Misora POV
“Fanette! Fanette, tunggu dulu!” panggilku berulang-ulang. Mengejar Fanette yang berjalan lebih cepat dari biasanya. Dia terlihat agak marah, kesal untuk sesuatu yang tak jelas. Fanette biasanya tak pernah marah, dia selalu tersenyum kapan pun aku melihatnya.
“Kamu kenapa? Ini hari bahagiamu, kenapa malah mau pulang cepat-cepat?” tanyaku. Begitu memasuki mobil Fanette. Ia telah lebih dulu masuk ke dalam, duduk di sisi kanan. Sedangkan aku duduk di sampingnya, dan seorang supir di kursi depan.
“Aku hanya lelah dan ingin segera pulang,” jawab Fanette. Kali ini dia tersenyum ramah seperti biasanya, memberi rasa lega padaku.
“Oh, kalau begitu ya sudah. Aku kira kamu tidak senang dengan pertunanganmu.” Fanette lalu diam setelah itu. Dia melihat ke arah jendela dengan ekspresi wajah yang sulit untuk kupahami. Sepertinya memang Fanette tidak bahagia, bertunangan dengan orang yang baru sekali dia temui. Kadang aku merasa kalau dia menyembunyikan sesuatu dari ku, atau memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja saat merasa sedih.
Aku bukannya tak paham, tapi aku hanya tidak bisa berbuat apa pun untuk menolongnya. Aku hanya seorang gadis biasa, tak akan bisa berbuat apa pun untuk mengubah keputusan Paman Daran, ayah Fanette. Fanette berbeda denganku, dia seorang nona besar dari keluarga terpandang. Mereka punya pemikiran dan cara hidup yang berbeda. Hanya karena mereka menerimaku dan membiarkan aku untuk tumbuh bersama dengan Fanette, bukan berarti aku punya hak untuk mencampuri urusan keluarga mereka.
“Misora, jangan dekat-dekat dengan laki-laki itu,” ucap Fanette tiba-tiba.
Aku diam, bingung laki-laki mana yang dimaksud oleh Fanette. Dari pagi hari, aku sudah dikenalkan pada beberapa orang laki-laki yang bahkan sudah tak kuingat wajah dan namanya lagi.
“Yang mana?” tanyaku. Menyerah untuk mengingat, bertanya akan lebih mudah untukku dan Fanette tak akan kesal meskipun aku bertanya berulang-ulang, dia selalu sabar saat berbicara padaku, seperti seorang kakak yang baik hati.
“Noir Amber, dia bukanlah laki-laki yang baik.” Fanette menegaskan.
Aku terdiam lagi. Teringat pada laki-laki terakhir yang kutemui di rumah tunangan Fanette. Dia punya wajah yang tampan dan manis, terlihat baik dan mengemaskan. Aku tidak mengerti kenapa Fanette berkata kalau dia tak baik. “Kenapa? Kelihatannya Noir baik kok, sikapnya sopan sekali,” balasku. Meragukan perkataan Fanette, merasa kalau dia hanya terlalu curiga saja.
“Jangan karena kamu benci sama laki-laki, semuanya kamu pukul rata. Begitu-begitu juga dia akan jadi adik iparmu nanti,” sambungku.
“Noir tak baik, Misora. Aku sudah sekelas dengannya selama enam belas tahun bersekolah. Dia punya banyak sekali mantan pacar, berganti wanita seperti berganti pakaian. Dalam satu bulan, dia bisa memacari dua atau tiga wanita sekaligus dan bulan berikutnya mengganti semuanya.” Fanette tiba-tiba jadi serius, menatapku dengan tegas. Memberi tahu padaku seperti apa sosok Noir yang belum kukenal baik.
“Dia tidak terlihat begitu, caranya berbicara terasa tulus.” Aku tahu niat Fanette baik, tapi aku masih ingin memberi kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh.
“Tulus, b******n itu? Jangan bercanda.” Fanette mencibir setelahnya, membuatku kaget dengan perubahan sikapnya. Terkadang, Fanette bisa tiba-tiba jadi dingin dan kasar. Terutama pada saat kami membicarakan seorang laki-laki. Rasa bencinya itu membuatnya terkadang seperti orang lain, tapi aku tidak bisa menyalahkannya. Fanette punya alasannya sendiri dan dia sudah mencoba dengan keras untuk bisa menghapus rasa benci itu.
“Fanette,” panggilku pelan. Menatapnya memelas, memohon agar dia kembali seperti biasanya. Meskipun aku sudah biasa melihatnya, tapi aku masih merasa takut saat melihat ekspresi wajahnya yang keras.
“Maaf, aku hanya tidak kamu disakiti.” Fanette kembali, dia membelai kepalaku penuh sayang. Membuatku lega seketika. “Carilah laki-laki yang memperhatikan, mendengarkan dan memahamimu, Misora. Bukan laki-laki yang memuji wajah dan tubuhmu. Cinta dari ketertarikan fisik hanya ilusi semata. Mereka mungkin mencintaimu saat kau masih muda dan cantik, tapi saat kecantikan itu pudar. Mereka akan membuangmu demi wanita yang lebih muda, jadilah wanita cerdas adikku.” Kata-kata itu terdengar sedih, penuh akan perasaan mendalam. Itu adalah cerminan hati Fanette, keinginan yang tak pernah bisa ia raih.
Fanette tak punya hak untuk memilih, dia tak punya kesempatan untuk mencari laki-laki yang mencintai dan dicintainya. Sejak lahir, keberadaannya hanya sebagai pajangan dan sekarang malah digunakan sebagai jaminan untuk mengait kerja sama. Maka dari itu, Fanette selalu mendambakan kebebasan. Jika dia tak bisa memiliki kebebasan yang dia idamkan, tak bisa mendapatkan sebuah kebahagiaan. Maka setidaknya, Fanette ingin aku memilikinya. Dia selalu baik, selalu menolongku, mengajariku dengan sabar dan mengingatkanku ketika aku berbuat bodoh. Apalagi yang aku ragukan? Bukan perkataan manis seorang laki-laki asing yang harus kudengar, melainkan kata-kata sahabat yang selalu ada untukku.
“Aku tahu, aku akan jauh-jauh dari Noir.” Aku tidak bisa menahan air mataku. Senyuman Fanette membuat hatiku sesak, sentuhan jadi jemarinya terasa begitu menghangatkan.
“Gadis baik, jangan menangis. Aku tidak sedang memarahimu.” Aku tahu Fanette tidak marah, dia hanya mengingatkanku agar tak tertipu.
“Habisnya,” kamu tersenyum pada saat merasa sakit. Makanya aku yang akan menggantikanmu menangis.
“Habisnya apa?” Fanette bertanya, mengeluarkan sapu tangannya untuk mengusap mataku. Dia mulai memperlakukan aku seperti anak kecil lagi, padahal umur kami hanya beda satu tahun.
“Enggak apa-apa.” Aku menggeleng dengan keras, tak berani mengatakan apa yang ada di dalam kepalaku. Aku tidak ingin melihat wajah sedih Fanette lagi.
“Ya sudah. Kita sudah sampai, ayo turun.” Aku bahkan tak sadar kalau mobil sudah berhenti di depan rumah Fanette dan supirnya sudah membukakan pintu untukku. Buru-buru aku turun, berdiri agak jauh menunggu Fanette turun.
Lalu kami pergi ke kamar Fanette, membersihkan riasan dan mengobrol tentang hal-hal yang menyenangkan. Melupakan hal-hal buruk yang terjadi hari ini. Aku janji, tak akan membiarkan diriku ditipu oleh laki-laki dan membuat Fanette lebih khawatir lagi. Aku akan mencari laki-laki yang baik, laki-laki yang mencintaiku apa adanya. Hidup dengan bahagia sebagai ganti Fanette.
***
Hari Minggu, aku bertemu lagi dengan Noir. Dia datang ke pertunjukanku. Masuk ke ruang ganti membawakan sebuket bunga mawar ketika pertunjukan usai. Aku sempat lupa sudah mengundangnya untuk datang. Aku harap dia tak menanggapi undanganku dengan serius, tapi dia sungguh datang.
“Kenapa murung? Tidak suka dengan bunganya?” tanya Noir.
Benar juga, kami berpisah baik-baik waktu. Kalau tiba-tiba saja aku memperlakukannya dengan buruk, dia pasti akan merasa bingung dan tersinggung. Aku tidak mungkin bilang kalau Fanette menyuruhku menjauhinya, itu hanya akan membuat Fanette terlihat buruk di mata keluarga yang akan menjadi keluarganya kelak.
“Enggak apa-apa,” jawabku singkat. Mencoba tetap menjaga sikap, setidaknya berbasa-basi sedikit tak akan terlihat seperti memberi harapan.
Noir menarik kursi rias kosong yang berada di sampingku, dia duduk di sana menghadap padaku. Tersenyum manis dengan sikap yang baik. “Baguslah kalau begitu, jadi aku bisa mengajakmu makan denganku.” Dia bahkan mengundangku untuk makan malam, membuatku semakin bingung memikirkan alasan untuk menolaknya.
Aku baru saja akan berkata kalau ingin pergi makan dengan anggota teater lain sebagai perayaan pertunjukan perdana kami, tapi pemimpin kami, Tuan Daniel telah lebih dulu sok ikut campur. Dia berdiri di belakangku, tertawa usil menggoda. “Bawa saja, Misora bebas hari ini. Demi kalian, aku akan mengganti hari perayaan menjadi besok.” Pertolongan yang tidak perlu, sekarang aku benar-benar kehilangan alasan untuk menolak.
“Dengar itu, Misora? Kau bisa pergi.” Noir sudah memutuskan, memutuskan untukku tanpa menunggu jawaban pribadi dari ku. Laki-laki dari kalangan atas memang begitu, mereka selalu memutuskan sendiri tanpa mau mendengarkan lebih dulu. Itulah kenapa Fanette membenci mereka dan tak ingin aku berhubungan dengan mereka. Karena dia merasa kalau aku hanya akan diperlakukan semena-mena dan aku setuju dengan pendapat Fanette.
Noir adalah satu dari sekian banyaknya laki-laki egois itu. Segala tindakan dan perkataannya selalu berpusat pada dirinya sendiri. Kepercayaan diri itu bagus, tapi bila terlalu berlebihan ... itu hanya akan membuatnya terlihat narsis.
“Cepatlah ganti pakaianmu, aku akan menunggu di luar.” Sekarang dia mulai memerintahku dengan alami dan aku sama sekali tak bisa melawannya. Karierku sebagai aktris mungkin akan hancur jika sampai aku menyinggungnya secara langsung. Aku hanya bisa bersabar, menunggunya bosan padaku.
“Baik,” jawabku. Bersikap sesopan yang ku bisa, setidaknya cukup untuk membuatnya tetap merasa dipuja.
Aku kemudian berganti pakaian, keluar menemui Noir yang sudah menunggu di dalam mobil. Supirnya segera membukakan pintu untukku ketika aku mendekat, membiarkan aku duduk di samping tuan mudanya.
“Maaf lama,” ucapku basa-basi.
“Tidak apa-apa, aku selalu bisa menunggu selama apa pun demi wanita secantikmu.” Noir menggombal, memuji wajahku. Seperti kata Fanette, laki-laki yang buruk hanya akan fokus pada penampilanku saja.
“Jadi kita akan makan di mana?” Aku tidak mau mendengar lebih jauh tentang pujian omong kosong itu, maka dari itu aku segera mengalihkan pembicaraan. Berharap kami segera sampai, menyelesaikan makan malam dan pulang ke rumah.
“Tunggu saja, kamu akan tahu saat kita sampai.” Noir main rahasia-rahasiaan. Tak mau mengatakan tujuan kami, tapi terus saja mengatakan betapa luar biasanya makanan yang mereka punya. Memuji kualitas wine yang mereka punya. Hingga kami tiba di tujuan, sebuah restoran bintang tiga yang megah, membuatku minder hanya dengan melihatnya saja.
“Kita akan makan di sini?” tanyaku dengan cemas, khawatir apakah aku berpenampilan cukup pantas atau tidak untuk masuk ke dalam.
“Tentu saja, aku hanya membawa seorang wanita luar biasa seperti mu ke tempat yang terbaik.” Noir masih saja tak peka, dia malah bertingkah seolah aku kesenangan dibawa kemari. Dengan percaya diri keluar lebih dulu, membukakan pintu untukku dan menyodorkan tangannya padaku agar aku menggandengnya.
“Tapi apa tak apa-apa? Penampilanku seperti ini?” Aku hanya pakai gaun biasa yang polos, dengan perhiasan kecil yang nyaris tak tampak. Sedangkan tamu-tamu lainnya memakai pakaian bermerek, perhiasan yang besar dan berkilauan. Aku merasa seperti salah tempat, merasa tak tahu diri berani datang ke tempat ini.
“Apa yang kau cemaskan, Misora. Kecantikanmu sudah cukup untuk membuat semua yang kau pakai tampak bagus.” Lagi-lagi perkataan seperti itu, pujian yang terasa seperti sebuah penghinaan padaku. Begitu juga dengan tindakannya yang tak sabaran, menarik tanganku agar keluar dari mobil saat aku bersikukuh untuk tinggal.
Aku tidak merasa senang, sikapnya benar-benar terlalu memaksa dan perkataannya terdengar menyebalkan. Aku tidak percaya, kalau ia orang yang sama dengan yang berbicara denganku di hari pertunangan Fanette.