BAGIAN 1
Noir POV
Aku selalu mendapatkan apa yang kumau, tak ada satu pun orang yang bisa menghalangiku. Semua itu kudapat dengan mudah sejak lahir, berkah terlahir di keluarga terpandang. Aku punya wajah yang tampan, status tinggi, pendidikan yang baik, posisi yang bagus dan harta melimpah.
Siapa yang tak menginginkan suami seperti ku? Gadis-gadis mengelilingiku seperti semut yang tertarik pada manisnya gula, tapi tak peduli sebanyak apa pun yang kudapat dan secantik apa mereka. Aku selalu cepat merasa bosan. Wanita sama seperti anggur manis yang akan habis diminum, bunga indah yang akan layu begitu malam tiba.
Hingga aku melihatnya, sebuah kecantikan yang begitu memikat. Seorang wanita yang tampak begitu menawan berbalut cahaya keemasan di senja hari. Kemolekan yang makin bersinar bersama datangnya malam. Ditemani dengan indahnya nyanyian yang mengalun serasi dengan suaranya.
Mataku berfokus sepenuhnya padanya, lidahku keluh. Tak sanggup mengurai kata yang tepat untuk memujinya. Mata biru itu begitu cerah, dengan rambut pirang lurus yang halus. Gaun putih hingga ke mata kaki, bergerak mengikuti gerakan tarian kakinya. Aku tidak pernah menyaksikan pertunjukan seindah itu sebelumnya. Tidak pernah melihat seorang wanita yang begitu menggairahkan ketika ia bernyanyi sambil menari di atas panggung.
Buru-buru aku mencari kepala pelayan, bertanya siapa gadis itu. Hari ini adalah hari pertunangan Kenan, saudara laki-lakiku dan orang yang menyiapkan segalanya adalah kepala pelayan keluarga kami, Ignatz.
“Ignatz, siapa wanita yang sedang menyanyi itu?” tanyaku langsung.
“Saya tidak tahu, Tuan Muda. Nona itu bukan bagian dari pertunjukan, mungkin seorang tamu yang menghadiahkan sebuah lagu. Apa Anda ingin saya mengecek dari daftar undangan?”
“Tak perlu.” Tak ada gunanya, kalau memang dia tamu keluarga kami. Aku pasti sudah mengenalinya. Gadis itu mungkin datang sebagai pendamping seseorang, atau teman dari pihak keluarga Fanette Ester, wanita yang bertunangan dengan Kenan hari ini. Sekaligus, teman satu sekolahku dulu.
Kuputuskan untuk mencari Fanette, menariknya saat dia sedang mengobrol dengan beberapa wanita. Fanette tak banyak menunjukkan perasaannya, dia selalu terlihat tenang setiap saat. Tersenyum manis memamerkan kecantikannya, seorang wanita membosankan yang cocok dengan orang kaku seperti Kenan. Kami selalu satu kelas dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tapi meskipun begitu. Kami tidak pernah dekat dan aku tidak pernah berani menjadikannya salah satu pacarku.
Itu karena anggota keluarga Ester tak boleh dipermainkan. Jika menginginkan anak perempuan dari keluarga itu, maka kau harus langsung melamarnya. Seperti yang dilakukan oleh Kenan, begitu bertemu langsung melamarnya. Tak peduli jika dia tak suka atau tidak kepada Fanette. Selama menikahi perempuan ini bisa membuatnya mendapatkan dukungan politik, itu sudah cukup.
Ester adalah penguasa yang paling disegani, mereka mengendalikan orang-orang dengan karisma dan kemampuan berbicara. Menjaga nama baik, penampilan dan sikap adalah segalanya bagi mereka. Mengusik wanita dari keluarga itu sama saja dengan menghina Ester. Aku tidak sebodoh itu untuk melakukannya. Mereka tidak seperti keluargaku, keluarga Amber ke memaksa orang-orang untuk patuh pada kekuasaan kami. Namun, yang paling buruk tetaplah keluarga Ghea. Penguasa yang menggunakan kekuatan untuk memaksa orang-orang tunduk kepadanya. Sekumpulan orang-orang gila kekerasan yang tak pernah bisa sepemahaman dengan penguasa yang lain.
Aku berhenti menyeret Fanette ketika kami telah sampai di halaman belakang, tempat yang sepi jauh dari tempat pesta. Dia menatapku penuh tanya, mengusap pergelangan tangannya yang sedikit merah akibat cengkeraman tanganku.
“Ada apa?” tanya Fanette.
“Perempuan yang menyanyi tadi siapa?” tanyaku balik.
Fanette masih terlihat tenang, tapi entah kenapa suara terdengar sedikit tak senang saat menjawab, “Misora, temanku. Kenapa kamu ingin tahu?” tapi aku rasa itu hanya perasaanku saja. Tak ada alasan baginya untuk merasa tak senang. Harusnya dia malah senang, temannya bisa menarik perhatian laki-laki mapan seperti ku.
“Aku suka padanya. Kau harus membantuku, beri tahu hal-hal baik tentangku padanya. Jadi dia akan senang saat aku melamarnya.” Aku bahkan sudah berpikir untuk melamarnya, bukannya itu hal yang bagus? Sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah memikirkan hubungan ke depan dengan perempuan yang kupacari. Mereka akan kubuang saat aku bosan, tapi Misora berbeda. Sesuatu dalam diriku berkata kalau dia tak akan pernah membuatku bosan.
“Misora tidak berasal dari keluarga terpandang. Dia bahkan tidak bersekolah hingga ke perguruan tinggi. Keluargamu tak akan menerima wanita dari kalangan menengah sepertinya. Carilah wanita yang sederajat untuk kamu nikahi, Noir. Atau carilah wanita nakal untuk menemanimu bermain, jangan mendekati Misora.” Fanette sialan! Seenaknya saja memutuskan. Baru jadi tunangan kakakku saja sudah sok menggurui. Aku akan mendapatkan apa yang kumau, tak peduli apa pun caranya.
“Lalu kenapa? Wanita itu yang penting wajahnya. Harusnya malah keluarganya senang, anak mereka bisa mendapatkan laki-laki yang baik.”
“Laki-laki baik? b******n busuk seperti mu. Misora tak akan kubiarkan kaumiliki.” Sekilas, aku mendengar cibiran dengan suara pelan. Nyaris terdengar seperti bisikan. Maka dari itu, aku tidak yakin apa yang kudengar itu benar atau tidak saat Fanette tersenyum padaku. “Itu benar, tapi Misora masih seperti gadis kecil yang memimpikan seorang pangeran di buku dongeng. Aku takut sifat kekanak-kanakannya tak akan memuasakanmu, ehehe.” Kurasa aku hanya salah dengar, dia tertawa dengan manis membalas perkataanku. Itulah sosok Fanette yang kutahu.
“Tak apa-apa. Aku laki-laki yang pengertian pada wanita yang kusukai. Sosok pangeran dan tuan muda itu sama saja, Misora tak akan menolakku,” balasku penuh percaya diri.
Kalau dipikir-pikir, aku tidak terlalu butuh bantuan Fanette. Aku hanya perlu tahu di mana aku bisa menemukan Misora setelah pesta ini berakhir. Sisanya, pesonaku yang akan menjatuhkannya. Semua wanita itu sama saja, pada akhirnya mereka akan tergila-gila pada laki-laki yang bisa memberikan mereka kemewahan.
“Ah, jadi begitu.” Fanette tersenyum lagi, terlihat lega. Sepertinya dia sudah paham kalau aku adalah yang terbaik untuk masa depan temannya.
“Kalau begitu kenalkan kami!” pintaku memaksa.
“Baiklah, aku akan menemui Misora dan memintanya untuk kemari. Tunggulah di sini,” balas Fanette. Lalu dia pergi kembali ke aula, mencari Misora untuk dibawakan padaku. Memang itu yang seharusnya dia lakukan, membantu temannya menemukan kebahagiaan.
Namun setengah jam kemudian, Fanette kembali lagi dengan wajah menyesal. Dia mengatakan kalau ternyata Misora sudah pulang duluan ketika kami mengobrol tadi. Saat aku menanyakan alamatnya, Fanette malah seperti tak mendengarkan. Dia pergi meninggalkanku dengan Tergesa-gesa. Ternyata sejak awal dia memang tak ingin aku berkenalan dengan Misora. Wanita sialan itu, kalau saja dia bukan wanita pilihan Kenan, aku sudah membalasnya.
Aku meninggalkan taman itu dengan marah. Sudah tak ada niat untuk kembali berpesta. Aku lalu masuk ke dalam rumah, berjalan ke lantai dua menuju ke kamarku. Saat itu, aku melihat seorang pelayan baru saja keluar dari kamar rias yang disiapkan untuk Fanette. Pelayan itu membawa sebuah troli, seperti baru saja membawakan makanan untuk seseorang di dalam sana.
Fanette ada di tengah-tengah aula saat aku menaiki tangga, wanita itu juga tak membawa siapa pun saat datang kemari pagi tadi. Aku tahu, dia berbohong padaku. Misora tidak pulang, tapi dia sembunyikan di dalam ruang pribadinya. Berpikir kalau aku tidak akan tahu, bodoh sekali.
Dengan itu, aku pergi ke ruangan Fanette. Masuk tanpa mengetuk. Ketika aku membuka pintu itu, sekali lagi aku terpukau. Sosok yang sama berdiri di depan beranda, rambutnya terlihat menyala seperti batu Amber, merah keemasan. Bercampur sempurna dengan bias cahaya matahari yang baru saja terbenam. Bertiup dengan lembut oleh embusan angin, begitu luar biasa. Seolah keberadaannya memang diciptakan untukku.
Dia menatap kepadaku, tersenyum lebar dengan cantik. “Halo, apa kamu tersesat di sini?” tanyanya. Suaranya begitu merdu. Baik saat bernyanyi atau berbicara.
Aku begitu gugup ketika aku berjalan mendekatinya, tapi aku menyembunyikannya. Berpura-pura tenang mengambil tangannya untuk kukecup. “Tidak, aku Noir Amber. Putra tuan rumah. Bagaimana denganmu, Nona?” Aku memperkenalkan diriku, bertanya tentangnya seolah-olah pertemuan kami adalah sebuah kebetulan.
“Misora Xavier. Aku datang untuk menyelamati pertunangan sahabatku. Maaf, sudah seenaknya masuk kemari. Fanette bilang aku bisa menunggunya di sini.” Misora kembali tersenyum, sedikit tersipu saat berbicara denganku. Dia terlihat polos, menarik dengan caranya sendiri. Wajah cantik ala boneka, dengan mata besar dan bulu mata yang lentik. Kulit halus yang bercahaya dan harum tubuhnya begitu lembut. Seperti aroma bunga, menggoda untuk dimiliki.
“Kalau begitu ayo tunggu bersama.” Untuk awalnya aku akan bersikap baik, membuatnya terpesona padaku hingga Fanette tak bisa berkata apa pun lagi.
Misora juga terlihat senang denganku, kami berbicara banyak. Dia dengan sendirinya memberi tahu tempat tinggalnya, teater tempatnya bekerja dan bahkan mengundangku untuk datang menonton pertunjukannya akhir pekan nanti. Semua berjalan dengan lancar, seperti yang kuduga. Mendapatkan hati wanita itu semudah membalikkan telapak tangan.
Setidaknya itu mudah, hingga Fanette datang kemari dan mengacaukan segalanya. “Misora, ayo pulang. Aku sudah lelah dan ini sudah gelap,” katanya. Datang tiba-tiba dan langsung menarik tangan Misora mengikutinya. Fanette bahkan tak ada niat untuk basa-basi denganku lagi, tahu kalau itu tidak ada gunanya setelah kebohongannya terbongkar.
“Jangan buru-buru, Fanette. Aku ambil tasku dulu,” balas Misora. Dengan kikuk dia melepaskan diri, berjalan kembali ke meja beranda tempatku berada untuk mengambil tasnya yang diletakkan di atas meja. Saat itu, Fanette mengikutinya. Dia sengaja berdiri di antara aku dan Misora untuk memberi batas.
“Aku bisa mengantarkannya pulang nanti, kau bisa pulang duluan,” ujarku menantang.
Fanette melotot padaku, sekilas terasa mengancam. Namun, perasaan buruk yang kurasakan segera lenyap ketika Misora memeluk lengan Fanette. Ia menghadap padaku, tersenyum dan menolak dengan sopan. “Tidak usah repot-repot, Noir. Aku akan pulang dengan Fanette, aku sudah berjanji akan menginap di rumahnya hari ini.” Kurasa aku hanya salah lihat. Tidak mungkin perempuan lemah itu berani menantangku.
“Baiklah, kalau begitu sampai jumpa hari Minggu,” balasku pada Misora. Sama sekali tak memedulikan keberadaan Fanette. Kami asyik saling melambaikan tangan saat Fanette menarik Misora mengikutinya. Langkah kakinya yang cepat itu terlihat begitu kesal, membuatku merasa terhibur. Senang berhasil membalas perbuatannya padaku tadi.