Isla menghidupkan ponselnya dan gadis itu mendapat banyak sekali notifikasi yang masuk, terutama dari Teresa. Persis seperti dugaannya sebelumnya, Teresa berusaha meneleponnya selama berkali-kali dan gadis itu juga mengiriminya banyak pesan.
Karena tak tega membiarkan sahabatnya diselimuti rasa cemas yang cukup besar terhadapnya, akhirnya Isla pun memutuskan untuk membalas pesan yang dikirimkan oleh Teresa. Hingga kurang dari lima menit, ponsel milik Isla berbunyi pertanda adanya sebuah panggilan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu lalu mengeceknya dan ternyata benar, kalau itu adalah telepon masuk dari Teresa.
"Halo?" Isla menempelkan ponselnya di sebelah telinga.
"Isla? Apa ini benar-benar kau, Isla?" tanya Teresa yang berada di seberang sana, berusaha meyakinkan karena Isla yang pergi menghilang entah ke mana selama beberapa hari dan secara mengejutkan gadis itu membalas pesan yang pernah dikirimkannya beberapa hari lalu.
Isla terkikih pelan lalu gadis itu menjawab, "Iya, Teresa. Ini benar-benar aku, Isla," ujarnya.
"Ya Tuhan, Isla. Pergi ke mana saja kau selama beberapa hari terakhir ini? Tidak ada angin tidak ada hujan dan kau secara tiba-tiba menghilang seolah ditelan ke dalam bumi. Kau pergi ke mana, huh? Kau tahu? Aku benar-benar khawatir apalagi kau benar-benar tak bisa dihubungi." Teresa terdengar mendengkus pelan di seberang sana.
"Hehe, hm ... yah, begitulah. Kesehatanku sedang agak menurun saat mengunjungi rumah pamanku dan aku pergi bersama ibuku ke rumah sakit yang ada di sana. Kau sendiri tahu, kan, cuaca akhir-akhir ini agak aneh dan aku sendiri cukup sensitif terhadap hal seperti itu. Maaf juga karena aku tak bisa menghubungimu sama sekali. Ibuku tidak mengizinkanku bermain ponsel." Isla mencoba beralibi, setidaknya itu akan sedikit menurunkan perasaan cemas Teresa di sana.
"Ya ampun, aku benar-benar memikirkanmu hingga kesulitan tidur setiap malam. Pantas saja saat aku dan Alex pergi ke rumahmu, rumahmu sangat sepi. Dan ternyata benar, kalau kau memang sedang pergi bersama dengan ibumu," ujar Teresa.
"Tunggu, apa katamu barusan? Kau ke sini bersama dengan Alex?" Isla membeo dan mencoba memastikan kalau pendengarannya sedang salah.
"Hm. Aku sempat pergi ke rumahmu bersama dengan Alex."
Kedua mata Isla seketika langsung membulat, "Ya Tuhan, Teresa. Untuk apa kau sampai mengajak Alex? Mau apa dia?" ujarnya.
"Hei, asalkan kau tahu saja, kalau Alex juga tak kalah khawatir. Dia sama denganku, dia bilang dia cemas karena kau tiba-tiba tak masuk sekolah dan seolah hilang entah ke mana. Jadi kami berdua pun memutuskan untuk pergi ke rumahmu saat pulang sekolah tapi sayang sekali karena kau dan ibumu juga sedang tak berada di rumah." Teresa membuang napasnya pelan, "lalu sekarang bagaimana? Apa kau sudah pulang?" tanyanya kemudian.
"Hm, aku sudah berada di rumahku sekarang. Tapi kurasa besok aku belum bisa masuk ke sekolah, mungkin lusa aku baru bisa berangkat. Aku mungkin memerlukan buku catatanmu untuk mengejar materi yang tertinggal," Isla kembali terkikih.
"Ya, itu sama sekali tak masalah buatku. Bahkan tanpa kau mengatakannya pun, aku pasti dengan senang hati akan meminjamkan buku catatanmu padaku. Ah, rasanya aku benar-benar ingin pergi ke rumahmu di detik ini juga tapi hari sudah sore dan ibuku tak mengizinkanku pergi ke luar. Mungkin besok aku akan pergi ke rumahmu," ujar Teresa.
"Ya, silakan saja. Tapi kumohon jangan ajak Alex!"
"Hm? Memangnya kenapa? Dia juga mengkhawatirkanmu, Isla. Kurasa dia juga akan merasa senang jika tahu kalau kau sudah pulang," ujar Teresa di sana.
"Pokoknya tidak usah. Awas saja kalau kau nekat mengajak pria itu datang ke rumahku, aku tidak akan pernah membukakkan pintu rumah ini untukmu!" Tiba-tiba Isla berkata dengan nada seperti mengancam.
Namun hal itu justru membuat Teresa malah tertawa pelan, "Haha, iya, baiklah."
"Kalau begitu sudah dulu, ya. Akan aku hubungi nanti. Akan aku tutup teleponnya," ujar Isla. Usai mengatakan itu, Isla dengan segera menutup sambungan teleponnya. Gadis itu membuang napas pelan dan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia benar-benar berharap kalau besok Teresa tak nekat membawa serta Alex untuk datang ke rumahnya atau ibunya akan semakin salah paham dan berpikiran yang tidak-tidak tentang pria bernama Alex itu.
Isla membuang napasnya dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia lalu menatap luka yang terdapat di kedua telapak tangannya. Perban yang membalut lukanya itu telah ia lepas beberapa saat yang lalu.
Jika saja dirinya saat itu tidak bisa bertahan dan membiarkan tubuhnya benar-benar jatuh ke dalam jurang, maka kemungkinan besar ia benar-benar tak akan bisa selamat sekaligus tak akan pernah bisa lagi bertemu dengan ibunya. Atau bahkan jikalau pun dia memang masih bertahan hidup setelah jatuh dari ketinggian itu, kemungkinannya ada dua. Dia akan benar-benar terluka parah dan ditemukan Kai, atau langsung dibunuh tanpa ampun oleh Kai.
Aneh, padahal Isla tak melakukan hal yang salah. Ia justru membantu Kai, kan? Namun jika pria itu memang benar-benar berniat menghancurkan bumi ini, hal itu memanglah tak bisa dimaafkan dan tak bisa dibiarkan begitu saja.
Isla memutar kursinya ke belakang dan gadis itu langsung terperanjat hingga hampir saja loncat dari kursinya saat mendapati kalau Rhys sudah berada di kamarnya entah sejak kapan tanpa ia sadari.
"Astaga, kau mengagetkanku." Isla mengusap dadanya. "Aku sampai tidak sadar kalau kau masuk. Lain kali, ketuk pintunya dulu. Kau pasti tahu hal dasar seperti itu kan? Bagaimana jika saat kau masuk ternyata aku sedang berganti pakaian?" cerocos Isla.
"Aku mengetuk pintunya dari tadi, tapi kau tak mendengarnya," ujar Rhys seraya berkedip dua kali. Pria itu sudah duduk bersila di atas tempat tidur milik Isla.
"A-ah, benarkah?" Isla mencoba mengingat-ingat kejadian tadi dan ia bahkan benar-benar tak mendengar adanya suara ketukan pintu.
"Apa temanmu menghubungimu?" tanya Rhys.
"Hm. Teresa barusan meneleponku. Katanya dia akan datang besok sore sepulang sekolah," jawab Isla. "Oh, iya, ngomong-ngomong bagaimana lukamu? Sudah tidak sakit? Kurasa kau sudah bisa bergerak sedikit lebih leluasa dari biasanya," ujarnya.
Kepala Rhys mengangguk pelan, "Hm. Luka-lukanya sudah mulai mengering dan tubuhku semakin pulih. Aku benar-benar merasa berhutang budi pada ibumu yang sudah merawatku. Padahal awalnya aku berpikir kalau ibumu akan sangat marah padaku dan menyuruhku pergi, tapi di luar dugaanku ternyata ibumu melakukan hal yang sebaliknya. Dia bahkan terlihat mencemaskanku juga dan masih sudi merawat luka-luka yang ada di tubuhku," ujarnya dengan pandangan sendu.
Isla kemudian tersenyum. "Tidak apa-apa, Rhys. Kau bisa tinggal di sini selama kau berada di Bumi dan lagi pula Trollehallar kini semakin tak aman untukmu. Kau bisa berada di sini."
"Tapi aku khawatir kalau akan terjadi sesuatu pada ibumu juga. Rasanya aku sudah tidak bisa menjagamu, dan aku tidak yakin kalau ibumu masih akan benar-benar percaya padaku," ujar Rhys.
"Ibuku bukanlah tipe orang yang seperti itu. Dia adalah orang yang baik. Anggap saja ini seperti di rumahmu, walaupun aku tahu kalau kau pasti masih saja merasa berbeda setiap kali berada di sini karena bagaimana pun, di sini bukanlah rumahmu. Tapi aku dan juga ibuku, akan selalu berusaha membuatmu merasa nyaman seolah kau adalah bagian dari keluarga kami." Isla menaikkan kedua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah lengkungan. Gadis itu tersenyum begitu tulus.
Rhys menatap kedua mata bening milik Isla dan pria itu benar-benar tak menemukan adanya kebohongan sama sekali di sana dan ia kembali merasa kagum pada gadis yang berada di hadapan kedua matanya itu.
***
"Aku lelah! Kenapa kita tak bisa menemukan keberadaan Rhys dan juga gadis itu!" Kai menendang sebuah kerikil berukuran kecil hingga kerikil itu langsung melesat ke tengah danau yang mulai mencair setelah beberapa hari terakhir airnya membeku.
"Apa mungkin mereka berdua terkubur oleh salju dan kemudian mati?" Aric berujar.
"Tapi aku sama sekali tak mencium bau kematian mereka. Apa mungkin Rhys berhasil bangun dan melakukan teleportasi?" Herc melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Ini aneh. Mereka tak mungkin menghilang begitu saja, kan? Kurasa mereka memang sudah berteleportasi ke tempat lain. Atau bisa jadi kalau mereka itu sudah kembali ke tempat semula." Kini giliran Hugo yang berujar. Ia lalu menolehkan kepalanya pada Tao yang berdiri seraya bersandar di bawah pohon yang ada di dekatnya. "Kau sendiri Tao, apa kau sempat berhasil menemukan mereka? Kita sering berpencar, kan?" ujarnya.
"Aku tak menemukan mereka," jawab Tao singkat.
Di depan sana, Kai menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Tao selama beberapa saat. "Tak semua yang ada di sini bisa benar-bebar berteleportasi dengan cepat. Hanya aku, Rhys, dan juga kau, Tao. Hanya kita bertiga yang benar-benar bisa berpindah ke tempat lain dalam sekejap. Tapi kurasa jika memang Rhys sempat sadar, dia tak akan mampu berteleportasi karena tenaganya tak akan cukup untuk melakukannya," jelas pria itu.
"Tidak mungkin gadis itu yang melakukannya, kan? Gadis itu hanyalah gadis biasa yang lemah. Dia masih beruntung bisa bernapas karena berkat pakaian milik Rhys yang diberikan padanya," ujar Hugo seraya menaikkan salah satu alisnya. "Lihatlah, betapa pedulinya Rhys pada gadis itu sampai-sampai dia reka memberikan pakaiannya agar tak terkena oleh api dari milikku," lanjutnya.
Kai membuang napasnya pelan, "Aku tak yakin soal itu. Tapi kurasa, kemungkinan besar mungkin mereka sudah kembali ke tempat awal mereka berada, yang tidak lain adalah di rumah gadis manusia yang bernama Isla itu. Hanya saja, ada satu hal yang menggangguku," ujarnya, hingga semua teman-temannya yang ada di sana seketika menatap ke arahnya, seolah menunggu Kai melanjutkan kalimatnya barusan.
"Apa itu?" tanya Aric.
Kai terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali berujar, "Aku sama sekali tak bisa mengakses tempat mereka. Aku, tidak bisa berteleportasi ke sana," ujarnya.
"A-apa? Tidak mungkin," ujar Denzel tak percaya.
Semua teman-temannya seketika berpandangan satu sama lain.
"Mustahil. Itu tidak mungkin, Kai," sambung Hugo.
"Kurasa mereka dilindungi oleh sesuatu. Atau kemungkinan lainnya adalah ... " Kai menggantungkan kalimatnya selama beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan, "seseorang sengaja melindungi mereka," ujarnya.
***
Rhys duduk di atas karpet dengan kedua mata yang menatap kurus ke arah layar televisi yang tidak menyala. Ia berkedip dua kali, menatap aneh layar datar berukuran cukup besar di depan sana.
"Ada apa, Rhys? Apa kau baik-baik saja?" Maria yang baru saja turun dari lantai dua itu pun lalu berjalan mendekati Rhys yang terlihat agak aneh dengan pandangan menatap serius ke arah televisi.
"Kenapa benda itu sekarang berwarna hitam? Bukannya biasanya menyala dan banyak orang-orang di dalam sana?" tunjuk Rhys ke arah televisi dengan menggunakan telunjuknya.
Ucapannya yang terdengar begitu polos membuat Maria tak kuat menahan tawanya. Ia lalu mengambil remot yang ada di atas meja, tepat di belakang punggung Rhys. Ia lalu menekan tombol power hingga televisi pun menyala di detik berikutnya, membuat tubuh Rhys tersentak pelan.
"Harusnya kau bilang saja kalau kau ingin menonton TV." Maria terkikih, membuat kedua pipi Rhys bersemu.
"Oh, iya. Mana Isla?" tanya Maria sebelum dirinya pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
"Isla sedang belajar di dalam kamar. Katanya, ada banyak materi sekolah yang harus dia kejar karena beberapa hari terakhir dia sempat tidak masuk ke sekolah dan itu membuatnya tertinggal beberapa mata pelajaran dan juga tugas," jelas Rhys.
"Ah, begitu, ya. Baiklah, kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam dulu. Aku ada di dapur jika kau memerlukan sesuatu," ujar Maria seraya tersenyum tipis. Wanita itu lalu berjalan ke dapur untuk segera menyiapkan makan malam. Dengan kedatangan Rhys di rumahnya, Maria justru tak merasa keberatan dan juga tak merasa kerepotan. Ia justru merasa sebaliknya dan menerima keberadaan Rhys di antara ia dan juga Isla, walaupun saat semula tahu sosok asli Rhys, ia memang sempat terkejut bukan main. Namun seiring berjalannya waktu, Maria juga semakin merasa terbiasa dengan keberadaan pria itu dan bahkan ia sudah seperti menganggap Rhys layaknya putranya sendiri.
Sepeninggalnya Maria ke dapur, kini Rhys sudah sibuk dengan TV yang menyala di hadapannya.
Sementara itu di dalam kamar, Isla menutup bukunya saat ia selesai belajar. Ia menolehkan kepalanya ke arah tempat tidur dan Rhys sudah tak ada di sana. Pria itu pasti sekarang sedang berada di bawah, pikir Isla. Gadis itu pun lalu beranjak dari kursinya dan keluar dari kamarnya. Ia menuruni satu per satu anak tangga menuju lantai dasar rumahnya.
Sesampainya di bawah, ia benar-benar melihat Rhys di sana. Namun bedanya, pria itu kini justru malah terlihat tertidur di atas karpet dengan badan hampir melingkar layaknya seekor anak anjing yang ketiduran, hingga membuat TV yang justru seolah menontonnya yang sedang asyik tidur.
Isla menahan tawanya karena tak ingin membuat Rhys terbangun. Gadis itu lalu mengambil sebuah bantal dan selimut yang ada di atas sofa lalu ia segera menyelimuti tubuh Rhys dan dengan berhati-hati, ia mengangkat kepala Rhys dan menyelipkan bantal tepat di bawah kepala pria itu. Dan ajaibnya, Rhys benar-benar tak terganggu sama sekali bahkan masih terlihat begitu pulas tidurnya.
—TBC