Bab 12

1051 Kata
Bu Bertha menjentikkan jarinya. Buku Darma muncul. Butir bintang berguguran. Perlahan, dengan gerakan anggun, Buku Darma terbang dengan sendirinya, mengambang satu meter setengah di atas permukaan tanah. Buku itu membuka dirinya sendiri. Perlahan cahaya keemasan memancar dengan indah. Cahaya yang dikeluarkan semakin terang hingga membuat mereka semua terpaksa untuk menutup mata. Lima detik, cahaya menghilang. “Ke mana perginya cahaya itu, Bu?” tanya Kinara. Tidak terjadi apa-apa. Sekeliling mereka tidak ada yang berubah. Langit berubah senja karena memang sudah waktunya, pohon apel masih pada tempatnya. Juga pakaian mereka masih sama seperti yang mereka pakai tadi. “Buku Darma baru saja mengeluarkan selaput transparan untuk melindungi kita. Selaput transparan akan mencegah orang di luar selaput ini melihat apa yang kita lakukan di sini. Juga saat latihan nanti, suara-suara tidak akan terdengar keluar,” Bu Bertha memberikan penjelasan. Adelina mulai menyadari sesuatu. Kenapa semenjak pagi tadi Bu Bertha terlihat lebih ramah dan bersahabat? Biasanya wajahnya terlihat menyeramkan. Namun sekarang wajahnya cukup mengenakkan untuk dipandang. Meski begitu, kadar rasa tidak sukanya pada Bu Bertha masih stabil, belum berubah. “Baiklah. Kalian semua berdiri.” Buku Darma masih pada posisinya. Mengambang satu setengah meter di atas permukaan tanah, di samping Bu Bertha. “Sekarang waktunya untuk melepaskan pengunci kekuatan di tubuh kalian. Ini akan sedikit sakit. Tahan ya.” Buku Darma mengitari Kinara pertama kali dari ujung kaki hingga ujung kepala. Garis cahaya berwarna keemasan mengelilingi tubuh Kinara, mirip ular saat membelit mangsanya. Akan tetapi yang ini tidak ketat. Wajah Kinara full senyum. Dia begitu senang karena dia mendapatkan giliran pertama. Perlahan Kinara merasakan tubuhnya menjadi ringan. Rasa senangnya semakin bertambah ketika tubuhnya mengambang di udara, tiga meter di atas permukaan. Dia bahkan melambikan tangan penuh rasa gembira ke arah tiga sahabatnya. Bu Bertha menahan tawanya. Pasalnya ini tidak semenyenangkan yang Kinara kira. Bu Bertha berhitung. Di hitungan ketiga, tubuh Kinara memancakan cahaya yang sangat terang sekali. Melebihi cahaya yang dipancarkan Buku Darma saat memasang selaput pelindung. Yang lainnya menutup mata mereka karena tidak sanggup menahan silaunya cahaya. Sedang Kinara sudah kehilangan senyumnya. Dia menjerit sekuat tenaga menahan rasa sakit yang luar biasa. Tulang Kinara terasa seperti diremas dan kulitnya seperti dilepas dari tengkoraknya hidup-hidup. Proses pembukaan pengunci kekuatan berjalan selama satu menit. Meski begitu, Kinara merasa seperti berjam-jam disiksa. Perlahan cahaya meredup hingga akhirnya hilang. Perlahan tubuh Kinara mendarat. Begitu sampai di permukaan, Kinara langsung terduduk lemas. Lupakan soal senyum dan rasa senang karena dia mendapatkan giliran pertama. Kinara merasa menyesal akan hal itu. Adelina yang melihat bagaimana kondisi Kinara saat ini menelan ludah. Dia berharap semoga bukan dia yang mendapat giliran kedua. Bu Bertha membantu Kinara berdiri. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Bu Bertha. Dia harus memastikan bahwa anak sahabatnya itu tidak mengalami sesuatu yang membahayakan. Pengunci kekuatan memang diletakkan di bagian tulang. Oleh sebab itu proses ini cukup sakit. Namun tidak akan lama. Dalam lima belas menit, rasa sakitnya akan berangsur hilang. Buku Darma memilih siapa yang mendapat giliran kedua. Giliran itu jatuh kepada Arjuna. Sama seperti yang Kinara rasakan, Arjuna juga merasakan hal serupa. Begitu pula giliran selanjutnya. Anggara dan Adelina. “Apanya yang sedikit sakit? Ini sakit sekali!” gerutu Adelina setelah dibantu Kinara dan Arjuna. Adelina menatap tajam Bu Bertha. Awas saja, kalau ada kesempatan, Adelina akan memberi hadiah untuk Bu Bertha. *** Adelina tidak akan membiarkan malam ini berlalu begitu saja. Pukul delapan malam, dia sampai di rumah. Sinta yang membukakan pintu, menyambutnya. “Bagaimana latihan pertamamu, Nak?” tanya mamanya. “Sejak dulu Adel memang tidak gak menyukai Bu Bertha, Ma. Dia bilang proses pembukaan pengunci kekuatan hanya sedikit sakit. Sedikit sakit apanya? Adel mau mati menahannya.” Sinta terkekeh. Adel mewarisi sifat cerewetnya. Melihatnya marah-marah seperti itu bukannya terlihat menyeramkan, justru malah menggemaskan. “Tapi rasa sakitnya cepat hilang, kan?” sambung Gunawan. Dia tengah membaca koran di ruang tamu. Karena kalau pagi Gunawan tidak sempat membaca koran, dia menggantinya jadi di malam hari. “Bu Bertha bilang begitu supaya kalian gak ketakutan,” pungkas Sinta. “Sudah sana mandi. Mama masakin makanan kesukaan kamu tuh di dapur.” Sinta jelas tahu sifat Bu Bertha. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan anak-anak mereka. Sebelum mengusulkan soal pengunci kekuatan dipasangkan ke tubuh anak-anak mereka, hal itu sudah dibahas dan semuanya setuju. Bukan hanya soal pemasangan, proses pencabutan juga dijelaskan dengan terperinci. Semua demi kebaikan mereka dan keberlangsungan hidup mereka. “Oke, Ma.” Usai mandi dan makan malam, Kinara pergi ke minimarket di seberang jalan. Dia membeli camilan untuk menemani kegiatannya menonton k-drama. “Besok kalian hanya akan masuk sekolah sampai istirahat pertama saja.” Itu pesan yang dikirim Bu Bertha. Guru yang amat Adelina tidak suka membuat grup chat yang isinya mereka berempat dan Bu Bertha. “Apa-apaan ini? Tadi di rumahnya dia bilang akan latihan selepas pulang sekolah? Ini apa? Bu Bertha bilang besok masuk sekolah cuman sampai jam istirahat pertama saja?” gerutu Adelina kesal. Ini bukan kabar baik. Latihan dari pulang sekolah sampai malam saja rasanya tidak mengasyikkan. Melihat Bu Bertha berjam-jam lamanya akan banyak menguras energi Adelina. Keesokan harinya, saat bel istirahat berbunyi, mereka berempat dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di sana ada orang tua mereka dan Bu Bertha tentunya. Mereka berempat sudah menduga bahwa maksud pesan Bu Bertha tadi malam adalah soal ini. Pindah sekolah. Selama kepergian mereka ke Negeri Voresham nanti, status mereka akan pindah sekolah agar tidak menimbulkan kekacauan. Bukan hanya mereka saja. Para orang tua juga demikian. Bu Bertha pindah mengajar. Papa Adelina dan Anggara pindah bekerja. Mama Arjuna yang memiliki florist mempercayakan toko bunganya kepada orang kepercayaannya. Juga Sinta, dia mempercayakan toko kuenya pada karyawan terbaiknya. Sarah tidak memerlukan apa-apa. Sejak meninggal papanya, Kinara dan Sarah hanya hidup dari uang tunjangan papanya. Urusan surat pindah sudah selesai. Bu Bertha menyarankan agar mereka berpamitan kepada teman-teman sekelas. Ya, itu memang harus dilakukan agar suasana terasa semakin mendramatis. Dipikir-pikir itu juga bukan sebuah kebohongan. Mereka memang pindah, bahkan pindahnya tidak tanggung-tanggung. Pindah dunia. Usai berpamitan dengan teman-teman sekelas, mereka tidak pulang ke rumah masing-masing. Bu Bertha mengirimkan pesan di grup chat, menyuruh mereka untuk datang ke rumahnya. Waktu yang tersisa sebelum berangkat ke Negeri Voresham tersisa enam hari lagi. Itu bukan waktu yang banyak. Dalam waktu enam hari ini, setidaknya mereka sudah bisa menggunakan kekuatan yang mereka miliki. Walau hanya sekedar menghancurkan apel tanpa harus menyentuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN