28

1234 Kata
Hayato masih bingung ketika Shatoru membelikannya pedang, ia ingin bertanya kenapa hal itu sampai terjadi, tapi ia urungkan. Mungkin saja sikpa Shatoru mulai berubah padanya kini, menjadi lebih baik. Shatoru dan Inoshuke belum memutuskan untuk kembali ke Yondama, mereka masih ingin berjalan-jalan dan menikmati Kurobuchi lebih lama lagi, meskipun seharusnya mereka pulang karena Bibi Yumi dan kepala desa Yababura pasti mencarinya, tapi mereka tak peduli. “Kita akan kepasar,” ucap Inoshuke begitu mereka menaiki kereta kuda,ia memilih kereta kuda karena agar lebih santai tanpa lelah menikmati kota itu. Shatoru mengangguk mendengar ucapan Inoshuke, sementara sejak kembali dari kedai pedang, Hayato begitu bahagia tanpa bisa melepaskan pedangnya. Ia memeluk pedang itu sesekali menciumnya. Itu pedang mahal, dengan ukiran indah di gagang dan memiliki sarung berwarna hitam kemerahan, harganya juga cukup mahal yakni 20 logi (sekitar 300 logi hijau) dan itu hampir menghabiskan seluurh tabungan milik Shatoru. Tapi, Shatoru tak pernah menganggap itu merepotkan. Ia yang memiliki kemauan sendiri untuk membelikan Hayato, dulu saat Riyoichi memberikannya belati perak yang sangat mahal Riyoichi juga tak merasa canggung atau bingung. Padahal jika di jual belati itu bisa menghidupi dirinya dan keluarga untuk beberapa tahun kedepan. Tak berada lama mereka sampai di pasar, tempat itu begitu ramai penuh dengan orang melakukan transaksi jual-beli. Banyak kedai berjejer di jalanan, mulai dari sayuran, buah, kain, pakaian, hingga ternak. Meskipun memiliki wilayah tak sebesar Sibichu ataupun Ukhibana, tapi Kurobuchi memiliki pasar yang cukup besar, karena dekat dengan laut, bisa di pastikan Kurobuchi menjadi tempat berlabuhnya para pedagang dari berbagai belahan dunia. Sementara itu sungai yang menghubungkan Kurobuchi juga membatasi kota dan daerah lainnya, di beberapa puluh kilometer dari sana Edo nampak terlihat juga di dekat laut tapi di kelilingi tembok-tembok besarnya di lepas laut. Hayato melihat pasar itu yang begitu ramai, ia tak berniat membeli apapun di sana, karena ia sudah mendapatkan pedang, lagi pula ia sudah kenyang, ia juga tak ingin membeli buah karena di Yondama sendiri begitu banyak buah, mulai dari apel hingga persik. “Kau tak ingin membeli sesuatu?” tanya Shatoru pada Hayato, Hayato menggeleng mendengar ternyataan Shatoru. “Aku sudah puas mendapatkan pedang ini,” ucap Hayato tersenyum, senyum yang selama tiga bulan ini bahkan jarang sekali terlihat. “Baiklah.” Setelah mengucapkan hal itu, Shatoru juga berkeliling melihat kedai. Rasanya ia ingin sekali membeli pakaian yang yang berjejer di sana, tapi untuk apa. Ketika keluarpun ia hanya memakai jubah juga topeng, pakaian yang ia kena pun juga pakai pria pada umunya. Ia kembali mengingat dulu saat masih menjadi anak seorang bangsawan, ketika keluar kemanapun ia selalu di dampingin para pengawal yang begitu bergerombol. Namun, suatu waktu ia mencoba untuk pergi sendiri, dengan mengenakan pakaian seasanya dan menutup diri seperti saat ini, ia bisa keluar istana dengan sangat mudah. Orang-orang tak ada yang curiga dengannya. Kepergiannya itu baru terbongkar Riyoichi saat tak menemukan dirinya di seluruh istana, setiap sudut tak ia temukan, setiap tempat tak ia dapatkan. Sementara itu di Istana, sang Daimyo tengah risau menanti sang anak yang tak pulang hingga larut malam, padahal biasanya malam-malam begitu Shatoru jika pergi selalu datang bersama datang bersama kuda putihnya, tapi saat ini kuda itu pun tak terlihat. Kecemasan meringsuk diuluh hatinya, ia semakin dibuat tak sabar mengingat jam terus mengalunkan jarumnya di rentetan angka-angka gelap. Walau ia tahu sebenarnya bagaimana sikap anak tunggalnya itu yang keras kepala, nakal dan sedikit manja. Ia tahu kenapa Shatoru melakukan ini, karena kurangnya kasih sayang membuat Shatoru hanya mampu mengalungkan tangannya pada leher Riyoichi. Karena tak ada bersama Shatoru, ia memaksa Riyoichi mnjadi pendamping serta gurunya. Membimbing Shatoru sampai mampu menggantikan dirinya Sedangka istrinya adalah seorang permaisuri yang sibuk dengan urusana keperempuanan dan bahkan jarang melihat sang anak tumbuh. “Bagaimana, kau menemukannya?” tanyanya malam itu pada Riyoichi yang ia tugaskan untuk mencari Shatoru. “Kami belum mendapatkannya, Tuan. Bahkan danau yang biasanya menjadi tempatnya melarikan diri pun sekarang kosong.” Sang Daimyo hanya mampu menghela napas atas jawaban Riyoichi, jawaban itu yang tak pernah ia ingin dengar. “Pergilah Riyoichi, tapi tetap kerahkan para prajuritmu untuk mencarinya.” Mengangguk sang panglima, sambil berlalu pergi dari hadapan Daimyo. Kamar itu kembali sepi, ia hanya duduk diam diujung ranjang sambil terus memikirkan anaknya, yang ia harapkan hanya keselamatan tersendiri bagi anak kecilnya. “Bagaimana?” tanya sang permaisuri pada Daimyo. Wajah khawatir juga begitu nampak. Sang Daimyo hanya bisa menggeleng. Sementara itu, meskipun Daimyo tak memarahinya Riyoichi tetap saja merasa bersalah atas kepergian Shatoru. Seharusnya Shatoru adalah tanggung jawabanya, tapi bahkan sampai saat ini ia tak kunjung menemukannya. “Kusir, siapakan aku kuda,” ujar Shatoru pada sang kusir saat ia melihatnya tengah berada di halaman istana. Sang kusir mengangguk mendengar hal itu, tak berapa lama sebuah kuda hitam gagah sudah berada di depan Riyoichi. Malam itu ia bertekad harus menemukan Shatoru. Sementara Shatoru yang menikmati perjalanannya, tak merasa jika hari sudah begitu laruh malam. Ia pun memutuskan untuk kembali kerumah, ia tak ingin membuat orangtuanya beserta Riyoichi khawatir, tapi ia lebih khawatir jika Riyoichi sampai menghukumnya jika kembali. Shatoru menunggang kudanya, melewati beberapa desa, gelapnya malah membuat ia lambat. Tak berapa kemudian ia bertemu Riyoichi dengan wajah datarnya. Sesampainay di rumah, Riyoichi langsung memberikannya hukuman yang berat hingga pagi hari yang mengakibatkan ia jatuh sakit. Mengingat hal itu Shatoru hanya bisa menggeleng sambil tersenyum di balik topengnya, dulu ia begitu nakal, mungkin jika saat ini Riyoichi masih ada gurunya itu akan semakin bingung bagaimana harus mendidiknya. “Hei, kau mau ikut aku taruhan kuda?” tanya Inoshuke pada Shatoru. “Taruhan kuda?” ulang Shatoru seolah bertanya. “Di belakang pasar ini ada pacuan, setiap tiga hari sekali ada lomba. Aku ingin taruhan,” ujar Inoshuke. Shatoru hanya mengangguk saja, mereka dan juga Hayato akhirnya berjalan menuju pacuan itu yang tak jauh dari pasar. Pacuan itu cukup besar dan banyak orang di sana, baik laki-laki ataupun perempuan. Inoshuke nampak terlihat sumringah, ia memasang beberapa taruhan pada kuda-kuda yang anggap akan memenangkan pertandingan, tapi semuanya hampir saja menang tidak sampai mendapatkan uang. "Ayo-ayo terus, lari yang cepat!" Inoshuke menyoraki kuda taruhannya yang kini ia pasangi taruhan. Shatoru bosan mendengar hal itu ia memilih duduk, sementara Hayato berkeliling mencari hiburan. Hingga ia melihat beberapa orang berkumpul di pinggir pacuan itu. Hayato melihatnya, hingga nampak di matanya seorang perempuan dengan pakaian aneh dan ucapan yang aneh tengah menghadap sebuah tulang belulang. "Tulang ini akan memberikanmu kemenangan!" Seru perempuan tua itu. "Aku harus memang taruhan yang mana, Bi?" tanya seorang seorang penonton. "20 logi," minta perempuan itu. "Pasang pada kuda hitam di putaran kedua." Mendengar ucapan perempuan tua itu, si penonton langsung berlalu pergi dan memasang taruhannya. Taruhan itu berhasil dan ia menang. Hayato yang melihat hal itu nampak tak percaya, ternyata Bibi tua itu seorang peramal. Ia bergegeas berlari untuk memberitahu Inoshuke. Setelah itu Inoshuke mengikuti dan melihat ajakan Hayato, hal yang sama terjadi pada penonton selanjutnya. Inoshuke mebayar untuk di ramal kuda mana yang akan memenangkan pertandingan selanjutnya. Saat ia memasang taruhan kuda coklat dengan banyak logi, taruhannya itu hampir saja menang. Inoshuke geram, ia kehabisa banyak uang dan kalah. Ia merasa di bohongi perempuan tua itu, saat mencari perempuan tua itu sudah tidak ada pergi entah kemana. Hayato mengajak Inoshuke yang kalah pulang dengan perasaan dongkol dan prustasi, sementara Shatoru tahu bahwa Inoshuke memang payah dalam hal taruhan dan juga judi. Karena waktu menunjukkan masih siang, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang saja kembali ke Yondama. Namun, beberapa pasang mata mengawasi mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN