41. Padam

3323 Kata
Isla memasuki ruangan kelasnya dengan langkah yang tergesa dan di dalam ruangan itu ternyata Teresa sudah bersiap menyambutnya. Sahabatnya itu sudah bersiap berlari menghampiri Isla dan memeluknya dengan erat namun tubuh Teresa justru membeku di detik berikutnya. "Isla, kau—" "Hm? Ada apa?" Gerakan kedua kaki milik Isla pun memelan secara perlahan dan menatap Teresa dengan pandangan yang sulit diartikan. "Siapa ... " Teresa yang masih terbengong-bengong itu pun berjalan mendekati Isla secara perlahan dan kedua tangannya terangkat, memegang kedua sisi wajah Isla dan menatap gadis itu dalam jarak yang dekat. "Siapa yang melakukan ini, Isla?" ujar Teresa. Ucapan Teresa itu lalu membuat orang-orang yang ada di kelas menoleh dan mereka terkejut melihat keadaan Isla. Memang terlihat tak begitu parah, namun wajah gadis itu terlihat tergores oleh sesuatu di beberapa bagian dan kedua kakinya juga terlihat terdapat beberapa lecet. "Ah, i-ini ... Aku sempat terjatuh saat pergi dengan ibuku, hehe. Tapi lukanya sudah kering jadi kau tak perlu sekhawatir ini." Isla terkikih pelan. Ia sudah bisa menduga kalau reaksi Teresa akan seperti ini, dan itu adalah hal yang sudah biasa ia alami. "Tidak mungkin. Kenapa kau tidak memberitahuku? Dan kenapa kau tidak hati-hati, Isla? Astaga, lihatlah wajahmu yang malang ini. Kau pasti merasa kesakitan. Aku benar-benar minta maaf karena tak bisa menjengukmu. Aku bukannya tak ingin menemuimu, tapi ibuku melarangku pergi setelah hari sudah sore, apalagi akhir-akhir ini. Kau sendiri tahu lah, bagaimana cuaca yang beberapa terakhir itu. Benar-benar gila. Aku bahkan hampir tak percaya kalau aku masih ada di bumi. Benar-benar terasa mengerikan, padahal harusnya ini jadi pertengahan tahun yang menyenangkan." Teresa mulai mengeluh. "Ahaha, iya, tak apa, Teresa. Aku juga bisa mengerti. Lagi pula sekalipun kau masih mendapat izin dari ibumu untuk pergi ke rumahku, aku yang tak akan mengizinkanmu keluar karena di luar cuaca agak berbahaya dari biasanya." Isla mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan mencoba menenangkan Teresa sesegera mungkin karena teman-temannya yang lain kini benar-benar menatap ke arahnya. Isla dengan segera menarik tubuh Teresa dan mendudukkan gadis itu di bangkunya. "Aku sudah membaik, Teresa. Jadi jangan terlalu khawatir padaku seperti itu. Kau tahu, kau ini seperti ibuku. Baiklah, aku merasa berterima kasih karena kau sudah mengkhawatirkanku sampai seperti itu tapi karena aku sekarang sudah membaik, jadi kau jangan bersikap terlalu khawatir begitu. Oke?" ujarnya berusaha meyakinkan Teresa. Teresa yang semula sudah membuka mulutnya dan hendak membalas perkataan yang baru saja terlontar dari bibir milik Isla pun pada akhirnya hanya bisa membuang napasnya pelan dan memilih untuk menganggukkan kepalanya, memilih menurut saja walaupun sebenarnya di dalam hatinya sendiri ia masih merasa adanya rasa cemas yang tersisa. Isla mengacungkan kedua ibu jarinya dan tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Lalu tidak lama setelahnya, bel jam pertama berbunyi dan gadis itu mendudukkan tubuhnya di bangku miliknya yang berada tepat di sebelah meja milik Teresa. "Oh, iya, Alex benar-benar merasa khawatir padamu lho, saat kau tidak masuk sekolah dia terlihat begitu tak tenang." Teresa kembali memulai obrolan seraya mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Isla yang tengah menuliskan catatan dari buku milik Teresa. "Jangan memulainya, Teresa. Aku sedang tak ingin membicarakan hal itu, kau tahu, kan? Jadi jangan bahas itu lagi." Isla mendengkus pelan. "Aku senang kau sudah sembuh." Eh? Kedua mata milik Isla berkedip dua kali dan gadis itu menghentikan gerakan tangannya yang tengah menulis di salah satu permukaan buku miliknya. Dengan ragu ia menolehkan kepalanya dan gadis itu membulatkan kedua matanya begitu melihat seorang murid laki-laki yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah mejanya, dengan kedua mata berbinar yang benar-benar menatap sepenuhnya padanya. Isla melirik Teresa yang juga terkejut dengan kedatangan Alex yang tiba-tiba. Bahkan saat ditatap oleh Isla, Teresa hanya berkedip selama beberapa kali sebelum akhirnya gadis itu mengangkat kedua bahunya, seolah-olah kalau ia memang tak tahu soal Alex yang akan datang ke kelasnya dan memang bukan dia yang memberitahu lelaki itu. "Ini, untukmu." Alex memberikan sebuket bunga pada Isla yang semakin membuat gadis itu terkejut sebelum akhirnya Isla menerima bunga pemberiannya. "Te-terima kasih," ujar Isla pelan. "Tadi aku melihatmu di bus saat di perjalanan, jadi aku menyuruh supirku untuk mampir ke sebuah toko bunga," ujar Alex dengan seulas senyuman semringah. Kedua matanya benar-benar terlihat senang melihat Isla yang sudah bisa kembali ke sekolah. "A-ah, begitu, ya. Baiklah. Tapi kau harusnya tidak perlu melakukan hal yang merepotkan seperti ini," ujar Isla. Alex menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak, tidak. Kedatanganmu ke sekolah setidaknya harus mendapat sedikitnya sambutan, kan? Kau pasti akan menjadi lebih bersemangat," ujarnya. Ucapan yang keluar dari bibir lelaki bernama Alex itu seketika membuat kedua gadis di dekatnya kian melongo. Bahkan seorang Teresa yang biasanya menggodai Isla itu pun kini dibuat tercengang. Ia bahkan tak pernah terpikir kalau Alex akan melakukan hal seperti sekarang ini hanya untuk Isla. "Kurasa dia benar-benar menyukai Isla," batin Teresa. Kemudian tidak lama setelahnya, seorang guru masuk ke dalam kelas dan membuat Alex dengan segera berpamitan pada Isla dan dengan sedikit berlari, lelaki itu pergi keluar kelas. Bahkan ia masih sempat melambaikan tangannya pada Isla sesaat sebelum berlari melewati pintu. Kedua mata milik Isla menatap lelaki barusan tak percaya. Teman-teman kelasnya yang lain kini kembali menatap padanya, membuat Isla kehilangan kata-kata. Demi apapun, ia tak pernah membayangkan dan berekspetasi kalau dirinya akan mendapatkan hal seperti sekarang ini saat ia kembali ke sekolah. Isla menatap buket bunga yang ada di tangannya dan masih tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Alex. Gadis itu membuang napasnya pelan lalu meletakkan buket bunga itu di atas mejanya. *** Isla sama sekali tak menyukai kelas olahraga apalagi jika cuaca sedang cerah. Gadis itu lebih memilih pura-pura sakit dan berdiam diri di ranjang UKS yang empuk dan nyaman. Ia bisa tidur siang sepuasnya sampai jam olahraga benar-benar selesai. Namun sayang sekali karena ia tak bisa melakukan itu, karena itu terlalu berisiko untuk guru olahraganya yang memang menyebalkan dan jika sampai aktingnya ketahuan, maka nilai semesternya akan menjadi taruhan. Buk! Tubuh Isla langsung terhuyung saat ada sebuah bola yang menghantam kepalanya hingga berdenyut. "A-ah, maafkan aku. Kau tak apa?" Salah seorang murid laki-laki yang baru saja melemparkan bola itu segera berlari menghampiri Isla yang terkapar di atas permukaan rumput. "Isla, apa kau baik-baik saja?" Teresa berlari menghampiri Isla yang tak bereaksi sama sekali. Isla sendiri hanya terdiam menatap ke atas, walaupun kepalanya kini tengah berdenyut akibat hantaman bola kasti yang keras. "Pak, saya izin membawa Isla ke ruang UKS!" Teresa mengangkat tangannya meminta persetujuan guru olahraganya. Gadis itu membawa Isla pergi dari lapangan dan memasuki koridor sekolah. Isla masih bungkam. Kedua matanya masih menatap ke atas sana. Tidak, ia tak menatap langit atau awan-awan sama sekali. Gadis itu melihat seseorang yang berdiri di atas rooftop sekolahnya, sebelum kontak mata mereka terputus begitu Isla benar-benar memasuki koridor sepenuhnya. "Kau tak apa, Isla? Apa kepalamu masih sakit? Apa kau merasa pusing? Kau mual?" Teresa melayangkan beberapa pertanyaan secara beruntun. Namun bukannya menjawab pertanyaan Teresa, Isla justru menahan lengan Teresa hingga langkah mereka berdua berhenti. "Aku akan pergi sendiri. Kau bisa pergi kembali ke lapangan. Aku tak apa," ujar Isla. "Kau yakin? Tapi bagaimana jika kau jatuh?" Teresa membalas ucapan Isla. "Aku akan baik-baik saja. Sudah, sana kembali." Isla berusaha meyakinkan Teresa. "Ah, baiklah. Kalau begitu aku akan kembali ke lapangan. Berhati-hatilah. Kalau ada sesuatu, kau bisa meneleponku. Oke?" ujar Teresa. Isla tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya. Teresa langsung pergi dari sana dan meninggalkan Isla. Sepeninggal Teresa, Isla kembali melanjutkan langkahnya. Gadis itu mengusap dahinya yang masih terasa nyeri. Kemungkinan dahinya itu kini sudah berwarna kemerahan. Isla menaiki satu per satu anak tangga. UKS berada di koridor sebelah kiri, namun kedua kakinya justru bergerak berlawanan arah, di mana gadis itu justru bergerak ke koridor kanan dan berjalan menaiki tangga lain menuju rooftop. Ia hendak membuka pintu yang mengarah ke atap sekolahnya itu namun rupanya penjaga sekolah kali ini sengaja menguncinya, mungkin berjaga-jaga agar tak ada murid yang membolos di jam pelajaran, karena memang tempat itu hampir setiap hari digunakan oleh kebanyakan murid laki-laki yang ingin membolos. Isla yang masih memegang handle pintu itu pun pada akhirnya hanya bisa membuang napasnya pelan, padahal ia baru saja ingin memastikan kalau apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu itu tidaklah salah, namun sayang sekali karena rencananya kini harus gagal karena pintu itu tak bisa dibuka sama sekali karena dikunci oleh penjaga sekolahnya. Akhirnya Isla memutuskan untuk kembali dan gadis itu pun memilih untuk kembali ke kelasnya, dari pada ia harus pergi ke UKS seperti apa yang dikatakan oleh Teresa tadi. "Mungkin aku hanya salah lihat," gumam Isla. Kepalanya yang dihantam cukup kuat oleh bola kasti itu pasti membuat isi kepalanya agak berantakan dan dia tak bisa berpikir dengan jernih, sampai-sampai sebuah ilusi muncul di kedua matanya. Kelasnya begitu sepi saat Isla sampai di sana. Semua orang masih berada di lapangan. "Apa yang dilakukan oleh Tao di sini?" Isla kembali bergumam. Entah karena alasan apa, yang jelas ia beberapa kali bertemu dengan Tao, atau mungkin lebih tepatnya, Tao-lah yang datang menemuinya sendiri. Tapi untuk apa dia melakukan itu? Dan lagi di permintaan Tao sebelum Isla membawa Rhys kembali, Tao meminta agar Isla merahasiakan pertemuan mereka berdua pada siapa saja, tak terkecuali pada Rhys. Cukup aneh, mengingat kemungkinan lain yang akan terjadi jika seandainya yang datang menemui Isla adalah Kai dan teman-temannya yang lain. Isla menyandarkan punggungnya di kursi dan kembali menatap buket bunga pemberian Alex yang berada di atas meja. Gadis itu membuang napasnya pelan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia sendiri bahkan tak merasakan apa-apa pada Alex, tapi lelaki itu justru menaruh perasaan sebaliknya. Mendadak Isla merasa bersalah. Tapi ia memang tak merasakan apapun pada pria bernama Alex itu. Dan kenapa juga Alex harus menyukai dirinya? "Kau menyukai pria itu?" Tubuh Isla tersentak pelan. Gadis itu menoleh dan terkejut melihat Rhys yang entah kapan sudah berada di sana, lebih tepatnya pria itu kini duduk di atas meja milik Teresa. "Astaga, Rhys, kenapa kau bisa berada di sini?" Isla mendadak merasa panik. Bisa gawat jika teman-temannya yang lain melihat Rhys di sana, terlebih lagi Teresa. Gadis itu pasti akan sangat terkejut. Rhys membuang napas berat lalu mengubah posisi duduknya menjadi bersila. Ia juga menopang dagu dengan salah satu tangannya. "Aku merasa bosan berada di rumah terus," ujar pria itu sebelum akhirnya ia menguap. "Tidak, aku ke sini karena merasa ada sesuatu yang terus mengikutimu," batin Rhys. "Tapi kau tidak harus muncul secara tiba-tiba seperti ini, kan? Bagaimana jika teman-temanku melihatmu di sini? Aku akan mendapatkan masalah!" omel Isla. "Bunganya bagus." Bukannya segera pergi, Rhys justru malah memuji bunga yang ada di hadapan Isla. "Ini bukan waktu yang tepat untuk memuji bunganya, Rhys. Aku serius. Kau harus segera pergi karena semua teman-temanku akan segera kembali," ujar Isla. Dengan was-was ia menatap ke arah pintu kelasnya secara berkali-kali, untuk berjaga-jaga jika teman-temannya muncul secara tiba-tiba karena jam olahraga sebentar lagi akan berakhir. "Baik, baik. Aku akan berhenti sebentar lagi." Rhys kembali membuang napasnya. Ia lalu menatap wajah Isla selama beberapa saat, sebelum matanya menemukan sesuatu. "Hei, kenapa dengan keningmu? Kenapa memerah?" tanyanya. "Ah, ini. Tadi aku terkena bola. Entahlah kurasa tadi aku terlalu tak bersemangat sampai akhirnya kehilangan konsentrasi belajarku dan malah melamun. Padahal harusnya aku belajar dengan giat kali ini untuk mengejar materi yang tertinggal, soalnya aku tertinggal banyak sekali." Isla mendengkus setelahnya. "Apalagi sebentar lagi ujian semester dan libur musim panas pun akan dimulai, tapi kurasa musim panas tahun ini tak akan berjalan sesuai rencanaku," ujarnya lagi. "Ah, begitu, ya. Maaf, ya." Tiba-tiba raut wajah milik Rhys berubah menjadi sedikit lebih murung dari beberapa saat yang lalu. Isla kemudian melirik Rhys yang terlihat sedih, "Ah, tenang saja. Kau tak perlu minta maaf. Ini kan bukan salahmu." Gadis itu kemudian terkikih pelan. "Aku yakin kalau semua ini cepat atau lambat pasti akan berakhir, walaupun aku masih tak memiliki gambaran sama sekali tentang ujung dari masalah ini, bahkan aku tak yakin kalau aku bisa benar-benar berhasil membantumu." Isla menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit-langit kelasnya. Perlahan gadis itu membatin, "aku bahkan tak tahu apakah setelah semua ini, aku masih bisa hidup atau justru sebaliknya." "Jangan berpikir yang tidak-tidak," ujar Rhys. "Kita akan menyelesaikan ini secara bersama-sama dan akan aku pastikan sendiri kalau kau akan baik-baik saja." Keduanya sempat menatap satu sama lain selama beberapa saat sebelum akhirnya mereka mendengar beberapa derap langkah kaki yabg terdengar semakin mendekat. Rhys dengan segera melesat melewati meja milik Isla dan melompat dengan bebas ke luar jendela, membuat Isla membulatkan kedua matanya. Gadis itu lalu segera beranjak dari posisinya dan ia berlari menghampiri jendela, berusaha memastikan kalau Rhys baik-baik saja. Namun saat mengeceknya, ia sudah tak menemukan Rhys di sana, artinya pria itu sudah pergi dari sana dengan gerakan yang begitu cepat. Yang paling membuat Isla terkejut adalah, bagaiman ia melihat Rhys yang langsung terjun melompati jendela seolah tak memikirkan apa-apa yang mungkin bisa melukai dirinya. Pria itu bahkan terlihat tak merasakan perasaan takut sama sekali, mungkin karena ia sudah terbiasa melompat seperti itu. Isla malah berpikir kalau Rhys akan berteleportasi tapi rupanya tidak. Dan tidak lama setelahnya, semua teman-temannya satu per satu kembali ke kelas seusai jam olahraga selesai. Melihat itu, Isla membuang napasnya lega. *** "Dari mana saja, kau?" Herc menatap Tao yang baru saja datang. "Percuma, dia tak akan pernah menjawab pertanyaanmu itu," cibir Aric. Pria itu menatap Tao dengan kedua sudut matanya yang tajam. Kedua alis milik Herc saling bertaut saat melihat Tao yang benar-benar hanya berjalan melewatinya tanpa berniat menjawab pertanyaannya sedikit pun. "Astaga, dia memang tak berubah sama sekali." Herc membuang napasnya pelan. "Mana Kai?" Kedua kaki milik Tao berhenti melangkah dan pria itu menoleh kembali ke belakang, tepatnya ke dua orang temannya yang ada di sana. Ia menatap Herc dan Aric bergantian. "Entahlah, dia belum kembali sejak tadi pagi," ujar Aric. "Kurasa dia merasa dendam pada gadis itu, jadi sampai saat ini Kai masih berusaha berteleportasi ke sana. Atau mungkin dia menemui gadis yang bernama Isla itu tanpa melakukan teleportasi. Dan kurasa dia dibantu oleh Hugo," sambung Herc. "Tapi hal seperti ini memang aneh. Keberadaan gadis itu mendadak terasa seperti tak ada sama sekali dan seolah-olah seseorang berusaha menghilangkan hawa keberadaan gadis itu dan menghalang penghalang padanya." Aric kembali berujar. "Mungkin Rhys sudah benar-benar pulih sekarang dan dia sendiri yang memasang penghalang itu pada Isla. Tao tak lagi membalas ucapan Aric maupun Herc. Pria itu kembali berteleportasi dan pergi dari sana, membuat kedua temannya yang masih berada di sana hanya terdiam dengan kedua mata yang berkedip beberapa kali. *** Isla membuka pintu kamarnya dengan lesu dan kedua kakinya bergerak mendekati ranjangnya. Tanpa basa-basi lagi gadis itu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas permukaan ranjang yang empuk dengan kedua kaki yang masih memakai sepatu. Materi kelas hari ini membuat energinya terkuras, karena ia juga harus mempelajari materi beberapa hari sebelumnya saat ia tak masuk kelas. "Kau baik-baik saja?" tanya Rhys yang duduk bersila di atas permukaan lantai. Pria itu menatap Isla yang terbaring lesu di atas ranjang. "Kau tidak seharusnya masuk ke dalam kamar wanita secara sembarangan. Astaga, dasar tidak sopan," omel Isla tanpa mengubah posisinya. "Aku sudah berada di sini, bahkan saat kau baru saja sampai," jawab Rhys, namun ucapannya tak dijawab oleh Isla. Menyadari Isla tak bereaksi, Rhys beranjak dari posisinya dan ia mengecek Isla. Rupanya gadis itu sudah tertidur. Sepertinya hari ini Isla benar-benar kelelahan hingga gadis itu langsung tertidur pulas tanpa menunggu waktu lama. Rhys pun segera membenarkan posisi Isla dan ia juga melepaskan sepatu yang masih dikenakan oleh gadis itu di kedua kakinya. "Aku harus mencari tahu siapa yang sudah memasang penghalang pada Isla," batin Rhys. Pria itu dengan segera melompati keluar dari jendela kamar Isla dan juga melompati dahan-dahan pepohonan dan atap-atap rumah yang ada di sana, bersamaan dengan hari yang menjelang sore dan langit mulai berubah warna menjadi lebih gelap dari sebelumnya. "Tadi siang aku juga merasa kalau Isla diikuti oleh seseorang. Aku tak begitu yakin tapi dari baunya, kurasa itu ... Tao." Rhys membuang napas pelan. Kedua kakinya berhenti tepat ketika ia berpapasan dengan Kai. Rhys menatap pria itu dari kejauhan, dan Kai juga terlihat menghentikan pergerakannya. Ia terlihat sendiri, berbeda dari biasanya. Namun meskipun begitu, ia harus tetap waspada, karena bisa saja ada seseorang yang muncul secara tiba-tiba dan menyerangnya. "Di mana gadis itu?" tanya Kai to the point. Kedua alis milik Rhys saling bertaut tanpa melepaskan tatapannya dari Kai barang sedetik pun. "Kenapa kau secara tiba-tiba menanyakannya? Bukankah selama ini targetmu itu aku?" ujar Rhys. Kai membuang napasnya kasar dengan kedua tangan yang mengepal. "Kau berani sekali memasang sebuah penghalang agar aku tak bisa menemuinya!" ujarnya lantang. "Penghalang?" Kening Rhys mengerut. "Jangan berlagak seolah-olah kau tidak tahu, Rhys! Kenapa kau selalu bersikeras melindungi gadis itu?!" Sesuatu sudah mulai keluar dari permukaan telapak tangan Kai, membuat Rhys yang berada jauh di depan sana segera bersiap dengan tumpuan kuat di kedua kaki miliknya. "Karena aku benar-benar tidak tahu apa-apa soal itu!" Rhys langsung melompat menghindari serangan Kai yang secara tiba-tiba berteleportasi ke hadapannya dalam waktu kurang dari satu detik. Rhys berhasil menangkis serangan Kai dan ia melakukan telekinesis, melemparkan beberapa bebatuan ke arah mereka hingga mereka berdua bisa saling berjarak kembali seperti semula. "Itu artinya bukan Kai yang memasang penghalangnya," batin Rhys. "Lantas siapa?" "Kau lengah, Rhys." Kedua mata Rhys membulat dan ia sadar kalau Kai sudah berada tepat di sebelahnya dengan seulas seringaian tipis yang tercetak di bibirnya. BOOM!! Kai langsung mendorong punggung Rhys dengan kuat ke arah permukaan tanah hingga tubuh Rhys terhempas ke permukaan tanah dengan kuat. Dalam keadaan terdesak itu, Rhys mengangkat wajahnya dan dengan salah satu tangannya yang bergetar, ia mencoba melemparkan sebuah kayu yang berukuran besar ke arah Kai. Kai yang menyadari itu segera bergerak menjauh hingga Rhys bangkit dari posisinya. "Penghalangnya akan melemah jika orang yang memasang penghalang itu terluka, kan? Jika memang Kai terluka dan aku bisa masuk ke alam bawah sadar dan hati milik Isla, itu berarti Kai memang yang telah memasang penghalang itu pada Isla. Tapi jika tak ada perubahan sama sekali, itu artinya bukan Kai orangnya," batin Rhys. Salah satu kakinya bergerak dan ia melompat ke udara, lalu menendang dengan kuat salah satu batu yang melayang ke arah Kai dengan cepat dan di saat yang bersamaan, Rhys melesat dengan cepat menuju Kai. Ia berhasil mengecoh pria itu dan langsung menyerang Kai tepat di dadanya hingga tubuh Kai terpental dengan kuat dan menubruk beberapa pohon di belakangnya. "Sialan, kau, Rhys!" Kedua tangan Kai mengepal kuat dan lelaki itu dengan cepat bangkit. Ia menarik napas dalam dan menghentakkan salah satu kakinya ke atas permukaan tanah hingga terasa sebuah getaran cukup kuat. Rhys yang masih berada di udara itu lantas membulatkan kedua matanya begitu menyadari kalau satu per satu lampu yang ada di perkotaan di sana berubah menjadi padam hingga benar-benar gelap. Ia lalu beralih menatap permukaan tanah tempat Kai berpijak dan terlihat adanya beberapa belahan di sana. Rhys berbalik dan ia menangkis serangan tiba-tiba dari Hugo, membuat pria pemilik burung phoenix api itu menyeringai. "Refleksmu masih kuat juga ternyata," ujar Hugo. Ia kembali menangkis balik serangan Rhys yang menuju ke kedua kakinya. Tanda yang berbentuk burung phoenix yang ada di salah satu tangannya pun perlahan bersinar dan sesosok burung phoenix api berukuran besar muncul tepat di belakang Rhys, membuat suasana di sana berubah menjadi begitu panas karena kepakan sayap dari mahluk itu. Rhys menghindari sepasang cakar milik phoenix itu dan di saat yang bersamaan dia juga harus melawan Kai dan juga Hugo. BOOM!! Hugo berhasil Rhys hempaskan dengan kuat ke bawah sana dan kesempatan itu ia gunakan untuk melawan Kai dan burung phoenix milik Hugo. Di bawah sana Hugo mengusap salah satu sudut bibirnya yang berdarah dan pria itu kembali bangkit dari posisinya. Dengan bertumpu pada kakinya pria itu berlutut, mencengkeram permukaan tanah di sana hingga belahan-belahan yang terdapat pada tanah itu pun perlahan berwarna oranye, sebelum benar-benar mengeluarkan api dari dalam. Ia menatap Rhys yang ada di atas sana dengan salah satu sudut bibir yang kembali naik. Rhys menatap ke bawah sana. Suasana semakin panas dan pria itu menelan ludah. Ia harus bisa melawan atau ia akan mati terbakar karena api-api itu jika dia sampai berhasil jatuh. —TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN