"Ini loh, Ma, yang kata Papa kemarin."
Akhirnya, orang yang ia temui beberapa hari lalu, mau juga datang ke rumahnya. Ia bertemu tak sengaja ketika sedang menghadiri acara di kementerian. Yeah, biasa lah. Acara-acara di kementerian pasti mengundang banyak pengusaha untuk melihat evaluasi kebijakan perdagangan selama setahun terakhir.
"Siapa namanya?"
"Kavindra, Tante," kenalnya ramah.
Dari sekian banyak pengusaha yang datang saat itu, ia hanya tak sengaja duduk di samping lelaki tua ini. Kemudian berkenalan dan akhirnya malah mengobrol banyak. Ternyata lelaki ini dulu pernah bekerja di sebuah perusahaan selama sepuluh tahun. Lalu keluar dan memutuskan untu menjadi pengusaha. Nah, perusahaan yang menjadi tempat kerjanya itu adalah milik dari saudara kembar Om-nya.
"Duduk, nak," titah si ibu. Baru juga datang langsung disuruh duduk di kursi makan untuk makan siang.
Usai mengobrol pertama kali dengan pemuda ini, ia langsung menembak apakah sudah memiliki calon atau belum. Lelaki itu hanya bisa terkekeh. Ia memang masih jomblo. Lalu ia bercerita dan memperkenalkan anaknya yang merupakan selebgram yang tentu saja ia juga mengenalnya. Merasa tertarik dan sudah membicarakan ini dengan matang bersama keluarga Tantenya, akhirnya ia bersedia datang ke sini. Niatnya untuk berkenalan. Meski dari kabar-kabarnya, anaknya lelaki ini sudah memiliki pacar.
"Lulus dari Jepang langsung ke sini ya?"
Ia mengangguk. "Di sekolahin sama Om dan Tante," ujarnya. Kalau ayah dan ibunya di kampung halaman sana kan pegawai negeri sipil. Tadinya mau mencari beasiswa. Tapi tak diizinkan Tantenya. Katanya dari pada repot-repot mending Tantenya saja yang menguliahkan. Usai kuliah, ia akhirnya malah mengembangkan startup. Sekarang dibantu sepupunya, anak si Tante. Memang masih merintis. Tapi ia juga mem-back up pekerjaan lain. Ini bukan balas budi tapi pilihan yang ia putuskan sendiri.
"Om-nya itu si Fadlan Adhiyaksa itu, Ma. Yang punya banyak rumah sakit itu."
"Ooh. Yang istrinya itu dosennya Shira juga?"
Suaminya mengangguk. "Berarti kamu dari sebelah?"
"Saya ini anak dari adiknya Bunda Rissa."
Aaaah. Kedua paruh baya itu pun mengangguk-angguk. Ayah Shira sangat tertarik dengan kepribadiannya. Dibanding hal-hal lain, baginya kepribadian itu sangat penting. Apalagi melihat gelagatnya sepanjang hari. Saat tiba waktu solat, lelaki ini segera pamit untuk ke masjid. Calon mertua mana yang mau melewatkan calon menantu yang tidak menunda solatnya ketika adzan memanggil?
Ia hanya berpikir kalau yang seperti ini lah yang ia cari untuk menjadi menantu. Meski usianya lebih muda dua tahun dibandingkan Shira namun cara bicaranya tampak lebih dewasa dan sangat bertanggung jawab. Apalagi bibit-bobotnya juga bagus. Ia kan mengenal juga keluarga Tantenya Kavindra ini. Pernah lama bekerja di perusahaan adiknya Fadlan. Jelas ia tahu bagaimana sifat dan karakter keluarga itu. Yaah dibandingkan anaknya berpacaran kan? Dari gekagatnya yang sering takut padanya saja sudah membuat ia banyak berpikir ulang. Semakin tidak yakin dengan pilihan anaknya sendiri.
"Nah itu anaknya pulang!" seru si Papa. Istrinya hanya bisa tertawa. Saking sudah lamanya menunggu. Ia sudah berpesan pada Shira untuk pulang siang ke rumah. Jangan keluyuran karena ingin memperkenalkan seseorang. Meski ia tak mengatakan apapun sebetulnya. Hanya menyuruh pulang saja.
"Hati-hati, Niin!"
Shira berseru ria sembari melambaikan tangannya. Mobilnya bergerak dibawa Anindya. Cewek itu mau meminjam. Sementara Shira membalik badan dan mengerutkan kening melihat Papanya.
"Cepetan masuk kamu!"
"Sabar sih, Pa. Baru juga sampe," tuturnya sembair melepas sepatu. Kemudian mencium kedua pipi Papanya.
"Naaah, ada yang mau Papa kenalin ke kamu."
Shira tak begitu menanggapinya. Begitu memasuki ruang makan, ia akhirnya melihat Kavindra. Cowok itu sedang mengobrol dengan Mamanya yang masih memindahkan lauk-pauk ke meja makan.
"Nah itu anaknya dateng!"
Mamanya tampak senang. Baginya, anaknya dengan siapapun ya tak masalah. Asal anaknya bahagia. Itu saja.
"Nih kenalan dulu kamu sama Kavindra," tutur si Papa. Shira pasrah saja ketika disuruh menyalami Kavindra. Kemudian disuruh untuk duduk di kursi makan, berseberangan dengan cowok itu. Ia sebetulnya bingung dengan kejadian ini. Ada apa sebetulnya?
"Shira."
"Kavindra."
Kavindra agak-agak grogi ketika menatapnya dari dekat. Shira menyelidik saat menatap Papanya. Seolah mencari jawaban atas perkenalan ini.
"Kavindra ini keponakannya dosen kamu itu, Shira. Bu Rissa. Terus...."
Entah apalagi yang dibicarakan Papanya, Shira sudah tak menangkap apapun lagi. Fokusnya hilang sekejab. Seolah paham dengan maksud Papanya. Yaa cowok ini ganteng sih. Ia akui. Gak kalah ganteng sama pacarnya. Tapi urusannya bukan karena tampang kan? Kalau diperhatikan lagi, ia menang tampak agak kalem dan juga sopan. Hanya saja, ini kan pertemuan pertama. Yaa siapapun yang berada di posisi Kavindra, Shira yakin pasti akan berperilaku sopan. Namun tetap saja perkenalan ini terasa ganjil. Apalagi Papanya terus berbicara soal Kavindra yang begini dan begitu. Shira menarik nafas saat cowok itu akhirnya pamit. Hanya makan siang sebentar lalu mengobrol dan pamit pulang. Katanya harus kembali ke kantor lagi.
"Shira gak suka loh sama cara Papa," ingatnya ketika hendak menaiki tangga. Kedua orangtuanya menoleh. Sudah bisa menebak akan ada penolakan.
"Itu kan pilihan. Jangan cuma mentok di satu orang yang belum tentu menjadi jodoh kita."
Shira menghela nafas. "Pa, Shira itu udah punya pacar. Dan lagi, Iki juga udah mikir serius kok. Kita itu hanya perlu waktu yang tepat aja," tukasnya.
"Papa tidak memburu. Papa hanya ingin kamu berpikir ulang, Shira. Kalau Papa sampai keberatan terhadap pilihanmu itu, kamu harusnya berpikir lebih dalam lagi. Karena pasti ada yang salah."
Shira menghentikan langkahnya. Ia membalik badan. "Lalu apa yang salah dari Iki, Pa? Mapan? Iki udah mapan banget. Iki juga baik. Dia gak pernah kasar sama Shira. Gak pernah nyakitin Shira."
"Ya itu kan dari sudut pandang kamu. Kalau dari sudut pandang Papa kan berbeda. Menurut Papa, kalau seseorang yang tahu cara menghargai perempuan yaa pasti langsung menghadap orangtuanya lalu menikahi anaknya. Tidak dengan--"
"Pa!"
Shira menaikan suaranya. Ia sudah bosan dengan perdebatan semacam ini dengan Papanya. Tak akan pernah menang pula karena menurutnya, Papanya sudah mematok jawaban. Jadi hanya debat kusir tanpa solusi apapun.
"Selama ini kan Shira gak pernah minta apapun. Cuma minta sekali ini aja, Pa. Biarin Shira dengan pilihan Shira sendiri. Kalau kakak-kakak Shira mungkin memang Papa benar soal insting Papa itu. Tapi kalo Iki? Iki itu baik, Pa. Baiiiik bangeeet. Orang-orang di luar sana juga tahu."
"Papa tidak pernah bilang kalau dia tidak baik, Shira. Papa juga tidak langsung menilai hanya dari satu hal lantas menyimpulkan seseorang itu buruk hanya dari satu kekurangan. Tapii--"
"Tapi Papa baru saja melakukan itu. Papa kan gak tahu gimana perasaannya hancur waktu orangtuanya berpisah. Papa kan gak tahu gimana dia masih trauma soal itu. Siapa sih, Pa, yang mau mengulangi kesalahan yang sama dilakukan oleh kedua orangtuanya? Gak ada kan? Begitu pula dengan Iki. Jadi dia pasti punya alasan sendiri kenapa dia masih belum mau mengajak Shira ke arah sana," ucapnya sebelum membanting pintu kamar. Kedua orangtuanya menghela nafas.
"Dia sama keras kepalanya kayak kamu."
Istrinya menyentil keningnya. "Kamu juga. Kalo memutuskan sesuatu juga keras kepala banget. Maunya itu dan gak boleh ada yang ganggu gugat. Tuuh! Rasain! Anaknya jadi gitu juga."
@@@
"Kamu ngehubungi si Eshal untuk jagain kamu semalem?"
Pertanyaan itu menyapanya. Davira bahkan baru saja keluar kamar. Matanya masih sembap. Kedatangan ibu mertua yang menyuruhnya bercerai dengan Gavin jelas membuat hatinya sakit. Apalagi sampai dihina sematre itu. Padahal jujur saja, ia juga sudah mapan sebelum bertemu dengan Gavin kok. Tak perlu menebeng hidup dengan Gavin juga, ia bisa membuat rumah seperti ini. Ia bukan tipe perempuan yang suka menggantungkan hidupnya dengan orang lain. Ia bisa berusaha sendiri untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Sepeser pun, ia tak berpikir untuk menyentuh harta Gavin kecuali memang haknya. Ia juga tahu persoalan hukum. Lebih dari tahu.
"Gak ada."
Gavin menghela nafas. "Terus ngapain dia semalem di depan rumah?"
"Aku gak tahu, Mas."
"Vira!" ia memegang pergelangan tangan Davira dan membuat perempuan itu menghentikan langkah. Davira menghela nafas.
"Mas, aku juga tahu posisiku. Sekalipun Eshal itu sahabatku dari dulu, tapi aku gak pernah minta tolong ini-itu apalagi sampe minta dia buat jagain. Buat apa?"
Gavin mendengus. Ya tak mungkin ia tak percaya dengan kata-kata istrinya. Ia tahu kalau Davira tak mungkin berbohong. Tapi tetap saja, ia kesal karena kata-kata Eshal. Dikiranya, ia tak bisa menjaga istrinya sendiri? Meski hati kecilnya juga menyangkal. Bukan kah ia sendiri yang meninggalkan istrinya semalam demi ibunya?
Davira sibuk di dapur sambil berusaha menahan airmatanya. Apapun bentuk hinaan, perlakuan buruk dan hal-hal lain yang ia dapatkan dari sang ibu mertua, tidak sekalipun keluar dari mulutnya untuk mengadu pada Gavin. Selain berkecil hati karena Gavin tak mungkin membelanya. Mungkin hanya akan menyuruhnya bersabar untuk menerima hal itu. Gavin sudah tak seperti dulu yang akan marah pada ibunya. Tapi belajar dari itu, Davira juga tak mau kalau Gavin sampai bertengkar dengan ibunya. Urusan rumah tangga ini bisa semakin berantakan.
Gavin bergerak menaiki tangga. Kemudian menghentikan langkahnya ditengah-tengah. "Aku gak suka kamu deket sama dia. Mau sahabat atau apapun judulnya. Gak ada cewek dan cowok yang murni temenan kayak gitu tanpa perasaan. Kalo kamu gak punya rasa ke dia, ada kemungkinan kan kalau dia yang punya rasa ke kamu?"
Davira hanya diam. Ia kemudian mendengar suara pintu kamar dibanting. Gavin cemburu sementara hatinya sedang kacau sendiri. Bagaimana rasanya tidak disukai mertua? Menyakitkan bukan. Berharap akan memiliki seorang ibu yang bisa menyayanginya dan tidak hanya menghubungi hanya karena membutuhkan sesuatu, tapi itu semua tinggal harapan. Tak ada satupun yang terkabul. Ia menarik nafas dalam. Berusaha kuat menjalani hidupnya sendiri. Kemudian bergerak menyiapkan makan malam.
Davira tak banyak bersuara saat makan malam. Perempuan itu lebih banyak termenung. Gavin terus menatapnya. Mau marah tapi untuk apa?
"Ada masalah?"
Perempuan itu tersadar. Ia enggan membicarakannya. Davira menegakan tubuhnya lalu menggeleng. "Lagi capek aja," tuturnya yang membuat Gavin mengangguk-angguk. Lelaki itu menghabiskan makanannya. Ada hal lain yang tentunya masih menganggu. Persoalan apa? Tentu saja persoalan mandul itu. Gavin sudah membaca banyak hal tentang cara agar istrinya bisa hamil meski hasil tes kemarin menyatakan kemandulan.
"Kalau kamu lagi datang bulan," ia mencoba menanyakannya. Davira menoleh ke arahnya. Ia tak begitu menyimak ucapan Gavin. "Sakit gak?"
"Apanya yang sakit?"
"Pas lagi datang bulan gitu, sakit gak? Aku baca katanya kalo mandul gitu bisa dicek-cek gitu dengan kebiasaan haid."
Oooh. Davira menggeleng. Bisa dibilang, ia tak pernah sakit atau kram dan sebagainya yang dialami oleh kebanyakan perempuan.
"Enggak?"
"Iya. Gak pernah sakit."
Gavin merenung. Lalu keluar lah ide baru. "Mau periksa lagi gak? Kita coba cek di rumah sakit lain. Kamu kan pernah bilang kalau sebelumnya sudah periksa dan gak mandul. Iya kan?"
Davira mengangguk.
"Maksud aku, kita harus cari tahu dulu. Yaa apapun hasilnya," ia menghela nafas. Takut marah lagi seperti kemarin. Mau marah juga pada siapa? Davira? Istrinya juga sama sekali tak ingin divonis mandul kan?
Davira mengangguk lagi. Memang itu yang harus dilakukan bukan? Mumpung Gavin mau menguatkannya. Tidak mengabaikan atau bahkan marah. Davira tahu kalau Gavin pasti terguncang. Sama sepertinya. Tapi dalam kondisi itu, yang lebih kacau itu justru Davira. Yaa perempuan mana yang mau divonis mandul?
"Besok kamu ke mana? Kantor atau kampus?"
"Kenapa?"
Gavin mengerutkan kening. "Kok kenapa sih, sayang?"
"Hah?"
Davira melamun lagi. Gavin menghela nafas. Lelaki itu beranjak dari bangkunya kemudian berdiri di belakang bangku Davira. Lelaki memeluknya dari belakang. Memeluk bahunya.
"Apa yang lagi kamu pikirin?"
@@@
"Setelah vakum selama hampir sepuluh tahun lalu tiba-tiba ikut menghadiri acara hari ini, bagaimana bisa berubah pikiran, Mas?"
Begitu ia turun dari mobil, di karpet merah, ia malah disambut beragam pertanyaan yang intinya sama. Keputusannya tiba-tiba datang ke Indonesia tentunya dipertanyakan. Pasalnya, terakhir kali, ia mengungkapkan kalau kemungkinan besar ia akan menetap di Malaysia dan tidak akan kembali. Tapi hari ini malah datang ke sebuah acara ulang tahun televisi.
"Yang punya tivi itu, teman baik saya. Jadi saya berusaha untuk hadir. Kebetulan sedang tidak banyak kesibukan di KL."
Ia menjawab dengan senyuman. Kesibukannya di Malaysia tentu saja berbisnis. Keluarga besarnya juga tenang hidup di sana karena minimnya wartawan yang mengejar-ngejar hidupnya seperti sepuluh tahun lalu. Kala itu, ia memutuskan untuk menenangkan diri dan tak berpikir untuk kembali lagi ke Indonesia. Apalagi...
"Tapi kami dengar, kalau Mas Arzan akan bergabung dengan film terbarunya Mas Anang?"
Ia tertawa. Gosip itu tentu saja sudah menyebar. Alih-alih menjawab, ia malah pamit masuk ke dalam gedung. Kemudian berjalan bersama beberapa tekan lama yang masih aktif di dunia ke-artisan. Banyak yang tentu sudah pensiun karena kurang tenar lagi. Namanya dulu pernah melambung tinggi karena berhasil meraih hati rakyat Indonesia dengan film dan sinetron bersama Arabella. Tak khayal kalau pemberitaan tentangnya masih menjadi bulan-bulanan wartawan. Karena kehidupannya di Malaysia yang tak begitu terekspos. Sesekali hanya mendapat kabar kalau ia berbisnis ini dan itu. Sempat juga meraih penghargaan dari pemerintah Malaysia atas bisnisnya. Orang-orang masih ingin tahu tentang kehidupan asmaranya yang sedari dulu selalu sepi. Hanya pernah digosipkan secara hangat dengan Arabella. Setelah itu, tak ada apapun lagi.
Arabella tak sengaja menoleh ketika banyak yang membicarakan kehadiran Arzan. Ia tentu saja sudah mengobrol canggung dengan Arzan semalam, di rumah Papanya. Ia turut kaget dengan kehadiran cowok itu di sana. Arzan sejak dulu emang sangat dekat dengan Papanya. Wajar lah. Katanya hanya kebetulan mampir lalu bermain dengan Arasha. Arasha tampak senang dengan kehadirannya padahal baru pertama kali bertemu.
Arzan duduk jauh di depan sana bersama teman-teman artis lain. Acara hari ini dimulai dengan berbagai hiburan. Sementara Arabella tak begitu menikmati acara ini sebetulnya. Pikirannya teralihkan oleh kelakuan suaminya yang semakin mencurigakan. Ia sedang berupaya menembus bukti tagihan kartu kredit atas nama suaminya. Hanya itu satu-satunya acara untuk tahu ke mana saja suaminya pergi. Iya kan?
Ia tiba-tiba terpikir tentang hal itu saat mendengar Mina menonton drama Korea di sepanjang jalan tadi. Katanya ia menonton drama thriller yang sedang mengusut kematian seorang laki-laki yang merupakan pejabat publik. Untuk mencari bukti-bukti kepergiannya, mereka menggunakan data dari kartu kredit itu. Hanya saja, Bella masih bingung bagaimana caranya. Ia harus mengusahakannya sendirian. Tak mungkin meminta tolong orang lain kan? Kalau meminta bantuan orang lain, yang ada mereka akan tahu bagaimana permasalahannya. Ia hanya bisa menghela nafas. Begitu tersadar, tahu-tahu sudah jadi bulan-bulanan pembawa acara yang tiba-tiba ada di dekatnya.
"Teteeeh apa kabarnya, Teeeh?"
Ia tersenyum kecil. Teman-temannya sudah heboh. Sebetulnya sedari tadi, orang-orang di sini membicarakan kehadiran Arzan hingga percakapan itu dibawa ke atas panggung.
"Alhamdulillah, baik."
Arabella hanya bisa tersenyum tipis. Tanpa tahu kalau Arzan sudah berdiri di depan sana sambil tersenyum. Tentu saja membuat heboh. Pasalnya, sejak kabar Bella menikah, keduanya tak pernah lagi terlihat dalam satu acara yang sama. Banyak gosip juga yang mengatakan kalau ada hubungannya dengan pernikahan Bella. Karena sedari dulu, banyak yang sudah mengira kalau keduanya seperti memiliki hubungan. Apalagi seriap Arzan menatoa Arabella, tatapannya begitu dalam dan seakan penuh arti.
"Teeh, udah lama gak ketemu Mas Arzan, Teh? Secara kan dulu pernah satu film bareng, satu sinetron bareng. Ciyeeeeee!"
Ciyee-nya juga disambut oleh para penonton lain. Hal yang membuat tawa. Arabella hanya bisa tersenyum tipis. Ia belum bisa nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengangkut tentang Arzan. Ia tahu persis apa penyebabnya. Apa penyebabnya?
Karena dulu, Arzan pernah mengutarakan perasaannya. Bella jelas tak bisa menerimanya. Ia hanya menganggap Arzan sebagai teman dan tak mungkin lebih. Apalagi hubungannya dengan Fajri juga sudah sangat lama dan mulai serius. Ketika ia menolak, cowok itu langsung menjauh. Arzan saat itu masih muda. Masih belum begitu tahu cara mengendalikan diri. Meski sekarang ia sangat berterima kasih pada Bella. Karena ditolak Bella dan melihat Bella menikah dengan lelaki lain lah yang membuatnya memperbaiki banyak hal dalam hidup. Lima tahun terakhir ia sudah mengikhlaskan apa yang terjadi. Meski masih belum menemukan sosok perempuan yang ingin ia jadikan sebagai pelabuhan terakhirnya.
@@@