Perpecahan

1592 Kata
Dilan melangkah gontai. Ia hanya mengikuti saja kemana kakinya melangkah. Harapan terakhirnya sia-sia. Bahkan seorang Alfani Putra Akmal sama sekali tidak mempercayainya. Kalau sudah begini, tak ada lagi yang bisa diandalkan. Memangnya siapa yang mau mempercayainya? Dilan teringat dengan cermin seukuran buku tulis yang baru dikembalikannya tadi. Bagaimana ia menyadarkan yang lain kalau keadaan mereka bukan sekedar terjebak. Dilan yakin sepenuh hati kalau ada sosok-sosok yang mengikuti tiap gerak langkah mereka di dalam sekolah ini. Rasanya aneh, Dilan ingat delapan tahun silam sepertinya tidak ada cerita seram dari sekolahnya. Memang umum jika setiap sekolah ada cerita horornya, tapi selama tiga tahun Dilan sekolah disini, ia sama sekali belum pernah mendengar rumor apapun. Apa mungkin dia saja yang tidak tahu? Dilan terus berjalan tak tentu arah, mau menemui teman-temannya yang lain pun rasanya seperti percuma saja. Apalagi jika mereka sudah bertemu Andrea. Andrea dan mulutnya adalah perpaduan yang kurang pas. Terlalu banyak omong dan suka sekali mempengaruhi orang lain. Apalagi dalam situasi penuh kepanikan seperti ini. “Kyaaaaaaaaaaaaaa!!!” Dilan berhenti. Ia menoleh kesana kemari ketika sebuah teriakan yang begitu kencang terdengar diantara heningnya sekolah. Suara itu tak jauh dari tempat Dilan berdiri. Buru-buru ia berlari. Sepertinya ia mendengarnya dari belokan di lorong yang telah ia lewati sebelumnya. Dilan berdoa, merapal dalam hati kalimat-kalimat permohonan semoga tidak terjadi hal yang buruk lagi kepada teman-temannya. “Ada ap—“ kedua mata Dilan melebar. Sesampainya disana, ia melihat Linda jatuh terduduk di dekat tangga dengan tubuh bergetar dan kedua mata berlinangan air mata. Linda adalah salah satu teman sekelas Dilan semasa SMA dulu, dia tidak terlalu menonjol dikelas, pendiam, dan sangat baik. Dilan mengarahkan pandangannya kebawah. Di dasar tangga seorang wanita tergeletak dengan leher tertancap ujung atas payung. Rembesan darah keluar terus-menerus membasahi lantai keramik disekitarnya. Dilan sempat bingung kenapa harus membawa payung? Memang, di sana ada tempat payung yang disedikan untuk murid-murid ketika musim penghujan tiba. Sejak masa Dilan bersekolah dulu juga begitu. Tapi kenapa? Kenapa temannya harus mengambil salah satu payung yang ada disana sementara di luar sedang tidak hujan meski mendung bergulung. Lagipula, mereka belum tentu bisa keluar malam ini. Dilan merasa mual seketika. Ia menutup mulutnya, menahan dengan sekuat tenaga agar tidak muntah disana. Keadaan Linda terlihat begitu kacau. Dilan tidak tahu siapa yang mati dengan begitu mengenaskan dibawah sana, tapi Dilan yakin sekali itu salah satu temannya. Linda sama sekali tidak bicara dan hanya diam dengan sinar mata yang kosong seolah jiwanya telah ditarik keluar. Dilan berusaha keras menahan gejolak tidak enak di perutnya. Rasanya, apa yang ia makan hari ini mendesak ingin keluar. Buru-buru Dilan mengalihkan pandangannya ke Linda. “Ada apa ini? siapa yang jatuh?” tanya Dilan hati-hati. Linda terlihat benar-benar depresi saat ini. “A—a—aaa—aaa, Aaaaargh—hmp” Linda yang sepertinya sudah diambang batas rasa depresi tiba-tiba berteriak kencang. Dilan ingat sesuatu dan segera membekap mulut gadis itu. “Linda! Linda! Tenang.” Seru Dilan panik. “Hmmmph… hmmph…” Dilan ingin sekali melepaskan tangannya dari mulut Linda tapi gadis itu akan berteriak kalau sampai dilepas. Barangkali Dilan lupa kalau ia bisa sampai di sini juga karena Linda berteriak tadi. “Bagaimana ini?” gumam Dilan kebingungan. Linda terus meronta minta dilepaskan, ia bahkan menggigit telapak tangan Dilan, membuat pria itu nyaris melepaskan bekapannya. Kalau saja Dilan tidak ingat dengan rasa pedulinya yang besar kepada teman-temannya, ia tidak akan repot-repot melakukan ini. Dilan bisa berusaha sendiri untuk keluar dari sekolah yang menjelma bak penjara menyeramkan ini. Saat Dilan tengah tenggelam dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba suara derap langkah-langkah cepat mendekat ke arah mereka. Dilan belum melepaskan bekapannya ketika beberapa teman-temannya yang lain menemukan ia membekap Linda dan salah satu temannya yang jatuh tertusuk di bagian leher. “DILAN!” seru Arga keras. Dilan yang terkejut reflek melepaskan bekapannya. Linda terlihat semakin lemas dan nyaris pingsan. Dilan memegangi bahu gadis itu, menahannya agar tas ambruk di lantai keramik yang dingin. “Lo ngapain?” tanya Arga marah. “Aku—“ “Kyaaa!!” salah satu teman perempuan yang bersama Arga berteriak histeris ketika kedua matanya menoleh ke bawah. “Lo! Apa-apaan ini?” “Arga, kamu salah paham.” Seru Dilan panik. Bagaimana ini, di situasi semacam ini, Dilan akan jadi tersangka utamanya padahal ia tidak tahu apa-apa. “Linda, Linda, jelaskan sama Arga. Jelaskan kalau aku baru datang saat temanmu tewas. Linda!” Dilan menggoncangkan bahu Linda berulang-ulang, membuat gadis itu semakin linglung. “Dilan cukup!” seru Arga marah. Ia menghampiri Linda dan mendorong Dilan menjauh hingga ia menubruk dinding di sebelahnya. “Sari, tolong jagain Linda dulu.” Salah satu teman Dilan semasa sekolah dulu yang bernama Sari segera mendekat dan memeluk Linda. Linda, ia masih sama seperti pertama kali Dilan menemuinya, seperti tidak ada tanda-tanda kalau gadis itu akan kembali seperti semula. Dilan yang masih mengusap bahunya akibat di dorong paksa oleh Arga kembali merasakan sakit ketika pria kekar itu menarik kerah pakaiannya, membuatnya mendongak dengan paksa dengan leher tercekik bajunya sendiri. Dalam hati, Dilan mengutuk postur tubuhnya. Delapan tahun berlalu, seluruh teman laki-lakinya tumbuh menjadi pria dewasa dengan tubuh atletis yang bagus, sementara dirinya masih bertahan pada tubuh kecil nan kurus yang sama. “Jadi bener yang di bilang sama Andrea, lo yang buat semua ini?” desis Arga dingin. “Akh! Arga, kamu salah paham, bukan aku.” Hanya untuk bicara saja susah. Leher Dilan rasanya benar-benar sakit, dan napasnya jadi pendek-pendek. “Oh ya? Gue salah paham? Lantas, kenapa lo membekap Linda, seolah lo takut kalau Linda bicara yang sebenarnya?” “Apa? Bukan gitu, Linda berteriak jadi aku menahannya. Kondisi Linda tidak baik, kalian boleh menanyakannya pada Linda kalau dia sudah tenang.” “Dan lo pikir gue percaya gitu?” Dilan melepaskan genggaman Arga pada kerah bajunya dengan susah payah. “Terserah kalian, aku sudah muak di salahkan terus-menerus. Andrea mengatakan hal yang buruk padaku, Alfa tidak percaya padaku, dan sekarang kau hendak memukulku karena kau berpikir aku yang membunuh teman Linda. Apa kamu nggak mikir apa untungnya buat aku melakukan semua ini, hah?” kekesalan Dilan sudah mencapai puncaknya. Rasanya, tiap kali ada kejadian buruk selalu saja ia berada disana. Dilan selalu saja berada di tempat dan waktu yang salah, membuatnya disalahkan oleh beberapa pihak yang terlanjur panik dan tak mampu berpikir jernih. “Gue nggak akan semudah itu percaya sama lo, Lan. Sejak awal selalu lo yang tahu semuanya, dan lo yang ada di tempat kejadian, gimana kita nggak curiga.” “Terserah kalian, aku sudah nggak peduli lagi mau kalian percaya atau nggak. Tapi, satu hal yang mau aku tegaskan, aku bukan pembunuh dan nggak akan pernah jadi seperti itu. Biar ku beri tahu satu hal, jangan berkumpul tiga orang atau lebih, jangan berteriak kencang. Kita sudah terlanjur berkumpul, dan Sari sudah berteriak tadi, aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi semoga baik-baik saja. Aku pergi.” Dilan membuang napas berat. Terserah saja apa tanggapan Arga kepadanya, ia sudah tidak peduli lagi. Mencoba memperingati juga tidak berguna, yang ada malah ia yang disalah pahami sebagai pembunuh. Sekarang lebih baik ia fokuskan saja mencari jalan keluar sekalian mencari tahu sebenarnya ada apa dalam sekolah ini. Dilan kembali berkeliling sendiri. Sudah lama mereka terjebak dalam bangunan sekolah. Mungkin sudah tengah malam, atau malah dini hari. Entahlah, ponsel Dilan mati dan ia tidak menemukan jam dinding sama sekali. Dilan kepikiran dengan kondisi Linda, tampak sekali jiwa gadis itu benar-benar terguncang apalagi setelah meninggalnya Alin secara tragis begitu. Dilan, yang baru melihatnya saat ia telah mati saja tidak kuasa menahan gejolak dalam perutnya. Entah apa yang dilakukan Arga dan Sari di sana. Semoga saja keduanya bersedia setidaknya memindahkan mayat Alin dari sana. Dilan kembali menyusuri area lorong sekolah dan beberapa kelas yang menarik menurutnya. Bukan apa-apa, barangkali ia menemukan benda-benda aneh yang mengeluarkan peringatan seperti tadi. Dilan hanya ingin dia dan sisa temannya selamat. Sekolah ini menyimpan misteri, yang Dilan sendiri tidak tahu apa itu. Dilan mengguman tidak jelas, merapalkan berbagai do’a dengan harapan dirinya selamat. Ia tidak tahu sesakit apa yang di rasakan Alin saat lehernya tertancap ujung payung begitu. Dengan darah yang meluber nyaris memenuhi lantai di bawah tangga, bisa di pastikan bahwa Alin merasakan sakit yang amat parah sebelum akhirnya meninggal. Ugh, mengingatnya membuat Dilan reflek mengelus perutnya yang datar. Gejolak itu kembali muncul dan Dilan terburu-buru meninggalkan tempatnya. Jika Dilan menemukan apa yang aneh, maka itu adalah keadaan yang selalu memaksanya untuk tahu. Seolah semua peringatan itu tidak sekedar kebetulan ia yang menemukannya. Dilan tahu, sebagian dari teman-temannya juga masuk dan menyusuri kelas-kelas yang ada. Lantas, kenapa hanya Dilan yang menemukan semuanya? Kenapa hanya Dilan yang ada di tempat kejadian ketika seseorang terbunuh. Ada orang lain di dekat Dilan, tapi mereka seolah tak sadar, atau malah mencoba mengabaikan soal kematian itu. Dilan bingung. Ia benar-benar tidak mengerti dengan situasinya. Dilan menghela napas berat. Keputusannya benar-benar salah. Oh, ia baru ingat jika saat kematian Alin mereka berkumpul tiga orang, juga Sari yang berteriak kencang ketika melihat mayat Alin tergeletak bersimbah darah. Kalau menilik dari apa yang terjadi, Dilan memang patut di curigai sebagai tersangka. Ia tahu segalanya, ia berada di tempat kejadian, apalagi di kematian Alin kondisi pakaian dan tangan Dilan yang bersimbah darah seolah memperkuat dugaan kalau ia yang melakukan pembunuhan kepada Alin. Padahal, kenyataannya berbeda. Jangankan membunuh Alin, bagaimana Alin terbunuh saja Dilan sama sekali tidak tahu. Ia tidak melihat apapun, yang ia lihat hanya Alin yang telah mati di bawah tangga dengan ujung payung menusuk lehernya, dan Linda yang linglung bak melihat hantu. Dilan mengacak rambutnya kasar. Semua hal terasa semakin dan semakin membingungkan saja.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN