Jovanka sedikit merasa takut terhadap Tristan. Pemuda itu begitu berbeda, obsesi terhadap dirinya terlalu tinggi. Hingga membuat pemuda tersebut rela menghalalkan segala cara untuk memiliki Jovanka.
"Gue harus bagaimana? Pokoknya gue nggak mau tau. Gue harus putus dari cowok gila itu." ujarnya dalam hati.
Tak lama ponsel gadis itu berbunyi.
"Siapa sih yang telpon pagi-pagi gini? Gak da akhlak emang!"
Jovanka hanya membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Tanpa ada maksud untuk menjawabnya.
"Males gue," ucapnya, sembari melempar benda pipih itu ke kasurnya.
Namun lagi-lagi ponsel itu kembali berbunyi. Tapi kali ini hanya pesan chat saja. Jovanka membaca isi pesan di ponselnya. Dan selanjutnya bergegas ganti baju. Hari ini pabrik libur, jadi Jovanka memutuskan untuk menerima tawaran dari sosok yang menghubunginya. Sosok pemuda yang tak lain adalah Very.
Tak lama kemudian pemuda itu sampai ke kontrakan Jovanka.
"Udah siap belum?" tanyanya.
"Udah, mau kemana sih?"
"Ikut aja ayok! Nanti tau sendiri." sahut Very, menepuk jok motornya.
Jovanka menghela napas malasnya, kemudian menaiki motor pemuda tersebut.
Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan.
Sebuah perbukitan kebun teh yang terlihat begitu indah.
"Wahhh ... estetik banget woee!!!" teriak Jovanka. Kagum akan keindahan pemandangan di sana.
"Kamu suka nggak? Ini kebun milik papa aku!"
Kedua mata Jovanka berbinar.
"Elo seriusan?!"
"Em," gumam Very.
"Jov!" panggil pemuda itu.
"Em? Apa?" tanya Jovanka, memicingkan kedua matanya. Karena silau akan sinar matahari yang menerpa indranya.
"Aku suka sama kamu."
Seketika senyuman di bibir Jovanka meredup. Gadis itu mendekatkan dirinya di hadapan pemuda tersebut. Menangkup punggung telapak tangan pemuda di hadapannya.
"Elo tau sendiri kan? Apa jawaban gue." ucap lembut Jovanka.
Very tersenyum miris, melepaskan genggaman tangan sang gadis. Terlampau tau, apa jawaban yang dimaksudkan Jovanka. Pemuda itu beralih mengambil bunga liar tak jauh dari tempatnya berdiri. Merangkainya hingga membentuk sebuah puket bunga.
Very menekuk satu kakinya dengan satu kaki tertumpu pada lututnya. Menyerahkan rangkaian bunga liar itu kepada gadis yang kini berdiri di hadapannya. Bak drama romansa di film-film.
"Jov! Ku pinang kau dengan bismika Allahumma ahyaa wabismika amuut."
Jovanka menautkan kedua alisnya.
"Eh! Elo waras kan Ver? Elo nggak gila kan? Gegara gue tolak. Elo ngapain ngucap doa tidur? Mau tidur di sini? Ayok pulang! Tidur di rumah aja, ok!"
Very memang dikenal alim bocahnya. Namun nggak gini juga, mentang-mentang hapal doa-doa.
Pemuda itu terkekeh kecil, sembari menggelengkan kepalanya.
"Aku tau kok. Aku masih waras, tenang aja."
Jovanka semakin bingung dibuatnya.
"Lha terus?"
"Karena aku tau, memilikimu dalam hidupku hanyalah sebuah mimpi. Hanya lewat mimpiku, aku bisa menggapaimu. Aku bahagia jika kamu bahagia bersama pemuda lain. Walaupun aku tersakiti, biarlah ... aku rela. Aku bahagia sekedar melihat senyuman indahamu." batin Very di ujung kalimatnya.
Jovanka merasa bersalah pada pemuda di hadapannya ini. Namun mau bagaimana lagi? Ia juga tak ingin memberikan harapan palsu padanya. Jika ia menerima Very dalam hidupnya dan lagi-lagi tanpa cinta. Bukankah semua akan semakin menyiksa?. Very memang anak orang kaya. Tapi entah mengapa, Jovanka sama sekali tak ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempermainkan pemuda tersebut. Pemuda itu begitu baik padanya.
"Maafin gue, Ver." lirihnya.
Very tersenyum, menangkup wajah gadis di hadapannya.
"Kamu nggak usah minta maaf. Kamu nggak salah kok. Sekarang kita jalan-jalan lagi yuk!" ajaknya, mengalihkan topik pembicaraan.
Jovanka hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu pergi.
"Ver. Elo tetep mau jadi sahabat gue kan?"
Very mengusak poni depan gadis imut itu. "Tentu," singkatnya.
***
Sedang Tristan tengah bersama Rofiq. Pemuda itu enggan untuk bertemu dengan kekasihnya, semenjak kejadian malam itu.
"Elo nggak jalan ama cewek elo?!" tanya Rofiq.
"Lagi nggak mood." sahutnya malas.
"Misal cewek elo jalan ama cowok lain lagi gimana?" pancing Rofiq.
Tristan termenung, ada rasa gelisah di dalam hatinya. Bagaimana jika apa yang Rofiq ucapakan benar? Bagaimana jika Jovanka selingkuh darinya?. Pertanyaan-pertanyaan bodoh mulai terngiang di dalam benaknya.
Dengan segera Tristan menghubungi gadis tersebut. Mengingat hari ini libur, pasti Jovanka ada di tempatnya.
Terhitung sudah tiga kali, Tristan menghubungi kekasihnya itu. Namun tetap tak kunjung ada jawaban. Yang terakhir malah sengaja di rijek oleh sang kekasih.
"Sialan!" geram pemuda itu. Meremat erat ponsel di tangan kanannya.
Rofiq diam-diam mengulas senyum.
"Pasti dia lagi jalan ama cowok lain tuh!" Rofiq memanas-manasi Tristan.
"Bacot lo!" sentak Tristan.
Tanpa berucap apapun lagi, Tristan pergi menuju ke kontrakan Jovanka. Memastikan jika gadis itu ada di tempatnya atau tidak.
Tak butuh waktu lama bagi Tristan untuk sampai di tempat Jovanka.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Jov! Buka pintunya!!" teriak Tristan. Ia semakin tersulut emosi, saat mengetahui jika kekasihnya tersebut tak ada di kontrakannya. "Brenggsekk! Elo di mana Jov!" geramnya.
Tristan memutuskan untuk mengintai Jovanka dari jarak jauh. Ingin melihat, dengan siapa gadis itu pergi?.
Setelah satu jam lamanya Tristan menunggu. Akhirnya sosok yang sedari tadi ia tunggu pun datang. Tristan menyunggingkan senyum evilnya. "Ternyata elo masih suka main-main di belakang gue."
Jovanka menuruni motor yang ia tumpangi. Tersenyum manis, ketara sekali jika gadis itu begitu bahagia bersama pemuda tersebut.
"Makasih udah ngajak gue jalan-jalan. Gue seneng banget hari ini." tawa Jovanka.
"Sama-sama. Aku juga seneng kalau kamu seneng." timbal Very. Ia menundukkan wajahnya, agar sejajar dengan gadis di hadapannya. Menyelipkan anakan rambut yang menutupi area mata gadis tersebut. Sehingga dari kejauhan terlihat seperti tengah berciuman.
Jovanka tersenyum malu. "Em, gue masuk dulu ya." ucapnya, yang mana mendapat anggukan dari sang pemuda.
Selepas kepergian Very.
Tristan datang dan masuk ke dalam kontrakan Jovanka tanpa permisi.
Jovanka yang tengah mengganti baju, sontak terkejut. Dan segera meraih handuk yang tersampir di gagang lemarinya.
"Elo udah gila ya?! Ini tempat gue! Setidaknya ketuk pintu kek!" marah Jovanka.
Tristan mengeratkan gigi-giginya. Tatapan mata tajamnya begitu menusuk ke arah Jovanka.
"Elo udah buat hati gue sakit, Jov!"
DEGG!!!
Hati Jovanka tersentak kaget, ketika mendengar ucapan Tristan yang tidak seperti biasanya. Kenapa pemuda itu terkesan begitu kasar padanya.
"Gue nggak lakuin apa-apa," elak Jovanka, meringsut mundur.
"Elo penghianat! Gue liat dengan mata kepala gue sendiri. Kalau elo pergi sama cowok lain. Udah habis kesabaran gue buat elo Jov! Gue tanya sama elo ... sudah berapa kali elo dikelonin sama tuh cowok?! Sudah di bayar berapa, elo sama dia?!!" bentak Tristan.
Jovanka tak tahan menahan rasa sakit berkat hinaan dari pemuda di hadapannya ini. Tristan begitu merendahkan harga dirinya. Ia benci diperlakukan seperti ini.
"Elo jahat Tan, elo jahat." lirih Jovanka, meringsut duduk di pinggiran kasurnya. Hatinya terlampau perih, hingga terasanya tak mampu lagi untuk sekedar berkata-kata.
Tristan mengambil langkah lebar, mendorong tubuh Jovanka hingga terlentang di atas kasurnya. Membuang handuk yang kini menutupi area tubuh gadis tersebut.
Jovanka hanya bisa menangis, tubuhnya terasa lemah.
Pemuda itu sudah diselimuti oleh kabut nafsu. Dengan kasar melepas penutup di area dadda Jovanka. Hingga menampilkan dua gundukan daging kenyal, berkulit putih begitu menyegarkan mata.
Tristan meneguk ludahnya sendiri, nafasnya terasa memburu. Tanpa basa-basi, pemuda itu merem*as dan mengulum daging kenyal itu.
"Tan, sakitt ...," rintih Jovanka. Berusaha mendorong kepala pemuda itu dari area da*danya. Namun bukannya menjauh, Tristan justru semakin menggila. Ia bahkan merema*s dan menggigit daging kenyal gadis tersebut.
"Tan, jangan kek gini. Ini salah ...,"
Tristan semakin emosi, bagaimana bisa Jovanka bisa berucap benar ataupun salah. Jika nyatanya saja, dia sudah bermain dengan banyak lelaki. Pikir Tristan, bertarung dengan otak kotornya.
"Elo udah nggak perawan lagi kan Jov?!" teriak Tristan.
Jovanka tidak menjawab ia hanya bisa menangis sesenggukan.
"Jawab Jov!!" teriak Tristan. "Hanya dengan satu cara buat ngebuktiin semuanya."
Tristan merobek paksa kain yang menutupi area bawah gadis di kungkungannya. Tanpa aba-aba pemuda itu segera melakukan fingering, dengan memasukkan dua jari besarnya pada lubang sempit milik sang gadis.
Membuat gadis itu memekik kesakitan.
Tristan menghentikan aktivitasnya, saat merasakan aneh pada kedua jarinya. Ia berlahan mengeluarkan kedua jarinya dari dalam lubang kenikmatan sang kekasih.
Kedua bola matanya bergerak gusar, menatap jemarinya yang bergetar.
"Jo-Jov, e-elo ...--"
Ucapnya tertahan, menatap dua jemarinya yang kini terlihat berlumuran darah.
Jovanka hanya bisa terisak pilu, merasakan perih dan sakit secara bersamaan. Hatinya hancur, ia teringat pada kedua orang tuanya. Bagaimana bisa ia melakukan hal b***t seperti ini.
"Ibuk ... maafin aku," tangisnya.
Mendengar rintihan Jovanka, Tristan segera meraih handuk yang tadinya ia lempar. Menutupi tubuh naked sang gadis.
"Jov, maafkan aku," sesalnya memeluk tubuh sang gadis.
Tristan menyesal dengan apa yang ia lakukan pada Jovanka. Kenapa dia tidak mempercayai ucapan kekasihnya itu?. Tristan merasa jika dirinya sudah menjadi lelaki b******n seutuhnya.
"Elo jahat Tan."
"Iya aku jahat. Aku janji, bakal bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku perbuat sama kamu."
Jovanka hanya menggeleng.
"Gue belom mau nikah," lirihnya.
"Aku bakal nungguin sampai kamu siap. Aku udah bikin kamu nggak perawan lagi," lirihnya menyesal.
Jovanka membolakan kedua bola matanya.
"Maksud elo?!"
Tristan menunjukkan kedua jarinya pada Jovanka.
"Darah? Darah apaan sih itu?" tanya Jovanka dengan polosnya.
Tristan menyingkap handuk yang menutupi tubuh sang kekasih. Menunjukkan bercak darah yang tercecer di area paha gadis tersebut.
Seketika jantung Jovanka berdentum keras, seperti tengah menabrak sesuatu di dalam sana. Apa artinya ini? Apa selaput daranya sudah tak ada lagi.
"Tan, apa maksudnya ini? Apa gue udah nggak virgin lagi?"
Tristan tersenyum, entah mengapa ia merasa bangga. Karena dirinya menjadi cowok pertama yang membobol segel Jovanka. Tristan bukan tipe cowok b******k pada umumnya. Dia memang pecinta wanita, namun dia juga memiliki prinsip hidup. Apapun yang ia perbuat, ia berjanji akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, sampai titik darah penghabisan. Ayeaye! Kek pahlawan.