#R – Kasih yang Tersembunyi

2150 Kata
Terbiasa hidup sendiri membuat Vanila tidak pernah mau merepotkan siapapun dalam keadaan apapun, dia selalu berusaha melakukan segalanya sendiri, karena dia merasa tidak pantas meminta pertolongan orang lain sekalipun saat itu dia sedang membutuhkan pertolongan. Setelah memutuskan pulang setengah hari dari tempat bekerjanya, keesokan paginya Vanila tidak mampu bangun dari tempat tidurnya karena kepalanya sangat terasa pusing. Alhasil, Vanila memutuskan untuk tidak bekerja dan hanya manghabiskan waktunya untuk tidur saja. Beruntung sore hari ini Vanila merasa kepalanya sudah tidak sesakit tadi pagi, jadi setidaknya dia bisa keluar untuk membeli obat di apotek terdekat sekaligus membeli roti untuk mengganjal perutnya. “Van, lo ada di kossankan, gue ke sana ya,” Vanila hanya mampu menghela nafas saat melihat isi pesan yang Anya kirim melalui nomornya. Sebenarnya jika keadaannya baik – baik saja, Vanila tidak masalah Anya main ke kossannya, tapi melihat keadaannya yang sedang sakit pasti akan membuat Anya menghawatirkannya jika sampai dia tahu, dan Vanila tidak ingin merepotkan Anya lagi. “Kayanya aku bakalan lembur deh Nya, jadi kamu gak bisa main ke kossan, gak papa ya, nanti deh kalau aku lagi enggak kerja aku hubungin kamu, jadi kita bisa ngobrol banyak di kossan aku,” jawab Vanila yang tentu saja hanyalah sebuah kebohongan.  Mungkin Vanila memang bohong, tapi Vanila tidak benar – benar bermaksud untuk membohongi Anya, Vanila hanya berusaha menutupi keadaannya yang sedang sakit, karena dia tidak ingin membuat Anya khawatir jika tahu dia sedang sakit.   Setelah membalas pesan kepada Anya, Vanila kembali melanjutkan perjalanannya menuju kossan setelah dia sempat membeli obat sakit kepala, dan pereda sakit perut, karena selain sakit kepala Vanila juga merasa jika perut bagian bawahnya terasa sangat nyeri. Namun, kegiatan Vanila yang sedang berjalan santai hendak pulang menuju tempat tinggalnya, tiba – tiba dikagetkan oleh suara seperti benda bertabrakan yang sangat keras, selain itu Vanila juga mendengar suara orang – orang yang berteriak kaget. “Kayaknya tabrakan” gumam Vanila, saat dia melihat beberapa orang mulai berlarian menghampiri korban pengendara motor. “Semoga aja dia gak papa” gumam Vanila lagi, tanpa berniat menghampiri korbannya, karena saat itu Vanila sudah sangat ingin segera pulang.             Namun, langkah Vanila yang semula sangat yakin untuk tidak berbelok dan melihat korban kecelakaan urang saat dia melihat motor milik korban kecelakaan yang terpisah beberapa meter dari korbannya. Saat itu, Vanila tiba – tiba dilanda perasan tidak enak saat dia merasa mengenali motornya. Kemudian, dengan langkah yang sedikit lunglai, Vanila berjalan menghampiri korban yang sedang dikerumini orang – orang.             “Enggak mungkin, pasti ini orang lain …” gumam Vanila, berusaha menguatkan dirinya sendiri, sebelum dia melihat secara jelas wajah korbannya.             Air mata Vanila jatuh begitu saja, saat dia berjinjit dan melihat dengan jelas wajah orang yang tidak dia harapkan ada di sana justru sedang terkapar dijalan dengan keadaan setengah sadar, dan dikerumuni orang – orang. Vanila langsung menerobos kerumunan orang – orang dengan perasaan panik yang sudah mendominasi tubuhnya,             “Abi … Abi kenapa kamu kaya gini, kamu tahan ya kita ke rumah sakit sekarang ya” ujar Vanila, sambil memangku kepala Abimana yang saat itu sudah dipenuhi darah, karena helm yang dia gunakan terlepas sehingga membuat kepala Abimana membentur trotoar jalan.             “Tolong … tolong bantu, dia adik saya, saya mohon tolong ….” ujar Vanila, dengan berurai air mata.             “Abi … bertahan ya, kamu gak boleh kenapa – napa, kamu harus bertahan Abi …” ujar Vanila, sambil menatap mata Abimana yang saat itu sudah setengah sadar.             “Kaak .. Ka.. Vanill…” setelah berusaha memanggil Vanila dengan terbata – bata, Abimana tiba – tiba kehilangan kesadarannya, dan hal itu berhasil membuat Vanila semakin merasa ketakutan, apalagi darah yang tidak berhenti keluar dari dahinya membuat Vanila semakin merasa khawatir pada keadaan adiknya.             Setelah itu, beberapa orang mulai membantu mengangkat Abimana dan memasukannya ke dalam subuah taxi yang mungkin sudah mereka hentikan. Vanila langsung ikut masuk ke dalam taxi karena dia tidak mungkin membiarkan Abimana sendirian. ***  “Sus … pasien ini kenapa dirawat di sini ? dan dia sakit apa ?” tanya seorang laki – laki, yang sama – sama berseragam perawat saat dia masuk ke dalam sebuah ruangan tempat melakukan donor darah, dan menemuka seorang perempuan yang sedang terbaring dengan infusan yang menempel dipunggung tangannya. “Mbak itu tadi memaksa melakukan donor darah untuk remaja laki – laki yang baru saja mengalami kecelakaan dan diantar oleh Mbaknya, padahal saat itu keadaannya sedang sakit, tapi dia tetap memaksa” jelas suster, yang memang sedang mengecek keadaan perempuan yang sedang terbaring lemah tidak sadarkan diri itu. “Suster bagaimana keadaan adik saya ? apakah dia baik – baik saja ?” taya Vanila, saat seorang suster keluar dari ruang IGD tempat dimana Abimana sedang mendapat penanganan. “Maaf Mbak, tapi pasien kehilangan cukup banyak darah, kebetulah stok darah adik anda sedang kosong di rumah sakit ini, jadi apa bisa dihubungi keluarga atau kerabat dekat yang memiliki golongan darah sama dengan adik anda agar bersedia mendonorkan darahnya” tanya suster, berhasil membuat Vanila yang sedang merasa khawatir semakin merasa khawatir pada keadaan Abimana. “Apa golongan dararnya Sus ?” tanya Vanila, khawatir. “AB Mbak” jawab suste, sambil menatap Vanila. Selama beberapa saat Vanila terdiam, dia tampak berpikir selama beberapa saat, mencoba berpikir langkah apa yang harus dia ambil selanjutnya agar Abimana bisa tetap baik – baik saja. Karena meskipun selama ini hubungan mereka kurang baik, tapi Vanila sudah menganggap Abimana seperti adik kandungnya sendiri. “Ambil darah saya saja Sus, golongan darah saya AB” ujarVanila, sambil menyenntuh tangan Suster, mengisyaratkan agar dia segera mengambil darahnya. Namun, bukannya langsung mengajak Vanila untuk langsung melakukan donor darah, Suster itu justru hanya diam sambil menatap Vanila.  Dia seakan sedang menelisik keadaan Vanila yang saat itu memang terlihat tidak baik – baik saja. “Tapi Mbak, sepertinya Mbak sedang sakit, wajah Mbak terlihat pucat, suhu tubuh Mbak juga cukup panas, jika Mbak donor darah pasti akan membuat tubuh Mbak semakin lemah” ujar Suster, berusaha memberikan Vanila pengertian. Vanila sadar jika keadaannya saat itu memang sedang tidak baik – baik saja, dia masih merasa kepalanya sakit, dan tubuhnya terasa lemas. Tapi, Vanila juga tidak mungkin membiarkan Abimana menunggu disaat dia sebenarnya bisa membantu. “Enggak papa Sus, ayo ambil darah saya aja, saya mohon” ujar Vanila, sambil menatap Suster dihadapannya dengan tatapan penuh permohonan. Akhirnya, Susterpun membawa Vanila untuk masuk ke dalam sebuah ruangan untuk melakukan donor darah, dan Suster mulai menjalankan tugasnya untuk mengambil darah Vanila. Selama pengambilan darah, Vanila ditemani oleh Suster tersebut, karena selain mengambil darah ternyata dia juga melakukan pemantauan pada keadaan Vanila yang memang sedang tidak baik – baik saja. Selain itu, Suster juga beberapa kali bertanya mengenai keadaan Vanila. “Sus, apakah pihak rumah sakit sudah menghubungi orang tua saya untuk memberitahu keadaan adik saya ?” tanya Vanila, saat dia sedang terbaring pada saat proses pengambilan darah. Saat sampai ke rumah sakit, Vanila memang sengaja memberikan nomor telepon ayahnya kepada pihak rumah sakit untuk dihubungi tentang keadaan Abimana yang mengalami kecelakaan dan di bawa ke rumah sakit. Vanila tidak berani menghubungi ayahnya sendiri, karena dia terlalu takut, selain itu Vanila juga merasa jika ayahnya tidak akan mau menerima panggilan telepon darinya. “Sudah Mbak, tadi orang tua Mbak sudah kam hubungi, mungkin sekarang sudah berada diperjalanan” jawab Suster, sambil tersenyum ramah kepada Vanila. “Pengambilan darahnya sudah selesai Mbak, jika Mbak merasa pusing atau merasa lemas lebih baik istirahat dulu di sini” uujar Suster, sambil melepas jarum yang sejak tadi menempel ditangan Vanila, dan dijawab sebuah anggukan kepala oleh Vanila. “Sus, tolong jangan bilang pada orang tua Abimana kalau saya yang sudah membawa dia ke rumah sakit, dan jangan bilang juga kalau saya yang sudah mendonor darah untuk Abimana” ujar Vanila, membuat Suster yang dia mintai tolong sempat terdiam selama beberapa saat, mungkin karena merasa heran, tapi tidak urung dia tetap menganggukan kepalanya. Setelah mengucapkan terimakasih, Vanila memutuskan untuk langsung pulang, karena dia tidak boleh terlalu lama berdiam diri di rumah sakit. dia harus pulang sebelum Mamah dan Papahnya datang kemudian bertemu dengannya, Vanila tidak ingin terlibat masalah apapun lagi bersama mereka, selain itu keadaannya juga masih sangat lemah jadi Vanila ingin pulang dan beristirahat di kossannya. “Mbak hati – hati, Mbak gak papa ?” tanya Suster, saat dia melihat tubuh Vanila tiba – tiba limbung dan hampir saja terjatuh jika Suster tidak menangkapnya. Vanila hanya menggelengkan kepalanya untuk menimpali pertanyaan Suster, kemudian dia berusaha untuk menegakan posisinya lagi. Kepalanya tiba – tiba terasa sangat pusing, tubuhnya juga terasa semakin lemah, tadi juga matanya terlihat berkunang – kunang, mungkin karena efek Vanila baru saja mendonorkan darahnya. Vanila berniat kembali melanjutkan langkahnya, tapi baru beberapa kali melangkah, kepala Vanila semakin terasa sakit, sampai akhirnya Vanila benar – benar tidak mampu mempertahankan kesadarannya lagi.  Mendengar cerita yang disampaikan oleh Suster yang merawat sosok gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Vanila, sosok laki – laki itu hanya mampu menghela nafasnya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Vanila, tapi yang pasti dia yakin jika selama ini kehidupan Vanila tidak baik – baik saja, karena tidak jarang dia bertemu dengan Vanila yang sedang menangis atau terluka, dan dia juga tidak paham kenapa takdir selalu mempertemukannya dengan Vanila. “Rama .. kamu ngapain sih di sini, kamu gak cape apa, kamukan baru selesai ikut operasi, mending kamu istirahat dulu yu, aku aja masih cape” ujar Syerli, tiba – tiba datang sambil bergelayut manja ditangan Rama. “Kita lagi di rumah sakit ya, jaga sikap kamu” ujar Rama, sambil melepas paksa tangan Syerli yang sedang bergelayut manja ditangannya. Sekitar setengah jam lalu, Rama memang baru saja selesai melakukan operasi, begitu juga dengan Syerli serta beberapa teman masa koas lainnya, yang diminta untuk ikut melihat jalannya operasi. Tadi, Rama awalnya salah masuk ruangan, tapi melihat sosok Vanila yang sedang berbaring dengan infusan ditangannya membuat Rama penasaran juga dengan keadaannya. “Sus, nanti kalau dia sadar, tolong kabari saya ya” ujar Rama, sambil menatap Suster dihadapannya dan langsung dijawab anggukan kepala oleh Suster tersebut. “Udah ah ayo, lagian kamu kenapa sih Rama kayanya peduli banget sama dia” ujar Syerli saat melihat Rama sangat perhatian kepada Vanila. Tidak ada yang Rama katakan untuk menimpali perkataan Syerli, laki – laki itu hanya diam dan pasrah ketika Syerli menarik Rama pergi meninggalkan ruangan tempat Vanila dirawat. *** “Angga lo masih ingetkan alamat tempat tinggal Vanila, sekarang gue minta kirim alamatnya ke Hp, cepetan !” ujar Rama, sambil mematikan sambungan telepon secara sepihak. Rama langsung berjalan setengah berlari menuju parkiran karena memang saat itu sudah waktunya dia pulang, tapi saat itu Rama pulang sedikit terburu – buru bukan karena dia ingin segera sampai dirumahnya, tapi karena setelah beberapa jam lalu dia mendengar kabar kalau Vanila sudah pulang. Jadi, Rama ingin segera pergi menemui Vanila dan memastika jika dia baik – baik saja. Namun, karena dia tidak tahu alamat tempat tinggalnya yang baru, Rama memutuskan menelpon Angga yang pernah mengantarkan Vanila pulang. “Ram, kamu mau kemana sih buru – buru banget, aku nebeng pulang ya, soalnya aku gak di jemput supir malam ini” ujar Syerli yang tiba – tiba menghampiri Rama. Namun, saat itu Rama tidak menggubris Syerli sedikitpun, dia langsung melajukan motornya meninggalkan Syerli yang sedang merengek – rengek tidak jelas, menuju alamat yang sudah Angga kirimkan pada ponselnya. Saat itu, Rama tidak tahu mengapa dia bisa sangat  peduli kepada Vanila, dia tidak paham kenapa dia bisa sangat khawatir saat keadaan Vanila tidak baik – baik saja, Rama selalu berusaha mencari jawaban pada hatinya, tapi semua itu seakan tidak dia temukan alasannya. Tepat ketika motor yang dia kendarai berhenti disebuah kos – kosan putri, Rama kembali mengecek alamat yang sempat Angga kirim, kemudian dia langsung mengunjungi pemilik kosan setelah itu dia meminta diantar ke kamar kos Vanila. Saat mereka datang, kamar kos Vanila dikunci,  beruntung saat  itu ibu kos membawa kunci cadangan, jadi pintunya bisa dibuka dari luar. “Vanila, ya ampun, kamu demam banget, kenapa kamu pulang kalau keadaan kamu tambah parah” omel Rama, sambil menyiapkan beberapa perlengkapan untuk mengompres Vanila. “Mas, saya telepon kerabat dekatnya saja ya, kasihan Mbak Vanila kalau sakit begini ditinggal sendirian, Masnya juga gak mungkin kan nginap di sini berduaan sama Mbak Vanila” ujar Ibu Kos yang langsung diangguki oleh Rama. Setelah itu, ibu kos terlihat keluar untuk menghubungi kerabat Vanila yang tadi dia sebutkan. Namun, tidak lama dia kembali dan meminta maaf tidak bisa menemani lebih lama karena dirumahnya ada tamu, saat itu Rama tidak bisa berkata apapun selain mengiyakan dan meminta agar pintu kamar Vanila dia biarkan tetap terbuka. Sambil menunggu kerabat Vanila datang, Rama terus mengompres Vanila dengan telaten. “Ya Allah Van, elo ngapain berduaan sama cowo dikamar lo, bukannya lo sakit, ko lo malah berduaan sama cowo” teriak Anya, saat dia datang dan melihat Vanila yang sedang berada dalam posisi seperti sedang dicium dahinya oleh Rama.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN