MDU 04

1485 Kata
"Jov!" Sang gadis yang merasa terpanggil sontak menghentikan langkahnya, dengan satu kaki terhentak sebal. Membalik badannya, dengan tatapan mata nyalang. "Apa lagi, hah?!" "Hati-hati kalau kerja, jaga kesehatan, jangan lupa makan, biar tetep idup. Biar nanti bisa jadi pendampingnya, Mas Ganteng ini." "Bacot, lu!" tanpa ingin lagi berbicara, Jovanka segara masuk ke dalam bangunan, tempat kerjanya. Meninggalkan sosok Tristan yang kini menggeleng geli. Di tempat kerja Jovanka. "Ck, nih tukang carmuk dah dateng!" baru saja masuk udah di semprot ama nyinyiran si mulut balado. Gue mah ogah ngurusin remahan koreng kyak mereka. "Serah lo!" malas Jovanka, melenggang pergi gitu aja, tanpa menghiraukan dua gadis di belakangnya. Yang mana semakin membuat mereka benci pada Jovanka. Selesai bersiap, Jovanka langsung masuk ke ruang kerjanya. Hah! Bertarung dengan rempah-rempah lagi, teman. "Jovanka," panggil sosok pemuda yang bernama Yhosi. "Apa sih?! Jangan panggil-panggil, tau gak? Udara pagi gue tercemar ama suara lo!" "Kejam amat sih, tar cantiknya ilang loh." "Ilang tinggal lapor polisi!" "Elah ... biar bisa borgol perasaan kita, ya?!" teriak sosok lain yang biasa dipanggil Mico. "Lu juga ngikut-ngikut, dasar Kiko!" "Mico! Jangan ganti-ganti nama orang, tar mak gue nangis dengernya." "Lah! Emak elo hebat, ya. Elonya di sini, emak lo di rumah, bisa denger. Telepati kalian kuat banget." "Jov ... gitu amat sih," melas Mico. "Jov, ini minum buat lo ... tadi gue beli di depan," sosok pemuda lain yang bernama Dino, menyodorkan sebotol minuman pada sosok gadis tersebut. Pemuda ini mainnya halus guys ... pelan tapi pasti. Bermain manis di belakang temen gengnya. "Makasih," gue beri bonus senyuman manis. Tuh cowok malah tersenyum lebay, anjim banget dah! Gue eneg liatnya. Gue pura-pura enggak liat aja! Makin ilfell tau gak sih?!. Pukul 12:00 Sudah waktunya para pekerja pabrik untuk istirahat sejenak. Sekedar melepas lelah, Jovanka menidurkan tubuhnya di ranjang kecil, samping sahabatnya-Bela. "Bel, gue kok ngerasa tetep belum bisa adaptasi di tempat ini, ya!" Bela memiringkan kepalanya, menatap ke arah sang sahabat. "Kenapa? Apa karena temen-temen? Udah, abiakan aja! Mereka enggak gaji kita, selama mereka enggak gangguin kita, kita diem aja!" Sedikit masuk akal ucapan Bela, harusnya memang begitu. Untuk apa takut pada seseorang yang bahkan sama sekali tak menguntungkan. Anggap saja batu simpangan. "Iya, bener juga apa yang lo bilang!" "Nah! Mending santai aja, biarin mereka nyiyir. Tar lama-lama juga capek sendiri mulut mereka!" "Tapi risih kuping gue dengernya!" "Anggap aja radio rusak, tar juga mati sendiri." Jovanka memilih menghedikan bahunya acuh. Dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Jovanka cantik, boleh gue bantuin enggak?" datang seorang Yhosi, menopang bahunya dengan kedua telapak tangannya. Seraya menatap wajah Jovanka dengan tatapan menggoda. "Elo pergi! Atau pilih gue kasih bumbu wajah Lo, sekarang!" ketua gadis itu, sembari mengangkat semangkuk bumbu balado yang ada di telapak tangan kanannya. "Galak amat sih, Jo ... gue kan cuma mau bantuin doang," jengah pemuda itu, merasa terabaikan. "Sayangnya, gue gak butuh bantuan siapapun!" Yhosi mendengus sebal, melenggang pergi dengan langkah lunglai. "Yakk!!! Ada apa dengan sang playboy kita ini, hah? Kusut amat mukanya. Pengen gue strika enggak?" ejek sang sahabat-Mico. "Gue heran sama si Jovanka, dia tuh beda sama cewek-cewek yang pernah gue kenal." "Bedanya kek gimana? Perasaan elo enggak pernah gagal, kalau masalah naklukin berbagai jenis cewek." "Dia tuh beda! Sulit banget buat dirayu." "Boleh gue coba enggak?" Mico menaik turunkan kedua alisnya. Memang dasarnya ketiga pemuda itu merupakan trio playboy cap kaki buaya. Jadi tak heran jika mereka bertiga sering joinan pacar, bosan yang satu lempar ke satu sahabat. Begitu seterusnya. Namun beda, jika mereka sudah menemukan cinta sejati, tak akan mungkin mereka mau berbagi. "Eh, jangan dong! Dia baik, jangan mainin dia." lirih Yhosi. "Ada apa dengan sahabat kita ini, Din! Gayanya sok punya belas kasihan. Padahal cewek-ceweknya se-renteng kek shampo gocengan." kekeh Mico, menyenggol lengan Dino. "Biarin aja, siapa tau dia mau tobat." Padahal dalam hati, Dino juga menyimpan rasa pada Jovanka. Dia penasaran sama tuh cewek. Dia juga janji pada dirinya sendiri, kalau sampai Jovanka mau nerima cintanya dia, dia bakal setia ampek mati, ampek kiamat, ampek lebaran monyet jika perlu. "Dalam kamus trio playboy cap kaki buaya, enggak ada istilah tobat. Pantang tobat sebelum tua," "Anjir lo! Gue enggak ikut-ikutan. Gue mah ogah kalau jadi playboy ampek tua. Kagak laku yang ada!" sergah Dino tak terima. *** Malam ini, tepat malam Minggu. Di mana para komunitas joblo sejati meraung, merintih, karena merasa iri melihat banyaknya para pasangan sejoli saling bertautan jemari tangan, lari kejar-kejaran di taman bak film-film Hindia. Jovanka yang bosan di dalan kontrakan, akhirnya memutuskan untuk pergi jalan-jalan ke taman. Sekedar melepas penat, mencari cilok buat ganjel perut kalau ada. Mayan lah murah meriah, penting kenyang. Gadis itu duduk anteng di pinggiran taman, bak patung hiasan di sana. Seraya memakan sebungkus cilok di tangan kanannya. Persis kek bocah ilang. Menatap lesu ke arah di mana banyak gadis maupun pemuda yang tengah memadu kasih. "Kapan gue bisa ditarik-tarik kek tuh cewek," tanyanya pada udara kosong. Sembari menyuapkan cilok pentol kedalam mulutnya. Menatap sosok gadis yang kini tengah tertawa lepas, berlari dengan tangan bergandengan dengan pasangannya. "Mana ada yang mau narik cewek jutek kek elo. Yang ada mah, noh! Trek tronton yang narik elo!" "Anjir!!!" Jovanka terkejut karena tiba-tiba ada sosok pemuda tak diundang duduk di sebelahnya. Sosok itu yang tak lain adalah Tristan ikut meloncat kaget. "Gitu amat sih kamu, Jov. Kek abis liat setan aja," ucap Tristan dengan tampang polosnya. "Lha emang elo lebih serem ketimbang setan. Setan aja takut liat tampang elo!" maki Jovanka, saking kesalnya. Tristan langsung mengambil kaca kecil lengkap dengan sisir rambut dari dalam saku celananya. Berkaca sekaligus menyugar rambutnya ke belakang. "Tampang ganteng kek Lee Min Hoo gini dibilang kek setan. Jangan ngadi-ngadi kamu, Jov." Jovanka masih cengo, tak ingin menjawab ucapan pemuda di sampingnya ini. Ia justru menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari tempat duduk Tristan. Pura-pura tak mengenal pemuda tersebut, malu banget rasanya. Ya, kali. Pakek bawa kaca ama sisir segala. Apa kata orang lewat coba?. "Jov, kok menjauh sih? Apa aku bau ya? Perasaan udah makek minyak baju sebotol." ucapnya, sembari mencium bajunya sendiri. Jovanka hanya merolling bola matanya malas. Dan memilih pergi dari tempat itu, meninggalkan sosok Tristan yang kini ikut berlari di belakangnya. "Jov! Kok kamu tinggalin aku sih? Tungguin dong!" teriaknya. Namun tetap tak digubris oleh gadis yang terlihat berjalan mendahuluinya. Jovanka memilih melanjutkan perjalanannya, sedang Tristan terus saja mengekor dirinya dari belakang. Sesekali ada lelaki hidung belang yang ingin menggoda Jovanka. Namun seketika mereka meringsut mundur, saat tanpa sengaja melihat sosok pemuda di belakang gadis itu yang menatap mereka dengan tatapan sengit, seraya mengepalkan bogeman tangannya. Jovanka merasa aneh, ia menghentikan langkahnya sejenak. Dan menoleh ke belakang. Seketika Tristan memalingkan wajahnya, sembari bersiul. "Ck, udah aneh, hidup lagi. Menuh-menuhin bumi aja," gerutunya, seraya menghentakkan kakinya. Tristan tersenyum simpul. "Aku bakal jagain kamu, Jov. Aku janji bakal dapetin hati kamu." batin Tristan. Sesampainya di kontrakan Jovanka. "Loh! Lo ngapain Bambang, ngikutin gue ampek kontrakan?" jengah gadis itu, merasa kesal karena Tristan tetap saja mengikuti dirinya. "Mau nginep," jawab Tristan asal. "Mau gue timpuk pala lo!" emosi Jovanka. "Mau dong, janji timpuknya makek sayang," Tristan semakin menggoda gadis di hadapannya. Jovanka sudah hilang kesabaran, ia segera mengangkat sapu yang tersender di tebok kamarnya. Mengangkat tinggi-tinggi, siap memukul sosok parasit di hadapannya ini. "Pergi, atau elo mau liat pemandangan sapu terbang malam ini!" "Iya, iya. Gue pulang, bobok yang nyenyak ya, Sayangku." kikik Tristan, sambil berlari. Takut kena amukan dari kucing galak di belakangnya. "Sialan lo. Gue heran, napa ada orang modelan kek panci penyok gitu sih?!" geram Jovanka. Tak sadar jika ada sosok wanita gemuk tengah berkacak pinggang di sampingnya. "Terus, terus! Seneng ya, buat tetangga keganggu." "Eh, ibuk kos. Maaf Buk, ada nyamuk lewat tadi." kekeh garing gadis tersebut. Sebelum ngacir masuk ke dalam kamarnya, tak ingin mendapat amukan dari beruang betina ini. Jovanka menidurkan tubuhnya di kasur spon kecil dalam kamarnya. Berantakan kedua tangannya. "Kenapa ya, semua cowok yang ngedeketin gue kagak ada yang bener. Pada gila semuanya. Gue juga pengen banget bisa ngerasain cinta kek orang-orang." gumamnya. "Eh, kok gue ngomong sendiri sih? Jangan-jangan gue udah ketular virusnya di Tristan vampir gila itu." Jovanka memilih memejamkan kedua matanya. Tak ingin lagi bergumam bak orang gila. Keesokan paginya. Seperti biasa, Jovanka menjalani aktifitas sehari-harinya. Bekerja dan bekerja, hanya hal itu yang gadis itu jalani. Rasa bosan terkadang melanda, ingin ia berhenti dan mencari pekerjaan lain, tapi apa? Ia sendiri tak punya kelihaian dalam hal bekerja. Terkadang ingin pergi merantau ke luar negeri. Tapi semua tak akan mungkin terjadi, kedua orang tuanya selalu menolak keras akan keinginannya tersebut. "Jovanka," suara seorang pemuda yang sudah menjadi sirine alarm pagi Jovanka. "Bisa nggak sih, nggak usah ganggu hidup gue?!" jengah Jovanka. "Kagak," santai pemuda-Tristan, dengan nada yang dibuat menjengkelkan. "Ngomong ama gue bayar!" "Cie ... pasang tarif nih, ye ...," "Khusus buat cowok gila macam lo!" "Kok tau sih ... kalau aku gila sama kamu." "Argggghh!" Jovanka mengacak rambutnya, terlampau lelah jika berurusan dengan makhluk jadi-jadian satu ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN