Siti membuka kotak yang diberikan Madam Aisha. Ternyata di dalamnya berisi sekitar dua kilogram perhiasan emas beserta sertifikatnya. Siti tidak tampak terkejut. Namun, dia menanyakan apa maksud sang nyonya memberikan itu padanya. Karena sejujurnya, saat ini Siti merasa ada sesuatu yang terjadi di baliknya. Bukan sekadar hadiah biasa.
"Maaf, saya tidak mengerti mengapa Madam memberikan ini kepada saya," tolak Siti halus sambil menyodorkan kembali kotak tersebut ke Madam Aisha.
Entah mengapa, tersinggung adalah hal pertama yang dia rasakan. Dia teringat saat pertemuan pertamanya dengan Tuan Khalid, yang menanyakan berapa uang yang harus dibayar untuk membuatnya pergi dari kamar hotel. Sudah dua kali ini dia diperlakukan seperti itu, padahal selama ini dia merasa tidak pernah melakukan hal yang serupa pada orang lain. Ironisnya, pelakunya adalah suami isteri.
Sebenarnya Siti memaklumi hal ini. Sangat manusiawi bila seseorang menggunakan apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat dan damai. Yang memiliki banyak uang, akan memakai uangnya untuk memuluskan jalannya urusan. Yang memiliki kekuatan fisik, akan memakai kekuatannya untuk mengancam atau membuat jera sehingga urusannya akan berjalan tanpa hambatan. Namun, pendidikan yang diterima Siti dari keluarganya bukanlah hal yang seperti itu. Kedepankan musyawarah dalam menyelesaikan segala urusan.
Uang dan kekerasan, hanya akan menyelesaikan permasalahan satu waktu saja. Tidak akan merubah pola pikir dalam suatu sistem. Tidak ada kesimpulan baik yang dapat diambil dan ditanamkan pada orang lain. Juga, tidak akan ada seorang bermartabat pun yang akan menyebut cara itu dengan gamblang kepada orang lain. Mereka pasti akan berbisik-bisik, karena tahu tindakannya kurang terpuji.
Siti pun menghela nafas panjang. Kini dia mengerti bahwa tidak semua orang mendapatkan pendidikan seperti yang dia dapat dari keluarganya. Tak peduli seberapa terpandang keluarga itu.
Begitulah Siti yang masih sangat muda dengan pemikiran naifnya. Dia hanya harus belajar untuk maklum dan lebih bijak lagi menyikapi orang-orang di sekitarnya.
"Jika Madam ingin saya tinggal lebih lama disini dengan memberikan perhiasan ini kepada saya, saya tidak bisa. Bagaimanapun juga, semua hal mengenai pekerjaan saya sudah diatur sesuai dengan perjanjian."
Siti menjawab dengan lugas. Matanya menampakkan kebulatan tekad yang tak bisa digoyahkan. Membuat Madam Aisha yang ingin memberikan hadiah kepada Siti, merasa menjadi seorang yang jahat. Tidak mengerti mengapa Siti menolak hadiah ini mentah-mentah. Apakah jumlahnya terlalu besar?
Madam Aisha tahu bahwa Siti bukanlah seorang gadis biasa yang datang ke negeri asing untuk menjadi pelayan. Dia bukanlah sekedar tenaga kerja asing yang ingin mengumpulkan uang untuk dibawa pulang ke tanah airnya. Namun, Madam Aisha tidak tahu harus bagaimana lagi menunjukkan rasa terima kasihnya.
Kemudian, Madam Aisha menawarkan sebuah gelang emas, berharap Siti akan menerima bila hanya hadiah kecil. Akan tetapi, harapannya meleset. Lagi-lagi Siti menolak hadiah itu walaupun kecil.
"Saya berterimakasih sekali. Saya tahu maksud Nyonya baik. Namun, saya datang kesini tanpa perhiasan apa pun. Kebetulan, semua pelayan lain tahu akan hal itu. Saya tidak ingin menimbulkan rasa iri atau salah paham bagi pelayan lain."
Tidak ingin menyinggung perasaan Madam Aisha lebih jauh lagi, Siti melanjutkan. "Tenanglah, Nyonya. Saya akan tetap berada di sini sampai Tuan Khalid sendiri yang mengusir saya."
Kemudian Madam Aisha memeluk Siti sambil berderai air mata. "Terimakasih, Siti. Terimakasih ...."
Siti membalas pelukan Madam Aisha ragu-ragu. Dia merasa kejadian saat ini sebuah deja vu. Familiar sekali .... Namun, sekeras apa pun dia berusaha mengingat kilasan kejadian itu, masih saja tidak berhasil.
Hmm ... bila Madam Aisha tahu, apa yang sebenarnya terjadi sampai Siti berakhir di tempat ini, apakah beliau masih akan berterimakasih pada Siti?
Berikutnya, Siti dan Madam Aisha sibuk mendiskusikan jadwal kerjanya sebelum bayinya lahir. Tak banyak yang akan dipersiapkan Siti selain belajar mengasuh bayi. Oleh karena itu, latihan bersama Mrs. Sheldon di pusat penitipan anak, akan segera dimulai pekan depan.
***
Di dalam kamarnya, Nona Sophia sedang menonton film kartun favoritnya: Ballerina. Sungguh khidmat dia menonton. Bahkan dia tak mengizinkan Mi menemaninya. Saat sedang asyik-asyiknya menyaksikan adegan terbang Fèlicie dan Camille yang terpana karena kalah telak, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Lalu, dengan marah dia membuka pintu kamarnya.
"Mi, aku bilang, aku sed—," bentaknya terhenti ketika ternyata bukan pengasuhnya yang mengetuk pintu, melainkan Siti. "Mau apa kamu kesini?"
"Saya ingin meminta maaf atas kejadian kemarin," kata Siti sambil tersenyum. Berusaha mengambil hati nona kecil yang berdiri arogan di depannya. Dia memutuskan untuk menemui dan meminta maaf kepada Nona Sophia setelah pertemuannya dengan Madam Aisha tadi.
Bagaimanapun juga, setelah pembicaraan dengan Madam Aisha, Siti menyadari kesalahannya. Bukankah sebelum mendidik anak-anak, dia harus merebut hatinya dulu? Bagaimana mungkin dia akan membuat Nona Sophia menyayangi sang adik, bila dia sendiri dimusuhi?
Siti kemudian duduk berjongkok agar pandangan matanya sejajar dengan mata Nona Sophia. Face to face. Dia bertekad akan mengerahkan segala kemampuannya untuk merayu Nona Sophia.
"Bukankah sudah kubilang kalau kamu ini bukan temanku?" gerutu Sophia sambil mengerucutkan bibirnya. Tangan kecilnya ditautkan di bawah d**a.
Walaupun terlihat marah, sebagaimana anak kecil yang lain, sesungguhnya dia senang karena ternyata Siti tetap berusaha mendekatinya. Nona Sophia senang karena Siti tidak bersikap 'Ya sudah kalau kamu tidak suka padaku'. Sesungguhnya hal inilah yang memang ditunggu-tunggu Nona Sophia dari orang-orang di sekitarnya. Ini berarti, usahanya untuk mencari perhatian telah berhasil.
Siti mengetahui hal ini, karena dia berusaha mengingat apa yang dia lakukan dimasa kecilnya. Setelah dikenang baik-baik, ternyata perangai Siti kecil tidak jauh lebih baik dari Nona Sophia. Manja, sering merajuk, dan tukang bikin onar. Semua itu dilakukannya untuk mencari perhatian ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan hal yang tidak dia mengerti.
"Nona sedang menonton film Ballerina?" tanya Siti untuk mengalihkan pembicaraan. Trik yang sangat manjur untuk menghadapi anak kecil yang merajuk adalah dengan membahas hal-hal favoritnya.
"Kau tahu film ini?" tanya Nona Sophia dengan takjub. Matanya berbinar-binar seakan menemukan mata air di gurun Sahara.
"Ya, aku suka sekali film itu," jawab Siti, sedikit memanipulasi ekspresi wajahnya. "Apa Nona Sophia juga menyukainya?"
Kenyataannya, Siti hanya sekali dua kali menonton. Salah satunya di pesawat, saat dalam perjalanan ke Caviya. Namun, demi menyenangkan Nona Sophia, kali ini dia sedikit mendramatisir rasa sukanya ke film dengan tokoh utama gadis kecil yatim-piatu yang bernama Fèlicie. Bahasa lainnya, Siti sedang berpura-pura sangat menyukai film Ballerina.
"Apa kamu suka menari juga?" tanya Nona Sophia lagi. Saat ini hilang sudah rasa jengkelnya tadi. Sepenuhnya.
"Hmm ... dulu aku menari. Tapi sudah lama tidak pernah berlatih lagi," jawab Siti sambil mengingat-ingat berapa lama dia tidak menari.
Terakhir menari sekitar empat bulan lalu. Itu pun hanya menari sendirian. Tidak bersama teman atau guru. Siti tidak terlalu yakin bisa melakukan gerakan dengan baik. Namun, siapa pula yang mempedulikan itu? Ini hanya untuk bersenang-senang saja. Bukan lomba.
"Namun, aku tentu masih bisa menari," tambah Siti dengan antusiasme tinggi.
"Benarkah? Kalau begitu menarilah denganku. Kita tiru adegan Fèlicie dan Camille. Aku jadi Fèlicie dan kau jadi Camille," ajak Nona Sophia penuh semangat sambil menggenggam kedua tangan Siti kemudian menariknya masuk ke dalam kamarnya lebih jauh lagi.
Di dunia ini, anak seperti Sophia saja tetap menginginkan peran protagonis. Padahal, mungkin dia tampak lebih mirip dengan Camille. Tapi Siti hanya tertawa saja melihat kelakuan Nona Sophia. Menurut Siti, Sophia memilih karakter Fèlicie, menunjukkan bahwa hatinya memang masih murni. Semua anak kecil seperti itu, tentu.
Tak lama setelahnya, mereka mulai menggeser barang-barang di kamar agar tercipta ruang gerak yang cukup luas untuk menari.
"Mengapa kita tidak menari di studio saja?" tanya Siti sambil menggeser meja yang berat.
"Di studio tidak ada home theater. Aku ingin kita menari sambil menonton!" jawab Nona Sophia yang hanya bisa menggeser benda-benda yang kecil. Lebih tepatnya, Siti yang menggeser semua barang-barang berat itu ke pinggir. Anggap saja pemanasan sebelum menari.
Setelah ruangan siap, keduanya melakukan sedikit pemanasan sendiri-sendiri. Nona Sophia ingin mengganti bajunya dengan kostum latihan, tetapi tidak jadi, mengingat Siti tidak punya. Lagipula, mereka tidak akan lama menari.
Selanjutnya, Siti mengencangkan ikat rambutnya, membentuk cepol kecil di tengkuknya, agar tidak menggangu. Dia lalu membantu mengikat rambut Nona Sophia yang cantik, yang sewarna dengan rambut ibunya.
"Kamu hafal gerakannya, 'kan?" tanya Nona Sophia bersemangat. Dia sudah melupakan semua yang terjadi sebelumnya antara dia dan Siti. Benarlah apa kata orang, anak-anak adalah makhluk paling pemaaf yang akan dengan mudah melupakan pertikaian, sesengit apa pun itu.
"Entahlah, akan aku coba," kata Siti yang tak kalah semangat. Sudah lama dia tidak menari. Namun, dia tetap percaya diri saat ini. Tentu karena tidak ada juri atau penonton yang akan menilai penampilan mereka. "Apa Nona ingin aku menirukan Camille yang menjambak rambut Fèlicie dan mendorongnya sampai jatuh juga?" tanya Siti sambil tersenyum nakal menggoda sang Nona kecil.
"Laa. Laa. Laa. Tentu saja tidak Siti!!! Lakukan semuanya kecuali itu," protes Nona Sophia sedikit marah sekaligus takut kalau Siti akan benar-benar melakukannya.
Nona Sophia memutar kembali adegan yang dia ingin dia praktikkan bersama Siti. Dia sudah lama menantikan saat ini. Saat memiliki teman untuk menari. Sudah sebulan lebih dia berlatih sendiri tanpa guru. Miss Anderson, gurunya yang mengajarinya menari sejak usia dua tahun, telah kembali ke US.
Siti dan Sophia berjalan berjinjit, berputar dan meliuk-liukkan badan begitu gemulai. Gerakan mereka cepat, sebisa mungkin ingin meniru di film, walau tentunya tak sama persis.
Tubuh langsing mereka mengayun begitu indah seperti sepasang induk dan anak angsa yang anggun. Mereka berlari, melompat dan berputar nyaris beriringan seperti sudah berlatih sebelumnya. Ketidakhadiran kostum balet dan toe shoes pada penampilan mereka, tidak mengurangi keindahan pertunjukan saat ini.
Menari bersama Nona Sophia membuat emosi Siti yang tertahan terlepas begitu bebas, merasa kembali ke masa kecilnya yang indah, tiada beban apa pun di pikirannya ... dan sampailah keduanya di adegan terbang walaupun tidak sedramatis di film.
Kedua penari amatir itu menghentakkan kaki, untuk bertumpu, kemudian melompat sekuat tenaga, merentangkan tangan ke samping kiri dan kanan. Meluruskan kaki ke depan dan belakang agar lebih lama berada di udara. Melayang. Membentuk lintasan parabolik yang sempurna, dan tentu saja—berbeda jarak tempuhnya.
Sophia mendaratkan ujung kaki kanannya terlebih dulu ke lantai. Gadis kecil itu menatap kesal ke arah Siti yang tampak menang, berlawanan dengan jalan cerita di film. Dengan berkacak pinggang, dia mendekati Siti yang masih terengah karena berusaha mendarat dengan mulus. Salah sedikit, kakinya bisa terkilir.
"Siti, harusnya kamu tak ikut melompat di gerakan terakhir!!!" protes Nona Sophia. "Lihat, lompatanmu lebih jauh dariku!"
"Oh, ya? Maaf aku benar-benar lupa. Mungkin kita harus menontonnya sekali lagi," balas Siti membela diri sambil tertawa. "Sejujurnya aku tadi hanya mengikuti gerakan Nona karena aku lupa adegan di filmnya."
"...."
"Bila Nona sudah besar nanti, pasti juga bisa melompat dengan lebih tinggi dan lebih jauh." Siti menjelaskan sambil berusaha mengambil hati sang Nona lagi. Dengan gemas, kedua telapak tangannya menangkup wajah Nona Sophia yang masih cemberut.
Tak lama, hati sang Nona pun luluh dengan sikap Siti yang akrab dan penuh kasih sayang seperti seorang kakak.
"Okay. Ayo kita tonton lagi. Kamu ingat baik-baik, ya! Jangan salah seperti tadi ...."
Siti tertawa, yang disambut juga dengan tawa Nona Sophia. Mereka berdua tertawa selama beberapa saat, tampak sangat riang. Tersirat kepuasan tiada tara di wajah mereka.
Tiba-tiba ....
"Ehehm—eheehm."
Suara deheman keras seorang lelaki menghentikan tawa mereka seketika. Ketika Siti dan Sophia mencari sumber suara tersebut, alangkah terkejutnya mereka mendapati seorang pria yang berdiri di dekat pintu.
"Baba?" ("Sir?") seru Sophia dan Siti terperanjat.
___________________________________
Catatan:
Laa : tidak.