^.^
Setelah beberapa saat Jya memasak sarapan sambil diganggu oleh keponakannya, Sera. Akhirnya masakan itu selesai dan disajikan di atas meja makan yang sudah ada Sera, Abyan, dan juga Sarah duduk di meja makan itu.
“Aleta kemana, Bu?” tanya Jya sambil menata piring lauk yang dia masak tadi.
“Masih di kamar paling,” jawab Sarah terdengar tak acuh.
Jya tampak berpikir setelah mendapat jawaban dari Sarah. Dia diam sebentar untuk memperhatikan orang tua dan keponakannya yang mulai mengambil nasi dan lauk. Jya pun mengambil inisiatif mengambilkan nasi dan lauk untuk sang Ayah dan juga keponakannya yang tampak ke susahan mengambil makanannya sendiri.
“Yeyh! Sarapan masakan Aunty Je…!” soraknya gembira. Mendengar itu mau tak mau Jya tersenyum melihat kebahagiaan dari keponakannya atas perlakukan sederhana yang dia lakukan. Dia menyayangi keponakannya itu, tapi dia seakan tidak rela jika keponakannya itu kehilangan kasih sayang ibu kandungnya jika terus keponakannya itu terus bersama dirinya.
“Duduk anteng, jangan heboh nanti makanannya tumpah yang makan malah lantai gak jadi kamu yang makan,” tegur Jya agar Sera duduk tenang memakan sarapan yang Jya sajikan untuk bocah perempuan itu karena dia makan sambil duduk dengan melonjak-lonjakkan tubuhnya dan miring ke kanan dan ke kiri sambil sekali-sekali menyuap nasi goreng kampung yang tadi Jya buat.
“Enak Aunty!” pujinya dengan girang.
“Makan yang tenang, jangan makan sambil ngomong, Sera…,” tegur Sarah pada sang Cucu.
Sera langsung merubah raut wajahnya dengan cemberut dan memandang Sarah dengan cemberut.
“Nenek…! Jangan marah-marah, Aunty… Nenek mahari aku.” Sera mengadu pada Jya yang baru saja duduk di kursinya tepat di samping Sera setelah dia kembali dari dapur selesai mencuci tangannya.
Jya tersenyum kecil memandang Sera yang menatapnya dengan memelas. “Dah lanjut aja makannya, nanti tersedak kamu yang sakit,” ingatkan Jya pada keponakannya itu.
Kemudian, tidak lama terdengar langkah tapak kaki dari arah pintu ke ruang makan. Itu Aleta yang tampaknya baru saja bangun tidur. Dia mengartikan berarti keponakannya tidak tidur dengan ibunya melainkan tidur dengan sang Nenek.
Di meja makan masing-masing fokus pada piring sarapan masing-masing termasuk Sera yang tadinya tidak bisa diam tapi akhirnya diam karena Jya sudah berada di sampingnya.
“Wahh tumben sarapan ngumpul begini. Eh ada Adek ternyata… pulang juga kamu, pulang malem ya? Anak gadis jangan dibiasain nginap di luar dan pulang malem, nanti jadi omongan tetangga kamu yang malu orang tua kita. Bukan mau nakutin atau apa, cuma nanti kalau ada apa-apa dan kamu hamidun di luar nikah ‘kan gawat,” kata Aleta sambil mengambil tempat duduk di samping Sarah.
Jya berusaha untuk tidak memperdulikan ucapan sang Kakak yang jelas menyakiti perasaannya. Dia tetap menyuap sarapannya dengan tenang dan tidak melihat ke seberang tempat duduknya.
“Eh piring nasi gorengku mana?” tanyanya yang tidak tertuju pada siapapun di meja makan itu, dan Jya pun tidak memperdulikan pertanyaan Aleta, memiliki fokus pada piringnya saja. “Gak ada yang mau ngambilin nih?” tanyanya sekali lagi. “Jya? Ayo dong… ambilin Kakak sepiring nasi goreng juga,” pinta Aleta pada Jya.
Jya mengangkat kepalanya dan melihat kearah Aleta. “Ambil aja di dapur masih ada,” jawab Jya dengan santai.
“Ya ambilin.” Aleta kekeh meminta Jya yang mengambilkan nasi goreng yang dia mau pada Jya.
Wajah datar Jya menatap sinis pada Aleta. “Kakak tidak lihat aku sedang makan? Ambil aja sendiri di dapur,” tolak Jya. “Kan Kakak yang makan, pergi ambil sendiri di dapur. Tadi sudah aku yang masak,” tambah Jya lagi menghentikan suapannya menggantung di depan mulutnya. Dia dengan berani mendikte sang Kakak yang terlihat tercengang mendengar ucapan sinis sang Adik padanya.
Tersadar atas ketercengangannya, Aleta langsung mengerjab. “Ow, begitu ya. Kekanakan sekali kamu ini, semua mau kamu hitung. Apa salahnya kamu bantu aku ambilkan walaupun kamu yang sudah memasaknya? Ak−”
“Sudah berdebatnya, kamu pergi saja ambil ke dapur sendiri apa salahnya?” sela Abyan yang sudah tidak tahan mendengar perdebatan kedua anaknya.
Aleta menangkat sebelah alisnya melihat sang Ayah yang membela sang Adik. Dia tidak terima dan dia tersenyum miring melihatnya.
Sedangkan Jya pun tidak tersenyum dia hanya diam dan melanjutkan sarapannya. Jika biasanya dia yang akan mengalah kali ini dia tidak melakukannya. Dia sangat yakin tadi jika tidak ada Ayah mereka yang menyela maka sang Ibu akan menyuruh Jya yang berdiri untuk mengalah untuk sang Kakak dan mengambilkan sepiring makanan itu dari dapur, itu selalu terjadi saat tidak ada sang Ayah di rumah.
Tapi kali ini berbeda karena sang Ayah ada dan ikut sarapan bersama mereka.
Mau tak mau jika sang Ayah sudah angkat suara, Aleta bangkit berdiri dengan tidak rela pergi dari ruang makan itu menuju dapur.
“Aunty? Aku kenyang,” seru Sera, mendengar itu menyadarkan Jya dan menoleh ke samping untuk melihat keponakannya, ternyata piringnya sudah kosong menandakan anak itu sudah selesai sarapan.
“Kenyang?” tanya Jya dengan nada ramah. Dan diangguki oleh Sera sambil tersenyum manis pada Jya. “Ok, kalau begitu. Tinggal aja piringnya, nanti Aunty yang akan bereskan untuk Sera,” ujar Jya dengan ramah.
Sera melebarkan senyumnya. “Okay!” balasnya. Lalu Sera turun dari kursi di samping Jya kemudian dia berlalu keluar dari ruang makan.
Setelah kepergian Sera, ruang makan kembali sunyi dari percakapan hanya berlatar suara dentingan sendok dan piring dari tiga orang yang tersisa di meja makan itu. Kesan asing seakan terasa lebih familiar untuk keadaan itu.
Sampai Abyan menyelesaikan saranpannya dan juga Sarah yang menyusul. Ruang makan itu sepi dari obrolan. Keluarga itu tampak dingin dan canggung. Sedangkan Jya sendiri tidak memiliki minat untuk memulai percakapan.
Dia tidak sedang marah pada siapapun. Hanya saja dia tidak ingin bersuara lagi. Dia tidak ingin jika dia bersuara, ucapannya dapat menyakiti seseorang. Dia lelah menjaga hati maka dia memilih diam.
Aleta kembali ke ruang makan sambil membawa sepiri nasi goreng yang tadi memang masih ada di dapur disisakan oleh Jya. Dia mengambil posisi duduk di samping Sarah yang sudah menyelesaikan sarapannya.
“Ibu sudah?” tanya Aleta pada Sarah.
Menolah ke samping. “Sudah,” jawab Sarah singkat.
Jya bangkit berdiri dari kursinya, tanpa suara dia mengambil langkah meraih piring Abyan, lalu pergi ke Sarah untuk mengambil piring kosong Ayah dan Ibunya itu, kemudian menyatukannya dengan piring bekas makan Sera tadi dan milik dirinya.
Setelah menumpuk menjadikan satu piring dan alat makan yang bekas digunakan, Jya tanpa suara mengambil langkah untuk pergi dari meja makan menuju dapur untuk membereskan bekas alat masaknya tadi. Mencucinya dan membersihkan kembali pantry dan kompor dapur yang tadi dia gunakan. Dia orang yang tidak bisa melihat dapur berantakan maka dari itu setelah dia mengunakannya maka dia akan segera membereskannya kembali seperti semula.
Germercik air dan aduan dua atau lebih alat dapur serta alat makan yang tadi digunakan terdengar syahdu di dalam kebisuan Jya mengerjakan semuanya. Dia hanya fokus pada kegiatannya tanpa memperdulikan apapun yang ada disekitarnya. Dia sedang berusaha mengalihkan pikirannya tentang yang baru saja terjadi di meja makan. Dia merasa bersalah telah berucap demikian pada sang Kakak. Begitulah Jya, dia tidak bisa mengatakan hal penolakan, sungguh berat untuknya baik itu saat dia ingin mengatakannya atau setelah dia mengatakan penolakannya. Itu menjadi beban tersendiri untuknya, dan sungguh perasaan itu menyulitkan. Dia kesal pada dirinya yang tidak dapat menolak permintaan orang lain dengan mudah. Yang tadi baru saja terjadi adalah sebuah hal yang sangat jarang terjadi.
Oleh karena itu, Jya memutuskan lebih banyak diam. Dia benci perasaan menyesal, itu menyesakkannya. Apalagi jika marah, maka beberapa menit setelahnya dia merasa sangat bersalah.
Setelah menyelesaikan kegiatannya berberas dapur. Jya kembali ke meja makan ternyata hanya ada Aleta yang tersisa di sana.
Untuk mengurangi rasa bersalahnya, Jya menuangkan gelas minum Aleta dan meletakkannya di samping piring makan Aleta saat itu tanpa suara.
“Merasa bersalah, eoh?” celetuk Aleta. Tapi tidak digubris oleh Jya, setelah dia meletak gelas, dia berlalu dari ruang makan itu tanpa suara, bahkan minatnya untuk membalas ucapan Aleta tadipun tidak ada.
Dia bukan malu melakukannya. Dia hanya sedang berusaha mengurangi rasa sesak didadanya karena rasa bersalahnya itu saja, tidak ada yang lain.
Jya pergi ke kamar, mengambil tas Ipad dan tabung kertasnya. Kemudian dia keluar dari kamar, tujuannya untuk mengambil alat kerjanya itu saja.
Dia pergi menuju pintu utama. Dia melihat Ayah dan Ibunya sedang berjemur di matahari pagi sambil menyiram tanaman sedangkan Keponakannya bermain mengganggu selang air.
Sera melihat Jya keluar memakai sepatu dan menenteng tas langsung saja menghampirinya.
“Aunty!” teriaknya memanggil. “Aunty kemana?” tanya anak itu sambil menunjukkan wajah polosnya pada Jya.
Jya menoleh melihat Keponakannya. “Eum? Aunty kerja dulu,” jawab Jya seadanya.
Sera mencebik. “Ish Aunty…! Kerja terus! Sera ikut, ya ya ya!” serunya dengan semangat.
“Eum? Ikut?”
Sera mengangguk dengan semangat.
Melihat itu Jya terlihat berpikir sekejap. “A a a a…, tidak. Kamu di rumah aja. Aunty punya banyak pekerjaan, jadi Aunty sibuk. Kamu tinggal sama Nenek dan Kakek aja, atau bukannya Mama hari ini di rumah aja?” Jya menolak keinginan Sera dengan terpaksa, dia harus kuat tidak boleh luluh dengan tatapan bocah perempuan yang menggemaskan itu. Jya pun mengingat ibu bocah perempuan itu tidak akan pergi bekerja hari ini sebab hari ini hari akhir pekan, tentu saja dia punya banyak waktu untuk bersantai dan setidaknya dia harus memiliki waktu untuk bersama putrinya.
“Aaa..~ Aunty… ikut ya….” Sera seperti belum putus asa untuk memohon pada Jya agar Jya membawa dirinya.
“Sera… kamu sama Kakek, hari ini kita jalan-jalan!” seru Abyan menengahi perdebatan Jya dan Sera.
Sera langsung berputar untuk mengharap sang Kakek yang masih di halaman sambil menyiram bunga.