23

1502 Kata
Sudah lebih seminggu Hayato berlatih pedang menggunakan kayu yang di berikan Shatoru. Dan sejak saat itu ia hanya berlatih mengayunkannya keatas dan kebawah, tidak ada gerakan lain. Shatoru bilang jika ia lulus gerakan ini, maka ia akan mendapatkan latihan yang lain. Tapi, nyatanya sampai lebih dari satu minggu tak ada perubahan. Setiap pagi ia menggerakkan pedang itu terus, sambil menjaga kuda-kuda agar tetap kuat, kadang hingga terik panas matahari menyengat kepalanya. Musim panas masih menimbulkan kesan menakutkan. Kadang hampir tengah hari saja sudah begitu panas. Hayato cukup menghela napas, setiap ia latihan Shatoru selalu saja keluyuran entah kemana. Katanya keliling des dan saat kembali ia selalu membawa makanan. Kadang Hayato berpikir ia seperti di bohongi dan di permainkan oleh Shatoru. Ia seperti melakukan pekerjaan yang sia-sia. "Aku lelah, Paman!" teriak Hayato pada Shatoru sambil melemparkan pedang kayu itu keatas rumput. Shatoru yang menikmati tehnya merespon hal itu dan mulai bangkit dari sana. "Apa maksudmu lelah?" tanya Shatoru begitu ia melihat pedang kayu yang di lemparkan Hayato tadi. "Satu minggu lebih aku hanya mengayunkan pedang keatas dan kebawah, tak ada yang lain. Aku mulai dari pagi ke sore, begitu saja." Hayato berkata pelan sambil berjongkok dan memainkan rumput. Meskipun melakukan hal itu ia tak berani menatap wajah Shatoru. "Lalu kau mau apa?" Shatoru bertanya lagi dengan nada santai. "Aku ingin gerakan lain, jurus atau yang lainnya. Seperti seorang berpedang sungguhan. Bukan bohongan." Hayato cemberut memunggungi Shatoru. "Kau mau gerakan lain?" Hayato mengangguk perlahan. "Kalau begitu temani aku dulu mencari kayu bakar." Setelah mengatakan hal itu Shatoru menarik bagian baju belakang Hayato. Hayato tertarik dengan sangat mudahnya, setelah itu Shatoru menaruh Hayato di belakang rumah. "Ambil keranjang punggung itu, dan cari kayu bakar di hutan. Sebentar lagi musim dingin, kita butuh banyak untuk menghangatkan diri," sambung Shatoru. Hayato masih diam tanpa suara, tapi ia mulai mengambil keranjang punggung itu dan menyeretnya dengan tangan kanan. Jalannya pelan sekali, bersungut seolah tak ingin melakukan pekerjaan melelahkan itu. Sementara itu Shatoru hanya bisa tersenyum di balik topengnya. Hayato sama seperti dirinya saat latihan dulu. Ia tak ingin berapa tahun lalu, tapi kejadian itu terus membekas dalam pikirannya. Saat itu ia tengah tidur dengan nyaman seperti biasanya, di rumah besar dengan penjagaan ketat di luar pintu. Tanpa ia sadari suara hentakan sepatu kulit menggema di seluruh lorong menuju kamarnya. Kemudian pemilik sepatu itu mendobrak pintu dengan kencang, hingga menimbulkan suara nyaring. Shatoru terbangun langsung dari tidurnya karena terkaget. "Kau sudah bangun?" tanya Riyoichi memastikan. Padahal ia tahu bahwa Shatoru sudah terjaga karena suara nyaringnya. "Paman, bagaimana bisa kau bertanya begitu, padahal yang menbuatku bangun adalah suaramu," gerutu Shatoru masih di balik selimut yang menutupi setengah kakinya. "Paman? Apa kau lupa, Ayahmu sudah menyuruhku menjadi pelatihmu, sekarang panggil aku dengan sebutan guru," ujar Riyoichi. "Baiklah Guru, aku akan mandi lebih dulu," kata Shatoru membuka selimutnya dan berusaha bangkit. "Tidak perlu," tanpa menunggu lama Riyoichi langsung menarik baju belakang Shatoru. Shatoru terkaget, ia berusaha melawan tapi tak ada gunanya. Suara teriakanpun kita hanya bisa menggema di seluruh lorong yang bersautan dengan suara sepatu. Shatoru memberontak Riyoichi, berusaha melepaskan cengkraman Riyoichi pada belakang bajunya. "Ichi, apa yang kau lakukan?" tanya Naoki salah satu rekan Riyoichi saat melihat apa yang tengah terjadi. "Aku sedang membangunkan anak Daimyo," jawab santai Riyoichi. "Tapi, kenapa kau melakukan ini? Apa Daimyo tak akan marah?" Naoki penuh pertanyaan saat melihat kelakuan sesaat bunshinya. Ia sampai tak habis pikir pada Riyoichi yang berani melakukan itu pada anak satu-satunya seorang penguasai wilayah. "Tidak mungkin, Daimyo yang menyuruhku melatih anaknya." Sambil berkata begiti Riyoichi kembali menyeret Shatoru semakin menjauh. Naoki tak bisa berbuat apa-apa saat melihat rekannya memperlakukan anak Daimyo begitu kasar. Tapi, jika itu benar atas perintah sang Daimyo maka tak ada yang menolak hal itu. Lagipula semua tahu siapa Riyoicho Shouta, seorang prajurit kebanggaan Daimyo wilayah. Seorang panglima yang paling berjasa dan memenangkan banyak peperangan. Kekuatan dan kemampuannya tak perlu di tanya lagi. Saat Riyoichi sudah berada di halaman depan, ia melemparkan pelan Shatoru begitu saja. Setelah itu ia mengambil ember air dan menyiramkannya pada Shatoru. Shatoru semakin kaget, ia kini basah kuyup karena siraman tadi. Rasanya ia seperti seorang anak b***k yang di siksa tuannya. Kemudian Riyoichi berjongkok dan berbisik lirih di telinga Shatoru, "kita tidak tahu sampai kapan Ayahmu akan menjadi Daimyo dan setelah ayahmu turun kita juga tidak tahu kau akan menjadi apa nantinya." Shatoru tak merespon ucapan sang guru hanya berdiam diri dan menurut, persis seperti yang Hayato Shouta lakukan saat ini. Sejak saat itu Shatoru berlatih dengan keras di bawah bimbingan Riyoichi Shouta. Latihan keras yang memaksanya terus mengeluarkan kata keluhan. Tapi, Riyoichi seperti tak peduli, ia terus melakukan pekerjaan yang di perintahkan sang Daimyo. Menjadi guru bagi seorang anak bangsawan. Beberapa tahun belajar dengan Riyoichi membuatnya menjadi kesatria hebat yang bisa bersanding dengan para kesatria pria lainnya. Mulai dari bermain kuda, menggunakan belati, pedang dan semua alat tempur lainnya. Riyoichi juga mengajarinya strategi dan taktik peperangan. Namun, tak lama Riyoichi mengundurkan diri karena berniat ingin menikah dan mengurus orangtuanya. Sebelum pergi Riyoichi memberikannya belati perak. "Lima tahun aku mengajarimu caranya menjadi seorang kesatria, aku yakin bahkan kau lupa caranya menggunakan gaun. Tapi, itu penting bagimu," ujar Riyoichi pada Shatoru sesaat setelah memberikan belati perak padanya. "Aku berikan belati itu sebagai tanda perpisahan, jika kau bertemu denganku dan aku melupakanmu, tunjukkan saja padaku belati itu." "Tapi, kau akan kemana guru?" tanya Shatoru pada Riyoichi. "Tugasku selesai, saatnya aku pergi. Setelah meneruskan jabatan Daimyo Ayahmu, datanglah ke desa Shouta. Datanglah sebagai pemimpin." Shatoru ingat betul ucapan Riyoichi itu, dan beberapa hari berselang Riyoichi kembali ke desanya. Beberapa tahun kemudian, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi pada wilayahnya. Ia pergi untuk memberontak. Dan saat bertemu dengan Hayato ia akhirnya juga mengetahui bahwa keluarga Shouta serta desanya telah hancur karena api. Shatoru terpukul, setelah tak menjadi seorang bangsawan lagi, ia juga harus kehilangan guru yang ia sayangi. Saat pergi itulah ia tersesat dan akhirnya menetap di desa Yondama, bertemu banyak orang yang begitu baik padanya. Menampungnya dan memberikannya hidup. Meskipun beberapa dari mereka mengetahui siapa sebenarnya dirinya, tapi mereka hanya terus saja diam tak membuka suara. *** Saat Shatoru sibuk dengan pikiran masa lalunya, Hayato berjalan santai sambil membawa keranjang punggungnya itu. Ia tak menggerutu lagi saat ini, karena sudah berada di hutan. Berbekal kapak dan benda tajam lainnya. Hayato memotong batang-batang kayu yang sudah tumbang menjadi kecil-kecil. Ia sedikit tahu tentang potong-memotong dari Ishiki, meski dulu yang ayah melarangnya bermain benda tajam. Tapi, setiap mencari kayu bakar Ishiki selalu mengajaknya dan ketika kerumah ia membawa beberapa buah yang ia temukan di hutan. Hayato semakin merindukan sang kakak. Sayangnya, Ishiki sudah tidak ada, padahal ia ingin sekali belajar banyak hal darinya. "Kau!" seru sebuah suara, Hayato terkaget dan dengan spontan melemparkan kapaknya. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Aku sedang mencari kayu bakar, Paman," jawab Hayato begitu melihat Genma. "Bukankah kau anak yang bersama dengan Shatoru," tanya Genma lagi. Hayato mengangguk perlahan. "Betul Paman. Paman mengenalnya?" Genma menaruh keranjang punggungnya di bawah kemudian mengambil kapak dari dalam. Menghadap satu batang pohon tumbang lainnya. Sementara Hayato menunggu jawaban Genma sambil mengambil kapaknya. "Siapa yang tak mengenal anak pendiam itu di desa ini ..., beberapa tahun lalu saat ia di bawa datang Inoshuke dari hutan ia hampir saja sekarat, tapi Bibi Yumi berhasil menolongnya." "Sekarat?" ujar Hayato mengulang. "Iya. Inoshuke bilang ia berada di jurang hutan tebu, Inoshuke membawanya karena kasihan. Kami tidak meminta lebih pada Dewa selain kesembuhannya, tapi ternyata anak itu jawaban Dewa atas doa kami," ujar Genma sambil terus memotong kayu. Kemudian Genma bercerita pada Hayato tentang semua hal yang di lakukan Shatoru pada penduduk desa. Shatoru mengajari anak-anak membaca, mengajari para pria berpedang, membuat pengairan sawah, bersiap perang dan banyak hal lainnya. Bahkan saat Yondama hampir di duduki gerombolan bandit tak di kenal. Shatoru yang menghimpun para pemuda berhasil memukul mundur mereka semua. Setelah pembicaraan itu selesai, Hayato pulang karena kayu bakarnya telah tertumpuk di keranjang. Sepanjang perjalanan ia masih memikirkan ucapan Genma tentang betapa hebatnya Shatoru. Sepertinya apa yang ia pikirkan tentang Shatoru selama ini salah. Dalam perjalan pulang, Hayato bertemu dengan Inoshuke yang membawa burung puyuh yang tempo hari ia dapatkan. "Wah, Paman Inoshuke yang merawatnya?" begitu tanya Hayato sambil mengambil burung itu dari tangan Inoshuke lalu melempar burung itu keatas. Sayangnya, burung itu tak mampu terbang. "Aku sudah bilang, ini burung jenis tanah." Mendengar ucapan Inoshuke itu, Hayato hanya bisa tersenyum sampai menampakkan giginya. Selama perjalanan pulang Hayato dan Inoshuke berbicara banyak hal. Hayato mulai kagum dengan Inoshuke yang begitu pandai. Sebelum sampai di rumah, ada hal yang mengangganggu Hayato, sesuatu itu turun dari langit. Hayato menengadahkan wajahnya, sambil membuka telapak tangannya. Nampak benda putih satu demi satu berguguran dari atas. Ternyata musim dingin sudah tiba. Musim dingi pertamanya di desa itu, dan musim dingin ketiganya setelah ia tak memiliki keluarga lagi, serta musim dinginnya dengan keluarga baru. "Ayo simpan kayu-kayu itu di belakang," ujar satoru begitu Hayato sudah sampai di rumah. Hayato yang di bantu Inoshuke membawa kayu-kayu itu kebelakang dan menaruhnya di gubuk kecil atas tak basah oleh salju.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN