Bab 2. Terjebak Pernikahan

1154 Kata
Setelah proses pernikahan itu, Kenzo dibawa pulang, dokter menyatakan Kenzo sudah boleh untuk rawat jalan. Arabella selaku istri harus ikut serta ke rumah Pratama. Papa Surya dan mama Kartika mengantar Arabella ke rumah Pratama. Mobil sudah sampai di rumah besar keluarga Pratama. Beberapa orang yang bekerja di rumah Pratama datang untuk membantu menurunkan tuan muda mereka. Kursi roda sudah diturunkan oleh Arabella. Kenzo kini sudah duduk di kursi roda, dia merasa geram karena dirinya merasa lemah. Wajahnya menjadi sangar. Tangannya mengepal kuat, ingin rasanya dia berteriak untuk meluapkan emosi. Arabella mendorong kursi roda Kenzo. Mereka semua melangkah masuk ke dalam rumah. “Aku langsung ke kamar, mau istirahat!” ucap Kenzo dengan suara tegas dan wajah yang dingin. Kamar Kenzo yang semula di lantai dua kini berpindah ke lantai satu. Kenan Pratama—papa Kenzo— langsung membuatkan kamar untuk Kenzo di lantai satu selagi Kenzo masih di rumah sakit. Arabella melirik ke arah orang tuanya, mereka mengangguk. Arabella lalu mendorong kursi roda Kenzo. “Biarkan Kenzo istirahat, dia pasti lelah. Kami saja yang sehat merasa lelah, apalagi Kenzo yang sedang sakit.” Agnes memberi pengertian pada kedua besannya. Surya menangkap itu sebagai kode kalau mereka disuruh pulang. “Iya, biarkan dia istirahat, kami juga harus pulang, tapi sebelumnya saya ingin bicara dengan anak saya dulu.” “Oh, sebentar.” Agnes lalu memanggil Asisten rumah tangganya untuk memanggil Arabella. Arabella keluar dari kamar dan melangkah menghampiri papa dan mamanya. Dia duduk di tengah-tengah mereka. “Sayang, kamu jaga diri baik-baik, sayangi suami kamu, nurut dan layani dia dengan baik, juga hormati kedua mertua kamu, anggap mereka orang tuamu sendiri, jadikan semua yang terjadi sama kamu pelajaran berharga untuk masa depan!” Surya menasihati Arabella, putri satu-satunya. Arabella tidak banyak bicara, dia hanya menunduk, sesekali mengangguk. Kedua tangannya saling bertaut di atas paha. Setelah mengatakan beberapa wejangan, Surya memeluk Arabella, bergantian dengan Kartika yang kini memeluk putri kesayangannya itu. “Sering-seringlah menelepon Mama, Mama pasti akan merindukan Bella,” ucap Kartika. “Bella juga akan merindukan Mama dan Papa.” Arabella memeluk sang mama dengan erat. Sejujurnya dia takut tinggal di rumah itu. Mereka terlihat tidak suka padanya. Agnes merasa jengah melihat mereka yang sedang berpelukan, dia lalu berdaham. Kartika menyadari kalau besannya mungkin ingin istirahat, dia melepaskan pelukannya. “Mama sama papa pulang dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan suka telat makan, juga jangan begadang.” Kartika memberi pesan-pesan pada Arabella. Bella mengangguk. Orang tua Arabella lalu berdiri, mereka pamit pada kedua orang tua Kenzo. Selepas kepergian mereka Arabella pergi ke kamar Kenzo. Dia akan mulai kisah hidup yang baru bersama sang suami. “Kamu, ngapain aja, sih! Lama banget! Aku mau minum tahu!” Baru saja Arabella masuk, dia sudah kena semprot oleh suaminya. Mata Kenzo melotot tajam padanya. “Iya, maaf, orang tuaku baru pulang. Lagian juga ‘kan baru sebentar.” Arabella menjawab sambil mengambil minum di atas meja. Dia lalu memberikannya pada Kenzo yang berada di atas tempat tidur dengan posisi setengah duduk bersandar pada headboard. Kenzo membanting gelas itu ke lantai, suara gelas pecah terdengar kencang. Serpihan kaca tersebut berserakan di lantai. Untung saja tidak ada yang mengenai wajahnya Arabella. Wanita itu, sempat terpaku saat Kenzo membanting gelas. “Kamu, tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa izinku! Tugas kamu melayaniku. Sebagai hukuman, tidak ada jatah makan malam buatmu! Sekarang bersihkan semuanya, tapi buatkan aku kopi dulu!” Kenzo membentak sang istri. Dia tidak suka Arabella membalas ucapannya. Lihat saja baru hari pertama, Bella sudah dapat kekerasan verbal. Arabella pasrah, entah apalagi yang akan dia terima. Dia menganggap itu semua karmanya. Arabella lalu pergi keluar kamar untuk membuatkan kopi. Beberapa menit kemudian, Arabella selesai dan kembali ke kamar. Dia membuka pintu lalu melangkah menuju tempat tidur. Tak sengaja kakinya menginjak pecahan gelas. “Au!” Arabella merintih kesakitan. “Kenapa? Nggak usah manja, ya. Cepat sini!” Kenzo tidak peduli. Arabella kembali melangkah dengan menahan sakit pada kakinya. Terlihat jejak darah di lantai. Dia memberikan kopi itu pada sang suami. Kenzo menerimanya lalu meneguk kopi tersebut. “Bereskan semuanya, tapi kerjakan sendiri!” Kenzo menyuruh Arabella membersihkan pecahan gelas. Dia tak peduli dengan luka yang diderita oleh Arabella, bahkan melihat pun tidak. Tanpa banyak kata Arabella menurut, dia melangkah dengan tertatih menahan perih keluar dari kamarnya. Jejak darah terlihat di lantai sepanjang dia melangkah. Agnes yang berada di ruang keluarga tersenyum miring melihat menantunya itu. Sampai di dapur Arabella duduk sebentar di bangku bar. Dia melihat telapak kakinya yang tertusuk pecahan gelas. Satu asisten rumah tangga Pratama yang melihatnya langsung menghampiri. “Ya, ampun, Nyonya berdarah!” Asisten yang bernama Rini, segera pergi mengambil kotak obat. Arabella mencabut pecahan gelas yang menancap di telapak kakinya. Dia merintih, menahan sakit. Darah menetes membasahi lantai. Rini berlari menghampiri Arabella sambil membawa kotak obat. “Sini, Nyonya. Biar saya bersihkan!” Rini mengeluarkan alkohol. Dia membersihkan darah di sekitar luka terlebih dahulu, kemudian mengambil kasa steril baru yang diberi cairan antiseptik berwarna merah. Dioles ke tempat yang terluka lalu menekan sebentar untuk menghentikan darah yang keluar. Dia mengobati luka Arabella dengan telaten, hingga selesai. Terakhir, dia menutup luka tersebut dengan kasa steril lalu diplester. “Terima kasih, Mbak. Oh ya, jangan panggil saya Nyonya.” Arabella merasa terharu masih ada orang yang baik dan tulus membantu. Dia merasa menyesal karena dulu telah memperlakukan pembantunya dengan semena-mena. “Kalau begitu saya panggil Nona saja. Ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?” tanya Rini sopan. “Ah, iya di mana sapu, juga lap pel, saya mau membersihkan bekas gelas yang pecah.” Arabella teringat tugas yang diberikan suaminya. “Biar saya saja yang bersihkan, Nona. Itu tugas saya.” Rini menawarkan diri. “Jangan! Biar saya saja. Semua salah saya, biar saya yang bersihkan sendiri.” Gawat kalau Rini yang membersihkan. Bisa-bisa dia kena omel lagi oleh Kenzo. “Baik, Nona. Kalau begitu Saya akan bersihkan jejak darah Anda di lantai.” Akhirnya Rini mengambilkan peralatan yang diperlukan Arabella untuk membersihkan pecahan gelas. Rini kemudian memberikan alat-alat tersebut pada Arabella, setelah itu, dia pergi untuk membersihkan jejak-jejak darah di lantai, kecuali yang ada di kamar tuannya. Arabella berjalan perlahan menuju kamar seraya membawa peralatan bersih-bersih di tangan kanan dan kirinya. Langkahnya begitu pelan karena telapak kaki sebelah kanan masih sakit. Kenzo menatap pintu kamar yang terbuka, dia melihat sang istri yang masuk kemudian membersihkan serpihan pecahan gelas. Rasanya menyenangkan sudah membuat istrinya susah. Pembalasan itu belum seberapa, dibanding penderitaan Kenzo yang harus lumpuh seumur hidupnya. Arabella sudah selesai membersihkan semuanya. Dia hendak pergi membuang sampah dan menyimpan peralatannya. "Tunggu!" teriak Kenzo. Arabella berbalik menghadap ke arah suaminya. "Di sini masih ada pecahan gelas, bersihkan!" Kenzo menunjuk ke bawah di samping tempat tidur. Arabella mendekati tempat tidur Kenzo, dia berjongkok untuk membersihkan pecahan itu. Namun, tiba-tiba dia terjungkal. Kenzo mendorong kepala Arabella. "Kalau kerja itu yang becus! Kau mau melukai kakiku?" teriak Kenzo marah. Dia hanya mencari alasan untuk memarahi istrinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN