnya diangkat. Namun tak diangkat sama sekali. Arabella memejamkan mata, menelan pil kecewa. Ia mencoba menelepon sekali lagi, berharap dengan sangat tinggi semoga teleponnya dengan cepat diangkat. Tapi hampir tak diangkat andai Arabella tak menahan sebentar jempolnya yang mendadak kaku ketika mendengar suara yang terdengar. Bukan hanya jempolnya yang kaku tapi juga seluruh tubuhnya. Bahkan bumi bagai berhenti berputar. "Halooo?" Suara perempuan. Dua kata itu yang terlintas dibenak Bella. Wajahnya tiba-tiba pucat dan jantungnya berdegup keras. Firasat tak enak menyelimuti dadanya dalam sekejab. "Halooo? Iseng yaaaa?" Suara itu jelas membuat Arabella semakin membeku hingga ponsel itu terlepas dari tangannya bersamaan dengan suara pintu kamar mandi dari seberang sana yang terbuka. Lalu telepon tiba-tiba mati. Hanya tuut-tuut-tuuut yang Bella dengar. Sementara di seberang sana, Fajri hanya mengerutkan kening. Tidak menangkap keganjilan dari sosok perempuan yang baru saja tersenyum miring usai mematikan telepon itu. Rasanya puas dan lega dalam satu waktu. Baginya, ini sudah saatnya untuk menunjukan eksistensinya. Mungkin hanya waktu yang akan membuat Arabella tahu tentangnya. Tapi ia sudah tak perduli. Perjalanan cintanya dengan Fajri sudah cukup lama. Ia sudah lelah bersembunyi selama satu tahun lebih. Kini saatnya membuka diri. Toh semua orang juga sudah tahu kalau ia memang memiliki hubungan dengan Fajri. Untuk apa disembunyikan lagi? "Ada apa?" Ia mengendikan bahu. Berpura-pura tidak tahu. Seakan tidak ada apapun yang terjadi tadi. "Orang iseng," sahutnya. "Giliran diangkat sama sekali gak ngomong," tukasnya santai lalu mengambil duduk di atas tempat tidur. Omong-omong ia sudah siap dengan baju seksinya. Meski tertutupi kimono. Namun caranya yang s*****l dalam mengangkat salah satu kaki. Dan menyibak rambutnya agar lehernya terekspos sempurna memang berhasil membuat Fajri meneguk ludah dalam-dalam. Oke, cewek ini memang jauh sekali jika dibandingkan Arabella. Jika berbicara fisik. Maksudnya dari segi tampang. Karena dalam gaya apapun, Arabella jauh lebih cantik. Bahkan tanpa make up sekalipun. Namun satu hal yang tak Arabella punya. Tahu apa? Keseksian. Perempuan ini memiliki kekurangan yang tidak ada pada Arabella. Selain seksi, ia juga manja dan paling paham kebutuhan Fajri. Terutama urusan.....ranjang. Oke, ia tahu kalau ia sudah melewati batas. Tapi menahan s*****t itu sungguh sulit. Saat pacaran dengan Arabella dulu, jangan kan menciumnya. Berpegangan tangan dengannya saja ia takut. Belum lagi kalau ia berjalan dengan Arabella yang selalu dikuntit ibunya, ayahnya dan kakak-kakak Arabella. Itu sungguh tak asyik. Pacaran lama dengan Arabella tapi tak melakukan apapun. Baru bebas melakukannya saat menikah. Meski ia rela-rela saja saat pacaran dulu. Kalau sekarang? Ohooo. Permainannya sudah berbeda. Ia bukan lagi Fajri muda yang dikenal Arabella dulu. Pergulatannya menaikan namanya agar dapat diakui ayah mertua dan rasa yang tak ingin direndahkan memang membuatnya berjuang mati-matian. Meski tak bisa menghapus sepenuhnya berbagai kata tentang ia yang naik karena nama Arabella dan ayah mertuanya. Ia ingin membuang itu meski kesulitan. Karena jujur saja, sampai sekarang orang tak banyak tahu dengannya meski berhasil duduk di bangku DPR. Tanpa foto ia dan Arabella yang terpajang bersama di jalan-jalan saat pemilihan lalu, ia juga tak yakin akan lolos ke kursi DPR. Ia jelas berbeda dengan Pandu yang memang sudah lama dikenal masyarakat. Ditambah lagi, prestasinya biasa-biasa saja di DPR. Bukan lah orang yang menonjol juga. Sementara Arabella? Sudah menangis tanpa suara dengan tubuhnya yang gemetar. Saking terkejutnya dengan kejadian tadi. Meski demikian, ia masih merasa sulit percaya dengan apa yang terjadi. @@@ "Besok mau bareng aja? Gue kasihan kalo lihat lo jalan sendirian sampai depan terus naik busway. Mending bareng gue, gak perlu berdiri atau rebutan tempat duduk di busway," tawarnya. Tawaran yang sangat baik namun sayangnya dibalas gelengan oleh Davira. Perempuan itu sedang melepas sabuk pengaman. Keduanya baru tiba di depan rumah Davira. "Thanks, gue tahu niat baik lo," tutur Davira pelan sebelum keluar dari mobil. Ia takut Gavin cemburu. Mana mereka sedang bertengkar. Kalau dijam-jam ini, Gavin memang belum pulang. Mendengar kata-kata Davira, Eshal hanya berdeham. Cowok itu pamit dan mobilnya kembali melaju. Sementara Davira membuka pintu pagar lalu masuk ke dalam rumah. Ia mandi lalu berganti baju. Dalam waktu singkat, ia menyiapkan makan malam lalu mencoba menghubungi Gavin. Meski yah percuma. Kalau Gavin sedang marah, lelaki itu malas mengangkat teleponnya. Jadi hanya diam termangu menatap layar ponselnya yang hanya menyemburkan suara... Tuuuut....tuuuut.....tuuuuut.... Tak mau menyerah, ia mengirimi Gavin pesan. Bertanya keberadaan lelaki itu dan akan tiba di rumah pada pukul berapa. Karena sekarang sudah jam tujuh malam. Biasanya sebelum Magrib, Gavin sudah muncul di rumah mereka. Ada banyak pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa pulang. Davira hanya menghela nafas. Merasa sedih mendengarnya tapi tak bisa berbuat apapun. Yaa memang bisa apa? Kalau Gavin sedang marah, cowok itu memang cenderung menghindar untuk beberapa saat. Tapi kalau sampai tak pulang rasanya keterlaluan juga. Bukan kah biasanya lelaki itu khawatir kalau ia di rumah sendirian? Menilik Tak ada siapapun di rumah mereka. Maksudnya tak ada yang menjaga. Meski komplek perumahan ini memang aman. Tapi itu tak bisa dijadikan alasan karena apapun bisa terjadi. Mas masih marah? Aku minta maaf. Tidak setiap hal yang membuat Davira yang meminta maaf lebih dulu. Karena meminta maaf lebih dulu tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia. Meminta maaf lebih dulu bukan berarti salah dan kalah bukan? Iya kan? Meski ia tahu kalau akhirnya tetap didiamkan. Kadang Davira juga bertanya-tanya pada Gavin atau mungkin lelaki pada umumnya? Apakah lelaki kalau marah, egonya sedemikian tinggi hingga tak bisa meminta maaf terlebih dahulu atau mungkin membuat masalah ini agar cepat selesai? Gavin mengusap wajahnya. Ia memang sedang banyak pekerjaan. Tidak bermaksud untuk menghindari Davira. Namun ia tak bisa menampik kalau ia juga ada rasa marah atas apa yang terjadi. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bukan kah istrinya juga tak berharap hal seburuk itu menimpa mereka? Perempuan mana yang bahagia karena mandul sih? Tak ada kan? Dan ketika ia semakin dalam memikirkannya, membuatnya semakin tak bisa mengendalikan diri. Ia semakin gelisah dan sulit fokus pada pekerjaannya. Wajah Davira yang polos dan lugu itu terbayang-bayang dibenaknya. Rasa cintanya membuatnya harus melupakan apa yang telah terjadi. Toh itu bukan lah suatu kesalahan. Mungkin hanya takdir yang tidak berpihak. Iya kan? Setelah sekian lama diam dan memutuskan, akhirnya ia memilih untuk beranjak. Ia memang tak bisa marah pada Davira karena rasa bersalah begitu cepat menggerogotinya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN