38. Blue Eyes

2058 Kata
Isla perlahan berjalan keluar dari kamarnya dan ia berjalan mendekati sebuah pintu yang lain yang terletak tidak jauh dari posisi kamarnya. Gadis itu terdiam selama beberapa saat di depan ruangan itu sebelum akhirnya ia mengetuk pelan permukaan pintu itu setelahnya, namun tak terdengar adanya respon sedikit pun. "Apa dia belum sadar?" Isla membatin. Ia lalu perlahan memegang handle pintu dan menggerakkannya ke bawah, membuat pintu itu perlahan terbuka hingga gadis itu bisa melihat keadaan di dalam sana secara langsung. "Rhys?" panggilnya pelan. Ia melihat Rhys yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan luka-luka yang membalut tubuhnya. "Lukanya parah sekali," batin Isla. Gadis itu menelan ludahnya sebelum akhirnya ia duduk di pinggiran tempat tidur milik Rhys agar bisa melihat keadaan pria itu secara lebih dekat. Dengan jarak yang dekat, ia bisa melihat wajah Rhys yang begitu terlihat lelah. "Maaf karena tak bisa membantumu, Rhys. Aku selalu berkata kalau aku akan membantumu tapi justru sebaliknya. Justru aku yang malah selama ini menambah bebanmu hingga kau selalu mendapat kesulitan," ujar Isla pelan. Gadis itu lalu mengubah posisi duduknya menjadi membelakangi Rhys dan ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kedua mata Rhys perlahan terbuka dan pria itu menatap gadis yang entah sejak kapan berada di sebelahnya. "Kau tidak salah, Isla. Kau sudah cukup membantuku dan harusnya akulah yang meminta maaf karena sudah melibatkanmu ke dalam masalahku. Aku sudah membawamu terlalu jauh bahkan sampai kau berkali-kali hampir kehilangan nyawamu sendiri," ujar Rhys. Mendengar suara Rhys, Isla membuka tangannya dan gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat Rhys yang sudah membuka matanya dan gadis itu terlihat terkejut sekaligus merasa senang. "Kau sudah sadar, Rhys," ujar Isla. Ia lalu menarik sebuah kursi yang ada di ruangan itu dan mendudukinya tepat di sebelah tempat tidur milik Rhys. Kedua sudut bibir milik Rhys perlahan naik ke atas dan membentuk seulas senyuman yang tipis. "Aku senang kau baik-baik saja sekarang. Apa lukamu masih sakit?" tanya Rhys. Pria itu menatap beberapa luka yang ada di sekitar tubuh milik Isla. Kepala Isla perlahan menggeleng pelan, hingga kemudian gadis itu berkata pelan, "harusnya akulah yang berkata seperti itu padamu Rhys. Sebaiknya kau khawatirkan saja dirimu sendiri. Lukamu lebih banyak dan lebih parah dariku, tapi aku sudah cukup bersyukur kalau kau masih bisa membuka kedua matamu lagi. Ibuku sudah mengobati lukamu, jadi jangan terlalu banyak bergerak. Kali ini kau harus benar-benar istirahat," jelasnya. Rhys menganggukkan kepala. Pria itu lalu menatap ke sekitarnya dan baru saja menyadari kalau ia dan Isla benar-benar sudah berada di rumah milik gadis itu lagi. Keningnya mengerut, karena ia tak ingat pernah melakukan teleportasi ke sana karena bahkan saat itu ia sedang kehilangan kesadarannya. "Apa kita berdua benar-benar kembali ke rumahmu?" tanya Rhys memastikan. Isla menganggukkan kepalanya. "Iya, sekarang kita ada di rumahku." "Tapi ... bagaimana caranya? Aku tidak melakukan teleportasi, kan? Siapa yang melakukannya?" Rhys kembali bertanya, membuat Isla terdiam setelahnya. Gadis itu berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rhys. Tao sebelumnya berpesan agar Isla tak menceritakan apapun karena dirinya dan Rhys telah ditolong oleh Tao. "Itu ... " Isla meremas jemari tangannya. "Aku melihat sebuah cahaya sewaktu aku berhasil menemukanmu dan aku seperti melihat jalan keluar di cahaya itu jadi aku masuk. Dan kita berdua pun sampai di rumahku. Aku tidak tahu itu apa tapi setelah kita berhasil sampai di sini, cahaya itu langsung menghilang begitu saja," ujarnya. Tak ada kalimat balasan yang terlontar dari bibir milik Rhys setelahnya. Pria itu menatap Isla selama beberapa saat sebelum akhirnya membuang napas pelan, "Begitu, ya. Syukurlah." Ia lalu membuang pandangannya ke luar jendela, menatap langit yang sudah gelap. "Maaf karena aku berbohong, Rhys," batin Isla. "Oh, iya, aku akan mengambilkanmu makan malam. Kau pasti membutuhkan banyak energi agar segera bisa pulih." Usai mengatakan itu, Isla lalu pergi dari kamar Rhys dan berjalan menuruni satu per satu anak tangga untuk mengambil makanan di dapur. Saat ini jam sudah menunjukkan hampir tengah malam yang artinya, ibunya sudah tidur sedari tadi. Di dalam kamar, Rhys mencoba mengubah posisinya menjadi duduk. Ia pun kembali merasakan sakit pada luka-luka yang ada di tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih. Bulan tidak terlihat malam ini dan langit juga terlihat seperti mendung, tidak seperti biasanya. Mungkin hal itu yang menyebabkan bulan dan bintang tak tampak kali ini. "Aku melihat sebuah cahaya sewaktu aku berhasil menemukanmu dan aku seperti melihat jalan keluar di cahaya itu jadi aku masuk. Dan kita berdua pun sampai di rumahku. Aku tidak tahu itu apa tapi setelah kita berhasil sampai di sini, cahaya itu langsung menghilang begitu saja." Rhys menatap pintu kamarnya yang masih menutup. "Cahaya, ya ... " batinnya. Tidak lama kemudian pintu kamarnya kembali dibuka dan menampakkan Isla di baliknya. Gadis itu terlihat membawa nampan yang berisi makanan untuk Rhys. "Tanganmu mungkin sakit. Jadi, aku akan menyuapimu." Isla tersenyum. Ia menyendokkan sup dan meniupnya perlahan sebelum ia berikan pada Rhys. "Aku sudah menghangatkan makanannya jadi rasanya tidak akan terlalu buruk, ini akan sedikit menghangatkan tubuhmu," ujarnya. Perlahan Rhys membuka mulutnya dan membiarkan sesendok sup itu masuk ke dalam mulutnya. "Terima kasih," ujarnya pelan. Isla tersenyum dan kini gadis itu menyendokkan nasi. Rhys kembali menerima sesendok nasi beserta sup yang diberikan oleh Isla dengan pandangannya yang seakan tak bisa lepas dari gadis itu. Padahal, saat ini bukan hanya Rhys yang terluka. Isla juga memiliki banyak luka di seluruh tubuhnya. Gadis itu juga terluka dan ia juga memerlukan istirahat agar tenaganya benar-benar pulih sepenuhnya namun gadis itu bersikap seolah-olah kalau hanya Rhys yang terluka di sana. "Kau terlalu baik, Isla," batin Rhys. "Rasanya enak, kan?" tanya Isla. Rhys menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis. "Kau sudah makan? Kau harusnya tidur saat ini. Kau juga pasti kelelahan dan lukamu juga belum sepenuhnya mengering," ujarnya. Isla menatap luka-luka di sekitar tangannya. "Ah, ini. Tak apa, ini hanya luka kecil dan sebentar lagi juga akan segera sembuh sepenuhnya." Ia tersenyum. Rhys lalu menatap luka yang ada di kedua telapak tangan milik gadis itu. Ia cukup terkejut melihatnya karena sebelumnya ia memang tak menyadari kalau Isla memiliki sebuah luka di kedua telapak tangannya yang dibalut oleh perban. "Kenapa kau menatapku dengan pandangan seperti itu?" tanya Isla sebelum kembali menyuapi Rhys. Namun tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Rhys dan kedua mata milik pria itu masih menatapnya tanpa berniat melepas kontak mata mereka barang sedetik pun. "Hei, berhentilah menatapku dengan pandangan kasihan begitu. Aku baik-baik saja, sungguh. Kau sebaiknya mengkhawatirkan kondisimu sendiri saat ini." Isla terkikih pelan dan kembali menyuapi Rhys. "Ngomong-ngomong aku sangat berterima kasih karena kau memberikan pakaianmu padaku, karena berkat itu aku cukup terhindar dari udara dingin. Tapi aku juga menyesal di saat yang bersamaan karena itu sama.saja membiarkanmu kedinginan," ujar Isla. "Kau tidak perlu menyesal, Isla. Aku melakukannya karena itu memang keinginanku." Rhys tersenyum tipis. *** Isla kembali terbangun setelah sebelumnya ia juga terbangun selama beberapa kali. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan melihat jam yang ada di atas nakas. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari dan tidurnya tak nyenyak sama sekali. Setelah beberapa terakhir banyak yang ia alami, membuat rasa kantuknya kerap menghilang dan membuatnya menjadi lebih sering terjaga saat malam hari. "Pergilah, dan pastikan kalian berdua baik-baik saja nanti." "Dan satu lagi, jangan beritahu siapapun tentang ini. Tidak terkecuali dengan Rhys." "Kenapa dia melakukan itu?" batin Isla. "Kenapa dia menolongku dan Rhys, padahal teman-temannya yang lain bersikeras mengincar kematianku." Di saat itulah siluet seseorang muncul di balkon kamarnya. Isla menyipitkan kedua matanya dan berusaha menajamkan indra penglihatannya, memastikan kalau dirinya tak salah lihat. Sosok yang berada di luar balkon kamarnya itu kemudian menoleh ke arahnya, namun saat Isla hendak bangun dari posisinya, tiba-tiba seluruh pandangannya berubah menjadi gelap dan indra pendengarannya tak menangkap suara apapun lagi. Hingga akhirnya hari sudah benar-benar berubah menjadi pagi dan Isla pun terbangun dari tidurnya. Gadis itu langsung tersadar dengan apa yang ia lihat semalam dan segera menatap ke luar, tepat ke balkon kamarnya tapi ia tak menemukan apapun di sana. "Apa aku salah lihat?" gumamnya. Ia mengucek kedua matanya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu turun ke bawah. Setibanya di bawah ia melihat Rhys yang duduk di atas lantai, tepat di depan sebuah perapian yang menyala, layaknya seekor anak anjing yang mencari kehangatan. Isla tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati pria itu dan duduk di sebelahnya. "Ini masih pagi dan kau sudah berada di depan perapian yang hangat. Kau kedinginan, ya?" Isla terkikih pelan. "Tidak terlalu. Aku hanya nyaman berada di sini" jawab Rhys. "Ngomong-ngomong bagaimana tidurmu? Apakah nyenyak?" "Kurasa begitu. Setelah makan rasanya rasa kantukku semakin bertambah hingga tanpa terasa aku tertidur begitu saja di atas kasur. Sudah lama aku tidak merasa nyaman seperti itu," ujat Rhys. Isla tersenyum, "Syukurlah. Itu bagus untuk kesehatanmu, Rhys. Kau benar-benar memerlukan waktu istirahat yang cukup. Beberapa hari terakhir kau pasti kesulitan tidur, terutama saat sedang bersamaku, sewaktu bersembunyi dari Kai dan juga yang lainnya," ujarnya seraya membuang napas pelan. "Kenapa kau selalu berkata seperti itu? Kalimatmu barusan seolah-olah terdengar seperti kalau kau itu hanyalah sebuah bebam untukku tapi pada kenyataannya tidak seperti itu, Isla. Aku tak pernah merasa direpotkan dan tak merasa kalau kau hanyalah beban untukku. Setelah ini, aku tidak mau lagi mendengar kalimat seperti itu darimu. Paham?" Isla menatap Rhys selama beberapa saat sebelum akhirnya ia membuang napasnya pelan lalu menganggukkan kepalanya. "Oh, iya. Kau tidak pergi ke sekolah?" tanya Rhys. Isla menggelengkan kepalanya, "aku tidak bisa pergi ke sekolah dengan keadaan tangan seperti ini. Aku akan kesulitan menulis dan luka-luka yan ada di tubuhku juga belum sepenuhnya mengering. Itu hanya akan menyulitkanku nantinya. Jadi, untuk sementara aku akan mengambil cuti sampai tubuhku benar-benar kuat pergi ke sekolah. Lagi pula ibuku juga tak mengizinkan," ujarnya. "Lalu temanmu? Kurasa dia khawatir denganmu. Kau beberapa hari terakhir tidak pergi ke sekolah dan juga tak ada di rumah jadi kurasa dia pasti merasa khawatir." Rhys berujar. "Aku juga berpikir begitu. Aku belum mengecek ponselku. Teresa pasti meneleponku selama berkali-kali dan juga mengirimiku pesan yang banyak. Dia memang selalu begitu. Dia selalu mencemaskanku bahkan saat aku berkata kalau aku akan pergi ke Trollehallar sendirian," jelas Isla. "Dia pasti sahabat yang begitu baik. Kau sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya, Isla." Rhys tersenyum, lalu ia mengusap kepala Isla dengan lembut. "Oh iya. Apa ibuku sedang pergi ke luar?" tanya Isla. Rhys menganggukkan kepalanya. "Dia pergi beberapa saat yang lalu untuk membeli sesuatu. Ibumu pasti merasa sangat cemas karena kau tidak pulang selama beberapa hari. Harusnya aku tidak membawamu ikut waktu itu, harusnya aku memancing mereka pergi tanpa harus membawamu ke dalam bahaya," ujarnya. "Tapi jika kau sendiri, aku yang akan merasa cemas selama berhari-hari." Isla mendengkus pelan. "Tapi sekarang aku cukup lega karena kau akhirnya bisa kembali lagi." *** "Suatu reaksi kimia dapat dikatakan sebagai reaksi stoikiometri apabila reaktan dalam reaksi habis seluruhnya. Adapun rumus-rumus yang biasa digunakan dalam menyelesaikan materi Kimia Stoikiometri adalah ... " Isla menandai bagian rumus itu dengan sebuah stabilo berwarna kuning. Tidak lama setelahnya ia mengangkat wajahnya dan memutar kursi yang didudukinya ke belakang, menatap seseorang yang duduk di luar balkon kamarnya. "Apa yang kau lihat, Rhys?" tanya Isla tanpa mengubah posisinya. Gadis itu menatap punggung Rhys yang membelakanginya. "Betelgeuse," jawab Rhys. Ia menolehkan kepalanya, membuat Isla yang duduk di belakang sana seketika membulatkan kedua matanya. "Rhys, ma-matamu—" "Tidak apa-apa, Isla. Aku baik-baik saja." Rhys kembali meluruskan pandangannya ke depan dan menatap ke langit di atas sana. "Matamu berwarna biru. Malam purnama kan sudah lewat. Kenapa matamu— berubah warna? Kau yakin kalau kau baik-baik saja?" tanya Isla berusaha meyakinkan. "Hm. Aku ... hanya sedikit merindukan Betelgeuse," lirih Rhys Di belakang sana, Isla langsung terdiam selama beberapa saat. Sedikit, ya? "Tidak mungkin hanya sedikit. Kau pasti merindukan keluargamu yang ada di sana," batin Isla. Dan di saat yang bersamaan, Rhys kembali menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Isla dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kau tahu, Rhys, aku suka dengan warna matamu yang berwarna biru seperti sekarang." Isla bangkit dari posisinya dan berjalan mendekati Rhys. "Benarkah? Kenapa?" "Entahlah, kurasa kau terlihat keren saat kedua bola matamu berwarna biru safir seperti saat ini," ujar Isla. "Maksudmu, aku terlihat sangat keren?" Kedua mata Isla berkedip dua kali, sebelum akhirnya gadis itu tertawa pelan begitu mendengar kalimat yang keluar dari bibir Rhys. Rhys tidaklah sekaku yang pernah Isla bayangkan sebelumnya. Yang ada justru sebaliknya, karena pria itu begitu baik hati dan juga memiliki kepribadian yang cukup menyenangkan, walau terkadang polos, tapi itu justru membuat Rhys menjadi menggemaskan. Dan Isla menyukainya. —TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN