Pagi ini seorang gadis sudah bersiap-siap dengan rapi, ia mengenakan celana olahraga panjang serta kaos oblong selengan. Rambutnya diikat tinggi-tinggi, tersampir bando berwarna ungu di kepalanya.
Wajahnya terlihat segar, ada polesan lipstick tipis pada bibir ranumnya. Ia sedang berdiri di depan cermin guna menimbang-nimbang penampilannya saat ini, setelah memeriksa dan tidak menemukan celah kekurangan, ia pun tersenyum serta beranjak pergi.
Rencananya hari ini ia akan berjalan-jalan melihat-lihat ke Sirkuit Suarez, ia ingin mengenal lebih dekat tentang Sirkuit tersebut, pasalnya lokasi itu yang nantinya akan menjadi tempat bekerjanya selama beberapa waktu.
Savier memberi informasi jika orang luar boleh memasuki sirkuit asalkan bisa menunjukkan kartu identitas dan juga passpornya. Tentu saja hal ini tidak akan disia-siakan oleh Nika, ia bersemangat menjelajah ke sana.
Selama ini Redo, adik laki-lakinya sangat menggilai MotoRace, bahkan anak itu bermimpi ingin melihat balapan langsung di lintasan. Karena keluarganya bukan berasal dari golongan kaya, Redo menalan dulu keinginannya, ketika ia sudah lulus sekolah dan bekerja nantinya baru lah menabung uang tuk terbang ke berbagai sirkuit yang mengadakan perhelatan.
Nika mengambil kamera kerjanya, ia menggunakan kamera baru karena yang lama khusus akan ia gunakan untuk memotret di hari H balapan. Ia tak lupa menyelempangkan tas kecil yang berisi identitas diri serta beberapa lembar uang di dalamnya.
Ia membuka pintu kamar lalu menutupnya lagi. Tepat saat itu juga muncul Savier dengan senyuman merekah di bibirnya.
“Good morning, gurl.” Ujarnya dengan nada khas keramah tamahan.
Nika membalas senyuman itu tak kalah lebar.
“Pagi juga, Savie. Kau tampak sumringah, apakah pendekatanmu berjalan dengan lancar kemarin?”
Savier mengulum senyumnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ya begitu lah, masih harus berjuang sampai titik darah pernghabisan.” Jawabnya.
Nika mengangguk pelan dan memberikan dukungan agar teman barunya itu bisa mendapatkan pujaan hatinya.
“Oh ya, by the way kau mau ke mana pagi-pagi sekali?”
“Aku ingin bertandang ke Suarez, sesuai perkataanmu kalau di sana memperbolehkan orang luar untuk masuk.” Jawab Nika.
“Ohh begitu, baiklah. Kau perlu ku antar?”
Nika menggeleng pelan, kemarin ia sudah merepotkan pria ini.
“Tidak perlu, kau lanjutkan saja pendekatanmu.”
Savier tertawa terbahak-bahak, ia merasa lucu dengan gadis ini.
“Baiklah-baiklah. Kau bisa berjalan atau memesan taksi, jaraknya cukup dekat dari sini, tapi karena cuaca yang sering berubah-ubah bisa membuatmu tidak nyaman saat berjalan kaki.” Savier memberitahu.
“Aku akan memesan taksi saja, terimakasih.”
“Oke, hati-hati gurl.” Savier menampilkan jempol kanannya.
Setelahnya mereka berpisah, Nika melangkah menuju lift dan menekan tombolnya untuk turun ke lantai bawah.
Di luar hotel ada beberapa taksi yang bertengger di tepi jalanan, kebanyakan mereka memang sengaja menunggu penumpang dari hotel ini karena kabarnya pengunjung Hotel Crown amat membludak semenjak ada perhelatan MotoRace di kota Herez.
Memang bisa Nika lihat ada orang lalu lalang mengenakan kaos yang bertuliskan nama motor dari idola mereka masing-masing. Nika bisa menebak jika tujuan mereka sama seperti dirinya, yakni melihat langsung lokasi itu.
Nika mengetuk pintu kaca salah satu taksi, dengan sigap sang sopir, langsung membukakan pintunya.
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”
“Tolong antar saya ke Sirkuit Suarez.”
“Tentu, silahkan masuk!”
Nika mendudukkan dirinya di jok kemudi. Perlahan-lahan kendaraan beroda empat itu berjalan menuju ke lokasi yang telah ditentukan, sepanjang jalan Nika melihat bangunan-bangunan kota yang amat indah. Negara ini terkenal akan arsitektur dan penataan kota yang bagus, tak heran jika pemandangan jalanan pun akan terasa memanjakan mata.
Cuaca yang tadinya bersinar diterpa matahari pagi pun cepat berganti, kini ada rinrik-rintik hujan yang menggenangi jalanan. Apa yang dikatakan Savier benar, cuaca di kota ini sedang berubah-ubah.
Nika menghela napas kasar, di saat hujan seperti ini ia jadi teringat oleh keluarganya. Jujur saja ia mudah terkena homesick saat bepergian jauh, tapi beruntungnya gadis itu dapat mengatasinya dengan mudah.
Air hujan itu melewati kaca mobil di sebelahnya, tangan Nika terangkat untuk membuat pola-pola abstrack di sana.
Ketika ia sedang memperhatikan tetesan tersebut, tiba-tiba saja ada sebuah mobil berkecepatan tinggi melewati jalanan tepat disampingnya, lalu disusul oleh rombongan beberapa mobil di belakang.
Ia tersentak, lalu berdecak dengan sebal saat melihat ada kendaraan yang ugal-ugalan di jalan raya.
“Harap maklum, Nona. Itu rombongan yang mengantar salah satu pembalap ke sirkuit.” Si sopir berujar sembari melirik ke arah belakang beberapa kali.
“Salah satu pembalap, siapa memangnya?”
“Jika tidak salah mendengar, pembalapnya adalah Martin de Camrige.” Ujar sopir itu.
Nika pernah mendengar nama itu di channel youtube yang ia tonton, nama Martin juga amat terkenal di dunia peraspalan.
“Martin juga dikenal sebagai rival terberat Jack Roshel.” Lanjut sopir itu.
“Ehh, iya kah?” Nika baru sadar, ia memang mendengar nama Martin sebagai saingan Roshel.
“Ya, mereka sering berseteru.”
Nika hanya manggut-manggut saja, ia tak penasaran dengan perseteruan antara Martin dan Jack.
Setelah sepuluh menit menempuh perjalanan, akhirnya taksi itu tiba juga di area sirkuit.
Nika membayar sejumlah biaya perjalanan, setelahnya ia turun dari mobil.
Kepalanya masih ditetesi oleh air hujan, ia segera berlari mencari tempat untuk berteduh.
Di luar sirkuit ada antrian panjang mengular, mereka berebut masuk ke dalam sirkuit. Terlebih lagi saat melihat rombongan Martin de Camrige, para pengagumnya langsung bersorak bahagia.
Nika memilih berteduh di bawah terpal yang tempatnya tak jauh dari pintu masuk sirkuit, ia menunggu segerombol orang di sana masuk terlebih dulu, ia paling benci berkerumun dan bedesak-desakan.
Setelah menunggu sekitar lima menit akhirnya antrian itu berkurang, ia menghela napas lega. Semilir angin menerpa kulitnya, Nika merasa dingin tapi sialnya ia tidak membawa jaket.
Hujan sudah berhenti, tapi masih menyisakan angina dingin.
Sesampainya di pintu masuk, security meminta kartu identitas diri serta passpornya, Nika menunjukkan dengan lengkap.
“Silahkan masuk.” Ujar security itu saat melihat kelengkapan yang Nika bawa.
Nika masuk dengan tenang, suasana di dalamnya cukup ramai.
Ia mendongakkan kepala melihat di seluruh tribun, mencari tempat duduk kosong.
Ada sederet bangku tribun yang masih kosong, ia segera menuju ke sana. orang-orang membawa pasangan ataupun teman, sedangkan dirinya hanya sendirian saja.
Sirkuit ini memiliki lintasan aspal yang panjang, terhitung ada tujuh tikungan kiri dan sepuluh tikungan kanan. Jika para pembalap tidak hati-hati, maka mereka mudah tergelincir.
Kabarnya sirkuit ini telah memakan korban jiwa, musim lalu ada seorang pembalap yang jatuh akibat tertabrak rekannya sendiri, lalu ia berguling-guling di aspal dan tertindih kendaraannya sendiri.
Alhasil, pembalap itu tewas di tempat. Nika merinding membayangkannya, jujur saja ia kurang suka olahraga yang memakan fisik lebih banyak.
Meskipun Nika seorang fotografer alam yang suka memotret hutan, pantai, dan gunung tapi ia tak suka mencari spot-spot bahaya. Ia lebih suka cari aman, dengan tidak mendaki di kawasan merapi atau berenang di tengah pantai hanya untuk mendapat gambar ombak yang menantang.
Ia masih sayang nyawa.
Di sana terbagi menjadi beberapa bagian, ada tempat yang bernama Paddock—garasi markas setiap tim sebelum turun ke lintasan balap.
Paddock menjadi tempat menyetting dan mempersiapkan segala kebutuhan motor sebelum digunakan, di dalam paddock sendiri ada ruangan lain yang dibagi. Salah satunya adalah tempat layar monitor, monitor ini selayaknya televisi untuk para crew memantau pembalap asuhnya. Serta monitor lain yang digunakan untuk melihat kinerja motor.
Menilik bagian lain dari paddock ada pula tempat para mekanik yang bersiap dengan perkakas alat motor, setiap mekanik memiliki tugas masing-masing dalam membenahi kesehatan motor.
“Ini bukan jadwal balap, tapi sepertinya akan ada pertunjukkan yang menantang.” Salah satu pengunjung yang duduk di depan Nika berujar dengan teman sebayanya.
Nika tak sengaja mendengarnya.
“Maksudmu?”
“Kau tahu kedatangan Martin tadi, dia ingin beradu latihan dengan Jack Roshel.” Jawab wanita berbadan gemuk.
“Kau yakin? Setahuku Free Practice baru akan dimulai besok, tidak jadi hari ini.”
“Ya, mungkin Martin tidak sabar mengalahkan Jack lebih dulu hahaha.” Wanita itu tertawa keras.
Nika mendengarnya dengan seksama. Jadi, mobil Martin yang terburu-buru tadi karena ingin beradu latihan dengan Jack Roshel?
Keduanya bermasalah, entah siapa yang memulai pertengkaran pertama kali.
Benar saja, di lintasan bawah sana ada para crew yang sedang mengawal seseorang.
“Wah, itu Martin.”
“Martin!”
“Martin!”
“De Camrige!”
“Tampan sekali.”
Sorak sorai penonton terutama pengagum Martin mulai terdengar bergemuruh. Nika menengok dengan fokus, di sana Martin sudah mengenakan wear pack serta alat pelindung diri seperti helm, sepatu, serta perlindung organ vital lainnya.
Martin berjalan menuju paddocknya untuk memeriksa motor kebanggaan.
Sementara itu di sisi lain, seorang pria bertubuh tinggi tegap serta lengan kokoh sedang mendorong motor yang baru disetting oleh mekaniknya.
Penonton di belakang Nika langsung bersorak ramai.
“Jack Roshel, Jack Roshel, Jack Roshel.” Mereka beryel-yel mengumandangkan nama Jack Roshel.
Nika memperhatikan nomor kendaraan Jack, 93.
Sayang sekali ia tak bisa melihat wajah Jack dengan seksama karena pria itu sudah mengenakan helm full face yang berkaca gelap.
“Woah ini kesempatan yang langka, kita berada di sini tepat saat kedua rival itu beradu.” Orang gemuk tadi berujar kembali.
Mereka yang datang ke sini takkan menyangka jika hari ini ada adu latihan antara Jack dan Martin. Mereka yang semula hanya ingin melihat-lihat sirkuit dan duduk di tribun merasa terkejut sekaligus senang.
Jack mengendarai motornya, ia menggeber knalpotnya hingga terdengar bising.
Nika tak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia meraih kameranya dan segera memotret momen itu. Jaraknya dengan paddock cukup jauh, ia hanya bisa memperbesar dari titik duduknya saat ini.
Gadis itu menyetting aturan kameranya sejenak, setelahnya ia mengarahkan lensa pada obyek di sana.
Ckrek! Ckrek!
Beberapa kali jepretan sudah ia ambil, hasilnya cukup memuaskan meskipun diambil dari jarak yang jauh.
Martin juga sudah keluar dari paddock, ia menatap Jack sejenak sembari tersenyum miring dibalik helm full facenya.
Jack tahu jika Martin sedang meremehkannya, ia hanya mengabaikan itu, Martin memang memiliki sifat yang angkuh.
“Jack, fokus.” Salah seorang crew mendekat pada Jack dan menepuk bahunya.
Jack mengangguk singkat, ia menarik pedal gas menuju ke garis start.
Ini adalah latihan, tapi ia tak bisa meremehkannya begitu saja karena jika sampai Jack kalah, maka Martin akan semakin besar kepala.
Martin juga menyusul ke garis start. Ia membuka kaca helmnya dan melirik pada Jack.
“Berjuang lah dengan keras, Jack.” Martin tersenyum licik.
Nika semakin bersemangat mengambil momen itu, kameranya berkali-kali berhasil menangkap aura permusuhan antara dua pembalap.
Tiga, dua, satu…
Brummm!
Balapan sudah mulai, Jack dan Martin sama-sama menarik pedal gas kuat-kuat. Mereka harus menyelesaikan tiga lap, yang terhitung ada tujuh belas tikungan.
Lap pertama Jack sempat mengungguli, ia berhasil memimpin di lintasan. Jack identik dengan warna oranye, sedangkan Martin berwarna merah tua.
Dari balik helmnya Jack menggigit bibir kuat-kuat, ia harus berhasil menyelesaikan tiga lap ini dan meruntuhkan kesombongan seorang Martin de Camrige.
Bekas air hujan yang membasahi aspal membuat mereka harus berhati-hati, pemilihan ban wet race sangat dibutuhkan.
Jack sedikit oleng di tikungan ke lima, tapi ia bisa mengendalikan kendaraan dengan baik. Namun, hal ini digunakan oleh Martin untuk mengambil kesempatan, ia berhasil menyalip motor Jack dengan selisih waktu dua detik saja.
Jack mencengkeram erat kemudinya, Martin sudah melesat cepat di depan. Ia kembali menambah kecepatannya hingga 280km/jam.
Nika mengambil video pendek saat Jack dan Martin saling kejar-kejaran melewati tribunnya. Baik Jack atau Martin sangat berambisi kali ini.
Memasuki lap kedua, Martin dan Jack setara, keduanya melaju di posisi yang sama. Martin berusaha menyudutkan Jack hingga menepi ke tepian aspal, tapi Jack dengan cerdas mampu memelankan laju kendaraanya, setelah Martin lengah ia kembali menggeber dengan secepat kilat.
“Sial!” Martin menyumpah serapah.
Latihan itu sangat seru dan menantang, ini tidak seperti latihan tapi pertarungan antara hidup dan mati untuk mempertaruhkan harga diri.
Dengan sengaja Martin menantang Jack untuk beradu di lintasan, tentu saja ego Jack tersentil dan ia langsung menerima ajakan itu.
Memasuki lap dan tikungan-tikungan akhir, Jack semakin unggul, jarak keduanya cukup jauh. Martin merasakan ada kesalahan pada motornya, ia berdecih pelan.
Mekaniknya tidak mempersiapkan kendaraan dengan baik, Martin sangat geram.
Garis finish sudah di depan mata, Jack tersenyum senang.
Dengan kecepatan 300km/jam akhirnya ia bisa meraih garis finish. Jack bersorak dalam hati, sedangkan di belakang sana Martin mengerang dengan sebal.
Harga dirinya jatuh, bagaimana mungkin ia bisa kalah dari Jack Roshel. Memalukan!
Jack berhenti di tepi lintasan, menunggu Martin tiba di garis finish.
Saat Martin sudah di sana, ia menampilkan raut datarnya.
“Jangan senang dulu, ini bukanlah akhir, melainkan awal dari kekalahanmu.” Martin berujar dengan nada tajamnya.
Jack merapatkan bibirnya, ia sangat marah dengan Martin, beruntungnya Jack memiliki pengendalian diri yang baik.
“Kalahkan aku di hari H balapan.” Tukas Martin, setelahnya ia melenggang pergi dengan mengegas motornya.
Jack menatap kepergian Martin dengan dingin.
“Selamat Jack, kau memang hebat.” Dave dan Miguel selaku mekanik motor Jack menghampiri pembalapnya.
Jack tidak bangga akan hari ini, justru ini adalah permulaan tantangan di sirkuit.
Balapan yang sesungguhnya akan tiba dan di saat itu ia harus mati-matian mengalahkan Martin.
Penonton melihat itu dengan suka duka. Bagi penggemar Jack, mereka akan senang karena idolanya berhasil mematahkan kesombongan Martin.
Namun, bagi fans Martin mereka sangat kesal.
Nika tersenyum senang, ia senang karena hari ini telah mendapat gambaran dari sosok Jack Roshel.
Ia memeriksa fotonya satu per satu, sangat bagus!
Ketika ia mendongak, Jack Roshel sudah berjalan menuju ke paddocknya kembali, sedangkan motornya dibawa oleh Dave.
Jack melambaikan tangan saat melewati tribun, sekedar menyapa singkat fansnya.
Tatapan Nika dan Jack saling beradu beberapa detik, kebetulan sekali kaca helm pria itu terbuka. Nika bisa melihat mata cokelat keemasan milik pembalap bernomor 93.
Hanya tatapan sekilas, tapi Nika merasa ada yang aneh dengan tatapan itu, seperti tidak asing dengan sang pemilik mata.
Namun, ia buru-buru menggelengkan kepala. Ia bahkan baru datang ke sirkuit dan menonton ajang balap pertama kali, mana mungkin pernah bertemu dengan Jack Roshel sebelumnya, kemungkinan karena Nika sering melihat foto Jack jadi merasa tak asing.
Nika menyalin foto-foto itu pada ponselnya dan mengirimkan beberapa pada Manager Geo, ingin melihat tanggapan pria itu apa yang kurang dan yang perlu diperbaiki, karena Manager Geo terkenal akan keperfeksionisannya.