Sosok Berjubah Hitam

1484 Kata
Dilan berjalan tak tentu arah sembari memegangi sobekan kertas berisi kode-kode yang ditinggalkan Linda kepadanya dan Alfa. Bibir Dilan bergerak-gerak menggumamkan angka-angka itu berulang kali sementara Andrea diam saja mengekori kemanapun Dilan melangkah. Pria itu jadi semakin diam sejak melihat kematian Petra beberapa menit yang lalu. Dilan bisa maklum jika Andrea shock. Kematian Petra bukan kematian yang pantas untuk di saksikan, apalagi oleh teman-temannya sendiri. Dilan jadi kepikiran dengan keluarga mereka jika pada akhirnya mereka yang tersisa bisa keluar dari bangunan sekolah ini. Apa mereka sanggup mengatakan semuanya pada keluarga mereka? Dilan menghela napas, ia memegangi dahinya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Harus ia akui, Dilan merasa tertekan dengan semua kejadian ini, belum lagi dengan fakta bahwa ia yang melihat semua kematian-kematian teman-temannya, membuatnya merasa bersalah dan ketakutan secara bersamaan. “An, kamu kok diam saja sih?” Andrea menatap Dilan sinis. “Terus lo mau gue teriak-teriak nggak jelas di ruangan sepi kayak gini, apa?” Dilan mencebik. “Ya sudah.” Toh percuma saja mengajak Andrea bicara. Sejak awal mereka memang sudah tidak cocok satu sama lain. Pembicaraan mereka hanya seputar perdebatan tak berujung atau saling marah-marah. Benar-benar mengerikan. Dilan kembali memperhatikan kode-kode ditangannya. Membacanya berulang kali membuatnya sampai hapal angka-angka itu. Ia sudah memutuskan untuk tidak peduli lagi dengan Andrea. Biarkan saja pria itu mengikutinya atau tidak, yang jelas selama Andrea tidak kembali menyalahkan dirinya atas apa yang sama sekali tidak Dilan lakukan, maka Dilan tidak masalah sama sekali. Dilan baru saja hendak berbelok ketika mereka sampai di ujung lorong namun terhenti karena sebuah tarikan kuat membuatnya berteriak panik. “Dilan!” Andrea melihatnya. Ia melihat seseorang menarik Dilan, buru-buru ia mengejar orang itu. Andrea teringat dengan seseorang yang dikatakan Dilan sebagai pembunuh Petra. Seseorang dengan jubah hitam. Dilan di seret melewati tangga menuju lantai bawah. Kedua tangan Dilan berusaha keras meraih salah satu anggota tubuh seseorang yang berada di balik jubah hitam itu, berusaha menghentikan dia dalam usaha menyeret Dilan dengan paksa. Pergerakan orang itu juga kian melambat mana kala Dilan berusaha sekuat tenaga untuk meronta dan memukul bagian apapun yang mampu di jangkau olehnya. “Dilan! Dilan!” teriak Andrea panik. Ia berlari mengikuti kemana Dilan di bawa. Dengan penerangan yang temaram seperti ini agak sulit melihatnya, apalagi orang itu memakai jubah serba hitam di seluruh tubuhnya. Membuatnya menyaru dan tak terlihat. Sementara itu, Dilan yang masih berusaha melepaskan diri di bekap hingga hanya mampu berteriak tertahan. Dilan berusaha keras mengeluarkan suaranya. Ia tidak mau Andrea kehilangan jejaknya, meski Dilan pesimis karena Andrea memang tidak terlalu menyukainya, nyatanya Dilan tetap berharap pria itu menolongnya. Ini buruk. Kalau Dilan sampai mati, hanya Alfa yang memiliki kode-kode Linda. Andrea memang sudah sempat melihat kode-kode itu, namun Dilan tidak yakin Andrea mengingatnya, bisa saja karena situasi panik ia melupakannya. Semua hal selalu terjadi tanpa mampu di cegah, dan Dilan sadar sepenuhnya soal itu. Andrea memang tidak terlalu menyukai Dilan, tapi ia melihat dengan matanya sendiri orang yang dibicarakan Dilan, dan itu lumayan membuat Andrea mempercayai cerita soal Petra dan penyiksaan keji itu. Andrea sudah berkeliling untuk mencari Dilan, berusaha menemukan mantan teman sekelasnya delapan tahun silam. Sayangnya, penerangan yang minim memang menyusahkannya. Andrea lemah dalam penglihatan gelap seperti ini. Ia harusnya memakai kacamata, tapi masih enggan karena dia pikir minus di matanya masih tak terlalu besar. Di tempat lain, orang berjubah hitam itu sudah berhasil memasukkan Dilan pada salah satu gudang di lantai satu. Ada banyak gudang di sekolah ini, tiap lantai memiliki lebih dari satu. Bangku-bangku lama yang rusak, atau barang-barang tak terpakai lainnya tersimpan disana. Dilan diikat pada salah satu kursi kayu dengan mulut tersumpal kain hitam. Ia terus meronta sejak tadi, membuat kursi yang dia duduki bergoyang dan menimbulkan suara benturan dengan lantai keramik yang cukup nyaring—efek ruangan yang begitu hening. “Diam!” bentak orang itu kasar. Ia menekan dahi Dilan hingga Dilan merasakan kedua matanya berkunang-kunang. Dilan menunduk dengan helai-helai poni yang menutupi kedua matanya. Orang di balik jubah hitam itu tersenyum puas, meski Dilan tidak melihat bagaimana wajahnya, Dilan tahu hanya dengan melihat dari kedua bola mata orang itu. Dilan ingin tahu siapa sebenarnya orang di balik jubah hitam ini. Dari suara yang Dilan dengar, dia seorang laki-laki. Dari sini, Dilan semakin di landa kebingungan dengan siapa sebenarnya sosok di balik terror dan pembunuhan teman-temannya. Dilan bisa menerima orang berjubah hitam ini adalah pembunuh teman-temannya, tapi bagaimana dengan Irene dan Rian? Mana mungkin manusia sepertinya bisa membunuh orang tanpa menyentuhnya? Ilmu hitam? Rasanya di era modern seperti ini hal semacam itu sudah tidak lumrah diterapkan. Dilan meremas kuat kertas yang ia bawa berisi kode-kode soal Linda. Bagaimanapun, kode-kode itu tidak boleh jatuh ke tangan pembunuh ini. Dilan memang melihat dengan kedua matanya sendiri kalau orang ini yang menyiksa Petra hingga temannya itu meninggal, namun entah mengapa di sudut hatinya masih ada keraguan. Dilan mencoba lebih tenang meski kedua bola matanya berkilat tajam kepada pembunuh Petra. Sosok dengan jubah hitam itu mendekat kea rah Dilan dan menarik ikatan kain yang menyumpal bibir Dilan membuatnya tergores dan meneteskan darah. Dilan merasakan perih di kedua sudut bibirnya akibat tindakan itu. “Kamu siapa?” tanya Dilan geram. Meski Dilan yakin orang di depannya tidak akan mungkin mengatakan siapa dirinya, setidaknya Dilan harus mendengar suaranya lebih banyak. “Kamu nggak perlu tahu aku siapa.” Serunya dingin. Dilan mengerutkan alisnya, seperti mengenal suara itu. Tapi kemudian Dilan menampik keras pikiran tersebut. Mana mungkin dia mengenal pembunuh, kecuali jika orang di balik jubah hitam ini adalah salah seorang dari teman-temannya. Kecurigaan soal seorang penghianat diantara teman-temannya memang ada sejak Dilan melihat kematian Petra, namun hingga sekarang ia masih berusaha keras menampik kemungkinan itu. Dilan, masih berharap hal itu menjadi kemungkinan paling akhir yang mampu ia simpulkan. Orang berjubah hitam itu merogoh saku dalam jubahnya, sebuah belati kecil ia raih dan menempelkannya di pipi Dilan. Rasa dingin dari permukaan logam itu membuat Dilan berjengit, antara takut dan terkejut. “Apa aku akan menyayatmu saja seperti teman mu itu?” ujarnya dingin. Dilan merasakan aura berbahaya pada sosok di depannya. Dilan tidak bisa menganggap main-main tentang orang di balik jubah hitam ini. Dia telah membunuh Petra dengan keji, dan tidak akan menutup kemungkinan dia juga akan melakukan hal yang sama kepadanya. “Lepaskan aku.” Seru Dilan putus asa. Sosok berjubah hitam itu tertawa renyah. “Kamu pikir aku akan melepaskanmu setelah kamu melihat apa yang ku lakukan pada teman mu, hm? Jangan bodoh!” Bahkan dengan nada mencemooh seperti ini pun, Dilan masih tetap merasa mengenal suara orang ini. Tapi siapa? Dalam hati Dilan berdoa semoga Andrea masih berbaik hati mau menolongnya, meski kemungkinannya tipis mengingat hubungan mereka benar-benar buruk sejak awal mereka menginjakkan kaki di lingkungan sekolah. Si jubah hitam kembali mendekati Dilan, ia menusukkan ujung belati kecil itu ke pipi Dilan hingga tetesan darah mengalir sampai m*****i lehernya. Rasa perih mendera Dilan akibat luka sayatan itu. Dilan hanya mampu menggigit bibirnya demi menahan rasa perih itu. Di lukai di bagian wajah dengan belati bukan hal yang ringan. Apalagi jika melukai secara perlahan-lahan, siksaannya bahkan terasa lebih menyakitkan. Dilan tidak mampu membayangkan rasa sakit seperti apa yang dirasakan oleh Petra sebelum ia sampai pada kematiannya. “Bagaimana? Apa kau mulai merasakan apa yang dirasakan oleh teman mu itu?” tanyanya ringan. Dilan menggigit bibirnya sendiri hingga daerah itu lecet dan mengeluarkan darah. Kedua matanya berkilat tajam, mengutuk siapa saja orang di balik jubah hitam itu. Haruskah ia merasakan semua ini? Dilan menyempatkan diri dikala lelah menderanya hanya untuk kemari. Dilan ikut acara ini bukan untuk di siksa hingga mati, juga bukan untuk melihat teman-temannya tewas satu per satu. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Dilan parau. Sosok berjubah hitam itu terkekeh. “Tentu saja menyiksa kalian. Apa lagi?” Dilan semakin geram mendengarnya. “Kamu pasti punya motif tersendiri kenapa melakukan hal ini. Apa itu?” “Kau pikir, kau pantas untuk tahu? Cih, memangnya kau siapa?” Kali ini sosok berjubah hitam itu menggoreskan belatinya ke sisi kanan leher Dilan secara tiba-tiba, membuat Dilan memekik karena rasa perih dan terkejut secara bersamaan. Luka itu menganga, menguncurkan darah yang membuat kemeja bagian atas milik Dilan ternoda oleh darah. Bau amis darah itu mulai menganggu indra penciuman Dilan sendiri, ia benci darah. Keadaan ini makin buruk saja. Dilan ketika pergi kemari sama sekali belum makan akibat jadwal padatnya, ia sudah cukup letih sejak pagi. Sekarang, ada sosok pembunuh keji yang menyayati tubuhnya, membuat darahnya terbuang sia-sia. Dilan merasa semakin lelah dan lemah. Jika lukanya di biarkan terus menerus, Dilan bisa pingsan. Ia tidak mau itu terjadi, akan lebih berbahaya jika ia sampai pingsan. Dilan tidak akan tahu apa yang dilakukan oleh orang itu kalau sampai ia pingsan. Membayangkan saja Dilan sudah takut. “Kau sudah merasakan sakitnya? Hm… sepertinya masih kurang ya.” Dasar psikopat gila! Dilan benar-benar ingin lari dari tempat ini. Tapi keadaan tangan dan kakinya yang terikat membuatnya susah untuk bergerak. Apalagi sosok di depannya membawa benda tajam. Salah gerak sedikit saja, mungkin orang itu akan menusuknya sampai mati. “Hentikan!” teriak Dilan frustasi, ia bergerak-gerak gelisah bahkan ketika si jubah hitam sudah mulai merusak kemejanya. Orang itu merusak kancing kemeja Sam hingga membuat dadanya terekspos. Ia tertawa senang. “Mari kita lihat, ukiran apa yang bisa ku buat di kulit mulusmu ini.” katanya. Dilan bergerak makin brutal. Ia ketakutan, tentu saja. Ia berharap siapapun ada yang mau menolongnya. ‘Siapapun, tolong aku.’ Batin Dilan putus asa.   *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN