MDU 03

1502 Kata
Keesokan paginya. Seperti biasa, Tristan selalu berangkat pagi ke tempat kerjanya. Untuk apa? Tentunya untuk menunggu sang pujaan hati lewat. Pemuda itu sesekali menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah siang, kemana sih tuh cewek?!" lirihnya. "Ngapain sih, loe? Ngedumel mulu dari tadi?!" cerca salah satu teman kerjanya. "Pen tau aja, loe!" sinis Tristan. "Njir ... gue kena sengak!" "Bodo!" Tristan menghela napas lelahnya, sudah terlalu siang, mungkin Jovanka tidak masuk kerja. Apa gadis itu sakit? Batinnya bertanya-tanya. Tristan akhirnya memutuskan untuk mendatangi kontrakan gadis itu, nanti sepulang kerja. *** Jovanka sedang asik menghabiskan waktunya di rumah. Jarang-jarang ia mengambil cuti. Beberapa bulan bekerja, sukses membuat Jovanka glow up seketika. Yang dulunya dia terlihat dekil, kini menjelma menjadi sosok gadis cantik, putih, bertubuh semampai. Terlihat gadis itu tersenyum, menatap layar ponselnya. "Dulu aja gag ada yang lirik gue, giliran gue dah cantik pada ngantri minta nomor HP. Anjim, dasar cowok!" gerutu Jovanka dalam hati. Namun beberapa saat kemudian, gadis itu menyunggingkan sebelah bibirnya. "Keknya, gag masalah kalau gue jadiin mereka serepan. Salah sendiri berani deketin seorang Jovanka," kekeh gadis itu, sinis. Dua hari telah berlalu. Sudah waktunya Jovanka kembali ke tempat kerjanya. "Nak, kamu berangkat kerja naik apa? Ojek?" tanya sang ibu. "Enggak, Buk ... diantar temen," cengir Jovanka. Sang ibu hanya menautkan kedua alisnya. "Siapa? Anak mana? Jangan deket-deket sama lelaki." Biasalah ibuk mah gitu, liat anaknya deket ama cowok udah parno duluan. Takut kalau anaknya si apa-apain, gak enak jadi omongan tetangga. Biasalah hidup di desa mah gitu, liat anak prawan di gandeng cowok. Dah langsung jadi trending topik seantero kampung. Padahal gag semua orang kek yang mereka pikirin. "Tenang aja, Buk ... aku di antar Romi," ucapku. "Romi? Anaknya Pak Lurah itu?!" seru ibuku, terlihat antusias. Sontak aku terkejut, eh kok ibuk santai bae? Gak ada marah-marahnya gitu? Malah terkesan oke aja. "Iya, kenapa memangnya, Buk? Gag boleh ya?" tanyaku. "Boleh, lagi pula Romi anaknya baik," puji ibuku. Astaga ... nih ibuk, giliran anaknya lurah langsung aja di iyain. Padahal gue gag suka-suka amat ama tuh cowok. Ganteng sih iya, tapi ada yang kurang di mata gue. Kek bukan selera gue gitu. Tak lama kemudian. "Permisi ... Buk," Romi datang ke rumahku dan langsung membungkuk sopan, mencium punggung telapak tangan ibuku. Ih, ngapain sih ibuk senyum kek gitu? Kek lagi ketemu calon mantu. "Buk, saya minta ijin nganter Jovanka," ijin Romi, sopan banget. Dih, suaranya pakek dibuat-buat. Aslinya mah bar-bar. "Iya, Nak ... jaga anak Ibuk, ya! Dia tuh nakal, anaknya," ucap ibuku. "Buk ... jangan berlebihan deh, ah!" sergahku. "Gag boleh gitu, Jov ... Ibuk kan cuma khawatir, takut anak cantiknya di ambil orang!" imbuh Romi. Anjim! Gag usah caper deh di depan nyokap gue. "Dah ah, ayo anterin gue! Dah siang ini," malasku. "Jovanka ... gag boleh gitu, ih ... sama Nak Romi," Ini kenapa jadi ibuk gue mendukung banget tuh cowok kucrut. "Iya ... aku berangkat dulu, Buk!" pamitku. "Iya ... hati-hati Nak, dan Nak Romi ... ingat pesan Ibuk! Jaga anak Ibuk ini, ya ..." Romi tersenyum menang. "Iya, Buk! Percayakan anak cantik ini padaku!" percaya dirinya. "Dah ... gag usah banyak omong," gue tuh gag suka ama cowok yang terlalu banyak bicara. Mungkin ini yang buat gue gag srek ama si Romi. Akhirnya Jovanka berangkat ke tempat kerjanya diantar Romi. Naik motor ninja yang udah di modifikasi sedemikian rupa. Romi tuh anaknya keren, cakep dah gitu tajir. Anak Pak Lurah lagi, kalau gak tajir mana mungkin Jovanka mau temenan ama tuh cowok. "Pegangan donk, Jov ...," pinta Romi, seraya menstater motornya. "Apaan sih! Gini aja, udah," ucapku, sembari memegang kedua pundak Romi. "Gak romantis banget deh, pegangan sini!" Romi meraih kedua tangan Jovanka dan melingkarkannya di pinggang pemuda tersebut. "Nah ... gini kan romantis!" kekeh Romi. Jovanka hanya bisa merolling bola matanya malas. "Heh ... serah loe!" Selanjutnya Romi menjalankan motornya. Jovanka sebenarnya tidak nyaman dalam posisi seperti ini, bagaimana tidak? Jika jarak d**a montoknya harus berdempetan dengan punggung Romi. Menang banyak donk, tuh cowok. Tepat di sebuah jalan menurun. "Eh, napa remnya ditahan-tahan gini sih?" tanyaku. Jujur gue sebel banget, tanpa sadar d**a gue mentok di punggung Romi, secara tuh anak ngerem ditahan-tahan. "Enak tau gak?!" ucap Romi, dengan nada nakalnya. "Apanya yang enak?!" "Ada yang mentok, empuk-empuk kenyal," "Anjirrr ... otak lu gesrek!" sukses kepala Romi jadi bahan geplakan Jovanka. Jovanka segera menarik tangannya dan memberi jarak antara dadanya dengan punggung Romi. "Lha, kok menjauh? Nanti kamu jatuh loh ..." ucap Romi. "Bodo amat!" cerca Jovanka. Terpaksa Romi memelankan laju motornya, takut jika sampai gadis di belakangnya jatuh. Beberapa menit kemudian akhirnya mereka berdua sampai di kontrakan Jovanka. "Di mana tempatmu kerja?" tanya Romi. "Noh! Di pabrik sebrang!" cuek Jovanka, sibuk membereskan barang-barangnya. "Kamu mau langsung kerja?" "Iya lah ... mau ngapain lagi emang?!" "Aku anterin, ya?!" "Kagak usah! Gue biasa jalan kaki," tolak Jovanka. "Udah gak apa-apa, aku anterin aja," "Serah loe!" Berakhir Jovanka menurut apa kata Romi. Walau jarak kontrakan dengan tempatnya kerja hanya memakan waktu lima menit jika jalan kaki. "Deket ternyata, he ... he," kekeh Romi, setelah mengantarkan Jovanka sampai depan gerbang pabrik tempat gadis itu bekerja. "Lha, iya! Kan gue dah bilang!" "Ya udah, aku pulang dulu, ya ..." pamitnya. "Ya ..." "Gag ada yang lain gitu?" Romi menggaruk tengkuknya. Jovanka menukikkan sebelah alisnya. "Apaan?!" "Kiss, kek," "Oh, kiss ..." Jovanka manggut-manggut, mendekati Romi. "Nih, kiss makek sendal gue, mau loe?!" dengan secepat kilat Jovanka melepas sendalnya dan mengangkat tinggi-tinggi, siap melayang ke arah Romi. "Eh ... eh, enggak mau! Ok, aku pulang sekarang. Elah ... becanda doank kali, ah!" cepat-cepat Romi bergegas memakai helmnya. Membuka kaca helmnya, dan tersenyum manis ke arah Jovanka. "Hati-hati ya ... kerjanya! Aku pulang dulu. Kalau kapan-kapan kamu mau pulang, jangan lupa hubungi aku. Aku siap kok jadi ojek gratisanmu!" Jovanka tersenyum begitu manis. "E'em ..." Romi menghela napas lemasnya, seraya memegang d**a kirinya. "Manisnya senyuman calon pacarku," "Anjir, cepat pulang!" emosi Jovanka, meninggalkan Romi di depan gerbang. Mereka tak menyadari jika ada sosok pemuda yang sedari tadi mengawasi aktivitas mereka berdua. Ya! Sosok itu tak lain adalah Tristan, terlihat pemuda itu tengah menahan emosi. Terbukti dari cengkraman tangannya pada besi yang ia pegang. Hingga! "Mas, benerin bemper mobilku, ya!" "b******k! Berisik loe!" reflek Tristan mengumpat pada sosok pria yang berbicara padanya. "Weh, yang sopan Mas! Tak laporin atasan kamu loh, bisa-bisa kalau begini." marah pria tersebut. "Astaga! Maaf, Pak! Saya tidak sengaja," cengo Tristan, kenapa dia begitu bodoh. Rofik yang melihat gelagat sahabatnya hanya bisa menggeleng kecil. "Fokus kerja, Bro!" kekehnya. "Sialan, loe!" umpat Tristan, melanjutkan pekerjaannya. Meski dalam otaknya masih terngiang jelas bagaimana sosok gadis yang ia incar tengah bercanda dengan sosok lelaki lain. Sore menjelang, sudah waktunya para pegawai selesai dengan pekerjaannya. Seperti biasa, Tristan selalu menunggu kepulangan Jovanka. Pemuda itu terlihat sedikit murung, sambil menyandarkan punggungnya di tembok bangunan tempatnya bekerja. Tak lama gadis yang ia tunggu akhirnya datang. "Cantik ... dah pulang," Jovanka berhenti sejenak, menatap sinis ke arah Tristan. "Menurut, loe?!" "Jangan galak-galak, nanti cepet tua," "Basi!" sahut Jovanka, siap melenggang pergi. Sebelum! "Jo ...," panggil Tristan serius. Jovanka mengernyitkan dahinya. "Ada apa lagi?" "Tadi siapa yang mengantarmu? Apa dia pacarmu?" Jovanka tak bodoh untuk tak menyadari kecemburuan Tristan. "Bukan!" singkatnya. Tristan tersenyum, hatinya sedikit lega mendengar jawaban Jovanka. Meski terbesit rasa ragu, ia takut kalah saing dengan pemuda itu. "Syukurlah," "Apaan sih loe, gue mau pulang! Udah gak ada yang loe tanyain lagi kan?" Tristan menggeleng brutal. "Ya udah, gue pulang!" Jovanka melangkah pergi dari hadapan Tristan, seulas senyum tipis tergaris di bibir merah mudanya. Namun ia segera menggelengkan kepalanya, menghapus pikiran konyol yang tiba-tiba melintas di dalam benaknya. "Jov ... nanti aku main ke kontrakan kamu, ya!!!" teriak Tristan dari belakang Jovanka. Jovanka tak menyahut, ia justru melanjutkan perjalanannya. Malam pun tiba. Jovanka tengah beristirahat sambil membaca buku n****+ kesayangannya di depan TV. Tak lama terdengar bunyi ketukan pintu. TOK ... TOK ... TOK ... Dengan sangat malasnya Jovanka berdiri dan berjalan menuju ke arah pintu, menengok siapa yang malam-malam begini datang bertamu. "Eloe ..." malas Jovanka, setelah melihat siapa yang datang. Sedang sosok tamu yang tak tak diundang itu hanya nyengir bodoh. "Hi ... aku bawa roti bakar kesukaan kamu, nih!" Tristan memasuki ruang kontrakan gadis tersebut. Sontak kedua bola mata Jovanka berbinar. "Wah ... tau aja loe, kalau gue sedang lapar. Sini!" rebutnya paksa pada kantung plastik di tangan Tristan. Dengan santainya Jovanka memakan lahap roti bakar rasa spesial di hadapannya. Sedang Tristan hanya tersenyum, memandang cara makan gadis bar-bar di hadapannya ini. "Kenapa? Loe mau?" Jovanka menghentikan acara makannya. Dan menyodorkan makanan tersebut ke arah pemuda di hadapannya. "Aku udah kenyang liat kamu makan," "Ck .." decak Jovanka, merasa bosan dengan gombalan absurd pemuda di hadapannya. "Em, kemarin kamu kemana? Kok gak masuk kerja?" tanya Tristan selanjutnya. "Oh, aku pulang. Kangen ama ayah-ibuk," "Kok gak ajak aku, aku kan bisa anterin!" "Udah ada yang anter!" "Siapa? Cowok tadi?" tanya Tristan penasaran. "Bukan," Tristan menajamkan pandangannya. Apa? Beda cowok lagi? Astaga ... banyak sekali sainganku. Derita Tristan dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN