Asumsi

1459 Kata
Dilan mengerjabkan kedua matanya. Padangannya kabur dan kepalanya terasa berat. Ia tidak begitu ingat apa yang terjadi padanya. Seingatnya ia sedang di tahan oleh seseorang berpakaian jubah hitam dengan masker dan sarung tangan rapat. Ia melirik sekitarnya, sosok yang seharusnya ada disini tidak ada. Si jubah hitam itu sama sekali tidak kelihatan, apa dia keluar? Dilan merasakan beberapa bagian tubuhnya kram dan perih. Ikatan di kedua pergelangan tangannya pun masih sama, begitu erat hingga membuatnya merasa perih. Dilan menoleh, mengamati sekitar. Ruangan ini begitu sepi, satu-satunya penerangan yang ada hanya sebuah lilin kecil di atas lemari. “Sudah berapa lama aku pingsan?” gumam Dilan bingung. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya, berharap tambang yang mengikat pergelangan tangannya kebelakang bisa sedikit melonggar, meski nyatanya percuma. Bukannya melonggar, tambang itu malah semakin mengerat dan membuat Dilan meringis karena menahan sakit. Pasti pergelangan tangannya sudah lecet-lecet sekarang. Soal itu sebenarnya tidak penting, toh keadaan bagian tubuhnya yang lain malah lebih parah saat ini. Si jubah hitam itu benar-benar kejam. “Tapi kenapa dia tidak membunuh ku?” pikir Dilan. Kalau memang di balik kematian-kematian tragis itu adalah si jubah hitam, lantas kenapa Dilan hanya disiksa sampai pingsan, bukannya dibunuh seperti teman-temannya yang lain? Bukannya Dilan berharap dibunuh, tentu saja tidak. Ia hanya bingung ada alasan apa di balik semua ini. Dilan mengedarkan pandangannya. Gudang benar-benar menjelma tempat yang mengerikan saat malam hari dan penerangan temaram seperti ini. Harus Dilan akui, meski saat ini ia yakin bahwa orang di balik pembunuhan keji teman-temannya adalah si jubah hitam, namun Dilan masih meyakini hal lain. Kematian tak wajar di awal tentu bukan perbuatan manusia. Dilan menghela napas. Ia masih berharap seseorang mau menolongnya. Siapapun, mungkin Andrea, atau Alfa. Dilan masih asyik dengan pikirannya sendiri sampai bunyi klak klak mengalihkan perhatiannya. Tubuh Dilan menegang takut, ia mengedarkan pandangan kesana-kemari dengan napas memburu. “S—siapa?” tanya Dilan gugup. Bunyi itu semakin keras, bahkan suara yang sebelumnya hanya sebatas klak klak ringan berubah menjadi suara seperti hantaman dua benda keras. Gudang memang ruangan yang luas, dan Dilan ditahan jauh dari pintu masuk gudang, pandangannya terhalangi oleh kardus-kardus berisi barang-barang usang serta bangku-bangku lama yang bertumpuk di hadapannya. Siapapun itu, Dilan harap bukan si jubah hitam lagi. Oh, ayolah Dilan masih ingin hidup dan menyelesaikan misinya untuk memecahkan kode-kode yang ditinggalkan Linda. “—Lan! Dilan!” Dilan mendongak, sayup-sayup suara berat yang dikenalnya mendekat. Ini tentu bukan suara menyeramkan si jubah hitam. Andrea. “Lo baik-baik aja?” tanya Andrea, entah Dilan sedang berhalusinasi atau bagaimana, tapi apakah ia melihat raut khawatir di wajah dingin pria itu? Andrea segera melepaskan tambang yang mengikat pergelangan tangan Dilan, juga kakinya. Andrea masih tampak sama, yang membedakan hanya baju yang dikenakan olehnya. Kenapa bisa koyak begitu? “Kamu? Kenapa dengan pakaian mu?” tanya Dilan bingung. Ia memegangi pergelangan tangannya yang memerah dan lecet. “Ada insiden di luar. Nanti aja gue ceritain, udah ayo keluar dulu.” Serunya panik. Dilan hanya menurut saja meski di sudut hatinya masih ada kebingungan yang mengganggunya. Andrea terus waspada dengan keadaan sekitarnya, ia bahkan membawa sebuah pisau kecil. Darimana dia dapat? Dilan masih bingung, ia pingsan. Selama waktu itu, Dilan tidak tahu apa yang terjadi pada sekolah ini, juga pada teman-temannya. Kabar Alfa juga sama sekali belum terdengar. Apa teman dekatnya itu sudah menemukan petunjuk, atau malah dia…. Ah, tidak mungkin. Dilan menggeleng keras, berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk yang kadang kala memaksa masuk ke dalam otaknya. Terlalu lama dihadapkan dengan keadaan-keadaan buruk membuat otak Dilan yang sudah luar biasa berpikir secara waspada semakin parah saja. Lama-lama, ia bisa mencurigai teman-teman dekatnya sendiri kalau ia tidak mengendalikan diri. “An, ada apa sebenarnya?” tanya Dilan akhirnya. Mereka sudah diam cukup lama, dan posisi mereka seolah tertukar. Kalau tadi Andrea yang terus mengekorinya, sekarang Dilan dengan pasrah mengikuti kemana Andrea melangkah. “Emang dari gudang nggak kedengeran apa-apa ya?” tanya Andrea. Dilan memasang ekspresi bingung paling mumpuni. Mana Dilan dengar kalau dia sedang pingsan beberapa waktu yang lalu. “Aku pingsan, An.” Jawab Dilan. Andrea langsung menoleh. “Apa? Lo pingsan? Serius? Apa yang orang aneh itu lakuin ke lo sampai pingsan?” Hanya perasaan Dilan saja, atau Andrea memang jadi banyak bicara? Dilan mengangguk. “Lihat? Badan dan bahkan wajah ku ada luka sayatan. Aku lupa kenapa aku bisa pingsan, sepertinya orang itu menghantamkan sesuatu yang keras ke tengkuk ku. Ugh, sampai sekarang masih ngilu.” Jelas Dilan. Andrea mengangguk-angguk. “Bagus deh lo masih hidup, gue udah pesimis lo mati pas tadi lo di tarik-tarik.” Katanya ringan. “Enteng banget kalau ngomong.” Dengus Dilan kesal. Andrea tidak menanggapi. Ia masih mengedarkan pandangannya, mengawasi apapun yang ada di sekitar. Lama-lama, Dilan penasaran juga dengan tingkah Andrea yang tiba-tiba berubah. Andrea, sejak masa sekolah terkenal dengan kecerobohannya. Meski delapan tahun sudah berlalu, Dilan masih yakin sifat itu tetap ada. Barangkali hanya berkurang sepersekian persen saja. Lantas, kali ini dia berubah menjadi sosok pria dewasa yang super waspada, membuat Dilan semakin kebingungan saja. “An, ada apa sih? Kenapa kamu mendadak jadi waspada gini?” tanya Dilan entah yang keberapa kalinya. Bukannya menjawab, Andrea malah meletakkan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kepada Dilan untuk diam. Dilan merengut, ia benci dibuat penasaran. Sejak awal, Dilan yang tahu segalanya, dan hanya karena pingsan sebentar sudah membuatnya seolah ketinggalan zaman. Andrea terus berjalan dengan waspada, dan Dilan hanya mengikutinya dalam diam meski rasa penasaran terus menggerogoti dirinya. Sial, memang. Andrea sulit diajak kompromi, padahal mereka bekerja sama untuk memecahkan kode-kode yang ditinggalkan Linda. “Andrea, dengarkan aku sekarang juga!” paksa Dilan. Ia memegangi lengan kekar Andrea hingga pria itu mengernyit dan terlihat risih dengan kelakuan Dilan. “Apa sih lo.” Seru Andrea, ia menampik lengan Dilan yang memeganginya hingga Dilan nyaris tersungkur. Andrea memang sejak sekolah memiliki badan paling besar dan tegap, juga dengan tenaganya yang tidak main-main. Dilan meringis memegangi lengannya, ia mengutuk dalam hati. Dilan menghela napas keras, menahan diri untuk tidak terpancing amarah hanya keran kelakuan kasar Andrea. “Aku cuma mau tahu.” Desak Dilan. Andrea mendecih. “Kenapa sih lo ribet banget. Udah untung gue tolongin masih aja nuntut.” Serunya kejam. Dilan membelalakkan matanya. Iya, Dilan memang laki-laki yang lumayan perasa, maafkan sifatnya itu. Mendengar kalimat Andrea bukan membuat Dilan kesal, tapi merasa bersalah. Andrea pasti kerepotan harus menolong dia yang lemah begini. Harusnya sejak awal, Andrea saja yang melihat semuanya, Dilan kira Andrea akan cepat bertindak dan berjalan dengan baik, tidak seperti ia sendiri yang malah mengacaukan segalanya. “Sorry.” Ujar Dilan pelan. Andrea menyadari Dilan tersakiti karena omongannya, tapi toh dia tidak terlalu memikirkan soal itu. Andrea bukan jenis orang yang gampang merasa bersalah, dia selalu mengatakan apapun yang terlintas pertama kali dalam pikirannya, itu jugalah yang membuatnya sering dianggap menyakiti perasaan lawan bicaranya. Andrea kembali menatap awas kesekitarnya. Ada banyak alasan dia melakukan ini, dan itu juga karena kejadian yang Dilan tidak ketahui. Bukan dia tidak mau berbagi apa yang ia ketahui dengan Dilan, tapi Andrea hanya sedang mencari saat yang tepat. Andrea khawatir, ada banyak telinga yang mendengar omongannya dan ia akan berakhir seperti Petra. “Kita harus cepat-cepat tahu kode-kode Linda itu.” Ucap Andrea pelan, sangat pelan sampai-sampai Dilan bingung kenapa Andrea melakukan hal itu. “Andrea, kita—hmmp.” Dilan membelalakkan matatanya. Andrea tiba-tiba membekap mulutnya dan menariknya paksa untuk bersembunyi. Andrea mengisyaratkan Dilan untuk diam, meski Dilan masih tidak mengerti ia menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Cukup lama mereka bertahan pada posisi dan keadaan itu, Dilan yang diam dalam kebingungan dengan Andrea yang terus membekap mulutnya sembari memandangi satu arah yang menjadi tempat mereka berdiri tadi. Setelah agak lama Andrea mengawasi keadaan sekitarnya, akhirnya pria itu melepas bekapan tangannya dan menghela napas lega. Dari sini, Dilan semakin bingung dengan keadaan mereka. “Sebenarnya ada apa?” kali ini Dilan menanyai Andrea dengan suara yang dibuat sepelan mungkin. Sejak melihat gerak-gerik Andrea yang seolah menyembunyikan diri entah dari apa, Dilan jadi tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi kepada Andrea saat ia pingsan tadi. Andrea masih memasang wajah was-was menatap sekitarnya, ia menghela napas berat, memebuat kening Dilan mengenyit karena sepanjang ia mengenal Andrea, pria itu sama sekali tidak pernah terlihat terbebani entah dengan kehidupannya maupun lain-lain. “Gue berasumsi, ada dua pelaku di sekitar kita.” ujarnya pelan. Dilan reflek menoleh, sejak awal ia juga mencurigai hal itu. Apalagi setelah beberapa kematian terasa aneh. “Kamu juga mikir gitu? kenapa?” Andrea menggigiti jarinya. “Gue nggak tahu, gue memang belum ada bukti yang jelas, tapi gue punya alasan kenapa mengatakannya.” “Apa yang bikin kamu berpikir kalau ada dua sosok di balik kematian teman-teman kita?” Andrea mangusap wajahnya. “Gue sadar, kematian teman-teman kita berbeda. Apalagi saat gue lihat sosok yang narik lo. Gue tahu, dia manusia, bukan sosok astral yang membunuh orang tanpa menyentuhnya. Tapi, gue nggak memungkiri kalau memang ada sosok astral yang ikut campur dalam hal ini.” Dilan mengangguk, pemikiran Andrea sama persis dengan pemikirannya. Kematian yang berbeda itu jelas membuktikan bahwa ada orang jahat diantara mereka—entah siapa. “Pokoknya, untuk sekarang kita harus cari tahu soal kode-kode itu. Meski gue nggak ngeliat soal Linda dan kematiannya, gue yakin Linda melihat siapa yang memebunuh dia.” Dilan mengangguk paham. Saat ini, pikirannya tidak tenang. Ia menyadari ada sesuatu yang buruk yang mengintai mereka sejak mereka kemari. Rasa awas terus ada dalam diri Dilan meski tak begitu tampak dibandingkan Andrea. Pria itu mendengus, Dilan tahu Andrea kesal dengan semua keadaan ini.   ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN