Yang Lainnya

1609 Kata
Rasanya Dilan ingin sekali melarikan diri pada situasi seperti ini. Bukan salahnya kalau ia memiliki kadar penasaran yang diluar nalar selain kadar kemalasannya. Ini luar biasa memang. Disaat yang lain akan lebih memilih melarikan diri jika mengalami sesuatu hal yang misterius dan tidak pasti, maka Dilan memilih untuk memastikannya dengan tuntas. Satu hal yang baik dan buruk secara bersamaan, karena Dilan tidak mampu mengendalikan diri. “Ada apa disana?” gumam Dilan pelan. Ruang kelas memang bukan ruangan yang begitu besar, dan Dilan lupa tidak melihat sebenarnya kelas mana yang ia masuki. Karena saking penasarannya, ia bahkan melupakan rasa takutnya. Di dalam kelas seperti biasa, hanya ada deretan bangku dengan satu lemari alat-alat keebrsihan di belakang kelas dan gantungan. Meski dengan penerangan yang temaram, Dilan tahu kalau bangku-bangku yang ada di kelas ini berbeda dengan bangku-bangku yang ia pakai delapan tahun silam. Tentunya, pihak sekolah pasti sudah melakukan pembaruan. Dilan melangkahkan kakinya ke belakang kelas. Ada satu bangku yang berbeda dari bangku-bangku lainnya. Kalau bangku yang Dilan lihat sejak ia menginjakkan kakinya ke dalam kelas ini seluruhnya terlihat mulus berplitur, ada satu bangku usang yang terletak di pojok kanan kelas, berdekatan dengan lemari alat-alat kebersihan. Dilan menebak-nebak apakah bangku itu sama dengan bangku lawas yang ia gunakan delapan tahun silam ketika mengenyam pendidikan di sekolah ini, meski berbeda kelas. Bangku kayu yang kelihatan tua itu mengelupas di beberapa sisinya, dengan banyak coretan bolpoint dan tipe x. Dilan merasakan betapa kasarnya kayu tua itu melalui jari-jarinya. Setiap bangku sekolah memiliki laci, Dilan iseng merogohkan tangannya kedalam laci bangku tua itu hingga dirinya merasakan sebuah benda asing di dalam sana. Sempat takut untuk menariknya keluar, namun lagi-lagi rasa penasaran selalu menang dalam diri Dilan. “Apa nih?” Dilan menarik benda itu keluar. Sebuah kotak kado seukuran buku tulis dengan kertas coklat kayu yang melapisinya. Ada pita berwarna krem mengikat kotak itu. Ini mirip seperti sebuah kado ulang tahun anak-anak SMA. Simple. Dilan iseng menarik simpul pita berwarna krem tersebut. Bukan iseng sih sebenarnya, karena dalam hati memang Dilan merasa super penasaran dengan isi kotak kado itu. Barangkali ia menemukan barang yang menarik. Dilan janji akan mengembalikannya nanti—kalau isinya tidak penting. Simpul pita krem itu terurai dengan mudah. Sam menaruhnya asal di atas meja kayu usang tempat ia memungut kotak ini. Dengan diiringi jantungnya yang berdegup cepat, Sam membuka perlahan tutup kotak kado itu. Sam terdiam, hening yang mencekam sampai ia menguasai diri. Di dalam kota kado itu ada sebuah benda persegi, Dilan menariknya keluar dan membalik benda persegi itu. Sebuah cermin. Dilan nyaris melemparnya. Bukan apa-apa, sejak ia mengalami kejadian buruk akibat cermin aneh yang ditemui olehnya dan Kiyan beberapa waktu yang lalu, rasanya Dilan agak sensitif berurusan dengan cermin apalagi ia masih berada di lingkungan sekolah, ralat di dalam kelas. “Tenang, Dilan… tenang… ini cermin yang berbeda.” Dilan berusaha keras menenangkan hatinya. Oh, kepalanya rasanya penuh dengan banyak pikiran yang seolah dipaksa dijejalkan. Dilan membuang napas dan menepuk pipinya. Ia membalik cermin itu hingga menghadap kepadanya. Pantulan wajahnya yang gelap akibat penerangan yang temaram membuat Dilan merasa begitu menyeramkan. Kedua tangan Dilan mengerat saat memegangi cermin seukuran buku tulis itu. Lama berselang dan tak ada yang terjadi, Dilan baru saja hendak mengembalikannya pada kotak coklat kayu tadi, namun mendadak membeku ketika sebuah tulisan berwarna merah darah seolah menyembul keluar dari dalam cermin. Dilan terdiam, tenggorokannya terasa kering hingga ia tak mampu hanya untuk mengeluarkan suara. Tulisan itu muncul dengan cepat dan rusak menjadi tetesan darah yang mengalir melewati jari-jari Dilan yang mengerat seolah ingin memecahkan cermin itu. “Aku melakukan kesalahan lagi.” Desisnya nyaris tak terdengar. Buru-buru Dilan mengembalikan cermin itu ke dalam kotaknya dan memasukkannya ke laci bangku. Ia langsung berlari keluar dari kelas itu dengan sisa kekuatan yang masih mampu ia keluarkan. Tujuannya hanya satu sekarang; menemui Alfa. Dilan harus menjelaskan semuanya kepada Alfa, dan dengan cara apapun Dilan harus membuat teman terdekatnya itu percaya kepadanya. Lama-lama keadaan di sini semakin tak terkendali. Kalau sampai ada kejadian buruk lagi, Dilan akan dengan senang hati menyalahkan dirinya sendiri. Dilan, dengan harapan yang besar kepada Alfa. Dilan yakin jika Alfa yang mengatakan semuanya, yang lain akan percaya.   *   Alfa terjebak pada sebuah ruang kelas yang sepi. Keadaan yang tak jauh berbeda dengan yang di alami Dilan. Rekan yang berjalan dengannya mendadak kabur ketika mendengar suara seperti teriakan kesakitan yang tak jauh dari mereka. Alfa bahkan sama sekali tidak tahu siapa yang berteriak. Ia berharap dalam hati kalau itu bukan lagi teriakan teman-temannya yang sekarat dan hendak meregang nyawa. Ketika Alfa merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba benda persegi itu mati. Alfa ingat betul ia mengisi daya dengan penuh sebelum kemari, dan ponsel Alfa sama sekali tidak ia gunakan kecuali untuk menghubugi Dilan saja. Ah, Dilan. Alfa dihinggapi rasa bersalah karena tidak percaya dengan Dilan beberapa waktu lalu. Memang, ia sendiri sampai sekarang masih ragu dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu. Nyatanya, Dilan terlihat begitu kacau dan berusaha menjelaskan apa yang dia lihat. Alfa mengenal Dilan bukannya baru beberapa hari yang lalu. Mereka sudah kenal sangat lama, waktu yang cukup untuk Alfa tahu kebiasaan-kebiasaan kecil Dilan. Buru-buru Alfa keluar dari ruangan kelas tempatnya beristirahat tadi. Seluruh ruangan begitu temaram, menambah kesan mengerikan ketika berjalan sendirian. Alfa, meski dirinya bukan seseorang yang penakut dan cenderung suka hal-hal horror juga merasakan hawa tidak enak ketika berjalan sendirian di lorong sekolah. Alfa berjalan nyaris satu jam hanya untuk menemukan Dilan. Ketika mereka bertemu, Dilan tampak begitu kacau, dengan kedua tangan berlumuran darah. Alfa nyaris berteriak karena kaget ketika Dilan menubruknya kemudian jatuh terduduk dengan napas tersengal-sengal. “Ada apa?” tanya Alfa panik. Ia semakin panik saja ketika melihat bercak darah yang mengotori tangan dan sebagian baju Dilan. “Dilan! Dilan! Tenangkan dirimu, ada apa sebenarnya? Kenapa kamu berdarah?” tanya Alfa gusar. Dilan nyaris pingsan kalau saja Alfa tidak berusaha mendesaknya untuk bicara. Astaga, bahkan seorang Dilan yang kadar cueknya di luar nalar bisa jadi sekacau ini. Pasti ada sesuatu hal buruk yang telah terjadi kepadanya. “Dilan, tenang okay. Sekarang katakan padaku, kamu kenapa?” tanya Alfa. “Jangan berteriak!” seru Dilan tertahan. “Ada apa, Dilan?” Dilan meneguk ludah susah payah. “Tolong, dengarkan aku, Al. jangan berkumpul tiga orang atau lebih, dan jangan bicara dengan keras, apalagi berteriak.” Alfa mengerutkan keningnya bingung. “Kenapa? Bukannya lebih baik kalau kita berkumpul, kita bisa lebih tau kalau ada apa-apa sama yang lain. Sekarang, kita terpencar dan ponsel ku mati, aku jadi nggak tahu apa-apa sama yang lain.” “Tolong percayalah padaku, Al. Aku serius.” Dilan tidak tahu lagi harus menjelaskan dengan cara apa supaya Alfa percaya padanya. Alfa satu-satunya harapan Dilan untuk mempercayai semua apa yang dilihat olehnya. “Lalu, kenapa tanganmu berdarah?” “I—ini, sebenarnya… aku—“ “Dilan! Lihat aku kalau bicara, kamu menyembunyikan sesuatu dariku ‘kan?” “Kenapa kamu mikir gitu? aku nggak menyembunyikan apa-apa kok.” Alfa menghela napas. “Kamu pikir aku baru kenal kamu kemarin apa? Aku tahu kamu bohong, Lan. Sekarang, kamu bilang sama aku sebenarnya ada apa?” Dilan merasa kesal tiba-tiba. Kenapa semua yang ditemui nya seolah menyalahkannya atas apa yang terjadi. Alfa mungkin tidak frontal seperti Andrea yang dengan seenak hati menyalahkan dirinya atas kematian yang lain, tapi Dilan tahu kalau Alfa memandanginya penuh selidik, dan Dilan benci ketika dicurigai padahal ia sama sekali tak melakukan apa-apa. Dibilang menyembunyikan sesuatu rasanya juga salah, sejak awal Dilan sudah mengatakan peringatan itu kepada teman-temannya, tapi tak lantas membuat mereka mendengarkannya. Mereka malah menyangka yang tidak-tidak soal Dilan. “Kau mencurigai ku?” tanya Dilan sinis. “Curi—NGGAK! Bukan gitu maksud ku, Lan.” Seru Alfa panik. Dilan terkekeh. “Kenapa? Kamu juga curiga kalau aku dalang dibalik semua kematian teman-teman kita? katakana saja.” “Bukan gitu, aku—“ “Sepertinya percuma aja ya aku jelasin sama kamu. Kamu dan yang lainnya sama aja.” “Dilan, apa maksudmu?” “Oh, kamu nggak tau? Andrea baru aja nyalahin aku dan mengira aku pembunuh teman-teman yang lain. Barangkali ia nggak lihat betapa paniknya aku ketika Irene meninggal.” “Kenapa Andrea menyalahkan mu?” Dilan mengangkat bahu. “Aku bersama Kiyan ketika Rian meninggal. Kiyan bisa mengendalikan emosi nya, sementara aku di serang panik akut. Andrea datang bersama beberapa teman perempuannya yang lain.” “Lalu menyalahkanmu?” Dilan mengangguk. “Aku nggak tahu kenapa Andrea curiga padaku. Aku sama sekali nggak nyentuh Rian, mana mungkin aku yang membunuhnya.” Alfa menghela napas. “Maafkan aku, aku nggak bermaksud menyalahkanmu.” Ujar Alfa pelan. “Tapi kamu tetap memiliki kecurigaan sendiri padaku, ‘kan?” “Eh?” “Sudahlah, percuma juga aku jelasin panjang lebar. Semuanya akan tetap berakhir seperti ini. Aku yang di curigai. Semua prasangka buruk kalian aku terima, nanti kalau segalanya terungkap, semoga kalian menyesal telah menyalahkanku.” Dilan berdiri, hendak pergi. Rasanya percuma ia berlari tungang langgang karena ketakutan untuk mecari Alfa. Satu-satunya harapannya diantara seluruh teman-temannya. Teman dekatnya. Nyatanya, sama saja ia juga tidak percaya dengan Dilan. Harus ia akui bahwa sekarang ia kecewa dengan Alfa, tapi mau bagaimana lagi. Dilan sama sekali tak bisa membuktikan. Kalau Alfa tidak percaya padanya, ia harus mencari Kiyan dan menyuruh gadis itu menjelaskan semuanya kepada yang lain. “Dilan, mau kemana?” Dilan berhenti. “Kemana aja, pokoknya menjauh dulu dari kalian.” Katanya pedas. Dilan, selama bertahun-tahun berteman dengan Alfa sama sekali tidak pernah merasa kecewa sampai seperti ini. Lupakan saja soal itu dulu, karena Dilan harus mencari tahu soal cermin di kotak coklat itu, juga tulisan yang meluruh menjadi serpihan darah yang sekarang menempel di tangan dan bajunya.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN