Bekerja, masih menjadi prioritas utama Vanila karena saat ini perkuliahan masih belum dimulai, jadi Vanila masih bisa bekerja sesuai jadwal hingga libur semesternya usai. Hanya saja, jika perkuliahan sudah kembali dimulai Vanila akan bekerja paruh waktu seperi sebelum - sebelumnya.
“Cuma pusing dikit Vanila, lo masih bisa kerja pokoknya” gumam Vanila, pada dirinya sendiri.
Sejak semalam, Vanila memang sudah merasa jika badannya tidak enak, hanya saja Vanila berusaha untuk tidak merasakannya, karena saat itu Vanila sadar jika dia sendian, dia tidak punya siapapun untuk jadi tempatnya mengeluh. Namun, ternyata dipagi hari Vanila justru terbangun dalam keadaan yang lebih parah, kepalanya terasa sakit dan tubuhnya juga terasa demam.
“Ada pesanan yang perlu dianter gak ?” tanya Vanila, saat dia sudah sampai didapur.
“Enggak, terakhir barusaha udah dianter sama Tiwi” ujar salah satu rekan kerja Vanila.
Mendengar jika sudah tidak ada pekerjaan, Vanila mendudukan tubuhnya disebuah kursi, karena nyatanya dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika saat itu dia merasa lelah, kepalanya juga terasa semakin sakit, dan tubuhnya juga masih demam. Namun, belum sampai 5 menit Vanila duduk, bunyi lonceng yang menandakan ada pengunjung berbunyi, hal itu membuat Vanila langsung sigap berdiri dan menghampiri mereka untuk menanyakan pesanannya, karena teman kerjanya yang lain sedang sibuk melakukan pekerjaan lain.
“Selamat siang, selamat datang dikafe kami, ada yang bisa saya bantu, atau ada yang ingin dipesan ?” tanya Vanila, sambil tersenyum seramah mungkin.
“Siang Mbak, iya kami mau langsung pesan saja” ujar salah satu dari mereka, karena kebetulan pengunjung yang saat itu Vanila datangi terdiri dari beberapa orang.
“Baik, silahkan mau pesan apa ?” tanya Vanila, ssambil menyiapkan buku kecil untuk menuliskan pesanan.
Selama beberapa saat, mereka nampak berdikusi tentang menu apa yang akan mereka pesan. Sementara Vanila, masih berdiri dengan sabar. Sampai akhirnya, tanpa sengaja mata Vanila bersitatap dengan sepasang mata yang sedang memperhatikannya tidak tahu dari kapan.
“Kamu kerja di sini ?” tanyanya, dengan wajah yang terlihat kaku dan datar, membuat orang – orang yang duduk satu meja dengannya menoleh menatap kearah Vanila.
Sesaat Vanila diam terpaku menatap sosok yang baru dia sadari keberadaannya, kemudian Vanila mengalihkan tatapannya kearah orang – orang yang saat itu sedang duduk bersama dia dan sedang menatap kearahnya.
“I … I .. iya kak” jawab Vanila, sambil tersenyum canggung.
Setelah itu, tidak ada yang dia katakan lagi, tapi saat itu Vanila tahu jika dia masih memperhatikannya. Hal itu, berhasil membuat Vanila merasa bingung sekaligus salah tingkah. Sampai akhirnya seorang laki – laki yang Vanila perkirakan sebaya dengan laki – laki yang menyapanya itu menyebutkan pesanan yang dia inginkan.
“Om Rama, itu pacarnya ya ?” tanya seorang anak kecil yang diperkirakan masih berusia 8 tahun.
Mendengar ucapan anak laki – laki itu, sontak membuat Vanila dan yang lain menoleh menatapnya, kemudian tatapan mata Vanila beralih menatap sosok laki – laki yang tadi menyapanya.
“Tuh dengerin anak gue Ram, perasaan yang selalu dicap kaku gue deh, kenapa sekarang elo juga ikut – ikutan” kali ini, sosok laki – laki yang Vanila pikir ayah dari anak laki – laki itu ikut bersuara.
Rama, pengunjung yang baru menyapanya itu memang Rama. Tidak tahu bersama siapa dia dan kenapa bisa sampai di kafe tempat Vanila bekerja, tapi kemungkinan terbesar alasan Rama makan siang di kafe tempat Vanla karena letaknya cukup dekat dengan rumah sakit tempat dia bekerja. Karena mungkin, saat itu dia datang dari rumah sakit, terlihat dari seragam perawat yang masih dia gunakan.
“Iya kenalin dong Ram, pacarnya” kini, perempuan berkerudung yang sedang duduk disamping anak laki – laki ikut bersuara, yang Vanila prediksi merupakan ibu dari anak itu.
Tidak ada yang Rama katakan saat itu, dia hanya diam sambil memutar bola matanya mendengar setiap ejekan – ejekan yang memang ditujukan kepadanya. Namun, saat dia baru saja hendak membuka mulit ingin memperkenalkan Vanila kepada orang – orang yang mungkin keluarganya, dia langsung berhenti karena sosok perempuan yang sedang duduk disampingnya lebih dulu menyela.
“Mana mungkin Rama mau pacaran sama pelayan kaya dia, dia gak cocok sama sekali jadi pacar Rama” ujar sosok perempuan, yang terlihat lebih muda dari Rama tapi masih terlihat lebih tua dari Vanila sambil menatap Vanila dengan tatapan merendahkan.
Setelah perempuan itu berhasil meremehkan Vanila dihapadapan Rama dan yang lainnya, suasana menjadi terasa lebih canggung. Sedangkan Vanila, hanya mampu melukiskan senyuman menanggapi ucapan perempuan itu, hatinya mungkin sempat merasa sesak tapi dia bisa memanipulasinya dengan senyuman seperti yang selama ini selalu dia lakukan, karena dihina dan direndahkan adalah situasa yang menemani pertumbuhan Vanila.
“Masih ada yang ingin dipesan lagi ? atau sudah cukup ?” tanya Vanila, berusaha untuk mencairkan kembali suasan canggung yang saat itu terjadi.
“Cukup itu saja, nanti kalau ada lagi kami bisa pesan lagi” ujar sosok perempuan, ibu dari anak laki – laki yang Vanila sendiri tidak tahu siapa namanya.
Setelah itu, Vanila memutuskan untuk kembali ke dapur, namun sebelum dia benar – benar berbalik tanpa sengaja matanya bersitatap dengan mata Rama yang masih menatapnya dengan tatapan sama seperti yang selalu dia tunjukan, hanya saja Vanila tidak pernah bisa mengartikan apa makna dari tatapan itu.
Setelah memberikan pesanan kepada yang bertugas menyiapkan, Vanila meminta izin untuk beristirahat sejenak kepada teman – temannya karena saat itu dia benar – bener merasa tidak enak badan. Menyadari jika wajah Vanila memang pucat, teman – teman Vanila tidak memprotes, bahkan dengan telaten salah satu dari mereka memberikan Vanila minum.
“Udah istirahat aja Van, pesanannya biar nanti gue yang anter, muka lo pucet baget” ujar Tiwi, saat dia melihat wajah Vanila yang pucat.
“Enggak, enggak papa, nanti pesanannya biar aku aja yang anter, itu masih banyak pengunjung baru, kamu juga pasti cape, aku gak papa ko masih kuat” jawab Vanila, merasa tidak enak.
“Yaudah deh, tapi kalau udah gak kuat bilang ya, dan lebih baik elo hari ini kerja setengah hari aja, lo tuh harus sayang sama diri lo sendiri, kalau lo maksain diri hari ini bisa jadi besok makin parah dan gak bisa masuk kerja, tapi kalau hari ini lo istirahat lebih banyak mungkin lo besok bisa lebih baik dan bisa kerja lebih baik juga” ujar Tiwi, sambil menyentuh pundak Vanila sebagai wujud kepeduliannya.
Mendengar perkataan Tiwi, Vanila tersenyum karena setelah dia pikir – pikir apa yang Tiwi katakan memang benar, “Makasih ya” jawab Vanila, sambil tersenyum kecil.
Setelah kepergian Tiwi, tidak ada yang Vanila lakukan selain duduk dan menyandarkan tubuhnya yang sudah terasa lemas dan kepalanya yang terasa sangat sakit. Namun, saat itu Vanila merasa tidak punya pilihan lain selain memaksakan dirinya tetap bekerja. Vanila merasa jika dia tidak boleh bermanja – manja, jadi sakit ataupun sehat dia harus bisa bekerja, itulah sugesti yang selalu ada dalam pikiran Vanila.
“Pesanan meja 11,” Vanila langsung membuka matanya yang sedang terpajam, kemudian dia langsung menghampiri pesanan yang siap diantar. Setelah itu kakinya melangkah dengan hati – hati, bibirnya melukiskan senyuman berusaha menyembunyikan jika pada saat itu keadaan tubuhnya sedang tidak baik – baik saja.
“Silahkan dinikmati hidangannya” ujar Vanila, sambil tersenyum dan satu hal yang pasti saat mengantarkan pesanan dia berusaha menahan diri untuk tidak menatap kearah Rama.
“Jika ada yang dibutuhkan lagi, bisa langsung dipesan saja ya Bu, Pak” lanjut Vanila, sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
Setelah pesanan berhasil dia antarkan dengan baik, akhinya Vanila kembali kebelakang. Saat itu, Vanila merasa jika keadaannya bukan membaik tapi semakin tidak baik. Saat itu, dia merasa kepalanya yang sudah terasa sakit semakin terasa sakit, tubuhnya semakin demam tapi dia merasa kedinginan, selain itu Vanila merasa jika pandangannya juga mulai berkunang – kunang.
***
“Kenapa ?” tanya Arya, kepada salah seorang pegawainya saat dia melihat Vanila tertidur diatas kursi sambil bersandar pada tembok.
“Vanila lagi sakit Pak, tapi dia tetap maksain diri buat kerja” jawabnya, dan langsung diangguki oleh Arya.
Setelah kepergian karyawannya, Arya memandang wajah Vanila yang memang terlihat pucat, kemudian dia menempelkan tangannya pada dahi Vanila yang ternyata memang panas. Selama beberapa saat, dia terdiam memandangi wajah Vanila, bukan tidak tahu, tapi Arya tahu meskipun itu tidak terlalu detail tentang kesulitan yang dialami Vanila. Mungkin, Vanila tidak tahu jika alasan terbesar Arya menerima dia bekerja karena ingin menolongnya setelah dia mendengar sekilas kisah hidupnya dari Anya, tapi memang seperti itulah kenyataannya, Arya merasa simpati terhadap kisah hidup yang menurutnya berat tapi Vanila bisa melaluinya dengan senyuman.
“Kamu bangun, katanya kamu sakit ya ?” tanya Arya, saat dia melihat mata Vanila yang semula terpejam perlahan mulai terbuka pelan – pelan.
“Lebih baik kamu pulang aja, muka kamu pucet banget, apa perlu saya antar ?” lanjut Arya, sambil menatap Vanila yang masih terlihat linglung karena bangun tidur.
“Tapi Pak…”
“Pulang Van, kalau enggak gajih kamu saya potong karena kamu sudah membantah perintah saya” ujar Arya, yang berhasil membuat Vanila langsung berdiri kemudian pamit untuk pulang.
Setelah diperintahkan pulang oleh Arya, Vanila benar – benar pulang karena dia takut ancaman Arya tentang gajinya yang akan dipotong benar- benar terjadi. Selain itu, Vanila juga merasa jika saat itu keadaannya juga semakin tidak baik, mungkin dia memang harus melakukan apa yang Tiwi katakan untuk beristirahat agar besok dia bisa bangun dengan keadaan lebih sehat dan bekerja dengan lebih baik.
“Badan, kenapa sih mesti sakit” gumam Vanila, saat dia sedang berjalan pelan sambil memijat kepalanya yang semakin terasa pusing.
Dengan kepalanya yang terasa sangat pusing, Vanila memaksakan dirinya untuk berjalan hingga ke halte, dia menolak ajakan beberapa teman – temannya yang berniat mengantarkan dia pulang, karena Vanila tahu mereka sedang banyak pekerjaan apalagi hari ini pengunjung kafe cukup ramai. Jadi, Vanila tidak ingin menambah beban mereka dengan mengantarkan dia pulang, Vanila sudah cukup bersyukur karena hanya diminta bekerja setengah hari saja.
Namun, karena keadaannya yang kurang baik. Vanila tidak menyadari didepan kafe Vanila menabrak sepasang muda – mudi yang Vanila yakin akan berkunjung ke kafe. Saat itu tidak ada yang bisa Vanila katakan selain permintaan maaf. Setelah itu, Vanila memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya.
“Dikit lagi, sampe halte Vanila semangat” gumam Vanila, menyemangati dirinya sendiri saat dia merasa sudah tidak mampu berjalan karena kepalanya semakin terasa pusing, bahkan keringan dingin sudah mulai bercucuran keluar.
Vanila berusaha menguatkan dirinya untuk terus berjalan karena posisi halte dan posisinya berjalan sudah sangat berdekatan. Namun, karena keadaannya yang sudah semakin melemah, tiba – tiba pandangan Vanila terlihat berkunang – kunang, kepalanya semakin berdenyut sakit, sampai akhirnya tubuh Vanila oleng.
Tiiiiit …
Suara nyaring klakson motor berhasil membuat mata Vanila yang terpejam kembali terbuka, matanya langsung melotot kaget saat dia melihat sebuah motor yang melaju semakin mendekatinya. Saat itu, Vanila tidak melakukan apapun karena dia merasa terlalu kaget, saat itu dia hanya berpasrah jika harus tertabrak sekalipun karena dia sudah tidak memiliki tenaga untuk berlari menghindari motor yang siap menabraknya.
“Bisa hati – hatikan ?” tanya seseorang, membuat Vanila kembali membuka matanya.
“Kamu sakit ?” tanyanya lagi, saat dia merasakan suhu tubuh Vanila yang terasa panas.
Sadar jika saat itu dia sedang berada dalam pelukan seorang laki – laki, Vanila langsung bangkit menegakan kembali tubuhnya.
“Makasih Kak” ujar Vanila, sambil tersenyum kecil tanpa menanggapi pertanyaan Rama yang lagi – lagi menjadi penyelamat Vanila untuk yang kesekian kalinya.
“Ayo saya antar pulang” ajak Rama, saat dia melihat Vanila hanya diam saja.
Mendengar ajakan Rama, Vanila mendongakan kepalanya menatap wajah Rama. Baru saja mulutnya terbuka hendak menjawab ajakan Rama, akhirnya harus kembali terkantup saat dia mendengar suara seseorang yang memanggil nama Rama.
“Kamu pulang sama Angga aja ya, aku mau antar Vanila pulang, lagi sakit soalnya” ujar Rama, tanpa mengubah sedikitpun ekspesi wajah datarnya.
“Enggak bisa gitu dong Ram, aku berangkatnya sama kamu, jadi pulangnya juga harus sama kamu” ujar perempuan, yang tadi sempat menghina Vanila.
“Tapi, dia lagi sakit Sher” ujar Rama, dengan nada suaranya yang terdengar lelah.
“Jadi kamu lebih milih ngenterin pelayan ini dari pada pulang ke rumah sakit sama aku” tanyanya, sambil menatap Vanila tidak suka.
Mendengar kalimat merendahkan yang lagi – lagi ditujukan kepadanya dari orang yang sama, Vanila lagi – lagi hanya melukiskan senyuman kecil. Dia tidak mampu untuk membela dirinya sendiri, karena nyatanya dia memang seorang pelayan, lagi pula saat itu dia sedang tidak enak badan, yang dia inginkan hanya pulang dan beristirahat.
“Kamu sama kita aja, kita juga enggak lagi buru – buru, bolehkan kita anterin dulu ?” tanya seorang perempuan pada suaminya yang Vanila yakin bernama Angga karena tadi Rama sempat menyebutnya.
“Tidak usah Mbak, haltenya sudah dekat, saya bisa pulang naik bus ata angkot saja” jawab Vanila, sambil tersenyum.
“Eh gak papa, ayo saya dan suami saja yang anter, ayolah jangan menolak rezeki enggak baik loh” ujar perempuan itu lagi.
Sesaat Vanila sempat terdiam, dia masih menimang antara ikut atau tidak ikut. Sampai akhirnya, Rama tiba – tiba membuka pintu mobil bagian belakang sambil menatap Vanila yang seakan mengsyaratkan jika dia meminta Vanila untuk masuk. Melihat hal itu, akhirnya Vanila menganggukan kepala kemudian masuk ke dalam mobil.
“Tenang aja, kita akan anter sampai rumahnya ko” ujar perempuan yang sedang berada di dalam mobi, kepada Rama.
Tidak ada yang Rama katakan, laki – laki itu hanya diam tanpa menunjukan ekspresi apapun. Sedangkan, perempuan disampingnya, masih menatap Vanila dengan tatapan sinisnya.