Jovanka menangis, meringkuk dalam ruang kamarnya yang terlihat sepi. Hanya ada suara isakan kecil dari sosok gadis. Gadis yang kini tengah menanggung siksaan luka tak kasat mata, yang berlahan menggerogoti jiwanya.
"Tan ... gue kangen elo." entah sudah berapa kali kata itu terucap.
Rintihan pilu berkumandang di kamar sang gadis. Seolah kesunyian di dalam ruangan itu ikut bersaksi, menyaksikan sosok Jovanka. Yang meringkuk mengenaskan, bagai orang hilang gairah hidupnya.
Jovanka merasa pening, rasanya sulit sekali untuk terbangun. Hingga getaran di benda pipih yang sedari tadi tergeletak ikut menemani dirinya, bergetar.
Dengan malas Jovanka melihat pesan yang tertera di layar ponselnya.
"Tristan?!" satu nama yang terucap di bibir gadis itu. Dengan segenap kekuatan ia terbangun, pesan chat yang pemuda itu kirimkan mampu menjadi obat untuk kesakitan yang gadis itu rasakan.
Dengan kedua mata berbinar, Jovanka membuka isi pesan tersebut.
Dengan cepat gadis itu membaca pesan dari sang mantan.
Mas Mantan :
"Jov. Gimana kabar elo? Sorry semalem gue dah gag terlalu sadar. Ngantuk banget."
Anda :
"Gue baik-baik aja. Teleponan yuk. Biar lebih jelas."
Setelah mengetik pesan itu, Jovanka tersenyum. Luka kesedihan yang baru saja ia rasakan menguar hilang entah kemana.
Senyuman manis tak luntur dari bilah bibir pucat gadis tersebut. Gara-gara patah hati, ia lupa mandi dan bersolek.
Tak berapa lama Tristan menghubungi Jovanka.
"Halo ...," sambut suara lembut dari sang gadis.
"Jov. Elo lagi ngapain?" tanya Tristan selanjutnya. Sungguh, suara pemuda itu terasa menggelitik di telinga sang gadis. Membuatnya senantiasa ingin tersenyum cekikikan.
Jovanka sudah girang tak kepalang. Jingkrak-jingkrak bak orang kesetanan. Andai Tristan melihat, mungkin pemuda itu akan heran.
"Gu-gue lagi. Sekarang lagi nonton YouTube." alasannya. Aduh kenapa Jovanka mendadak blo'on gini sih?.
"YouTube? Elo punya dua ponsel?" tanya sang pemuda.
Jovanka menepuk keningnya.
"Ah, gue nontonnya di lepi," kekehnya hambar. Lepi apaan boro-boro punya lepi. HP aja kredit.
"Oh ... Cowok elo anak mana sekarang?" tanya Tristan lagi, lambat laun Jovanka semakin terbiasa dengan percakapannya bersama Tristan.
"Anak sini aja. Elo sendiri udah punya cewek belum?" tanya Jovanka sebaliknya.
"Banyak. Tapi males aja, belom ada yang nempel di ati. Ada sih satu, tapi entahlah," jawab pemuda itu bingung.
Jovanka menyunggingkan senyum evilnya. Sebelum janur kuning melengkung masih bisa di tikung.
"Oh, sama dong kalau gitu. Dah gitu emak gue nyuruh cepet-cepet nikah. Mau nikah ma siapa coba. Ama pohon?!" celetuknya.
Tristan sudah tertawa terbahak-bahak. Ternyata Jovanka tetaplah sama. Sejujurnya mereka sama-sama ingin mengungkapkan rasa. Jika masih saling butuh, tak ada yang bisa gantiin. Tapi ya gitu, mereka berdua sama-sama labil. Terlalu gengsi buat nyatain perasaan. Hingga gini deh saling curhat. Bilang katanya nggak nyaman sama pasangan masing-masing. Tinggal bilang 'kalau gue masih cinta sama elo, nggak ada yang bisa gantiin elo' gitu doang sih. Tapi mereka berdua suka banget buat hidup mereka ribet.
"Nikah aja sama cowok elo yang sekarang." kekeh Tristan. Meski dalam hatinya terasa tercubit.
"Enggak, gue nggak cinta ama dia. Sebenernya cinta sih, cuma ya ... gue masih belum dapet kenyamanan ama dia," tutur Jovanka. Ia kecewa, kenapa Tristan nyuruh dia nikah sama orang lain.
"Emang elo udah mau nikah?" tanya Jovanka kemudian.
"Pengen sih, gue juga lagi serius ama cewek. Gue harap dia jadi pelabuhan hati gue untuk yang terakhir. Nggak yakin juga sih, hehe."
Jovanka menggertakkan gigi-giginya. Ia tak rela jika Tristan gandeng sama cewek lain selain dirinya. Tristan miliknya dan akan tetap seperti itu selamanya.
"Tan," panggil Jovanka lirih.
"Iya?"
Jovanka menyenderkan punggungnya di tembok belakangnya. Menerawang langit-langit tempat tinggalnya. Memfokuskan perhatiannya pada laba-laba kecil yang terlihat tengah membuat sarang di atas sana.
Tristan juga menyenderkan punggungnya di tembok ruang kamarnya. Menatap pajangan bendera kebangsaannya yang sengaja ia pajang di dinding. Agar ia selalu ingat akan tanah airnya.
"Gue masih cinta sama elo." Entah keberanian dari mana, hingga Jovanka mampu mengutarakan perasaannya. Mungkin karena takut kehilangan Tristan didalam hatinya terlampau tinggi. Hingga mendorong hatinya untuk berucap. Mencegah sang lawan hati pergi.
Tristan terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Kata-kata Jovanka di masa lalu saat memutuskan dirinya msih terngiang. Ia takut jika menerima cinta gadis itu. Masa lalu yang pernah ia rasakan akan kembali terulang. Ia takut Jovanka akan membuat hatinya kembali sakit.
"Jov. Kita jalanin aja ya hubungan kita ini. Kayak teman biasa gitu. Elo boleh cerita sama gue, tentang kehidupan elo di sana. Gue janji bakal tetap ada buat elo. Gue nggak bakal nikah sebelum elo nikah duluan."
Ucapan Tristan lagi-lagi mematahkan semangat tempur seorang Jovanka untuk mendapatkan kembali hati seorang Tristan. Namun Jovanka tidak akan menyerah, pantang mundur sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Janji ya ... elo bakal tetap ada buat gue. Melebihi seorang teman."
"Iya, kita jalanin aja hubungan kita yang semu ini. Gue punya pacar, elo juga punya pacar."
"Lalu hubungan kita apa namanya. Nggak estetik amat." kekeh Jovanka.
"Apa ya? Terserah elo aja. Maunya hubungan apa."
"Pacar silver, biar lebih estetik gitu. Gue mau, elo jadi pacar gue, kalau bisa jadi suami gue nantinya." tawa Jovanka, bermaksud bercanda. Namun sesungguhnya yang ia rasakan memang begitu adanya.
"Bisa ae lo. Kita pacaran diam-diam aja. Biar nggak sakit hati lagi. Nanti kalau gue pulang dan elo belum punya suami. Kita balikan lagi ya! Gue mutusin pacar gue. Dan elo juga harus gitu."
Jovanka mengangguk brutal. Walau ia tau sang lawan bicara tak mungkin melihat apa yang ia lakukan.
"Semoga aja kita berjodoh."
"Iya, yakin aja. Kalau jodoh nggak akan kemana. Tapi ngomong-ngomong, si Rofiq udah nembak elo belom?" tawa Tristan menggelegar.
Jovanka rasanya sudah ingin mengumpat. Jika tak mengingat dirinya sedang berjuang. Jangan sampai Tristan kabur dari genggamannya gegara denger dia ngumpat nggak ada akhlak.
"Kok elo tau? Sumpah dedeg gue ama tuh bocah." gerutu Jovanka.
"Gue cuma nebak aja. Soalnya dia yang udah buat kita jauh-jauhan kek gini."
Jovanka teringat jika dirinya belum meminta maaf pada sang lawan bicaranya.
"Tan. Gue mau minta maaf sama elo. Gue dah salah udah nuduh elo yang enggak-enggak." sesalnya.
"Udah nggak apa-apa. Dari awal gue yang salah. Lupain aja, lagian dah masa lalu. Gue nggak mau inget lagi masalah itu. Sakit banget ati gue." dramatis Tristan. Meski tak dapat dipungkiri, jika hatinya sedikit merasa lega. Karena Jovanka akhirnya sudah mengetahui semuanya.
Di sini Tristan merasa bingung, di sisi lain ia harus melindungi hati seseorang. Dan di sisi lain ada Jovanka yang butuh dirinya juga. Andai Jovanka datang lebih awal. Mungkin hubungan mereka masih bisa terselamatkan. Tapi sekarang berbeda. Mereka sudah tak saling percaya satu sama lain. Sangat sulit untuk memperbaiki kisah cinta yang sudah dua tahun terpisah. Dan sekarang kembali dipertemukan, untuk kembali menjalin hubungan tanpa status yang pasti.
"Gue pengen liat cewek elo. Cantikan gue apa dia." tawa Jovanka.
"Gue kirimin fotonya ya ... menurut elo dia cocok apa enggak buat gue."
Pertanyaan bercanda Tristan tanpa sengaja menusuk hati Jovanka. Sakit, saat elo harus disuruh nilai cewek lain buat bersanding sama cowok yang elo sukai.
Jovanka tidak menjawab.
"Jov. Gue juga pen liat cowok elo."
Jovanka tidak bodoh. Ia tak ingin membuat Tristan sakit hati jika dia memberitahukan perihal pasangannya pada pemuda itu. Ia tau bagaimana rasanya, dan ia tak ingin Tristan merasakan hal yang sama. Biarlah ia menyimpan sesuatu mengenai kehidupan pribadinya. Terkadang berbohong demi menjaga hati itu lebih baik. Dari pada jujur hanya akan menambah luka.
"Cowok gue banyak. Gue nggak pernah nyimpen foto mereka." ucap Jovanka kemudian.
Sudah hampir satu jam lamanya mereka berdua berbincang. Dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri perbincangan.
Kini Jovanka memutuskan untuk mandi. Energi positif yang Tristan salurkan benar-benar membuat Jovanka berasa hidup kembali.
Sampai-sampai gadis itu lupa dengan kekasihnya sendiri.
Dani merasa kesal. Karena sang kekasih sangat sulit dihubungi.
"Sial! Kenapa sibuk mulu sih? Teleponan ama siapa elo Jov?!" emosi pemuda itu. Ingin rasanya membanting HP nya. Namun jika ia melakukannya, ia sendiri yang akan rugi. Duit hasil dia kerja udah ludes buat beliin semua kemauan Jovanka. Ia pura-pura sok tajir, biar Jovanka betah pacaran ama dia. Bukan cuma jampi-jampi doang. Butuh pengorbanan juga buat dapetin cewek.
"Udah satu Minggu lebih. Pasti jampi-jampi si embah udah luntur ini. Keknya gue harus minta lagi. Biar Jovanka tetap cinta sama gue. Anjir bat dah! Nggak ada jampe unlimited gitu apa. Biar full tiap bulan. Nggak bolak-balik isi pelet."
Anjim banget tuh bocah curut. Di kata jampi kek isi kouta? Pakek nego ada yang unlimited segala.
Di sinilah sekarang Dani berada. Di kediaman Jovanka.
"Mama ... apa kamu ada di dalam?" tanyanya di luar pintu.
Jovanka ingin melempar sendal ke arah pemuda itu rasanya. Ih, geli banget denger panggilan sayang dari tuh anak.
Jovanka mengehentikan langkahnya menuju ke arah pintu.
CKLEK!!
"Udah gue bilang berapa kali ama elo Dan! Jangan pernah panggil gue dengan sebutan menggelikan kek gitu!"
"Kan ini panggilan sayang aku buat kamu Ma."
"Sekali lagi elo manggil gue dengan sebutan gitu. Gue tabok! Norak tau nggak?!"
"Iya-iya, aku nggak bakalan manggil kek gitu lagi ke kamu. Ini makanan buat kamu." ucapnya, sembari menyodorkan makanan ke arah Jovanka.
"Kita makan bareng ya!" ajak gadis itu.
"Enggak-enggak, makasih. Aku udah makan tadi di rumah." tolaknya cepat.
Jovanka sedikit merasa aneh. Kenapa Dani selalu terlihat aneh jika sedang membawakan makanan untuknya. Dia selalu menolak jika ia ajak makan bersama. Tapi, ya sudahlah ... nggak penting juga.
Jovanka memakan makanan yang dibawakan Dani, dengan lahapnya.
Tanpa menyadari seringaian dari pemuda yang kini berada di sebelahnya tersebut.