Davira terburu-buru turun dari busway. Ia baru mendapat pesan dari Gavin kalau ibu mertuanya datang ke rumah mereka. Gavin pun masih di kantor. Padahal setahu Davira, semalam baru saja Gavin datang. Lalu untuk apa perempuan itu datang ke rumahnya? Khusus untuk menemuinya? Firasatnya tak enak hingga menggaruk tengkuknya. Entah kenapa aura perempuan ini memang sangat membuatnya tidak begitu nyaman hingga ingin sekali melarikan diri.
"Lama sekali," gerutunya. Padahal Davira sudah menyapa dengan senyuman. Ia juga sudah berlari-lari dari halte depan komplek. Jaraknya lumayan jauh pula. Ia sampai berkeringat. Tapi usahanya berlari tidak dihargai sama sekali. Aah apa yang ia harapkan dari perempuan ini? Davira hanya bisa mengabarkan diri di dalam hati. "Berapa gajimu?"
Davira diam. Ia sudah mempersilahkan ibu mertuanya untuk masuk ke dalam rumah. Perempuan itu bahkan baru melepas sepatunya saat bertanya hal semacam itu. Apa ia tak salah mendengar? Maksudnya....
"Bisa beli saya Mercy? Atau minimal honda Jazz lah," tambahnya yang tentu saja membuat Davira hanya bisa diam. Meski merasa sedang dihina tapi bukan kah ia sudah sering mendapat perlakukan seperti ini? Ukuran kebahagiaan bagi perempuan ini adalah harta dan tahta. Tidak ada ukuran akhlak di dalamnya. Yaa ketika semua hal dinilai materi, harusnya ada hal-hal yang tidak bisa dinilai secara materil. Namun sialnya, bagi perempuan ini, hal itu tidak berlaku sama sekali. Duniawi adalah nomor satu dan bahkan mungkin ia jadikan sebagai Tuhan.
"Ada apa Mama kemari?" ia bertanya usai menyajikan teh di atas meja. Ia menjamu ibu mertuanya bagai tamu. Tapi jangan salah kan Davira. Perempuan ini sendiri yang berkata seperti ini. Baginya, sampai kapanpun. Davira ya tetap lah orang asing. Begini kadang perihnya perempuan sebagai menantu.
"Bahkan gelas itu pun dibeli dengan uang anak saya bukan? Baju kamu, tas kamu dan sepatu yang kamu pakai?" tanyanya galak.
Davira hanya diam. Enggan membalas karena ia adalah ibu mertuanya. Setidaknya ia masih harus menghormatinya seburuk apapun perlakuannya. Dan kalau membicarakan hal ini, bukan kah memang kewajiban Gavin menafkahinya? Harus kah ia menggunakan uangnya sendiri sementara sudah memiliki suami? Kalau ia menggunakan uangnya sendiri bahkan untuk kebutuhannya bukan kah itu juga wajar dan memang tak ada hak Gavin di dalamnya? Ia ingin sekali membacot tapi lagi-lagi hanya menahan hati. Meski ia takut juga. Almarhum neneknya meninggal karena sakit empedu. Katanya karena stres hidup dengan kakeknya. Ia juga tak mau mengalami hidup yang sama hanya karena stres menghadapi mertua. Apalagi almarhum neneknya juga meninggal diusia yang cukup muda, sekitar 52 tahun. Untuk ukuran nenek-nenek bukan kah itu sangat muda?
Jadi ia menarik nafas dalam. Sabar, sabar, dan sabar. Hanya itu lah obatnya ketika kita berada di posisi ini.
"Dasar tidak tahu malu," geurutnya. Lalu ia berdiri. "Ceraikan anak saya," tuturnya yang tentu saja membuat Davira mendongak. "Saya itu mau cucu dan kamu tidak bisa memberikannya. Jadi untuk apalagi bertahan? Hanya buang-buang waktu."
Dada Davira bagai tersambar petir. Meski kedua tangannya sudah terkepal menahan emosi. Apa sudah begitu tidak ada harapannya hingga harus bercerai?
Di zaman yang semakin modern ini, ada banyak cara untuk mendapatkan anak. Allah juga membuka pintu ikhtiar bagi para hamba-Nya yang ingin berusaha. Tak akan dibatasi. Karena kita tidak pernah tahu yang mana pintu pembuka rezeki kita. Masing-masing orang kan berbeda.
"Bahkan kami belum lama menikah, Ma."
"Kan seperti yang saya bilang tadi. Buang-buang waktu. Kalau sekiranya percuma ya mending cerai saja. Untuk apa menikah lama-lama dan tidak mendapat anak?"
Davira menarik nafas dalam. "Vira bahkan belum sembuh dari urusan kemarin, Ma. Vira dan Mas Gavin juga terpukul dengan hasil itu. Tapi jalan keluarnya bukan itu, Ma."
"Kata siapa bukan itu?" ia berkacak pinggang. "Kalau anak saya hidup sama kamu, semakin lama semakin menghabiskan uang. Apalagi kamu mandul begitu. Memangnya kamu pikir akan murah biaya ini-itu agar bisa hamil hah?"
Hati Davira mendadak nyeri. Ia bahkan hanya bisa memejamkan mata sembari menahan tangis yang ingin menyeruak. Tak sehari pun ia tak tersakiti oleh perempuan tua ini. Seringkali terbersit untuk berpisah dengan Gavin karena perempuan ini. Karena bagaimana pun Davira juga hanya manusia biasa. Tapi apa mungkin? Ketika hatinya hanya milik Gavin? Gavin yang berhasil membuatnya percaya pada cinta dan bertahan cukup lama namun malah berakhir hanya karena perempuan ini? Alangkah sia-sianya usahanya selama bertahun-tahun dulu dengan Gavin jika hanya selesai dalam waktu yang singkat untuk sebuah pernikahan.
"Kamu aja miskin, gak punya duit, numpang lagi sama anak saya," gerutunya sembari mengambil tasnya. Tak betah berlama-lama di rumah ini karena bau menantunya ada di mana-mana. Ia mengibas rambutnya lalu berjalan keluar dari rumah dan langsung masuk ke dalam mobil yang sedari tadi menunggu di depan pagar rumah. Sementara Davira sudah jatuh terduduk dengan tangis yang menyeruak.
Memangnya, perempuan itu mengira kalau Davira betah hidup seperti ini? Tidak bukan? Ia juga sakit karena divonis mandul. Meski belum sepenuhnya percaya. Tapi ia tak bisa memungkiri kalau hatinya rapuh juga. Sakit juga. Hancur juga. Namun ia tetap meyakini kalau ini bukan lah akhirnya. Pasti ada jalan. Pasti ada penyelesaian. Bercerai bukan lah solusi apalagi membunuh ibu mertua. Haaaaah!
Ia berupaya menenangkan diri meski terasa percuma. Akhirnya hanya bisa mengusap air mata lalu berdiri pelan. Semakin lama, menahan hati itu akan semakin susah. Meski ia tak pernah meributkan hal ini. Tak sekalipun pula ia pernah mengadu hal ini ada Gavin. Karena apa? Ia tahu Gavin akan membelanya dan ia tak mau Gavin bertengkar dengan ibunya. Ia tidak mau memperkeruh suasana. Ia juga tak mau membawa Gavin jauh dari keluarganya. Apalagi Gavin adalah anak satu-satunya.
Sementara itu, perempuan itu masih berceloteh riang di telepon. Ia sedang dalam perjalanan hendak bertemu Moni di rumahnya. Lebih tepatnya memang ingin bertamu. Moni tentu senang sekali karena perempuan itu akan datang ke rumah. Meski ia masih cukup sibuk di lokasi syuting. Tapi ia bisa meluangkan waktu untuk bertemu.
"Ya, Tante. Nanti Moni akan pulang secepatnya ke rumah biar bisa bertemu Tante."
Terdengar tawa riang dari perempuan yang berstatus ibunya Gavin. Setelah menutup telepon, perempuan itu menelepon Gavin. Namun....
"Gavin gak bisa kalau sekarang. Masih kerja, Ma. Masih banyak urusan di kantor. Memangnya di rumah gak ada sopir?"
"Ya sudah, ya sudah kalau gak bisa sekarang. Tapi nanti Mama dijemput loh Gavin."
Gavin menghembus nafasnya. Ia sedang fokus mengumpulkan bukti yang tidak memberatkan kliennya. Tapi terus diganggu oleh telepon-telepon dari Mamanya. Ia tahu kalau ibunya masih berharap ia bersanding dengan Moni. Namun bagi Gavin, Moni sudah menjadi masa lalu dan tidak untuk dijadikan masa depan. Ia sudah cukup dengan Davira. Meski apapun yang terjadi beberapa hari belakangan. Terlebih....
"Oi, Gavin!"
Tahu-tahu Eshal menegurnya saat mobil mereka berpapasan semalam.
"Jangan terlalu lama ninggalin Vira sendirian," tegur cowok itu lalu mobilnya melaju begitu saja. Gavin tak membalas semalam. Meski ia tahu kalau Eshal sepertinya memantau Davira dari luar. Dan itu membuat hatinya cukup panas. Karena ia tak hanya menemukan Eshal melakukan itu untuk semalam tapi sering. Terlalu sering.
Ingin sekali ia mengatakan pada Eshal untuk sibuk dengan urusannya sendiri. Cari saja pasangan sendiri dan jangan menyentuh Davira lagi. Karena sisi hati kecilnya juga takut kalau lelaki itu merebut Davira darinya suatu saat nanti. Entah ini hanya insting atau sekedar pikiran buruknya saja. Baginya tak ada istilah persahabatan antara laki-laki dan perempuan.
@@@
"Aku kira kamu sibuk," tuturnya. Padahal senyumannya mengembang seperti donat yang sedang digoreng.
Lelaki itu berdeham. "Tadinya sibuk. Tapi jadwalnya batal," bohongnya. Padahal tadinya ia sama sekali tak berniat untuk bertemu Inshira.
Inshira mengangguk-angguk. Tentu senang mendengarnya. Apalagi lelaki ini sampai menyusulnya ke sini. Inshira sebetulnya sedang berada di Bogor. Tadi sempat pemotretan. Begitu selesai, ia langsung berangkat ke vila yang ada di Puncak. Keluarganya memang punya satu di sini. Sementara Rieki, rumah kedua orangtuanya memang di Bogor. Jadi seharusnya memang tak begitu jauh.
"Ada apa? Katanya ada yang mau kamu omongin," tuturnya. Keduanya duduk di halaman belakang yang menghadap ke arah hijaunya pepohonan. Meski posisinya cukup tinggi namun itu lah yang membuat pemandangannya sangat bagus.
Inshira mendongak. Ia tersenyum malu-malu. Sudah lama ia tak bersikap seperti ini di depan Rieki. Terakhir kali? Entah lah, Inshira lupa saking lamanya. Mungkin karena sudah lama berpacaran? Ah entah lah. Inshira juga tak paham. Hal ini baru ia sadari. Ternyata semakin lama kita mengenal seseorang, kita bisa jadi malah merasa asing.
"Soal omongan kamu dulu."
Kening Rieki mengerut. Ia mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Tak begitu memerhatikan ekspresi malu milik Inshira. Ia hanya menebus rasa bersalahnya untuk datang ke sini. Andai tadi, abangnya sekaligus manajernya tak mengingatkan kalau ia sudah lama tidak bertemu Inshira. Haaah jujur saja, ia sebetulnya sudah bosan dengan hubungan ini. Namun memutuskan Inshira begitu saja tanpa alasan apapun hanya akan membuat keganjilan. Ia tak ingin mendapat jejak buruk pada Inshira. Apalagi fans mereka sebagai pasangan banyak sekali. Bahkan banyak sekali yang berharap kalau mereka akan menjadi pasangan suatu saat nanti. Kalau dulu, Rieki yakin. Tapi semenjak dua tahun terakhir.....
"Omongan yang mana?"
Inshira meremas kedua tangannya. Ia menunduk pelan lalu kembali mendongak dengan malu sembari menatap Rieki. Rieki justru bingung melihat gelagatnya yang agak aneh itu.
"Waktu kamu ngelamar aku di ulang tahun aku yang ke-25, Ki."
Rieki mencoba mengingat-ingat. Ia bahkan sudah sangat lupa. Tapi saat melihat cincin dijari manis Inshira, ia baru teringat. Kala itu, cintanya masih menggebu. Inshira terasa sangat sempurna di matanya. Meski mungkin masih banyak perempuan lain yang lebih cantik tapi Inshira adalah sosok orang yang selalu ada untuknya sejak memulai karir bersama. Namun sekarang.....
"Waktu itu aku bilang kalau....aku belum siap menikah dan bukan berarti menolak lamaran kamu," tuturnya. "Papa masih ingin aku meniti karir waktu itu."
"Kalau kamu memang belum siap, aku gak masalah, Non," potongnya segera. Ia meminum minumannya dengan cepat. Matanya juga menghindari Inshira. Ia sudah tak punya keinginan yang sama dengan Inshira. Namun tak bisa pergi begitu saja. Apakah ini konyol? Aah tidak juga. Perasaan itu kan memang dinamis. Siapa saja bisa berubah. Namun kalau memang sudah tak cinta lagi hanya karena kebosanan atau sejenisnya, lebih baik lupakan usaha untuk mengejar cinta sejak awal. Karena hal semacam itu hanya membuang waktu bagi yang dikejar dan juga membuang tenaga karena sudah bersama. Lebih baik menunggu lelaki yang tepat dan memang akan bersanding di waktu yang tepat.
Inshira mendongak. Tentu saja itu bukan yang ia harapkan. Ia justru sudah membayang kalau Rieki akan senang sekali dengan kabar yang ia bawa hari ini. Tiba-tiba saja saat tahajud tadi, ia berpikir untuk melakukan ini. Barangkali dengan ini, Rieki akan lebih semangat untuk mengejar restu pada Papanya. Tapi ternyata?
"Kamu kenapa?" ceplosnya. Tentu saja heran dengan sikap Rieki yang tidak antusias sama sekali dan sialnya, ia telat menyembunyikannya. Lagi pula, Inshira sudah lama mengenalnya. Akan percuma juga kalau berbohong dan tak ada gunanya pula.
"Maksudku," ia berpikir keras. Bahkan tangannya gugup di bawah meja. "Aku tidak mau terburu-buru. Kalau memang kamu belum siap, aku gak masalah, Noon. Dan lagi, pernikahan itu tidak mudah. Itu harus sekali seumur hidup. Kita tidak bisa membuat keputusan terburu-buru. Khawatirnya akan ada yang disesali di masa mendatang nanti."
Inshira mengangguk-angguk. Yaa memang benar. Ia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Sebetulnya hatinya terlanjur kecewa dan ia tak bisa menyembunyikannya. Melihat itu, Rieki merasa bersalah. Meski kini, ia mencoba tersenyum. Berharap suasana ini tidak berubah. Maksudnya, pemandangan di belakang sana sangat lah indah. Kenapa kisah asmara mereka malah menemui titik ini?
"Aku gak bermaksud--"
"Aku paham kok. Mungkin waktu itu, kamu belum berpikir dengan matang saat melakukannya," tukasnya yang tentu saja membuat hati Rieki tersentil. Benar-benar bertambah rasa bersalahnya. Telak sekali kata-kata Shira. Meski ia mencoba berpikir positif. Barangkali ada yang salah juga darinya. Ketika ia merasa telah siap, lelaki ini justru sebaliknya.
Rieki menghela nafas. "Maksud aku bukan begitu, Noon," tuturnya pelan. Sedangkan Inshira sudah beranjak dari bangku. Ia tidak bisa mencegah hatinya yang terlanjur kecewa. Rieki hanya bisa mengusap wajahnya.
@@@
"Di mana, Pa?"
"Sudah di rumah. Arasha juga sudah di rumah. Sedang main di halaman belakang. Kamu masih ada pekerjaan?"
Arabella tersenyum kecil. Tadi Arabella mengira kalau Arasha mungkin ke rumah Airin lagi. Biasanya kan begitu. Mana tahu kalau Papanya akan kembali menjemputnya.
"Baru selesai, Pa. Tadinya Bella mau jemput Arasha di sekolah. Apa gak ada kerjaan di kantor?"
"Pekerjaan ada banyak. Kantornya juga gak begitu jauh. Papa bisa bolak-balik kapan saja."
Arabella terkekeh. Papanya memang tergolong santai. Yang penting semua tugas dilakukan dengan baik bukan? Dan lagi, di masa-masa kepemimpinan Papanya sebagai menteri, pendidikan di Indonesia tergolong maju kok. Meski tentu banyak kabar miring yang akhirnya membuat Arabella seringkali tersakiti. Hanya karena Papanya seorang menteri dan ia anak perempuannya yang tidak melanjutkan kuliah. Memangnya salah? Toh ia bisa sukses juga dengan caranya sendiri kan? Orang lain belum tentu bernasib sama. Kadang ia ingin juga menutup telinga karena memang lebuh mudah dibandingkan menutup mulut orang lain bukan?
"Ya sudah. Arabella langsung ke rumah Papa saja kalau begitu."
"Ya, istirahat di rumah Papa saja. Nanti saja bawa Arasha pulang."
Tentu saja itu hanya alasan. Ia sudah mendengar laporan dari pembantu-pembantu di rumah anaknya kalau semalam Arabella bahkan jatuh dari mobil dengan kaki yang tiba-tiba lemas. Raymizard yakin jika terjadi sesuatu. Namun ia tak tahu apa. Tapi yang namanya bangkai, semakin lama pasti akan tercium bau busuknya.
"Bella sudah di mana?" tanya istrinya. Ia tadi mendengar percakapannya meski hanya sebentar.
"Di jalan. Akan ke sini."
Langkah kaki istrinya langsung terhenti. Matanya menatap ke arah suaminya. Raymizard justru sedang menatap Arasha yang tampak ceria di halaman belakang. Jendela besar itu memungkinkannya untuk melihat cucunya dan mendengar suaranya. Raymizard tak berani membayangkan akan sampai kapan ia bisa mendengar keceriaan Arasha. Satu hal yang ia takut kan. Apa? Jika Arasha mengetahui apa yang sedang terjadi. Jika anaknya dan menantunya memutuskan untuk.....
"Kamu gak bilang Bella kan?" tanya istrinya. Tentu saja perhatiannya tertuju pada sosok yang sedang mengejar Arasha di halaman belakang itu.
Raymizard menggeleng. Ia mengira kalau ini hanya lah kebetulan? Kebetulan yang sebetulnya menjadi takdir Tuhan.
"Pak, nanti berhenti di tempat biasa saya beli cake ya," tuturnya pada sang supir. Pak Bowo mengangguk. Dengan senang hati ia mengambil jalan lain menuju tempat jualan kue kesukaan Arasha.
"Eh, Bel!"
Bella hanya berdeham. Ia sibuk dengan isi tasnya.
"Aku baru ngeh deh."
"Apanya?"
"Itu ternyata si itu datang juga besok. Aku kira dia bakal di Malaysia terus."
Kening Bella menyipit. "Si anu apaan?"
Mina berdeham. Alih-alih menjawab, ia malah menunjukan foto dari sebuah berita gosip. Bella sempat tertegun sampai akhirnya mengangguk-angguk.
"Akan gimana ya?"
"Mau gimana pun, dunia ini sempit, Mina. Gak ketemu di sini, kita juga sering ketemu di Malaysia."
"Ya tapi dia tampaknya selalu menghindari kamu sih," tuturnya pelan. Bella mengangguk-angguk. Wajar lah. Dulu mereka memang cukup dekat. Para netizen bahkan terbawa perasaan dengan peran yang mereka mainkan bersama dalam satu film yang sama lalu berlanjut dengan sinetron. Saat itu, belum banyak media yang memberitakan kalau Arabella memiliki pacar non selebriti. Jadi pasti banyak yang salah paham. Apalagi yang diberitakan justru Bella dengan orang itu.
"Sampai sekarang, dia udah menikah belum sih?"
Bella hanya mengendikan bahu. Tapi jujur saja, ia belum pernah mendengar kabar itu. Jadi mungkin masih sendiri hingga kini. Usianya bahkan mungkin sudah 34 tahun di tahun ini. Dua tahun di atas Arabella.
Selesai membeli kue, mobil melaju lagi menuju rumah Papa Arabella. Setelah itu, supirnya baru akan mengantar Mina. Mina tentu saja ikut turun untuk bertemu Om dan Tantenya. Ia menyeru salam sementara Bella masih mengambil kue. Ia bawakan untuk ibu dan ayahnya serta Arasha.
"Arasha mana, Pa?" tanya Bella. Ia sudah melewati ruang keluarga tapi tak menemukan siapapun. Dari halaman depan hingga ruang keluarga memang tak ada orang. Mina yang tadi sudah masuk duluan sudah masuk ke kamar mandi.
"Ada di halaman belakang, Bel," sahut Mamanya lantas tersenyum. Ia biarkan Bella mencium pipinya. Anak perempuannya juga menaruh kue di atas bar kitchen. Lalu langsung berjalan menuju halaman belakang tanpa tahu kalau ibunya mengamati.
"Arashaaaaaa!"
Suara lembut itu memanggil. Tentu saja agak mengagetkan seseorang yang sedang menggendong Arasha. Gadis kecil itu langsung melompat turun dan berlari ke arah Arabella. Arabella membuka lebar kedua tangannya. Senyumannya mengembang sempurna. Tentu saja sangat merindukan gadis kecilnya yang sangat manis dan pintar meski bawel dan 'ambekan'.
"Bundaaaaaaaaaaa!"
Arabella terkekeh. Keduanya berpelukan erat saat Arasha resmi melompat ke arahnya. Lalu berputar-putar sambil berpelukan. Tanpa tahu kalau ada yang mengamati sedari tadi dengan senyuman tipis.
Long time no see, Bell.
@@@