Jovanka masih dalam keadaan yang sama. Sedih, memikirkan sang mantan kekasih. Bahkan wajahnya pun terkesan pucat, karena malas berdandan.
"Elo masih mikirin si ketan?" lontar ucapan dari teman seperbobrokan Jovanka-Bela.
"Iya, gue nggak bisa move on."
"Dandan sana gih! Biar cantik. Elo pernah bilang ama gue. Kalau orang yang males dandan tuh tanda-tanda orang males idup."
Jovanka mengangguk setuju.
"Keknya gue harus jadi Jovanka yang dulu. Nggak kenal cinta,"
Bela mengacungkan jari jempolnya.
"Cariin kenalan gih! Gue pen lupain Tristan." semangat Jovanka.
Beberapa hari telah berlalu. Jovanka memutuskan untuk pindah kerja dari pabrik tersebut. Terlampau malas mengenang masa-masa indah bersama Tristan di sana.
Jovanka merasa bosan di rumahnya. Ia hanya sibuk bermain ponsel mengecek nomor-nomor lama, teman sekolahnya.
Hingga ia menemukan satu nama, Santi. Teman lama sekaligus kerabat dari saudara jauh Jovanka.
Sedikit lama berbincang lewat chat. Dan akhirnya ia memutuskan untuk pergi keluar bersamanya ke pantai. Melepas penat, agar ia bisa melupakan Tristan.
Di sinilah sekarang Jovanka dan Santi berada. Di pinggiran pantai nan panas, dengan deburan ombak, yang sayup-sayup uap airnya menyapu wajah ke dua gadis tersebut.
"Gimana kabar elo San?" tanya Jovanka.
"Gue baik-baik aja. Elo sendiri?"
"Gue juga baik. Elo kerja di mana?" Tanya Jovanka lagi.
"Gue masih proses magang ke Jepang ini. Tinggal nungguin kabar, kapan akan berangkat."
"Keren. Gue salut sama elo. Andai gue bisa kek elo, pasti gue akan sangat bahagia." antusias Jovanka.
Santi hanya tersenyum.
"Elo punya pacar nggak Jov?" tanya gadis itu lagi.
"Pacar? Enggak."
"Gue denger elo abis pacaran sama Tristan ya?" tanya Santi tiba-tiba.
Jovanka memiringkan kepalanya, bagaimana gadis ini bisa tau? Batinnya.
"Kok elo tau? Elo kenal ama Tristan?"
Santi tersenyum simpul, menoleh ke arah Jovanka. "Dia mantan pacar gue."
Jovanka syok seketika.
"Seriusan? Kenapa elo putus ama tuh cowok?" tanya Jovanka pemasaran.
"Gue nggak tau. Padahal gue beneran cinta ama dia. Tapi dianya keknya cuma main-main ma gue." lesu Santi.
Jovanka mengangguk.
"Kalau elo, kenapa bisa putus?" tanya Santi kemudian.
"Kalau gue, dah muak. Gue bosan ama dia."
Santi hanya menggeleng pelan, tak habis pikir dengan temannya ini. Si saat orang lain sangat ingin menjadi pilihan Tristan, namun gadis ini justru menyia-nyiakannya.
"Eh, tadi gue ke sini ngajak temen cowok loh. Tapi dia belom datang." gumam Santi.
Jovanka penasaran, siapa cowok yang diajak Santi? Ganteng enggak ya? Gumam gadis itu.
Tak lama datang dua cowok dengan menaiki motor ninjanya.
"San!" panggil salah satu cowok berkulit putih di kejauhan sana. Seraya melambaikan tangan.
"Hei! Sini ...," teriak Santi, melambaikan tangannya.
Kedua sosok pemuda itu berjalan mendatangi tempat Jovanka dan Santi berdiri.
"Udah lama?" basa-basinya. Mengulurkan tangannya pada Jovanka dan Santi di sana.
"Lumayan," sahut Santi. Sedang Jovanka hanya tersenyum manis.
Kedua pemuda itu menatap lamat sosok gadis cantik-Jovanka. Yang sedari tadi hanya diam.
"Dia siapa?" tanya salah satu cowok berkulit putih yang bernama Rama itu.
"Dia teman gue. Cantik kan? Kenalin, namanya Jovanka." ucap Santi, mengenalkan temannya.
Satu cowok yang sedari tadi hanya diam ikut mengulurkan tangannya pada Jovanka.
"Gue Vero." ucapnya, dari wajahnya saja sudah terlihat jika pemuda itu pemuda baik-baik. Namun tidak dengan Rama. Pemuda itu terlihat seperti tengah memandang Jovanka dengan tatapan lapar. Penuh hasrat yang membara.
Santi memilih pergi bersama Vero, meninggalkan Jovanka bersama Rama.
Jovanka hanya diam, tanpa berucap sedikitpun pada pemuda di sampingnya.
"Jalan ke sana yuk!" ajak Rama.
"Iya." singkat Jovanka. Mengikuti pemuda di hadapannya.
Mereka berjalan menyusuri panjangnya pasir pantai di sana.
"Elo udah lama kenal ama Santi?"
"Lumayan sih." sahut Jovanka, dengan senyuman kecilnya.
Mereka menghentikan langkahnya di bawah pohon di pinggir pantai tersebut.
Jujur saja, Jovanka merasa sedikit canggung dan tidak nyaman, berada di samping pemuda ini.
"Elo udah punya cowok?"
Jovanka menggeleng kecil.
"Belum."
Cowok itu mengangguk senang. Dan mendekatkan posisi duduknya di samping tempat duduk Jovanka.
Tanpa di duga, cowok itu main nyosor. Mengecup pipi kiri Jovanka. Membuat gadis itu tersentak kaget.
"Elo!" marah Jovanka. Seraya memegangi pipinya.
"Maafin gue. Gue bener-bener tertarik sama elo." ucap Rama, memandang sayu ke arah Jovanka. Berharap jika gadis itu akan luluh padanya.
Jovanka memutuskan untuk pulang. Ia malas bertemu dengan Rama.
Namun pemuda itu terus saja menghubungi dirinya. Bahkan merecokinya setiap waktu. Jovanka semakin kesal, hingga terbesit dalam otaknya. Pemuda itu tampan, sepetinya cocok untuk mainan. Nggak malu-maluin kalau diajak jalan. Ah, tidak. Pemuda itu terlalu agresif. Jovanka menggeleng cepat.
Entah bagaimana prosesnya, kini Jovanka sudah menjalin status pacaran dengan Rama. Tapi gadis itu selalu menolak jika sang kekasih mengajaknya keluar.
Hanya sekedar berhubungan lewat chat media sosial. Jovanka merasa sedikit risih, pasalnya pemuda itu selalu mengucapkan kata-kata ambigu. Jika tengah berhubungan telpon. Yang mana membuat Jovanka jijik.
Jovanka tak terlalu merespon ucapan pemuda itu. Ia hanya menanggapi jika pemuda itu bertanya hal yang wajar. Namanya Jovanka, pasti suka menjajah kaum cowok. Malas dengan Rama, Vero pun jadi.
Seperti saat ini, gadis itu tengah berbincang kecil dengan sosok itu. Terlihat asik, ternyata Vero lebih enak diajak ngobrol dibanding dengan Rama.
***
Jovanka pindah pekerjaan di sebuah butik tak jauh dari tempat Jovanka bekerja dulu. Dia tidak sendirian, melainkan di temani Bela dan Usy.
Sudah satu bulan Jovanka bekerja di tempat itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk ijin pulang. Sekedar menengok orang tuanya.
"Kouta gue abis, mau nyuruh Rama jemput." lirihnya.
Tiba-tiba saja Usy datang dan menyodorkan ponselnya ke arah Jovanka.
"Pakai ponsel aku aja, nggak apa-apa kok." ucapnya dengan senyuman manis.
"Seriusan?" tanya Jovanka tak percaya.
"Iya, pakek aja."
Jovanka tersenyum, tanpa merasa curiga sedikitpun.
"Jov. Siapa nama pacar kamu. Tumben nggak cerita ke Kakak." ucap Usy.
"Rama." singkat Jovanka.
"Kek gimana orangnya? Cakep nggak?" tanya Usy lagi.
"Cakep sih," sahut Jovanka, sambil fokus mengetik pesan untuk Rama.
Usy mengangguk paham, namun terbesit kesan aneh dari raut wajah wanita tersebut.
"Udah Kak. Makasih ya." ucap Jovanka, berlalu pergi. Meninggalkan sosok Usy yang tengah fokus memandang ponselnya. Gadis cukup umur itu terlihat tengah tersenyum.
Satu Minggu telah berlalu.
Jovanka semakin menjauh dari Rama. Entah ia merasa tak nyaman dengan pemuda itu. Namun ia juga sering berhubungan dengan Vero. Terkadang ia juga diantar pulang oleh pemuda itu.
Suatu ketika, Vero mengajak Jovanka untuk bertemu. Entah ada apa, pemuda itu bilang jika ada hal penting yang ingin ia katakan pada gadis tersebut.
Kini mereka tengah bertemu di sebuah kafe.
"Ada apaan sih Ver?" tanyanya, pada pemuda yang kini tengah terduduk berhadapan dengannya.
"Apa elo punya temen namanya Usy?"
Jovanka menautkan kedua alisnya.
"Iya. Emangnya ada apa dengan dia?"
"Gue nggak sengaja kemaren ngobrol ama si Rama. Dia nunjukin fotonya Usy. Dan parahnya tuh cewek bugil, gila nggak sih?"
Jovanka memelototkan kedua bola matanya.
"Elo seriusan? Nggak salah orang kan?"
"Kagak. Soalnya Rama bilang, kalau dia temen elo."
"Sialan si Rama." cerca Jovanka.
"Elo nggak marah?" heran Vero.
"Nggak. Biasa aja." singkat Jovanka, seraya memakan cake di hadapannya.
"Ver. Rama kan temen elo. Tapi kenapa elo cerita ama gue, tentang kebusukan tuh cowok? Atau elo jangan-jangan suka ama gue?" terka Jovanka.
Vero nyaris tersedak oleh kopi yang ia sesap. Ucapan gadis itu begitu tepat dengan apa yang ada di dalam otaknya.
"Kalau iya. Apa elo mau deket ama gue?"
Jovanka menyunggingkan sebelah bibirnya.
"Boleh. Tapi aku nggak mau ada kata pacar. Aku pengen hubungan tanpa status aja."
Vero tersenyum dan mengangguk. Tak Masalah jika ia harus berhubungan tanpa status yang pasti. Yang penting ia bisa dekat dengan Jovanka.
"Okelah." ucap Vero dengan tawanya.
"Ver. Elo mau bantuin gue enggak? Buat balas dendam ama si Rama."
Vero terdiam, ia tidak ingin hubungannya dengan Rama hancur.
Jovanka mendengus, ia tau betul apa arti kata diam dari seorang Vero.
"Nggak jadi kalau gitu. Biarin aja." putus Jovanka.
Hingga ternyata kebersamaan Jovanka dengan Vero tercium juga oleh Usy. Tanpa menunggu lama, Usy langsung melaporkan hal itu pada Rama.
Rama yang menang sedang bekerja di luar kota. Sontak menghubungi Jovanka. Pemuda itu marah dan langsung memutuskan Jovanka. Apakah Jovanka marah? Tentu saja tidak. Hal biasa baginya ditinggalin cowok. Masih ada seribu cowok lagi yang antri memohon menjadi pacarnya.
***
Beralih pada Tristan.
Pemuda itu juga muak dengan sikap Yola. Yang terkesan manja, Tristan lebih suka pada cewek bar-bar seperti Jovanka. Ah, jadi teringat pada Jovanka lagi.
"Elo ngapain sih nggak jawab pesan gue." tanya sang pemuda.
"Nggak mau. Pokoknya gue mau ngambeg aja." manjanya.
Tristan merolling bola matanya.
"Hah! Terserah elo."
Yola mengerucutkan bibirnya. Ia hanya berharap jika pemuda ini akan memohon dan meminta maaf padanya. Ternyata tidak untuk Tristan. Pemuda itu justru cuek. Tak ingin memperhatikan dirinya. Hah! Sangat tidak romantis sekali.
Namun Yola tak akan menyerah.
"Tan, gue mau beli boneka. Beliin gih!" rengeknya.
"Yol. Kemaren gue udah beliin. Dan sekarang elo minta lagi. Beli sendiri sana." malas Tristan.
"Kan elo cowok gue. Jadi elo yang harus beliin."
"Gue bukan suami elo. Gue juga butuh ngirim ke orang tua gue di kampung."
Yola kalah telak, ia tak berani meminta apapun lagi pada Tristan.