Di desa Yondama, Ichimaru Shaka membangun tempat latihan beladiri, setelah ia mengundurkan diri dari militer kekaisaran, tempat itu langsung menyebar keempat wilayah. Banyak orang berdatangan untuk menjadi muridnya.
Setiap musim orang-orang datang untuk bergabung, membuat Yondama selalu ramai tanpa sepi.
Namun, pada suatu malam 20 tahun lalu. Sekelompok orang dengan di ketuai seorang pendekar buta yang mengatakan mereka menantang banyak perguruan untuk mencoba bedirinya.
Ichimaru meladeni, awalnya ia menang melawan beberapa orang dari bawahan pendekar buta itu, tapi kemudian ia di kalahkan dengan mudah oleh si pendekar buta yang berjulul pendekar gagang merah.
Kekalahan Ichimaru membuat banyak muridnya kecewa, lalu satu-persatu mengundurkan diri dan keluar dari tempat itu. Lambat laun tempat beladiri itu mulai sepi.
Di tengah kesepian itu, istrinya yang mengandung tengah sakit keras. Ia sudah berusaha kemanapun untuk mencari cara menyembuhkan istri dan anaknya.
Sayangnya, tak berapa lama istrinya meninggal dunia begitupun dengan anaknya yang berada di kandungan.
Sejak saat itulah, ia menjadi orang aneh. Penduduk desa menjulukinya, pria gila pemabuk. Sudah lama sekali ia tak keluar dari area rumahnya.
Hal itu masih membekas di dalam dirinya meskipun sudah berlangsung cukup lama. Jiwa balas dendamnya berkobar setelah Hayato membuatnya seakan memiliki harapan baru.
Tempat beladirinya sudah tutup cukup lama, ia tak lagi menerima seorang murid karena menurutnya itu hanya akan kembali menimbulkan luka.
Namun, adanya Hayato dulu membuatnya menerima seorang murid, yang bahkan lebih berbakat darinya. Hayato adalah anak dari kakak seperguruannya juga murid dari sang Putri Daimyo Kekaisaran.
Meskipun masih baru Hayato sudah menampakkan bahwa cakap. Sayangnya, Hayato memiliki hati yang terlalu naif.
Meskipun mengucapkan ingin membalas dendam atas kematian keluarganya, tapi sejujurnya ia hanya ingin tahu alasan kenapa sampai orangtua dan kakaknya yang menjadi korban? Apa salahnya?
Ketika melihat Hayato yang masih begitu gigih memperjuangkan dirinya, Ichimaru malah merasa malu karena ia terus terpuruk dalam kesedihan selama 20 tahun.
Ia kadang juga berpikir ingin membalas dendam pada pendekar gagang merah, tapi ketakutan dan bayangan masa lalu terus menghantui.
"Aku tidak bisa seperti terus," ujar Ichimaru gusar sambil membuang botol sakenya.
Ia berdiri mengambil pedangnya, lalu meninggalkan rumahnya. Ia ingin mencari pendekar buta gagang merah itu. Terakhir Ichimaru mendengar bahwa ia berada di Sibichu sebagai ketua dari sekelompok pencuri terkenal.
Ichimaru berjalan menyusuri jalanan desa, lalu menuju rumah Tsukiyama untuk meminjam salah satu kudanya.
Dengan sekali hentakan ia mebawa kudanya, ia akan pergi ke Sibichu melalui hutan tebu. Karena jika menggunakan kuda akan lebih cepat sampai. Niatnya sudah bulat untuk membalas dendam, mungkin malam hari ia akan sampai di sana.
Dalam pikirannya terus berkecamuk antara dendam, kehormatan dan rasa malu. Jika saat tempat beladirinya masih ada mungkin istrinya tak akan meninggal karena tak ada uang untuk berobat.
Ichimaru terus menggiring kudanya menjelajahi hutan tebu yang begitu lebat. Ketika sore menjelang ia sudah keluar dari hutan tebu.
Ia langsung menuju gerbang selatan Sibichu, karena menurut informasi pria buta itu tinggal sebuah kuil untuk pemujaan dewa tanuki.
Tak berapa lama Ichimaru sampai di gerbang selatan Kota Sibicu, awalnya ia di larang masuk karena di curigai sebagai seorang mata-mata.
Namun, akhirnya Ichimaru di perbolehkan masuk setelah beberapa perdebatan yang terjadi.
Tak berapa lama akhirnya Ichimaru sampai di tempat tujuan.
Ichimaru turun dari kudanya, mengikat talinya di salah satu pohon yang tak jauh dari kuil. Setelah itu ia melangkah kakinya masuk kedalam kuil.
Di depan pintu kuil itu di sisi kanan dan kirinya ada dua patung Tanuki. Ichimaru melihat aneh pada patung-patung itu. Ia hampir tak yakin jika kumpulan penjahat yang telah merenggut banyak nyawada ada di tempat seperti itu.
"Apa ia sudah bertobat pada Dewa?" tanya Ichimaru pelan.
Tapi, terus saja ia masuk lebih jauh kedalam. Saat berada di pintu masuk kedua, ada tiga orang yang menjaga pintu itu.
"Siapa kau?" tanya salah satu penjaga pintu itu sambil mengacungkan pedang yang bersarung.
"Aku hanya seorang penduduk yang ingin memanjatkan doa," ujar Ichimaru berbicara sopan.
"Kuil ini tak di buka untuk orang lain," ujar yang lainnya.
"Tapi hanya kuil ini yang aku temukan begitu dekat," Ichimaru tetap memaksa untuk masuk meski sang penjaga melarangnya.
"Kurang aja!" Setelah mengucapkan itu, ketiganya menyerang Ichimaru
Gerakan serangannya cukup terarah, beberapa kali hampir mengenai Ichimaru. Ichimaru mengindar dan mundur. Tapi, cukup dengan kosong Ichimaru mampu mengalahkan mereka.
Tubuh ketiganya terpental cukup jauh, bahkan ada yang sampai membentur pintu kuil, bahkan sampai membuatnya terbuka.
Mendengar hal itu orang yang ada di dalam langsung kaget, termasuk di pendekar buta gagang merah. Sebab ia tengah melakukan upacara untuk Dewa mereka.
"Maaf aku sedikit membuat keributan, mereka melarangku untuk berdoa di sini," ucap sopan Ichimaru.
Meskipun sudah begitu sopan, beberapa bawahan gagang merah tetap menyerangnya. Bahkan mereka mengeroyoknya.
Satu persatu dari mereka tumbang, bahkan Ichimatu belum mengeluarkan pedangnya menyentuhnya pun tidak.
"Hentikan," ucap pendekar gagang merah. Para bawahannya menghentikan aksi mereka menyerang Ichimaru. "Apa yang kau mau?"
"Aku hanya ingin berdoa," ucap Ichimaru.
"Kuil ini tidak di buka untuk umum," kata pendekar gagang merah.
"Kenapa? Bukankah semua bebas untuk memanjatkan doa pada Dewa," ujar Ichimaru tanpa memperdulikan larang pendekar gagang merah.
Ichimaru memanjatkan doa pada salah satu patung, pendekar gagang merah geram melihat hal itu. Kemudian ia berniat memukul pundah Ichimaru tapi Ichimaru mengelak dengan melompat.
Ichimaru memang kudanya, lalu mengeluarkan pedang dari sarungnya. Begitupun pendekar gagang merah yang mengeluarkan dua cluritnya.
Para bawahannya menjauh, kini hanya ada Ichimaru dan pendekar gagang merah yang melakukan pertarungan. Keduanya melancarkan serangan demi serang, satu menebas yang lainnya menangkis.
Ichimaru tertendang di bagian perut, pendekar gagang merah mendapat sedikit goresan di pipi. Darah-darah segar menetes.
Ichimaru tau jika ujung dari senjata pendekar gagang merah memiliki racun, bagaimanapun ia harus menghindarinya.
Meskipun gagang merah buta, ia bisa mendengar dengan jelas suara dari gerakan Ichimaru. Ia bisa menghindarinya terus menerus.
Pertikaian itu tak kunjung selesai, tak ada yang mengalah satu sama lain. Ichimaru berusaha mencari celah.
Kemudian Ichimaru melompat melancarkan seragan dari atas mengincar kepala botaknya, pendekar gagang merah menahannya dengan cluritnya.
Ichimaru melihat celah yang sesuai rencananya, ia menarik satu pedang lainnya lalu menghunuskannya tepat mengenai pergelangan tangan kanan Pendekar gagang merah.
Pergelangan tangan itu putus dan terjatuh, pendekar gagang merah berteriak histeris. Lalu menyerang Ichimaru secara sembarangan. Ichimaru kembali menebaskan pedangnya dan mengenai kepala pendekar gagang merah.
Pendekar gagang merah merah terjatuh dengan kepala yang sudah perpisah dengan tubuhnya.
Ichimaru menghembuskan napas leganya, ia memasukkan kembali pedang dalam sarunganya. Berjalan perjalan menuju pintu luar dan mengambil kudanya.
Sementara itu para bawahan gagang merah hanya bisa meneguk air liur melihat atas mereka terbujur dengan bersimbah darah.
Reputasi Kelompok pencuri Pendekar Gagang Merah hancur seketika mulai malam itu.
Ichimaru sudah membawa kudanya keluar dari kuil menyusuri jalanan Sibichu dengan darah yang terciprat di badan dan bajunya.
Dendamnya terbalas, perasaan lega menyelimutinya. Ia akhirnya bisa membuat istrinya bahagia di surga.
***
Hayato yang berlatih dengan Ishuke mendapatkan misi untuk pergi ke gunung kabut yang berada di desa Fujikana.
Menurut Ishuke gunung itu cocok sebagai tempat berlatih ketahanan diri. Dan Hayato pergi seoranh diri, tanpa di temani Ishuke.
Ishuke mengatakan bahwa desa itu tak begitu jauh dari tempatnya, ia berada di empat wilayah.
Hayato terus menyusuri jalanan dengan kudanya, lalu ia sampai di sebuah perbukitan. Untuk beristirahat sejenak, minum atau sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Setelah selesai Hayato kembali melanjutkan perjalanan menuju desa Fujikana.
"Permisi, apa ini jalan menuju Fujikana?" tanya Hayato pada salah seorang yang melintas di tempat yang sama dengannya.
"Kau di arah yang tepat," jawab orang itu.
Hayato lalu mengucapkan terima kasih dan kemudian melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama ia sampai di perumahan, cukup sepi. Jarang terlihat orang, saat adapun langsung menutup pintu ketika ada Hayato.
Di depan rumah-rumah penduduk banyak sekali boneka berwarna putih yang terbuat dari kain yang menggantung, konon itu penangkal hujan.
Hayato merasa yakin ada yang aneh dengan desa itu.
Saat terus melangkah, Hayato hanya menemui sebuah sungai cukup besar.
"Paman!" teriak Hayato saat ia melihat seorang pria tengah melakukan Fekui bersama burung Pecuknya.
Pria itu mendengar teriakan Hayato, lalu mendorong geteknya menepi.
"Bisakah Paman beritahu aku arah menuju gunung kabut?" tanya Hayato.
"Gunung kabut ada di ujung sungai ini, tak jauh dari Fujikana," ucap pria itu.
"Aku baru saja melewati Fujikana," kata Hayato.
"Tak mungkin, Fujikana tepat di seberang sungai ini. Mari aku antar," ujar pria itu.
Hayato mengangguk.
Jika bukan desa Fujikana, lalu desa apa yang tadi ia lewati? Pantas saja terasa aneh.
Hayato meninggal keanehan itu sambil menaiki getek pria tadi untuk mengantarnya ke seberang sungai.
Hawa sungai itu begitu dingin, padahal matahari sangat terik.
Pria pemilik getek tadi mengatakan bahwa mungkin akan sampai dalam waktu 30 menit, karena air sedang pasang, jika melaju bisa terbawa arus sungai.