"Nona Sophia ... jangan berlarian begitu. Anda bisa jat—aaaahh!!!" teriak Mi yang kaget karena dia mengira Sophia terjatuh di lantai. Namun, beberapa detik kemudian dia merasa lega karena Nona Sophia ternyata jatuh di atas tubuh Ahmed. Bagaikan scene klise di sebuah n****+ roman, kalau saja yang jatuh bukanlah Sophia si gadis kecil berusia empat tahun.
"Wow ... Nona, berhati-hatilah. Kamu bisa jatuh dan terluka," tutur Ahmed sambil membantu Nona Sophia berdiri dengan kedua tangannya. Ahmed hendak mengecup kening gadis kecil itu, namun Nona Sophia menghentikan gerakan Ahmed dengan kedua telapak tangan mungilnya.
"Tidak, jangan cium aku lagi, Ahmed!" cegah nona kecil itu berlagak seperti orang dewasa. "Mama bilang, kalau kamu tak akan menjadikan orang itu istri atau suamimu, jangan pernah dicium."
Sejak pertama bertemu dengan Madam Adriana, Siti merasa bahwa majikannya memang akan menjadi orang tua yang aneh. Namun, mengatakan hal seperti itu pada anak kecil berumur empat tahun, apakah tidak berlebihan? Bukankah seharusnya, dijelaskan saja hal-hal yang diperlukan untuk menghindari p*****l?
Entahlah.
Siti yang masih sangat muda, juga tidak terlalu paham masalah pendidikan anak. Jadi, dia pun tidak mengerti dan tidak bisa memberi penilaian baik atau buruk kepada pendidikan yang diberikan Madam Adriana. Hanya bertanya-tanya dalam hati saja. Apakah pendidikan yang diberikan Madam Adriana sudah benar?
Siti yang baru sekejap berada di sana, pasti tidak menyangka bahwa Madam Adriana bahkan hampir tidak pernah menyentuh putrinya. Beliau melakukannya hanya ketika kebetulan saja bersua.
Ahmed menghembuskan nafas panjang sambil tersenyum. Raut muka Ahmed, merupakan perpaduan antara rasa kecewa sekaligus ingin tertawa.Sambil mengangkat kedua tangannya, menunjukkan tanda menyerah, dia berujar, "Okay, Nona. Aku tidak akan menciummu lagi."
"Tidaak! Kamu boleh melakukannya—tapi rahasia," ralat Nona Sophia, kata yang terakhir dibisikkan dengan sangat pelan di telinga Ahmed. Mereka berdua bertatapan dengan gaya jenaka, kemudian menarik kesimpulan dengan mengedipkan sebelah mata masing-masing. Tanda kompromi telah dicapai. "Berjanjilah untuk tidak pernah mengatakannya kepada Mama."
Nona Sophia menyodorkan jari kelingkingnya kepada Ahmed untuk melakukan pinky promise. Kemudian Ahmed mencium Nona Sophia dengan gemas. Mi yang dari tadi menonton ikut tersenyum karena pemandangan yang sangat menenangkan itu. Mata Mi yang memang tak terlalu lebar, sekarang bahkan hanya membentuk garis karena tertawa kecil. Di mata Siti, Mi terlihat senang dengan pekerjaannya. Namun, entahlah apa perasaan itu berbalas atau tidak. Bila Nona Sophia juga menyukai Mi, bisa dipastikan keduanya akan menjadi partner yang langgeng, hingga Nona Sophia tidak lagi membutuhkan seorang pengasuh.
Setidaknya, begitulah yang nampak di mata Siti. Seorang gadis yang tak pernah terlintas kata menikah di pikirannya. Sedangkan bagi Mi sendiri, tentu saja dia tidak ingin selama itu bertahan dengan Nona Sophia. Dia bekerja hanya karena ingin mengisi masa penantian sampai jodoh datang padanya.
Perhatian Siti kembali pada Nona Sophia. Dilihatnya gadis kecil yang sangat menyerupai ibunya itu. Kalau di Indonesia, ada istilah anak mama untuk anak yang terlampau manja, maka istilah anak mama bisa dipakai untuk menggambarkan Nona Sophia karena itu sangat menggambarkan ciri fisiknya. Perbedaan terbesarnya hanyalah sifat mereka berdua.
Apa benar, anak ini arogan dan pemilih?
Siti bergumam dalam hati karena yang dia lihat saat ini, tidak mencerminkan hal seperti itu. Nona Sophia begitu ceria dan tampak bersahabat. Seperti anak kecil yang sering ditemuinya, hanya saja majikan kecilnya tampak lebih anggun dan elegan, dengan pakaian dan aksesoris yang berkualitas bagus.
Mata cantik Nona Sophia kini tertuju pada Siti. "Kamu siapa? Kekasih Ahmed?" tanyanya terus terang, dengan nada curiga. Saat berlagak seperti itulah, Siti merasa dia memang benar-benar anak dari Madam Adriana. Reflek, Siti merasakan apa yang dia rasakan saat bertemu dengan Madam Adriana kemarin.
Satu pertanyaan Siti. Dari mana anak sekecil ini tahu kata kekasih?
Ahmed tertawa kecil dan memperkenalkan Siti padanya. "Perkenalkan, ini Siti, yang akan menjaga adikmu nanti seperti Mi menjaga kamu! Kamu boleh bermain dengan Siti sebelum adik kamu lahir."
Nona Sophia terdiam sambil mempelajari Siti dari atas hingga bawah. Gayanya bagai seorang tokoh antagonis kaya raya yang menilai penampilan seorang protagonis jelata di dalam opera sabun. Berjalan mondar-mandir perlahan, tangan kanan memegangi dagu, tangan kiri di pinggang, serta mata yang melekat kuat menatap Siti, akan membuat gemas siapa saja yang melihat peristiwa ini.
Ketika dia mulai menghentikan langkah mondar-mandirnya, saat itulah orang dewasa di sekitarnya bersiap-siap untuk mendengar komentar sang nona tentang Siti. Walaupun nantinya Siti akan ditugaskan untuk menjaga adik Nona Sophia, bukan sang nona sendiri, semua tentu tetap berharap bahwa sang nona akan menyukai Siti. Atau setidaknya, tidak membenci Siti. Namun, sebuah harapan, kadang tidak berjalan sesuai kenyataan.
"Kalau begitu, kamu bukan temanku!" kata Nona Sophia kemudian sambil memalingkan mukanya dari Siti.
"Mengapa begitu?" tanya Ahmed dan Siti serempak.
"Karena adikku bukan temanku. Ibu adikku bukan temanku. Pengasuh adikku juga bukan temanku," jawab Nona Sophia sambil menatap Siti dengan pandangan menantang, kedua tangan kecilnya dia tautkan tepat di bagian bawah d**a.
Siti seketika mengubah pendapatnya tentang Nona Sophia tadi. Wajah anak manja dan arogan, khas anak Sultan, kini mendominasi wajah cantik Nona Sophia yang tadinya sempat terlihat seperti bidadari. Saat ini mata hijau dan rambut coklat terangnya, melengkapi penampilannya sebagai peran putri jahat yang terperangkap dalam tubuh kecil.
Anak ini memang egois.
Siti meralat penilaiannya tentang keceriaan dan penampilan bersahabat dari sang nona kecil.
Siti sangat heran, dari mana anak umur empat tahun ini mendapatkan pendidikan tentang cara memusuhi orang dengan sepenuh hati? Apakah dari ibunya, ayahnya, temannya, atau pengasuhnya? Ataukah anak seumur ini secara natural memang akan sangat pencemburu kepada adiknya?
Sewaktu kecil, Siti bukanlah anak yang baik hati seperti putri Cinderella. Tapi gadis kecil di depannya ini jauh lebih buruk dari yang bisa Siti bayangkan. Karena itulah, dia ingin memberi nona kecil ini sedikit pelajaran.
"Lalu, bagaimana dengan ayah adikmu?" tanya Siti. Bibirnya tersenyum tak simetris penuh kemenangan karena melontarkan pertanyaan yang menurutnya cerdas. Bila dia tahu bahwa pertanyaan itu tak seharusnya ditanyakan ke Nona Sophia, tentu dia tak akan menanyakannya. Sayang sekali, yang sudah terjadi, takkan bisa diulang lagi.
"Sejak awal ...," jawab Nona Sophia dengan murung. Terhenti sejenak dan menatap kosong. "Sejak awal, Baba memang bukan temanku."
Mendung di wajah cantik Nona Sophia semakin menghitam, pertanda hujan akan segera turun. Nona Sophia pun berlari meninggalkan Siti dan Ahmed. Dia adalah anak kecil yang cukup menjaga wibawa di depan orang yang tidak dia kenal.
Karena itulah sang Nona tidak suka menangis di depan orang lain yang sama sekali asing baginya. Mi pun segera berlari menyusul majikan kecilnya secepat mungkin agar tidak kecolongan bila sang Nona terjatuh lagi seperti tadi.
Sambil memandangi dua orang yang sedang berlari menjauh, Siti pun menjadi paham apa yang menjadi sumber masalah di hati nona kecil itu. Tanpa sengaja, ternyata dia menorehkan luka di hati seorang anak kecil yang masih lugu. Siti berharap, sang Nona akan mau memaafkannya suatu saat nanti.
***
Nona Sophia adalah seorang anak yang cantik. Namun, dia hanyalah seorang anak perempuan. Itulah yang menyebabkan Ayah Tuan Khalid, Tuan Sulaiman, memaksanya menikah lagi dengan Madam Aisha. Berharap akan melahirkan seorang anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Namun, hasil USG Madam Aisha menunjukkan hal yang barlawanan dari harapan. Tentu saja hal ini membuat Madam Aisha merasa tidak enak hati. Apalagi sejak datangnya kedua istri baru Tuan Khalid. Madam Aisha semakin takut, bahwa anaknya nanti akan bernasib sama dengan Sophia.
Semua cerita tersebut mengingatkan Siti akan keadaan istri-istri raja pada zaman dahulu. Siti sempat bertanya, apakah kehidupan di Almaas memang seperti itu?
"Tidak, kehidupan seperti ini, secara natural adalah yang terjadi di kehidupan orang-orang kaya. Bukankah di Indonesia atau seluruh dunia juga seperti itu?" sanggah Ahmed ketika Siti mengantarnya ke depan menuju tempat parkir mobil. "Para ayah tentu sangat sayang kepada putrinya, tapi bagaimanapun juga, memiliki anak lelaki adalah kebanggaan tersendiri. Apalagi bila memang itu adalah sebuah kebutuhan. Misalkan, seperti sebuah kerajaan yang memiliki peraturan bahwa seorang raja, haruslah lelaki."
Memang benar seperti itu. Siti juga mengalami sendiri bagaimana inginnya seorang suami memiliki anak lelaki. Gadis itu mungkin hanya merasa kurang familiar dengan poligami. Betapa seseorang ingin memiliki anak lelaki dengan cara menikahi banyak wanita. Sementara ini, yang umum dia ketahui adalah seorang lelaki yang membuat istrinya hamil beberapa kali. Yah, orang sekaya Tuan Khalid, mungkin tidak ingin istrinya hamil berkali-kali agar mereka tetap terlihat cantik dan awet muda.
Begitulah pikir Siti, karena dia tidak mengerti permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh Tuan Khalid. Sekalipun Ahmed sudah berusaha menjelaskan secara tersirat. Perbedaan budaya di Almaas, memang merupakan hal baru yang hanya pernah dia dengar lewat artikel media massa, baik cetak maupun elektronik. Untuk menghayati budaya baru tersebut, butuh proses dan waktu yang tidak singkat.
Siti tersenyum-senyum sendiri mendapati dirinya memusingkan rumah tangga orang lain. Hal ini tentu sangat membingungkan untuk dia yang baru berusia delapan belas tahun. Selama ini Siti hanya pernah menginginkan sebuah pernikahan yang didasari rasa cinta. Sehingga baginya, pernikahan yang didasari atas keinginan untuk mendapatkan keturunan semata, adalah terlalu berlebihan.
Yah, setidaknya tuannya bukanlah seorang pria playboy yang bertujuan mengoleksi banyak wanita untuk melampiaskan hasratnya saja.
"Oh, ya. Mengapa Nona Sophia bilang kalau Tuan Khalid bukan temannya?" tanya Siti kemudian. Dari pernyataan Nona Sophia, sepertinya Tuan Khalid tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup untuk putrinya. Siti pikir, menanyakan hal seperti ini bila hanya berdua dengan Ahmed, pastinya tak akan bermasalah.
"Tentu saja. Tuan Khalid, 'kan, ayah Nona Sophia? Bukan temannya." Ahmed menjawab pertanyaan serius itu dengan candaan sambil tertawa lebar. Mau tak mau, Siti yang dari tadi bersikap serius, ikut tertawa lepas. Ahmed sampai merasa seperti mendapatkan hadiah perpisahan yang berharga.
Tawa Siti yang renyah, sayup-sayup terdengar hingga ke dalam mansion hingga menarik beberapa pasang mata untuk mengintip dari jendela. Ada yang dengki, ada yang sekadar penasaran, dan ada pula yang memandang dengan penuh harapan dan rasa sayang.
***
Catatan:
Baba: ayah.