21

1402 Kata
Setelah beristirahat dengan nyaman, Shatoru keluar dari rumanya sementara Hayato entah bermain kemana. Ia tak terlalu khawatir jika anak itu pergi jauh, di tempat terpencil seperti ini jarang ada militer kekaisaran yang melintas. Shatoru ingin menuju rumah Inoshuke, tapi ia akan melintasi beberapa jalan guna menyegarkan tubuhnya. Mungkin ia bisa bertemu beberapa penduduk. Mereka sangat ramah padanya sejak pertama kali datang ke desa itu beberapa tahun lalu. Benar saja setiap ia bertemu orang-orang, mereka mengangguk, tersenyum, melambai dan kadang memanggil namanya. "Shatoru, mampirlah sebentar ke rumah!" seru sebuah suara ibu tua dari dalam rumahnya. "Aku sedang terburu-buru menuju rumah Paman Yababura, Bibi. Mungkin lain kali," ujar Shatoru. "Kenapa tidak sekarang? Apa kau tak rindu tehku?" tanya ibu tua yang di panggil Bibi tadi. "Teh buatanmu kan terkenal di empat wilayah, mana mungkin aku tak merindukannya. Sayangnya, saat ini aku sedang ada urusan dengan Paman Yababura." "Baik lah. Pergi saja kerumah Bapak tua itu, dan bilang suruh dia membayar hutangnya." Setelah mendengar ucapan itu Shatoru mengangguk sopan, kemudian berlalu pergi. Perempuan tua itu biasa di panggil Yumi, sudah menjanda sejak suaminya meninggal karena invansi pemerintahan. Anak tunggalnya menjadi ronin dan memilih jalan hitam, tak pernah pulang ke rumah. Terakhir ia dengar anaknya di penjara akibat membunuh salah satu militer kekaisaran. Meskipun Bibi Yumi sudah tua dan tinggal sendiri, ia begitu cerewet hingga penduduk desa menyebutnya pelatuk tua. Selain cerewet ia juga baik hati, teh buatannya begitu nikmat. Ia dulu juga membuka kedai teh dan sake, yang akhirnya tutup karena ia tak bisa bekerja lagi. Sementara itu Shatoru masih berjalan menuju rumah keluarga Inoshuke, juga mengunjungi ayahnya, yakni Yababura. Keluarga Inoshuke yang pertama kali menolongnya saat sampai di desa itu. "Paman Genma," sapa Shatoru pada seorang laki-laki yang menggendong kayu bakar. Laki-laki tua yang di panggil Genma itu menoleh, "Apa ini kau Shatoru?" Shatoru mengangguk. "Syukurlah kau kembali, Paman pikir kau tak akan pernah datang ke desa ini lagi," sambung Paman Genma. "Aku pasti kembali Paman, ini rumahku. Dan penduduk di sini adalah keluargaku," jawab Shatoru. "Senang mendengarnya ..., sekarang kau mau kemana?" "Aku ingin bertemu Paman Yababura, apa Paman tadi melihatnya saat melintas dari hutan?" "Dia sedang bermain Sogi dengan Inoshuke," kata Paman Genma. "Baiklah Paman, terima kasih." Shatoru berlalu meninggalkan Genma, begitupun laki-laki tua itu. Dari tempatnya mengobrol, rumah Yababura sudah terlihat. Karena rumah itu paling besar, dulu menjadi rumah kepala desa, tapi sekarang menjadi milik Yababura, sebab ia kepala desa. Shatoru masuk perlahan menuju pekarangan rumah indah, di sana ada pohon persik rendah, bonsai dan ada kolam ikan mas sebelum pintu masuk. Tenang dan sejuk sekali tempatnya. "Apa aku perlu membalik papan Sogi itu," ujar Shatoru begitu mendekati Inoshuke dan Yababura. Inoshuke dan sang ayah tersadar, tapi masih melanjutkan permainannya. "Aku pikir kau akan datang kemarin setelah kau datang," ujar Inoshuke kini saat Shatoru sudah berada di dekatnya. "Aku lelah setelah perjalanan panjang, aku beristirahat sebentar. Dan sebenarnya aku juga malas kesini," kata Shatoru mencoba bercanda. "Apa anak Ayah tak merindukan Ayahnya ini?" tanya Yababura mencoba menggoda Shatoru. "Tidak. Dan sebelum kesini Bibi Yumi meminta agar Paman membayar hutang," kata Shatoru lagi. "Aku tidak ingi memiliki hutang," ucap Yababura. "Mari masuk kedalam, Paman ingin berbicara padamu." Shatoru mengangguk, lalu mengikuti kemana Yababura melangkah. Dengan gerakan pelan Yababura masuk ke ruang tamunya. Ia sudah cukup tua dengan tubuh sedikit bungkuk. Istrinya sudah meninggal karena suatu penyakit. "Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Yababura kini. Keduanya duduk di ruang tamu. Shatoru melepaskan jubah hitam yang sejak lama terus menutupi tubuhnya, begitu juga dengan topeng yang berada di wajahnya. Kini ia menjadi tubuhnya sendiri tanpa menutup-nutupi lagi siapa ia. Beberapa tahun lalu ia melarikan diri dari Edo seorang diri, tubuh bangsawannya mulai menjelajah setiap tempat. Suatu waktu ia kerampokan dan hampir saja terbunuh, masuk kedalam jurang hutan Tebu, namun nasib baik menghampirinya. Inoshuke yang tengah mencari tanaman obat serta jamur menemukan Shatoru. Membawanya pulang dan mengobati tubuh luka Shatoru, saat ini yang mengetahui siapa dirinya hanya Inoshuke, Yababura dan Bibi Yumi yang merawatnya sejak sakit. Penduduk desa mengetahui bahwa ia seorang laki-laki bernama Shatoru. Tanpa orangtua yang di temukan Bapak Tua Yababura. "Kabarku baik, Paman," ujar Shatoru sambil tersenyum. Senyumnya begitu manis, dengan bibir merah-jambunya. Wajah dan bibir itu yang selama ia tutupi. "Aku melarikan diri dari misiku." "Kau meninggalkan lagi Shiraisi?" tanya Yababura lagi. Shatoru mengangguk. Yababura sudah paham sifat anak angkatnya itu, ia selalu melakukan hal yang ia mau, meskipun itu bertentangan dengan misinya. "Apa anak itu yang membuatmu meninggalkan misi? Siapa dia? Anakmu?" "Bukan, Paman. Bocah itu anak dari mantan gurunya, Riyoichi Shouta. Aku pernah berguru pedang ketika masih menjadi seorang putri bangsawan." "Lalu, apa tujuanmu membawanya kesini?" "Aku merasa harus balas budi, tapi Riyoichi sudah tiada. Jadi, aku bawa anaknya dan aku asuh sebagai muridku sendiri." Yababura tersenyum, bibir tuanya sedikit bergetar, keriput di beberapa sisi. "Apa kau tak rindu kembali? Mungkin orangtuamu merindukan mu," ucap Yababura. "Sejak tadi Paman selalu bertanya padaku, kapan waktuku bertanya pada paman?" ujar Shatoru. "Apa yang perlu di tanyakan pada Ayahmu ini? Setiap hari kerjaku hanya bermain Sogi, kadang dengan Inoshuke ataupun Genma." Yababura seperti tak ingin mengatakan apapun tentang dirinya yang menurutnya tidak penting. Kemudian keduanya bercerita kembali sambil terus bercanda, Shatoru dengan sedikit omonngannya menanggapi ucapan ngawur dari Yababura. Setelah itu Shatoru memasang kembali topeng dan jubahnya, kemudian berpamitan pada Yababura dan Inoshuke untuk pulang. Shatoru bercerita banyak hal dan bagaimana dirinya bisa kembali dengan selamat serta membawa anak itu pada Inoshuke. "Kau masih mendapat tawaran dari kekaisaran?" tanya Shatoru pada Inoshuke saat mereka berjalan pulang kerumahnya. "Setiap satu musim mereka datang, mengatakan aku akan memiliki jabatan di sana, tapi aku menolak," ucap Inoshuke. "Kenapa?" "Inoshuke tak ingin terikat dengan aturan kekaisaran Edo, ingin bebas terbang sendiri. Kau saja kabur dari sana, itu sudah mencerminkan tempatnya," papar Inoshuke lagi. Inoshuke adalah murid terbaik Bibi Yumi, meskipun sang guru selalu bertengkar dengan sang ayah. Seharusnya Bibi Yumi yang di angkat sebagai dokter kekaisaran, tapi ia menolak. Kemudian pilihan jatuh pada Inoshuke. Inoshuke mengerti tentang pengobatan, kesehatan, pintar tentang racun serta sejenisnya. Namun, Inoshuke juga menolak. Alasannya ia tak ingin hidup tertekan, ia ingin bebas menjadi dirinya sendiri. "Bukankah kau akan mendapat uang yang banyak, mereka akan membayarmu di atas tingkatan militer?" "Tidak. Kau tau kan aku takut mati, menjadi seorang dokter kekaisaran pasti aku ikut perang suatu saat nanti," kata Inoshuke sambil bergidik ngeri. "Aku tak sepertimu yang berani." "Lalu apa yang kau tak malu?" tanya kembali Shatoru. "Menikahimu," jawab singkat Inoshuke pada Shatoru yang memalingkan wajahnya. Shatoru tak mengatakan apapun, ia berpikir mungkin Inoshuke hanya bercanda seperti biasanya. Apa mungkin orang sebebas Inoshuke mau terikat hubungan dengan seseorang? "Paman!" Dari kejauhan Hayato melambaikan tangannya pada Shatoru dan Inoshuke. Hayato berlari menuju keduanya. "Aku mendapatkan burung ini," sambung Hayato sambil memperlihatkan burung yang sebelah kakinya patah. "Mungkin seseorang memanahnya. Berikan ke Paman, biar Paman obati," kata Inoshuke meminta burung itu pada Hayato. Hayato memberikan burung itu pada Inoshuke. "Apa burung itu bisa terbang lagi?" tanya Hayato. "Tidak bisa," kata Inoshuke. "Kenapa tidak bisa? Kasihan sekali." "Itu burung puyuh, jenis burung tanah. Mereka berlari tidak terbang." Hayato mengangguk-angguk mendengar ucapan Inoshuke. Kemudian ketiganya berjalan bersama untuk pulang kerumah Shatoru. Sementara Hayato terus terlihat bahagia sejak berada di sana kemarin, karena di sana ia tenang. Awal berada di desa itu Shatoru memang tinggal bersama keluarga Inoshuke, tapi seorang warga memberikan rumah kecil untuk Shatoru agar bisa tinggal sendirian. *** Sementara itu di kota Sibichu. Hideyoshi belum sadarkan diri, meskipun ia terus mengerang kesakitan akibat luka setelah duel dengan pendekar gagang merah. "Apa ia akan sadar secepatnya, dokter?" tanya Ibhiki pada sang dokter yang merawat Hideyoshi. "Lukanya memang tidak begitu dalam, tapi sepertinya ia terkena racun yang berada di senjata lawannya. Ini racun dari tanaman moibus, racun ini di kenal berbahaya," papar sang dokter. "Lalu apa ia akan sembuh?" kini Norariku yang bertanya. "Aku sudah mencoba mengobati lukanya, ia akan menghambat racun menyebar, jika sampai menyebar, kita akan menghentikannya dengan memotong tangan kanannya." Ucapan dari sang dokter yang membuat keduanya menggidik ngeri sekaligus takut, mereka tak bisa membayangkan jika Hideyoshi kehilangan tangannya. Tangan adalah nyawa seorang kesatria berpedang. "Tapi, kau tidak akan memotong tangannya, kan?" Ibhiki bertanya sambil menggidik. "Aku rasa tidak, besok aku akan mencari obat untuk mengobati racunnya," ucap sang dokter lagi. Ibhiki dan Norariku mengangguk paham, lalu keduanya keluar dari ruangan itu menuju teras. Mereka masih memikirkan tentang nasib Hideyoshi, padahal awalnya mereka yakin Hideyoshi akan menang melawan para pencuri itu, meskipun ia seorang ronin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN