Suara ledakkan yang cukup besar terdengar dari kejauhan. Rhys dan Isla menatap ke arah gumpalan asap yang berasal dari dalam hutan. Dan tidak lama setelahnya mereka merasakan adanya angin dingin yang bertiup melewati tubuh mereka.
"Kurasa Aric mendapatkan kesulitan lagi," ujar Denzel. "Tao memang sangat merepotkan jika dijadikan sebagai lawan, karena itulah aku agak malas menghadapinya," lanjut pria itu.
Dan setelah itu pusaran air yang ada di sana perlahan mengecil hingga akhirnya benar-benar berhenti dan menghilang. Ombak di lautan pun kembali seperti sedia kala.
"Ah, aku malas jika harus melakukan ini. Aku harap kegilaan ini akan cepat berakhir dan aku bisa pergi dari sini." Denzel menatap kedua tangannya. Ia harus mengeluarkan energi yang besar untuk membuat pusaran air dan juga penghalang yang ia gunakan di atas sana.
"Aku sudah tidak memiliki energi lagi sekarang, jadi aku akan pergi," ujar Denzel. Usai mengatakan itu, pria itu kemudian menghilang dan berteleportasi ke tempat lain.
"Kita harus melihat Tao, Rhys!" ujar Isla.
"Kau benar. Ayo kita kembali ke dalam hutan dan membantunya!" Rhys segera membawa Isla ke dalam gendongannya dan mereka berdua pun kembali ke dalam hutan untuk mencari Tao.
Begitu mereka berdua tiba di dalam, mereka terkejut melihat Tao yang sudah terduduk di permukaan dengan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya supaya bisa berdiri.
"Tao!" Isla langsung turun dari punggung dari punggung Rhys dan ia langsung menghampiri Tao.
Rhys mengedarkan pandangannya ke sekitar. Buliran kristal es masih terdapat di sekitarnya, termasuk di pepohonan dan juga di permukaan rumput namun Aric terlihat sudah pergi dari sana, kemungkinan pria itu pergi bersamaan dengan ketika Denzel yang juga pergi tadi.
"Kau baik-baik saja, Tao?" Isla segera membantu Tao berdiri.
"Aku ... tak apa. Kurasa hanya tanganku saja yang terkilir, sisanya hanya luka-luka goresan biasa," ujar Tao. "Apa Denzel juga sudah pergi?" tanyanya kemudian.
"Hm. Dia sudah pergi dan kurasa, Aric juga pergi bersama dengannya," ujar Isla. Ia lalu menatap Rhys, "Rhys, kurasa kita harus mencari tempat untuk istirahat."
"Tidak, kita harus tetap melanjutkan perjalanan. Kita sudah tak ada waktu lagi untuk beristirahat secara terus-menerus. Kita harus bergegas cepat. Gerhana matahari itu akan terjadi sebentar lagi dan kita harus cepat."
Tao melepaskan tangan Isla dan pria itu berjalan mendahului gadis itu.
"Kenapa Tao terus-menerus mengatakan soal gerhana matahari itu dan memangnya apa yang mungkin terjadi? Kenapa perasaanku mendadak tak enak setiap kali dia mengatakan soal gerhana itu? Apakah sesuatu yang buruk memang akan segera terjadi nantinya?" ujar Isla dalam batinnya.
Kemudian mereka bertiga pun pergi dari sana. Isla menatap ke sekitar hutan yang beberapa di antaranya masih ditutupi oleh kristal-kristal es milik Aric.
"Rhys, apa kau tahu sesuatu tentang kristal es milik Aric itu?" tanya Isla pada Rhys yang berjalan di sebelahnya.
"Kristal es?" Rhys membeo. Pria itu lalu ikut menatap ke sekelilingnya dan memperhatikan beberapa pepohonan dan juga tanaman lain yang masih ditutupi oleh kristal-kristal es milik Aric.
"Ya, aku cukup tahu tentang itu. Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang itu? Apa kau juga menyadari sesuatu?" ujar Rhys.
"Kau tahu, kan. Kita berdua sebelumnya pernah diserang oleh Rhys dan dia selama beberapa kali menggunakan kristal es miliknya. Tapi kenapa beberapa waktu lalu kristal es nya berwarna merah? Bukankah sebelumnya berwarna putih?" ujar Isla.
"Itu karena tingkatannya lebih kuat. Dalam artian lain, kalau kristal es yang berwarna merah itu lebih berbahaya dari yang berwarna putih seperti yang pernah kau lihat sebelumnya," ujar Tao yang berjalan di depan sana.
"Lebih berbahaya? Begitukah?" Kedua mata Isla berkedip dua kali.
"Hm. Kecepatannya bisa dua kali lipat dari yang biasa kau lihat. Hawa keberadaannya juga akan semakin sulit dirasakan sehingga hal itu terkadang membuat lawannya tak memiliki waktu untuk menangkisnya atau bahkan untuk menghindari serangan dari Aric. Jadi, kau harus lebih berhati-hati nanti," sambung Rhys.
"Tapi bukankah kemarin kau bisa dengan cepat menyadari keberadaannya?" Tao berujar kembali.
"Wah, benarkah?" Rhys seketika langsung menatap Isla kagum. Aku bahkan masih sering lengah dan tak fokus saat mencoba mencari keberadaannya tapi kau bisa dengan mudah menyadari keberadaan kristal-kristal es itu. Hebat sekali," pujinya seraya mengusap-usap puncak kepala Isla.
"A-ah, ya, kurasa itu hanya kebetulan, Rhys, hehe. Mungkin karena saat itu aku takut dan sedang berusaha mempertahankan diri, jadi secara alamiah tingkat kepekaanku menjadi tinggi, hehe." Isla tertawa pelan.
"Tapi kau tetap hebat, Isla. Aku jadi bangga padamu!" Rhys tersenyum lebar kemudian mengacungkan kedua ibu jari tangannya ke atas.
Isla hanya menggaruk lehernya yang tak gatal. Gadis itu kemudian menatap Tao yang berjalan di depannya dan Rhys. "Emmm ... Tao, apa kau benar-benar tak apa? Maksudku, apa benar-benar hanya tanganmu yang terkilir?" tanyanya.
"Hm. Jangan pikirkan tentang ini," jawab Tao tanpa menolehkan kepalanya ke belakang sama sekali.
"Aku tadi mendengar ada sebuah ledakan yang berasal dari sini. Apa kau juga berhasil menghindari serangan itu? Dari suaranya, kurasa serangan milik Aric tadi cukup besar karena aku dan Isla bahkan sampai bisa merasakan angin yang ditimbulkan oleh ledakan tadi. Dan angin itu terasa sedikit lebih dingin dari biasanya jadi kami khawatir padamu." Kini giliran Rhys yang berujar.
"Aku sempat membuat penghalang untuk menghindari serangannya tadi. Aku terkejut kalau dia memiliki serangan besar seperti itu," ujar Tao. Bahkan ketika ia menggunakan penghalangnya untuk menghindari serangan dari Aric beberapa sisi penghalangnya sampai retak di beberapa bagian namun untungnya tak sampai hancur.
***
"Sial! Aku benar-benar sudah muak dengan si Tao sialan itu!" Aric murka seraya melemparkan beberapa gumpalan es ke arah sebuah pohon yang tak bersalah yang letaknya tak begitu jauh dari posisinya.
"Kali ini apa yang dia lakukan?" Denzel hanya duduk bersila seraya menatap Aric yang masih mengamuk itu. Sejujurnya ia paling malas jika harus satu tim dengan Aric karena pria itu memang lebih berisik dari yang lain. Dan bahkan Tao sampai tidak mau satu kelompok dengannya apalagi dengan kepribadian dirinya yang sangat sangat jauh berbeda dengan kepribadian hiperaktif milik Aric.
"Kau tahu? Selama kami berdua terlibat pertarungan tadi, dia hanya mengejekku, meledekku, dan kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya benar-benar sangatlah menyebalkan hingga rasanya telingaku panas dan darahku juga ikut mendidih rasanya. Dia juga hampir membakar tanganku dengan api sialan miliknya. Kurang ajar sekali dia itu. Awas saja, akan aku bekukan nanti kedua bola matanya dan akan aku lemparkan hingga dimakan para ikan-ikan yang ada di dalam lautan!" ujar Aric. Bola-bola es yang keluar dari tangannya semakin membesar dan dengan sekuat tenaga pria itu melemparnya ke pohon tadi hingga pohon yang sama sekali tak berdosa itu harus menanggung semua kekesalan yang Aric rasakan hingga pada akhirnya ia tak kuat menahan semua beban dari pria itu dan akhirnya tumbang ke permukaan tanah.
"Astaga, lihatlah apa yang sedang orang gila ini lakukan? Heh, kau harusnya lihat-lihat ke arah mana kau mengamuk pada pohon yang tak bersalah ini! Astaga, benar-benar ceroboh dan bertindak seenaknya sendiri!" Herc muncul dari balik pohon itu seraya membersihkan tubuhnya dari salju-salju yang menutupi tubuhnya yang disebabkan oleh amukan Aric. Padahal ia tak merasa bersalah sama sekali dan tak ada kaitannya dengan amarah Aric kali ini, tapi dia yang memang bernasib sial itu pun justru malah yang kena batunya, sedangkan Denzel yang ada di dekat pria yang tengah mengamuk itu justru hanya diam menonton seolah tak terjadi apa-apa di sana dan tak terkena dampak dari amukan Aric sama sekali.
Itulah dunia yang kadang memang berlaku tak begitu adil.
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk berjalan ke sana," ujar Aric tanpa merasa bersalah sedikit pun. Pria itu mendengkus pelan dengan kedua matanya yang masih menatap Herc yang masih membersihkan pakaiannya dari es-es miliknya. "Harusnya kau jalan ke arah lain dan jangan malah lewat ke situ, astaga. Dasar ceroboh." Aric memutar kedua bola matanya malas.
Kedua mata Herc seketika membulat dan pria itu langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi begitu kesal dan ia memelotot pada Aric yang terdengar semakin menyebalkan dan juga seolah menantangnya. "Aku sedang tidak ingin berkelahi jadi jangan kau berani-beraninya memancing amarahku!!" bentaknya dengan wajah yang mulai memerah hingga ke telinga.
"Kau berisik!" Aric lalu beranjak dari tempatnya seraya mengusap-usap telinganya yang terasa pengang karena bentakan Herc barusan.
"A-apa kau bilang? Dasar kurang ajar kau Aric sialan! Awas saja, aku akan segera membunuhmu dan juga menghancurkanmu menjadi kepingan-kepingan kecil dan menjadikanmu sebagai makanan-makanan ikan di lautan sana! Awas saja kau!" ujar Herc yang semakin kesal dengan tingkah Aric.
Denzel yang melihat perdebatan itu hanya bisa berdiam diri saja karena hal seperti itu memanglah biasa dan terkadang memang cukup sering terjadi. Aric memang paling ahli dalam membuat semua orang yang ada di sana bergelut dengan emosi.
Herc menatap Aric yang sudah berjalan menjauh dan pria itu kemudian mendengkus dengan kasar dan memilih untuk mendudukkan tubuhnya di sebelah Denzel yang memang sedang beristirahat di sana.
"Kau kembali hanya sendiri?" tanya Denzel begitu Herc mendudukkan tubuhnya di sebelahnya.
"Hm. Kai dan juga Hugo masih harus melakukan sesuatu di sana. Oh, iya. Kau dan Aric sudah selesai?" tanya Herc.
"Aku menyelesaikannya karena tenagaku sudah menipis dan terlebih lagi tadi Rhys dan juga Tao datang mengganggu. Ah, benar-benar menyebalkan sekali memang. Jadi sisa energiku aku gunakan untuk melawan mereka sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri proses pemurnian unsur-unsur alam di sana karena yah, aku akan benar-benar babak belur jika tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pertarungan itu," ujar Denzel.
"Ah, jadi tadi Aric baru saja melawan Tao?" Herc kembali bertanya.
Denzel menganggukkan kepala. "Ya, begitulah. Kurasa aku tak perlu menjelaskan apa saja yang terjadi, kan? Kau sendiri tahu dengan betul bagaimana kedua orang itu jika sedang bersama. Mereka memang memiliki sifat yang sangat bertolak belakang dan benar-benar tidak cocok. Jadi tidak heran kalau mereka memang cukup sering berdebat bahkan meskipun itu hanya karena hal-hal sepele," ujarnya.
"Lalu ... Bagaimana dengan gadis yang bernama Isla itu? Apa dia juga ada di sana?" tanya Herc.
"Tentu saja. Rhys tak mungkin meninggalkannya begitu saja, kan? Dan yang membuatku terkejut adalah, di mana gadis yang bernama Isla itu bisa dengan cepat menyadari energi masing-masing kita, bahkan tingkat kepekaannya itu bisa melampaui Tao dan juga Rhys, membuat gadis itu bisa membuat refleks yang sedikit lebih cepat dan menurutku itu aneh." Denzel berujar.
"Kau benar. Dia mungkin lawan yang lemah, tapi karena tingkat kepekaannya yang cukup tinggi kali ini, kita harus tetap berhati-hati padanya dan jangan sampai lengah atau gadis itu bisa benar-benar melakukan serangan."
Mendengar itu, Denzel lantas tertawa pelan. "Dan kau tahu apalagi? Rhys memberikan gadis itu sebuah kunai untuk mempertahankan dirinya. Lucu sekali, kan? Dia benar-benar menaruh perhatian pada gadis itu," ujarnya dengan nada mencibir.
"Kurasa tingkat kepekaannya itu kemungkinan besar bisa saja dipengaruhi oleh buku peninggalan leluhur kita yang memang sudah disegel oleh Tao. Dan jika hal itu benar, tidak menutup kemungkinan kalau di dalam buku itu pasti tersimpan sesuatu yang sangat luar biasa. Dan itu artinya kita juga harus hati-hati karena Tao menyegel buku itu di dalam diri gadis yang bernama Isla itu juga pasti karena memiliki alasan. Dia tidaklah bodoh, seperti yang kita tahu. Tao adalah salah satu lawan yang paling sulit ditaklukan. Dia saat ini pasti sedang merencanakan sesuatu dan untuk itulah kita harus berhati-hati dengannya," ujar Herc.
"Kau benar. Oh, iya. Bukankah sebentar lagi akan terjadi gerhana matahari? Menurutmu jika Kai benar-benar akan melakukan ritual persembahan itu, maka apa yang akan terjadi pada gadis yang bernama Isla itu?" Denzel tersenyum miring. Ia menatap Herc, menantikan jawaban seperti apa yang akan keluar dari bibir temannya itu.
"Kau pikir apalagi? Sangat mustahil kalau gadis itu bisa bertahan, kan? Dia akan mati, dan itu pasti akan terjadi. Tao mungkin kali ini terlihat merencanakan sesuatu dan ia juga terlihat melindungi gadis itu, sama seperti yang dilakukan oleh Rhys. Tapi lihat saja nanti, perlindungan yang ia lakukan sekarang adalah hanya demi buku itu dan saat ritual persembahan itu dilakukan, maka Tao akan berubah menjadi sosok pembunuh pertama bagi gadis yang bernama Isla itu. Bukankah begitu?" Herc tertawa pelan. Ia benar-benar tak sabar menunggu hari di mana gerhana matahari itu akan terjadi. Dia juga benar-benar tak sabar menyaksikan kematian gadis yang bernama Isla itu.
"Dan setelah semua kegilaan ini selesai, kita bisa kembali ke Betelgeuse dan peradaban di sana akan terselamatkan dan kembali seperti sedia kala. Tapi soal rencana penghancuran planet ini, aku tak bisa memastikannya karena hanya Kai lah yang membuat rencana itu. Dia memang agak tidak waras karena berani menentang peraturan raja, tapi aku akui idenya itu memang tak terlalu buruk. Kita juga butuh hiburan, kan?" Denzel tertawa setelahnya.
"Dan jika pada akhirnya Tao dan Rhys akan kalah atau bahkan mungkin bernasib sama dengan gadis malang itu mereka juga akan mati, kan? Itu salah mereka karena mereka tak mau bergabung dengan kita dan malah memilih berada di pihak manusia." Herc membaringkan tubuhnya di atas permukaan rumput yang ada di sana lalu memejamkan kedua matanya, menikmati semilir angin sore hari yang melewati tubuhnya dan menyentuh permukaan kulitnya dengan begitu lembut.
—TBC